BAB II TINJAUAN - BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

  Asosiasi Psikologi Amerika (APA) mendefinisikan resiliensi sebagai proses beradaptasi ketika menghadapi kemalangan, trauma, bencana atau ancaman yang dapat mengakibatkan stress (Bonanno, Brick, dan Yehuda, 2014). Masten (2001) menguraikan resiliensi sebagai suatu sistem yang dinamis untuk beradaptasi dengan baik terhadap gangguan yang mengancam kelangsungan hidup, fungsi dan perkembangan sebuah sistem. Resiliensi didefinisikan oleh Grotberg (Schoon, 2006) sebagai kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan bahkan berubah menjadi lebih baik akibat pengalaman traumatik yang menimpa hidup seseorang.

  Fiksel (Carlson dkk, 2012) mengungkapkan bahwa resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas dari sebuah system dalam diri untuk bertahan, beradaptasi dan kemudian berkembang secara lebih baik saat menghadapi perubahan dan kehidupan yang tak pasti. Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan. Resiliensi adalah sebuah proses yang bersifat kontinum

sehingga tiap individu dapat meningkatkan daya resiliensi dari waktu ke waktu saat menghadapi kesengsaraan hidup sehari-hari. Henderson & Milstein (dalam Sari, 2014) mengartikan resiliensi sebagai kemampuan dalam diri seseorang untuk bangkit dari pengalaman negatif yang dialami, bahkan menjadi lebih kuat menghadapi pengalaman hidup selanjutnya.

  Voysoy (2014) menguraikan resiliensi sebagai kemampuan membuat lompatan setelah orang mengalami hantaman dalam hidup. Seorang yang memiliki daya lenting bisa jadi berada dalam kondisi terjatuh tetapi mampu bangkit kembali, bahkan menjadi jauh lebih kuat dari sebelumnya. Daya resiliensi menurut Mulyani (2011) disebut sebagai sebuah sikap yang mampu mendorong seseorang menemukan pengalaman baru dan memiliki pandangan bahwa kehidupan adalah sebuah proses yang makin hari makin memiliki peningkatan, memiliki rasa percaya diri berinteraksi dengan orang lain serta memiliki keberanian dalam mengambil risiko atas tindakan atau perbuatan yang telah dilakukan. Hasil penelitian lain mengungkapkan resiliensi merupakan proses perkembangan untuk memiliki kemampuan beradaptasi dengan menggunakan sumber dari dalam dan luar diri seseorang agar mencapai kemampuan positif saat menghadapi kesengsaraan atau kemalangan (Yates, Egeland & Sroufe, 2003)

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau dan mengatasi tekanan hidup kemudian menemukan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya serta menunjukan kualitas hidup yang lebih baik.

  2. Aspek-Aspek Resiliensi

  Resiliensi bukan sebuah bakat tetapi kemampuan dasar yang dimiliki semua orang yang harus selalu dikembangkan. Reivich dan Shatte (2002), menguraikan tujuh aspek yang membentuk kemampuan daya lentur atau resiliensi pada diri seseorang yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out.

  1. Regulasi Emosi Rahmawati (dalam Ismuninggar, 2017) menyampaikan bahwa regulasi emosi adalah kemampuan seseorang dalam menata emosi sehingga tetap menunjukan sikap tenang ketika berada dalam situasi yang banyak tekanan. Kemampuan ini sangat nampak dalam diri seseorang ketika kesal, sedih atau marah yang berdampak baik pada proses pemecahan masalah. Kemampuan mengatur, mengawasi, dan mengontrol emosi ketika menghadapi masalah dengan diri sendiri, orang lain atau pekerjaan adalah tanda orang yang mempunyai kecerdasan emosional. Kemampuan mengekspresikan emosi, baik emosi positif maupun negative, secara tepat merupakan bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

  Regulasi emosi menekankan kemampuan seseorang dalam mengendalikan dorongan emosi, baik mengurangi tekanan emosi yang

  Tekanan atau stress yang dialami oleh individu dapat dengan segera dihadapi dan dikelola dengan cara merubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stressor. Individu tersebut tidak selalu mampu menghindari keseluruhan stress yang dialami tetapi ia terdorong untuk dapat menemukan cara untuk membuat diri berada dalam kondisi tenang ketika stress menghadang.

  emosi dan perasaan positif. Regulasi emosi membantu seseorang untuk menyesuaikan emosinya dengan situasi yang dihadapi, menjauhkan dari emosi negatif dan menjaga emosi tetap terkendali. Reivich dan Shatte (2002) menyampaikan bawa regulasi emosi ditandai dengan dua keterampilan yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Dua keterampilan tersebut membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali dengan menunjukan sikap tenang dan tidak mudah terprovokasi oleh keadaan, serta tetap fokus pada usaha menghadapi dan menyelesaikan masalah ketika banyak hal-hal yang mengganggu, hingga sampai pada keberhasilan mengurangi stress yang dialami.

  • Tenang (Calming)

  Keterampilan ini adalah kemampuan untuk meningkatkan kontrol diri terhadap respon tubuh dan pikiran saat berhadapan dengan stress melalui berbagai cara relaksasi. Kegiatan relaksasi dapat mengontrol jumlah stress yang dialami. Beberapa cara yang dapat digunakan mengontrol pernapasan, relaksasi otot serta dengan menggunakan teknik positive imagery, yaitu membayangkan suatu tempat yang tenang dan menyenangkan.

  • Fokus (Focusing)

  Keterampilan diri untuk tetap fokus pada permasalahan yang ada sangat membantu individu menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki ketrampilan fokus mampu menganalisis dan membedakan antara sumber permasalahan yang sebenarnya dengan permasalahan yang justru timbul sebagai akibat dari sumber permasalahan yang sebenarnya. Pada akhirnya keterampilan fokus membantu individu dalam mencari solusi yang tepat. Hal ini tentunya akan mengurangi stres yang dialami oleh individu. Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki kemampuan mengelola emosi akan sangat terbantu dalam usaha mengendalikan kemarahan, kesedihan, perasaan bersalah, keputusasaan, kecemasan bahkan depresi yang tentu saja akan berpengaruh bagi kesehatan fisik dan mental diri serta perkembangan janin dalam kandungan. Kemampuan untuk fokus dan bersikap tenang akan membantu remaja dengan kehamilan di luar pernikahan dalam menemukan cara-cara dan orang-orang yang dapat membantu melewati masa- masa sulit.

2. Pengendalian Impuls

  Kemampuan mengendalikan emosi sangat berhubungan dengan kemampuan mengendalikan impuls dalam diri. Pengendalian impuls merupakan kemampuan untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan atau tekanan dalam diri seseorang. Kemampuan mengendalikan impuls menghindarkan seseorang dari kekakuan pada pola pikir tertentu sehingga dapat mendeteksi efek negatif dari situasi atau keinginan yang muncul (Reivich & Shatte, 2002).

  Reivich & Shatte (2002) mengungkapkan bahwa kemampuan mengontrol dorongan-dorongan dalam diri mencakup kemampuan mengelola tindakan, tindak tanduk dan emosi-emosi dengan cara yang realistis selama mengalami kesengsaraan. Resiliensi bukan kondisi dimana seseorang terbebas dari dorongan-dorongan impul tetapi tentang bagaimana seseorang mampu mempertimbangkan sebelum mengikuti dorongan emosinya. Seorang yang resilien akan mampu melihat secara jernih terhadap dorongan-dorongan keinginan dalam diri agar terhindar dari permasalahan baru yang dapat memperburuk keadaan.

  Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memilliki kemampuan mengontrol dorongan dari dalam diri akan mampu menahan diri sebelum mengambil keputusan akibat dorongan atau keinginan yang muncul hidup, menggugurkan kandungan atau bahkan menyakiti orang yang dianggap sudah merusak kehidupannya. Dia akan melihat lebih dahulu resiko yang akan dihadapi bila memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu tidak hanya mengejar rasa puas semata.

3. Optimisme

  Reivich & State (2002) mengungkapkan orang yang memiliki kemampuan resiliensi adalah pribadi yang optimis dimana dia melihat bahwa masa depannya cemerlang. Sikap optimis menjadi pendukung untuk tetap kuat dan yakin pada harapan di masa depan sehingga seseorang tetap mampu mengendalikan jalan hidupnya. Seorang yang optimis adalah pribadi yang memiliki efikasi diri (self-efficacy) dimana ia selalu yakin dapat menyelesaikan masalah dengan baik serta mengendalikan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh situasi di luar dirinya.

  Reivich dan Shatte (2002) menyampaikan bahwa hasil penelitian tentang sikap optimis secara jelas menunjukan bahwa orang-orang yang memiliki sikap optimis dalam hidup lebih bahagia, lebih sehat dan lebih produktif. Mereka memiliki hubungan yang sehat dengan orang lain, lebih sukses, serta menjadi pribadi yang mampu menyelesaikan masalah dengan lebih baik, dan terhindar dari depresi. Kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki jiwa pesimis yang selalu fokus pada hal-hal negatif dalam hidupnya sehingga tidak dapat melihat masa depan secara baik.

  Keadaan hamil sebelum melakukan pernikahan terlebih dahulu adalah suatu keadaan yang sangat berat bagi remaja. Remaja dengan kondisi tersebut dapat saja merasa hidupnya tak berguna, merasa bersalah dan tak memiliki meraih masa depan. Kemampuan bersikap optimis sangat membantu remaja dengan permasalahan hamil sebelum menikah. Mereka akan memiliki kemampuan melihat masa depan meski sedang berada dalam kondisi sulit dan penuh kesengsaraan. Mereka masih memiliki keyakinan bahwa kesempatan menata hidup, melihat peluang untuk lebih sukses di masa yang akan datang masih menjadi milik mereka.

4. Kemampuan menganalisis Penyebab Masalah (Causal-Analysis)

  Kemampuan menganalisis penyebab masalah membantu individu mengenali dan mengidentifikasi permasalahan secara baik dan akurat.

  Kemampuan ini membantu seseorang menjelaskan hal buruk dan baik yang menimpa dirinya sehingga tidak terkurung pada prasangka buruk. Orang yang tidak memiliki kemampuan menganalisis masalah cenderung membuat kesalahan yang sama. Kemampuan menganalisis penyebab masalah memampukan seseorang untuk fokus pada apa yang harus dilakukan untuk keluar dari kesulitan dan tidak terjebak pada tindakan menyalahkan lingkungan di luar dirinya.

  Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan bahwa usaha mencari penjelasan dari suatu kejadian ditentukan oleh kemampuan menganalisis penyebab sebuah masalah yang muncul, yaitu 1) gaya berpikir personal (saya- bukan-saya), 2) gaya berpikir permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (meluas-tidak meluas).

  Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan dengan dimensi personal “saya” memiliki keyakinan bahwa masalah yang dihadapi bersumber dari dirinya sendiri. Sementara remaja dengan kehamilan di luar nikah dengan dimensi berpikir “selalu” memiliki kecenderungan untuk menjelaskan bahwa masalah yang dihadapi tidak akan bisa diselesaikan dan tidak akan bisa dirubah. Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki gaya berpikir “meluas” akan mampu menjelaskan persoalan atau masalah yang dihadapi sebagai sesuatu yang berdampak bagi kehidupannya.

  Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki kemampuan refleksi “saya, selalu, seluruhnya’ menganggap bahwa persoalan yang muncul bersumber dari dalam dirinya. Sedangkan remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki pandangan “bukan saya, tidak selalu, tidak seluruhnya” berpandangan bahwa penyebab dari persoalan yang muncul berasal dari faktor di luar dirinya.

  Kemampuan remaja melihat dan merespon kehamilannya sangat dipengaruhi oleh caranya melihat dan menganalisis masalah tersebut. Cara menganalisis yang tepat akan mempengaruhi caranya menyikapi melihat dan menganalisis berbagai penyebab dari kesengsaraan yang dialami karena kondisi hamil. Kemampuan menganalisis tersebut membantu remaja tersebut untuk mengambil langkah selanjutnya da menghindari kesalahan yang sama.

  Empati 5.

  Empati adalah kemampuan untuk mengenali berbagai kemungkinan perilaku orang lain yang akan dilakukan. Seorang dengan kemampuan berempati juga mempunyai kepekaan untuk membaca bahasa tubuh orang dan merasakan apa yang orang lain alami atau kondisi emosi orang lain. Pribadi semacam ini akan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain Empati terhadap orang lain adalah merasakan apa yang orang lain rasakan dan mengalami apa yang orang lain alami dari sudut pandang orang lain tanpa kehilangan identitas diri sendiri. Kemampuan berempati adalah kemampuan memposisikan dirinya pada posisi orang lain yang sama-sama mengalami kesulitan, dan keberhasilan orang lain dalam menghadapi kesulitan atau permasalahan (Reivich & Shatte, 2002).

  individu

  Sebaliknya, dengan empati yang rendah akan memiliki pola dari . individu dengan resiliensi yang rendah Individu ini tidak memiliki kemampuan memahami dan menghargai orang lain sehingga mengakibatkan tidak baiknya hubungan dengan orang lain (Reivich & . Shatte, 2002)

  Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki kemampuan berempati mudah memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan terkait dengan perbuatan yang telah dilakukan. Ia menjadi peka pada apa yang orang-orang terdekatnya rasakan, misalnya orang tua dan keluarga dekat lainnya, bayi yang tak berdosa yang berhak untuk hidup. Bagi remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang tinggal di rumah pengungsian, kemampuan berempati akan menjadi dukungan yang baik dalam membangun hubungan dengan residen lain.

  Efikasi Diri (Self-efficacy) 6.

  Efikasi diri merupakan keyakinan bahwa seseorang dapat secara efektif menjalani hidup. Keyakinan ini adalah wujud dari rasa percaya diri bahwa ia mampu mengatasi kesulitan yang akan dihadapi (Reivich & Shatte, 2002). Kemampuan ini menjadi salah satu faktor pendukung dalam resiliensi. Menurut Bandura (dalam Junianto, 2015) individu yang memiliki kemampuan efikasi diri lebih mudah menghadapi tantangan karena memiliki rasa percaya diri yang sehat terkait kemampuan yang dimiliki. Individu ini akan secara efektif menghadapi masalah, bangkit dari kegagalan, kemudian mendapat hidup yang lebih bahagia.

  Individu yang memiliki efikasi diri tinggi saat memiliki persoalan dalam hidup menunjukan komitmen yang tinggi. Individu tersebut menunjukan sikap tidak mudah menyerah saat mengalami kegagalan. Efikasi diri nampak dalam diri seseorang yang memiliki keyakinan bahwa masih ada acara lain yang dapat dilakukan agar dapat keluar dari persoalan yang dihadapi. Efikasi diri juga menjadi salah satu kemampuan yang dimiliki seorang yang resilien.

  Kemampuan efikasi diri pada remaja yang mengalami kehamilan di luar pernikahan dengan percaya diri menghadapi persoalan yang dihadapi, memiliki jiwa yang sehat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan mencari berbagai cara agar keluar dari persoalan yang dihadapi tetapi tidak membuat kesalahan baru. Secara wajar remaja tersebut menunjukan sikap percaya diri bahwa ia mampu melewati kesulitan hidup yang sedang dialami, mencari solusi dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat membantunya. Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan tidak menghabiskan waktu dengan menyalahkan keadaan dan orang di luar dirinya tetapi menunjukan komitmen yang tinggi untuk bertangung jawab atas kesalahan yang dilakukan.

7. Reaching Out

  Reivich dan Shatte (2002) menyampaikan aspek positif dalam hidup merupakan gambaran individu yang resilien. Aspek positif tersebut memampukan seseorang untuk membedakan resiko yang realistis dan tidak realistis. Individu memiliki makna, tujuan dan gambaran hidup yang jelas.

  Reaching out merupakan kemampuan untuk meraih apa yang

  diinginkan, meskipun harus melampaui perkiraan atau batasan kemampuan yang dimiliki sebelumnya. Kemampuan menjangkau keluar ini merupakan sumber internal dalam diri individu untuk melakukan hal yang baru. Kemampuan ini menjadi bagian terpenting bagi individu untuk menemukan hidup yang lebih baik dan tetap optimis meski menghadapi kesulitan hidup.

  Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan berada dalam kondisi sulit. Sikap optimis mencapai cita-cita dan harapan dibalik kesulitan yang dihadapi mendukung mereka dalam melihat peluang dan rencana-rencana baru bagi hidupnya setelah melahirkan bayinya dan optimis menghadapi hidup barunya.

  Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek resiliensi sangat berperan dalam diri seseorang ketika menghadapi persoalan hidup. Aspek-aspek tersebut mendorong seseorang untuk mengatasi persoalan yang dihadapi tanpa merusak diri dan hubungannya dengan orang lain. aspek- aspek positif tersebut akan membantu seseorang untuk tetap merasa bahagia dan percaya diri menatap masa depannya.

3. Ciri-Ciri Orang dengan Resiliensi

  Daya resilien tidak dimaknai sebagai kondisi dimana seseorang hanya mengalami pertumbuhan dan perubahan baru dalam hidup (Mowbray, 2011). Siebert (2005) menguraikan ciri-ciri individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah sebagai berikut: a. Mampu mengatasi perubahan-perubahan dalam hidup

  Hidup pada dasarnya sangat dinamis. Manusia selalu dihadapkan pada perubahan-perubahan yang bisa datang kapan saja dan tidak terduga.

  Pribadi yang resilien selalu mampu mengatasi perubahan dengan tenang dan fokus.

  b. Mampu mempertahankan kesehatan dan energi yang baik.

  Perubahan yang dapat berupa kemalangan atau masalah yang sulit dalam hidup tentu sangat mempengaruhi kesehatan fisik maupun psikologis. Beberapa orang menjadi sangat sedih dan putus asa atau bahkan mengalami simpton patologis. Seorang yang resilien mampu mengatasi situasi sulit dalam hidupnya, menunjukan indvidu yang sehat lahir dan batin untuk melanjutkan kehidupannya. Secara dewasa ia dapat memahami dan membuat pilihan agar tetap dalam kondisi sehat.

  c. Mampu bangkit dari keterpurukan Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan dalam hidupnya, baik yang sebabkan oleh kesalahan sendiri maupun karena orang lain.

  Individu yang memiliki daya resilien memiliki kemampuan untuk d. Mampu mengatasi kesulitan-kesulitan hidup Masalah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup.

  Individu yang resilien memiliki kemampuan menyelesaikan kesulitan hidup dan menemukan kehidupan yang lebih bahagia dari sebelumnya.

  e. Mampu merubah cara berfikir dan cara mengatasi masalah ketika cara yang lama tidak berhasil Seorang yang memiliki daya resiliensi dapat secara kreatif menemukan cara-cara baru dan tidak menunjukan sikap pesimis.

  Seorang yang resilien memiliki keyakinan bahwa terdapat lebih dari satu cara untuk menyelesaikan persoalan hidup ketika cara yang dipilih menemui jalan buntu.

  f. Fokus pada tujuan dan mampu memperhitungkan resiko yang realistis dan tidak realistis.

  Individu yang memiliki daya resilien tidak menggunakan cara-cara tanpa perhitungan. Resiko yang kemungkinan akan muncul akan menjadi dilihat secara baik, tidak membabi buta dan memperhatikan secara seksama apakah resiko tersebut cukup realistis untuk dihadapi atau harus dihindari.

4. Sumber-sumber Resiliensi

  Selain aspek-aspek yang diuraikan oleh Reivich dan Shatte, Grotberg (1999) menjelaskan dalam teori resiliensinya bahwa terdapat tiga sumber pada individu yang dapat membangkitkan daya resiliensi. Ketiga sumber tersebut adalah mengetahui siapa diri mereka (I AM), apa yang mereka miliki (I HAVE), dan apa yang dapat mereka lakukan (I CAN). Sumber resiliensi tersebut menjadi daya dukung bagi individu dalam menghadapi kesulitan atau kesengsaraan yang dihadapi.

  Sumber kekuatan pribadi (I Am) merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri seseorang. Kekuatan tersebut meliputi perasaan dicintai dan perilaku yang menarik, sikap dan keyakinan diri dan harga diri, bangga pada diri sendiri, optimisme, kreatifitas, otonomi diri dan tanggung jawab, mencintai, empati dan jiwa altruistik. Kemampuan ini ditandai dengan adanya usaha individu untuk selalu mencintai orang lain dan bersikap agar orang lain mencintainya. Selain memiliki kebanggaan pada diri, individu tersebut memiliki sikap emphati dan peduli pada orang lain. kemampuan-kemampuan tersebut mendukung individu untuk memiliki rasa percaya diri dalam menghadapi kesulitan dan kepahitan hidup, tidak tergantung pada orang dan memiliki kesiapan menghadapi konsekwensi dari keputusannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Selain itu, individu juga dipenuhi dengan semangat hidup yang selalu ada harapan dalam situasi apapun serta berusaha untuk selalu setia dalam pilihan hidupnya dalam moralitas dan keimanan.

  Apa yang dimiliki (I Have) adalah sumber resiliensi dari luar diri seseorang. I Have berupa dukungan, cinta, perhatian dan penerimaan dari orang- orang yang dekat dengan kehidupan seseorang seperti orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman. I Have ditunjukan dalam sebuah hubungan yang sehat dengan orang-orang di sekitarnya, seperti keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan yang lebih luas. Dukungan dari luar individu sangat bermakna dalam membangun kemandirian, rasa percaya diri, tanggung jawab dan keinginan memahami dan berempati dengan orang lain

  Sumber ketiga adalah apa yang dapat mereka lakukan (I Can). I Can berupa kemampuan untuk mengelola perasaan dan impuls dari dalam diri, membangun hubungan yang sehat dengan orang lain, mengenali emosi diri dan orang lain serta yang terpenting adalah kemampuan memecahkan masalah.

  Kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan dasar untuk mengidentifikasi sebuah masalah dan kemudian menentukan langkah selanjutnya agar masalah tersebut dapat diselesaikan (Kim dan Choi, 2014). Kirkley, (2003) menegaskan kemampuan memecahkan masalah melibatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi seperti visualiasi, asosiasi, abstraksi, manipulasi, penalaran, analisis, sintesis, dan generalisasi (Mahmudi, 2008). Resiliensi tidak harus secara utuh memiliki ketiga sumber tersebut tetapi bila hanya memiliki satu saja tentu tidak cukup. Resiliensi bersumber pada ketiga hal tersebut yang masing-masing saling mendukung satu sama lain.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber resiliensi dapat ditemukan dari dalam diri seseorang dan dukungan dari orang lain. Pribadi yang resilien tidak perlu mendapat ketika sumber tersebut. Salah satu sumber mencapai dan meningkatkan resiliesi salah satunya dipengaruhi oleh kecerdasan kognitif seseorang sebagai salah satu sumber untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

B. Remaja

1. Pengertian Remaja

  Peraturan Menteri Kesehatan No. 25 Tahun 2014 mendefinisikan remaja adalah penduduk dengan rentang usia 10-18 tahun. Sementara BKKBN menyebut remaja adalah mereka yang berusia 10-24 tahun dan belummenikah (depkes.go.id). Hurlock (1981) menyebutkan remaja adalah mereka yang berusia 12 hingga 18 tahun. Monks, Knoers dan Haditono (2000) memberi batasan usia remaja pada usia 12 sampai 21 tahun. WHO memberi batasan usia remaja antara 10-20 tahun.

  Bapak Psikologi Remaja, Stanley Hall menyebutkan rentang usia remaja lebih panjang dibanding para ahli lain, yaitu usia 12-23 tahun (Santrock, 2013).

  Konopka (dalam Yusuf, 2011) membagi masa remaja dalam tiga fase, antara lain

  Remaja Awal (12-15 tahun), Remaja Madya (15-18 tahun), dan Remaja Akhir (19-22 tahun).

  Berdasarkan uraian tentang remaja di atas, secara kronologis dapat dikatakan bahwa berakhirnya masa remaja terdapat perbedaan yang cukup bervariasi tetapi hampir semua ahli memiliki kesamaan pendapat tentang dimulainya masa remaja. Pada penelitian ini, peneliti membatasi masa remaja adalah mereka yang berusia 12-23 tahun sebagaimana disampaikan oleh Stanley Hall (dalam Santrock, 2013).

   Karakteristik Remaja 2.

  Remaja berada dalam tahap peralihan yaitu dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Remaja sedang mengalami perubahan yang cepat dan banyak di berbagai aspek, khususnya fisik, sosial dan emosional. Perkembangan fisik ditandai dengan ternyadinya proses pematangan dan berfungsinya alat reproduksi pada organ seksual remaja (Sarwono, 2001). Hurlock (2013) menyebutkan bahwa masyarakat umum menyebut masa pematangan alat reproduksi tersebut sebagai masa pubertas dimana seseorang sedang berada dalam proses pemasakan organ- organ seksual. Tidak ada lagi tanda-tanda biologi yang berarti yang menandai berakhirnya masa remaja tetapi faktor-faktor sosial biasanya digunakan untuk

  Pada aspek sosial-emosional, remaja berada di tahap “sense of identity vs

  

role confusion” (Yusuf, 2006). Proses pencarian jati diri berkembang seiring

  dengan kesadaran remaja akan sangat pentingnya pandangan orang lain terhadap keberadaannya. Remaja sangat ingin diakui, melakukan berbagai hal untuk memperkuat kepercayaan diri, dan menegaskan kemandirian (Agustiani, 2006). Menurut Oswelt (dalam Herlina, 2011) remaja mengalami perkembangan yang lebih mendalam dalam membangun hubungan dengan orang lain dibanding pada masa anak-anak. Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan diri tetapi disisi lain masih takut dan ragu-ragu untuk bertanggung jawab untuk mengatasi persoalan yang dihadapi (Hurlock, 1981).

  Bapak Psikologi Remaja, Stanley Hall, menyebut masa remaja adalah masa “storm and stress". Masa tersebut ditandai dengan situasi dimana remaja mengalami kegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan pada orang tua. Masa badai dan stress banyak terjadi pada tiga hal utama yaitu konflik dengan orang tua, mood yang sangat mudah berubah serta perilaku yang beresiko, misalnya terlibat dalam tindakan kenakalan remaja, masalah-masalah emosional dan kehamilan (Arnett, 2015).

  Hurlock (1981) menguraikan bahwa otak remaja sedang dalam tahap perkembangan dimana ketrampilan kognitif baru akan muncul. Terjadi peningkatan sambungan saraf di otak tetapi tidak dibarengi dengan kematangan emosi. Otak lebih mengandalkan sistem limbik yang mendahulukan emosi Sistem limbik mengambil peran lebih banyak dibanding korteks pre-frontal yang berhubungan dengan kemampuan perencanaan, pengendalian dorongan dan daya nalar yang lebih tinggi. Johnson (2009) mengungkapkan “"The brain continues to

  

change throughout life, but there are huge leaps in development during

adolescence," diungkapkan bahwa otak manusia terus berubah sepanjang hidup

  tetapi terjadi lompatan besar pada masa remaja. Pada tahap tersebut terjadinya perubahan hormonal sehingga terjadi dinamika emosi yang lebih intens, misalnya kemarahan, ketakutan, agresi, kegembiraan dan daya tarik seksual (Johnson, 2012).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah manusia yang sedang berada di tahap sangat kritis dimana mereka memasuki tahap meninggalkan masa anak-anak untuk menjadi manusia dewasa. Terdapat berbagai perkembangan yang banyak dan cepat yang kemudian sangat mempengaruhi perilaku remaja. Keberhasilan atau kegagalan remaja menjalani masa transisi akan mempengaruhi kehidupan di masa dewasa.

3. Tugas Perkembangan Remaja

  Havinghurst (1972) mendefinisikan tugas perkembangan sebagai hal yang muncul pada satu periode kehidupan, sebuah pencapaian yang akan menuntun manusia pada kebahagiaan dan kesuksesan di tugas perkembangan selanjutnya. Tugas perkembangan berhubungan dengan domain sikap, perilaku dan ketrampilan yang seharusnya dimiliki oleh semua individu sesuai usia dan tahap perkembangannya (Yusuf, 2011) Terdapat tiga sumber pada tugas perkembangan menurut Havighurst

  (1972), pertama tugas perkembangan yang muncul dari kematangan fisik seperti belajar berjalan, belajar berbicara dan sikap menerima perbedaan jenis kelamin di masa remaja, menyesuaikan atau menyiapkan diri memasuki masa menopause di usia pertengahan; kedua disebut oleh Havighurst (1972) sebagai tugas perkembangan dari sumber-sumber diri seseorang. Sumber-sumber diri seseorang dipandang sebagai sumber yang berasal dari dalam diri seseorang. Salah satu contoh dari sumber-sumber diri sesorang adalah munculnya kematangan kepribadian dan pembentukan nilai dan cita-cita, belajar berbagai ketrampilan yang diperlukan untuk bekerja; sumber ketiga adalah tugas perkembangan dimana seseorang menggunakan sumber-sumber dalam dirinya di tengah masyarakat, misalnya belajar membaca atau mempelajari peran apa yang dapat diambil sebagai bentuk tanggung jawab sebagai warga Negara

  Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurts (dalam Monks, 2001), adalah :

  a. Mencapai relasi baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik teman perempuan maupun laki-laki b. Mencapai peran di masyarakat sebagai seorang pria maupun wanita

  c. Menerima kondisi fisik dan menggunakannya secara efektif d. Mencapai kebebasan emosional dari orang tua maupun orang dewasa lainnya e. Menyiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga

  f. Menyiapkan diri untuk berkarir

  g. Belajar seperangkat nilai dan adat istiadat sebagai dasar untuk bertindak dan mengembangkan ideology h. Mulai memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam aktivitas kemasyarakatan dan politik

C. Kehamilan di Luar Pernikahan

1. Definisi Kehamilan di Luar Pernikahan

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hamil adalah saat dimana wanita mengandung janin dalam rahim karena sel telur dibuahi oleh spermatozoa.

  Seseorang benar-benar dikatakan hamil hanya ketika terjadi proses implant yang telah lengkap. Proses implant adalah saat dimana sebuah telur yang subur telah ditanam di dalam uterus atau rahim wanita (Gold, 2005). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (2015) mendefinisikan hamil adalah keluarnya sel telur matang pada saluran telur lalu bertemu dengan sperma.

  Kehamilan dimaknai sebagai tumbuhnya janin di dalam rahim seorang perempuan. Kehamilan pada manusia berkisar 40 minggu atau 9 bulan, dihitung dari awal periode menstruasi terakhir sampai melahirkan (Sarwono, 2001). Kehamilan adalah dikandungnya janin hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma (Kushartanti, 2004).

  Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 Perkawinan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kartono (1992) perkawinan atau pernikahan diuraikan sebagai peristiwa sepasang mempelai atau sepasang laki-laki dan perempuan yang dipertemukan secara resmi di hadapan penghulu/ kepala agama tertentu, saksi dan hadirin, dan diresmikan sebagai suami-istri dengan ucapan dan tata cara tertentu.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kehamilan di luar pernikahan adalah hadirnya janin di dalam rahim seorang perempuan sebelum secara resmi disahkan sebagai suami istri sesuai undang-undang yang berlaku di Indonesia.

  Dinamika Resiliensi pada Remaja dengan D.

  

Kehamilan di Luar Pernikahan

  Zulkifli (2005) pada saat menuju masa dewasa, remaja mengalami perubahan-perubahan, salah satunya adalah perubahan fisik. Kematangan organ reproduksi tersebut ditandai dengan munculnya ciri kelamin primer dan pertumbuhan kelenjar-kelenjar seks. Perubahan pada diri remaja tersebut keinginan untuk mencoba hal baru sekaligus memenuhi rasa ingin tahu dalam bentuk membangun hubungan dengan lawan jenis hingga perilaku seksual pranikah. Perilaku seksual pranikah adalah semua bentuk tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh individu dengan individu lain sebelum menikah. Hurlock (2002) mengungkapan perilaku seksual pranikah adalah salah satu bentuk ungkapan tingkah laku atau rasa cinta yang dilampiaskan dimulai pada tahap berdekatan, berciuman sampai melakukan senggama tanpa adanya ikatan pernikahan.

  Sulistyana (2007) menjelaskan bahwa hamil di luar nikah sulit diterima oleh masyarakat. Kehamilan menjadi sebuah aib dan masalah besar bagi diri remaja, keluarga dan orang-orang terdekatnya. Masyarakat Indonesia masih memandang remaja yang hamil di luar nikah sebagai pribadi dengan perilaku yang menyimpang di masyarakat. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (dalam Bungin, 2001) menjelaskan penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.

  Hidayana (2004) mengungkapan kondisi hamil di luar pernikahan berakibat negatif bagi perkembangan psikologis dan sosial. Remaja akan mengalami dikucilkan, stigma, diskriminasi, trauma, kehilangan banyak hak, mengalami depresi, dan sebagainya. Reivich dan Shatte (2002) mengungkap beberapa emosi yang pada umumnya dialami oleh remaja yang mengalami kehamilan di luar pernikahan, yaitu rasa sedih dan depresi, perasaan mengalami perubahan mood yang kuat, cepat dan sering, perasaan mudah tersinggung, kesepian, pola tidur dan nafsu makan yang bermasalah, putus asa dan juga bingung. Respon remaja dalam menghadapi kesengsaraan akibat kehamilan yang dialami berbeda-beda. Siebert (2005) mengungkapkan bahwa reaksi tiap individu dalam menghadapi persoalan atau perubahan dalam hidup berbeda-beda. Terdapat individu yang menghadapi persoalan dengan sikap emotional bahkan kecenderungan melakukan kekerasan dengan menyakiti orang lain, ada individu yang pasrah dan merasa tidak berdaya (helpless) menghadapi persoalan dan perubahan dalam hidup. Namun ada individu yang berani menghadapi persoalan, beradaptasi dengan kenyataan dan menjadi individu yang lebih kuat serta menemukan kehidupan yang lebih baik.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja dengan kehamilan di luar pernikahan memiliki dinamika resiliensi yang berbeda satu sama lain. Remaja dengan persoalan yang sama, dapat saja menunjukan respon yang berbeda. Beberapa ada yang berupaya keras untuk keluar dari kesulitan bahkan menemukan kehidupan yang lebih baik tetapi beberapa menunjukan sikap menyerah atau hanya sekedar bertahan saja.

E. Pertanyaan Penelitian

  Penelitian ini hendak melihat dari dekat kehidupan remaja di sebuah rumah pengungsian yang berada di Kota Y memiliki layanan khusus yaitu Kehamilan di luar pernikahan atau yang terjadi tanpa dilalui dengan proses pengesahan secara agama maupun negara melahirkan penderitaan yang mendalam bagi para remaja. Penderitaan yang dialami akibat kehamilan diterima secara berbeda oleh setiap remaja yang tinggal di rumah pengungsian tersebut. Beberapa nampak cukup kuat dan optimis menghadapi masa depan tetapi ada juga remaja yang menunjukkan sikap pesimis dan putus asa. Terkait respon yang berbeda tersebut peneliti berminat untuk melihat bagaimana gambaran resiliensi pada remaja yang dipilih dalam penelitian. Maka peneliti mengajukan pertanyaan penelitian yaitu bagaimana gambaran resiliensi pada remaja dengan kehamilan di luar pernikahan?