BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Elmalana BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu

  1. Berdasarkan penelitian (Suarniti, 2017) Studi Fenomenologi : faktor-

  faktor yang menyebabkan wanita usia subur tidak menjalani deteksi kanker serviks dengan tes inspeksi visual asam asetat (IVA) di Provinsi Bali tahun 2017, didapatkan hasil bahwa inspeksi visual dengan asam

  asetat (IVA) sebagai tes skrining baru, telah banyak dievaluasi keakuratannya. Informasi dan penerimaan masih terbatas, serta setiap pengalaman negatif terkait dengan tes tersebut dapat mengurangi motivasi seseorang untuk menjalaninya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Bali ada beberapa pernyataan yang dikatakan oleh responden, diantaranya : a. Alasan seorang WUS tidak menjalani deteksi kanker serviks dengan tes IVA karena aktivitas ibu rumah tangga yang sangat sibuk sehingga waktu dalam sehari masih dianggap kurang untuk menyelesaikan pekerjaannya. Selain itu, wanita Bali juga sibuk dengan kegiatan keagamaan diantaranya menyiapkan sajen dan mebaten (sembahyang menggunakan sarana canang) yang harus dilakukan setiap hari.

  b. Wanita merasa takut untuk melakukan tes karena menganggap pemeriksaannya lama dan sakit, merasa malu karena harus membuka celana dalam dan takut jika mengetahui hasil pemeriksaan positif.

  c. Wanita di daerah pedesaan mempunyai ketergantungan yang cukup tinggi dengan suami, terutama dalam hal pemeliharaan kesehatan, pengambilan keputusan, mendapatkan sarana pendukung seperti finansial dan transportasi. Suami di dalam keluarga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan dan biaya.

  d. Masih ada pandangan dan pendapat masyarakat tentang pelaksanaan program yang belum optimal, terutama dari sudut promosi kesehatan dan sumber informasi terkait program. Promosi kesehatan terkait pengawasan program, frekuensi sosialisasi, penjatahan dan pembatasan peserta, sedangkan sumber informasi meliputi media informasi dan penyuluhan yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan. Dukungan dari pihak desa juga dirasakan belum optimal.

  2. Berdasarkan penelitian (Kurniawati, 2015) dengan judul Pengaruh

  

Pengetahuan, Motivasi dan Dukungan Suami terhadap Perilaku

Pemeriksaan IVA pada Wanita Usia Subur di Puskesmas Kedungrejo

  tahun 2015 : penelitian ini merupakan penelitian observasional kuantitatif dengan pendekatan Cross sectional, dengan jumlah sampel yaitu wanita usia subur sebanyak 61 orang. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa mayoritas dukungan suami pada kategori baik yaitu sebanyak 35 orang (57,4%).

  3. Berdasarkan penelitian sebelumnya yaitu Knowledge and Acceptability

  

of Cervical Cancer Screening Among Women in Ngombe Community ,

Lusaka tahun 2011, penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif

  non eksperimental dan dengan menggunakaan desain penelitian deskriptif. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 50 orang dengan usia diatas 35 tahun. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu tingkat penerimaan dari skrining kanker serviks sebesar 32% dari total sampel. Rata-rata tingkat pendidikan tertinggi yang ditempuh responden adalah tingkat primer yaitu sebesar 60% dari total sampel. Kemudian pada faktor pengetahuan, sebesar 92% responden atau sekitar 46 orang menyatakan pernah mendengar tentang kanker serviks dan sebesar 83% dari mereka mendapatkan informasi tersebut dari fasilitas kesehatan. Sebesar 68% responden mengetahui bagaimana kanker serviks dapat dideteksi sedangkan 32% lainnya tidak mengetahui bagaimana mendeteksi kanker serviks dan sebesar 85% responden memilih mendeteksi menggunakan skrining

  IVA dan melakukan skrining di fasilitas kesehatan. Lalu alasan responden tidak melakukan skrining untuk kanker serviks adalah dikarenakan malas dengan persentase 29% dari total sampel. Persamaan penelitian yang akan dilakukan yaitu pada variabel yang digunakan seperti faktor pengetahuan dan pendidikan, kemudian menggunakan alat instrumen yang sama yaitu kuesioner. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah metode yang digunakan, penelitian dilakukan menggunakan desain analitik dengan pendekatan cross sectional, kemudian perbedaan wilayah karena penelitian ini dilakukan di wilayah Purwokerto Timur sedangkan penelitian sebelumnya dilakukan di komunitas Ng’ombe Lusaka. Variabel yang digunakan selain, pengetahuan dan pendidikan, terdapat faktor tambahan seperti dukungan suami.

B. Landasan Teori 1. Kanker Serviks a. Anatomi serviks

  Serviks adalah leher rahim berbentuk silinder jaringan yang menghubungkan vagina dan uterus. Serviks terbuat dari tulang rawan yang ditutupi oleh jaringan halus, lembap, dan tebalnya sekitar 1 inci. Ada dua bagian utama dari serviks, yaitu ektoserviks dan endoserviks (Rahayu, 2015).

Gambar 2.1 Anatomi Leher Rahim ( Riksani, 2016) Bagian serviks yang dapat dilihat dari luar selama pemeriksaan ginekologi dikenal sebagai ektoserviks. Ektoserviks adalah bagian serviks yang menonjol kearah vagina disebut portio vaginalis atau ektoserviks. Panjang rata-rata portio adalah 3 cm dan lebar 2,5 cm. portio dibagi menjadi bibir anterior dan bibir posterior. Pembuka di pusat ektoserviks, dikenal sebagai os eksternal, membuka untuk memisahkan bagian antara uterus dan vagina. Endoserviks atau kanal endoserviks adalah sebuah terowongan melalui serviks, dari os eksternal ke dalam uterus. Selama masa praremaja, endoserviks terletak di bagian serviks. Perbatasan tumpang tindih antara endoserviks dan ektoserviks disebut zona transformasi. Serviks menghasilkan lendir serviks yang konsistensi atau kekentalannya berubah selama siklus menstruasi untuk mencegah atau mempromosikan kehamilan (Rahayu, 2015).

b. Pengertian Kanker Serviks Setiap sel dalam tubuh manusia mempunyai bentuk khas.

  Namun, pada dasarnya sel mempunyai tingkah laku sama, yaitu membentuk sel-sel baru dengan cara membelah, masa hidupnya tertentu, dan kemudian mati atau rusak. Pembelahan sel hanya terjadi di bagian tubuh yang memerlukan, misalnya saat terjadi luka. Untuk menutup luka tersebut, terjadilah peningkatan pembelahan sel. Pembelahan sel ini diatur oleh faktor keturunan (genom) yang terdapat dalam inti sel tubuh. Genom mengatur keseimbangan faktor pemacu dan penghambat pembelahan sel. Genom dapat mengalami perubahan/mutasi sehingga terjadi kekeliruan dalam pengaturan pembelahan sel (Kartikawati, 2013).

  Oleh sebab-sebab tertentu, genom mengalami perubahan sehingga terjadi mutasi sel. Sel mengalami pembelahan yang tidak sewajarnya (abnormal). Segala sesuatu yang menyebabkan sel abnormal ini dinamakan karsinogen. Sel-sel abnormal mengalami pembelahan terus-menerus dalam waktu yang lebih cepat sehingga tumbuh berjejal-jejal dan membentuk benjolan. Sel abnormal yang mengalami pembelahan terlalu cepat ini dinamakan tumor. Tumor dapat timbul di semua bagian tubuh, misalnya kulit, paru-paru, lambung, dan bagian tubuh lainnya (Kartikawati, 2013).

  Tumor dibedakan menjadi dua macam, yaitu tumor jinak dan tumor ganas. Pada tumor jinak, sel-sel yang mengalami pembelahan terus-menerus terjadi di tempat asal sel dan dalam waktu yang relatif lebih lambat. Tumor jinak berselaput pembungkus sehingga relatif tidak berbahaya dan mudah dioperasi. Pada tumor ganas, sel-sel yang mengalami pembelahan terus- menerus dapat berpindah tempat ke bagian lain di dalam tubuh dan membentuk tumor baru (mengalami metastasis). Waktu pembelahan sel-sel pada tumor ganas lebih cepat dibandingkan pada tumor jinak. Tumor ganas sering disebut juga kanker (Kartikawati, 2013).

  Kanker serviks adalah keganasan dari serviks yang ditandai dengan adanya perdarahan lewat jalan lahir di mana tanda dan diagnosis pasti bisa ditegakkan dengan menggunakan Pap smear (Prawiroharjo, 1994). Kanker serviks adalah suatu proses keganasan yang terjadi pada serviks, di mana dalam keadaan ini terdapat sekelompok sel yang abnormal sehingga jaringan tubuh tidak dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya. Kanker serviks adalah pertumbuhan sel-sel abnormal pada serviks di mana sel-sel normal berubah menjadi sel kanker. Perubahan ini biasanya memakan waktu 10-15 tahun sampai kanker terjadi 80% dari wanita yang berisiko terinfeksi oleh HPV, hingga 50% dari mereka akan terinfeksi oleh HPV sepanjang masa hidupnya (Rahayu, 2015).

  Kanker dapat menyerang jaringan tubuh wanita, salah satunya yaitu serviks. Serviks yang sudah terkena kanker maka dapat menjadi organ yang mematikan, meskipun pada awalnya serviks tersebut berfungsi dengan normal. Selain berasal dari sel- sel di leher rahim, kanker serviks juga dapat berasal dari sel-sel mulut rahim ataupun keduanya (Arum, 2015).

c. Mekanisme Kanker Serviks

  Menurut Imam Rasjidi (2010), kanker serviks pada awalnya berupa lesi prakanker, kemudian berkembang secara bertahap dan pada akhirnya berubah menjadi kanker. Lesi prakanker disebut juga displasia, sebagian besar kasus displasia sel serviks sembuh dengan sendirinya, sementara hanya sekitar 10% yang berubah menjadi displasia sedang dan berat. Dengan tidak adanya upaya pencegahan yang dilakukan pada tahap awal atau pada masa perkembangan, maka yang awalnya hanya prakanker dapat berubah menjadi kanker secara bertahap bahkan menjadi ganas, namun membutuhkan waktu 10-20 tahun untuk menjadi ganas. Penyakit ini tidak hanya menyerang permukaan leher rahim, tetapi juga akan berkembang pada jaringan lain yang berada di dekatnya. Karena sel-sel kanker mempunyai sifat yang dapat menyebar dengan melepaskan diri dari lokasi aslinya, sel-sel kanker dapat masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh getah bening yang bercabang ke semua jaringan di dalam tubuh. Hal ini menyebabkan terbentuknya tumor baru yang dapat merusak jaringan-jaringan tersebut. Penyebaran kanker ini disebut metastasis.

  Kanker serviks disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) dimana virus ini dapat menyerang bagian kulit dan membran mukosa manusia dan hewan. Namun sebanyak 99,7%

  

Human Papilloma Virus menyerang leher rahim sehingga

  menyebabkan kanker serviks. Adanya infeksi dari virus HPV tersebut menyebabkan tumbuhnya kutil. Virus ini sangat mudah menular melalui hubungan seks. Menurut WHO, infeksi ini merupakan faktor risiko utama kanker leher rahim. Setiap tahun, ratusan ribu kasus HPV terdiagnosis di dunia dan ribuan wanita meninggal karena kanker serviks, yang disebabkan oleh infeksi itu (Rasjidi, 2010).

d. Tanda dan Gejala Kanker Serviks

  Infeksi HPV dan kanker serviks pada tahap awal berlangsung tanpa gejala. Bila kanker sudah mengalami progresivitas atau stadium lanjut, maka gejalanya dapat berupa : 1) Keputihan : makin lama makin berbau busuk dan tidak sembuh-sembuh, terkadang tercampur darah. 2) Perdarahan kontak setelah sanggama merupakan gejala serviks 75-80%. 3) Perdarahan spontan : perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah dan semakin lama semakin sering terjadi. 4) Perdarahan pada wanita usia menopause. 5) Anemia 6) Gagal ginjal sebagai efek dari infiltrasi sel tumor ke ureter yang menyebabkan obstruksi total. 7) Perdarahan vagina yang tidak normal a) Perdarahan di antara periode regular menstruasi.

  b) Periode menstruasi yang lebih lama dan lebih banyak dari biasanya.

  c) Perdarahan setelah hubungan seksual atau pemeriksaan panggul.

  d) Perdarahan pada wanita pada usia menopause. 8) Nyeri

  a) Rasa sakit saat berhubungan seksual, kesulitan atau nyeri dalam berkemih, nyeri di daerah sekitar panggul.

  b) Bila kanker sudah mencapai stadium III ke atas, maka akan terjadi pembengkakan di berbagai anggota tubuh seperti betis, paha, dan sebagainya (Rahayu, 2015).

e. Stadium Perkembangan Kanker Serviks

  Kanker serviks dimulai dengan terinfeksinya leher rahim dengan virus HPV, yaitu virus utama yang menyebabkan kanker serviks. Dalam perkembangannya yang memakan waktu hingga 20 tahun, virus yang awalnya hanya menginfeksi leher rahim akan berubah menjadi sel kanker yang mematikan. Tapi tidak semua infeksi HPV berkembang menjadi kanker serviks. Sebagian besar infeksi HPV (sekitar 50-70%) menghilang melalui respons imun alamiah setelah melalui masa beberapa bulan hingga dua tahun. Meskipun tidak semua tetapi banyak kasus yang menyatakan bahwa infeksi akibat HPV tipe onkogenik yang tidak menghilang akan terus berkembang menjadi kanker serviks, dan hal ini banyak sekali terjadi pada wanita-wanita di dunia (Arum, 2015).

  Diperkirakan bahwa dari setiap satu juta wanita yang terinfeksi HPV tipe onkogenik, hampir 10% akan menjadi perubahan sel serviks prakanker (dysplasia serviks). Dari angka tersebut, sekitar 8% akan mengalami perubahan prakanker pada sel-sel yang terdapat di permukaan serviks, dan dari jumlah tersebut, kurang lebih 20% nya akan terus berkembang menjadi kanker serviks apabila dibiarkan. Sehingga dengan melihat hal tersebut, maka ditemukan tiga pola utama pada prakanker, dimulai dengan infeksi pada sel serta perkembangan sel-sel abnormal yang dapat berlanjut menjadi intraepithelial neoplasia dan akhirnya menjadi kanker serviks (Arum, 2015).

  Perkembangan kanker serviks ini akan semakin jelas dengan adanya stadium kanker serviks. Stadium adalah istilah yang digunakan oleh dokter untuk menggambarkan ukuran kanker serta dimana dan sejauh mana kanker tersebut telah menyebar. Sehingga akan diketahui bagaimana kondisi leher rahim saat stadium awal dan bagaimana kondisinya pada stadium akhir, selain itu dengan adanya stadium biasanya dokter akan lebih mudah untuk menentukan jenis pengobatan yang cocok menurut stadiumnya tersebut. FIGO (Internasional Federation of Gynaecology and

  Obstetrics ) adalah salah satu lembaga atau badan yang telah

  mengeluarkan pembagian stadium kanker serviks, sehingga sistem inilah yang umumnya digunakan dalam pembagian kanker serviks. Pada sistem ini, angka romawi 0 sampai IV menggambarkan stadium kanker (Arum, 2015). 1) Stadium 0

  Stadium 0 ini disebut juga dengan sebuah carcinoma in

  

situ , karena pada stadium ini sel-sel kanker belum menyebar ke

  jaringan lain. Kanker masih kecil dan hanya terbatas pada permukaan serviks. Selain itu, kanker hanya ditemukan di lapisan atas dari sel-sel pada jaringan yang melapisi serviks. Angka harapan hidup penderita kanker stadium ini dalam lima tahun adalah 100% (Arum, 2015). 2) Stadium I

  Karsinoma yang hanya menyerang serviks (tanpa bisa mengenali ekstensi ke corpus). Meskipun pertumbuhan kanker hanya terbatas pada serviks, namun infeksinya sudah mulai menyerang serviks di bagian bawah lapisan atas dari sel-sel serviks dan ini ditemukan hanya di leher rahim. Angka harapan hidup penderita kanker stadium ini dalam lima tahun adalah 85%. Ada dua bagian dari stadium I yaitu, stadium 1 A dan stadium 1 B.

  a) Pertama, stadium IA : Karsinoma invasif yang hanya didiagnosis melalui pemeriksaan mikroskopis, kedalaman invasi < 5 mm dan ekstensi terluas > 7 mm.

  Stadium IA1 : Invasi stroma sedalam < 3 mm dan seluas < 7 mm. Meskipun perkembangannya sudah mulai meluas, namun dokter tidak dapat melihat sel kanker ini tanpa bantuan mikroskop. Stadium IA2 : Invasi stroma sedalam > 3 mm dan seluas > 7 mm. b) Kedua, stadium IB : Lesi yang Nampak secara klinis, terbatas pada serviks uteri atau kanker preklinis yang lebih besar daripada stadium IA.

  Stadium IB1 : Lesi yang nampak < 4 cm. pada stadium ini, dokter sudah mulai dapat melihat kanker dengan mata telanjang karena ukuran sel kanker kian membesar. Stadium IB2 : Lesi yang nampak > 4 cm. pada stadium ini, dokter juga sudah bisa melihatnya dengan mata telanjang (Arum, 2015). 3) Stadium II

  Pada stadium ini, karsinoma yang menginvasi dekat uterus, tapi tidak menginvasi dinding pelvis atau sepertiga bawah vagina. Lokasi kanker pada stadium ini meliputi serviks dan uterus, namun belum menyebar ke dinding pelvis atau bagian bawah vagina dan tidak mencapai dinding panggul. Kanker menyebar melewati leher rahim menyerang jaringan- jaringan di sekitarnya. Angka harapan hidup penderita kanker stadium ini dalam lima tahun adalah 50-60% (Arum, 2015).

  Stadium II ini terbagi dalam dua bagian, yaitu II A dan

  II B. II A adalah kondisi di mana kanker meluas sampai ke atas vagina, tapi belum menyebar lebih dalam dari vagina. Kanker tidak menginvasi ke parametrium (jaringan penyambung), namun melibatkan 2/3 bagian atas vagina. Pada IIA1, lesi yang nampak < 4 cm sedangkan pada IIA2, lesi yang nampak > 4 cm. Sementara itu, stadium II B adalah kondisi di mana mulai nampak invasi ke parametrium namun tidak melibatkan dinding samping panggul (Arum, 2015). 4) Stadium III

  Tumor meluas ke dinding pelvis dan/atau melibatkan sepertiga bawah vagina dan/atau menyebabkan hidronefrosis atau merusak ginjal. Selain itu, kanker mungkin juga telah menyebar ke simpul-simpul getah bening yang berdekatan. Angka harapan hidup penderita kanker pada stadium ini dalam lima tahun adalah 30% (Arum, 2015).

  Tahap perkembangan kanker pada stadium III ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu IIIA dan IIIB. Kondisi sel kanker IIIA adalah saat di mana kanker telah melibatkan sepertiga bawah vagina, tanpa ekstensi ke dinding pelvis. Dalam stadium ini, kanker telah meluas sampai ke dinding samping panggul. Sedangkan pada stadium IIIB, sel kanker telah meluas sampai dinding samping vagina. Hal ini, akan menghambat proses berkemih, sehingga menyebabkan timbunan air seni di ginjal dan berakibat gangguan ginjal. Stadium ini telah mulai merusak ginjal (Arum, 2015). 5) Stadium IV

  Ini adalah stadium akhir kanker dimana kondisi kanker sudah sangat parah. Karsinoma telah meluas ke pelvis sejati atau telah melibatkan mukosa kandung kemih atau rectum dan meluas melampaui panggul. Angka harapan hidup penderita kanker stadium ini dalam lima tahun sangatlah kecil, yaitu sekitar 5% (Arum, 2015).

  Pada IVA , pertumbuhannya menyebar ke organ-organ sekitarnya, sementara IVB adalah kondisi di mana sel kanker menyebar ke organ yang lebih jauh seperti paru-paru, hati dan tulang. Ini tentu saja menjadi kondisi yang sangat parah bagi pasien. Oleh karena itu, pencegahan dan pengobatan sebaiknya dilakukan pada stadium awal sehingga tidak akan terlalu kesusahan untuk mengobatinya, selain itu angka harapan hidup dan sembuhnya akan lebih besar. Karena pada stadium awal sangat sulit untuk dideteksi, maka sebaiknya memeriksakan diri ke dokter atau melakukan tes Pap smear atau tes lainnya untuk mendeteksi kanker serviks (Arum, 2015).

2. Pemeriksaan Serviks (skrining)

  Menurut Imam Rasjidi (2010), skrining adalah sebuah proses untuk mengidentifikasi suatu penyakit atau kelainan yang tidak dikenal, melalui tes yang dilakukan secara cepat pada lingkup yang luas. Melalui skrining, orang-orang yang sehat dan sakit dapat dibedakan dengan jelas. Kegiatan skrining bukan hanya dibatasi pada diagnosis penyakit saja melainkan diikuti dengan tindak lanjut dan perawatan. Klasifikasi skrining sebagai berikut :

  a. Skrining massal (mass screening) Skrining massal ialah pemeriksaan seluruh penduduk pada golongan umur tertentu, dalam suatu wilayah tertentu, dan dalam waktu yang tertentu mencari kanker dini.

  b. Skrining multipel (multiple atau multiphasic screening) Skrining multipel ialah skrining dengan menggunakan berbagai metode tes untuk satu jenis kanker pada segolongan penduduk tertentu.

  c. Skrining dengan target (targetted screening) Adalah skrining pada kelompok yang terkena pajanan spesifik misalnya skrining kanker pada pengguna kontrasepsi hormonal.

  d. Skrining kasus (case-finding atau opportunistic screening) Ini adalah skrining di klinik untuk pasien yang berkonsultasi dengan tenaga medis.

  Skrining kanker memerlukan banyak biaya dan tenaga. Oleh karena itu, perlu diperhitungkan efektivitasnya. Jenis kanker yang akan diskrining hendaknya dipertimbangkan apakah sudah ada cara pengobatan yang efektif, apakah terdapat perbedaan hasil pengobatan yang mencolok antara stadium dini dan lanjut, dan apakah insiden kanker cukup tinggi, sehingga banyak terdapat stadium dini. Metode skrining yang akan dipakai hendaknya bersifat sebagai berikut :

  a. Sederhana, yaitu dapat dikerjakan dengan mudah dan cepat tanpa menimbulkan rasa tidak enak pada penderita. Tes ini harus dapat dikerjakan pada banyak orang dalam waktu yang singkat. b. Sensitif, yaitu persentase negatif palsu kecil. Tes tersebut dapat menemukan kanker dalam stadium dini.

  c. Dapat dipercaya. Tes haruslah memiliki hasil yang konsisten pada beberapa pengukuran dan ditunjukkan dengan presisi yang kecil.

  d. Murah. Alat-alat yang digunakan untuk skrining tidak mahal dan tidak sukar melakukannya.

  e. Merupakan masalah kesehatan masyarakat. Skrining sebaiknya dilakukan untuk penyakit atau kondisi kesehatan yang menimbulkan akibat serius dan prevalensi yang besar.

  f. Faktor teknis lain seperti fasilitas diagnosis yang cukup, aman, dapat diterima banyak orang (Rasjidi, 2010).

  Kanker serviks merupakan salah satu kanker yang dapat disembuhkan bila terdeteksi pada tahap awal. Dengan demikian, deteksi dini kanker serviks sangat diperlukan. Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk pada deteksi dini kanker serviks, yaitu sebagai berikut : a.

   Pap Smear

  Tes Papanicolou smear atau disebut tes Pap smear merupakan pemeriksaan sitologi untuk sel di area serviks. Sampel sel-sel diambil dari serviks wanita untuk memeriksa tanda-tanda perubahan pada sel. Tes Pap smear dapat digunakan mendeteksi displasia serviks atau kanker serviks (Rahayu, 2015).

  Tes ini dilakukan saat tidak sedang dalam proses menstruasi, sebaiknya pada hari ke-10 sampai 20 setelah hari pertama menstruasi sebelumnya. Dua hari sebelum pelaksanaan tes, pasien tidak diperbolehkan menggunakan obat-obatan vagina, spermisida, krim ataupun jeli, kecuali apabila diinstruksikan oleh dokter. Pasien juga harus menghindari hubungan seksual 1 sampai 2 hari sebelum tes dilaksanakan karena semua ini dapat menyamarkan hasil dan membuatnya tidak jelas. Setelah tes dilakukan, pasien dapat melakukan aktivitas normalnya kembali (Rahayu, 2015).

  b.

   IVA

  Tes IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) adalah pemeriksaan skrining alternatif Pap smear karena biaya murah, praktis, sangat mudah untuk dilakukan dengan peralatan sederhana dan murah, dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan selain dokter ginekologi. Tes IVA merupakan salah satu deteksi dini kanker serviks dengan menggunakan asam asetat 3-5% pada inspekulo dan dilihat dengan pengamatan langsung (mata telanjang) (Rahayu, 2015).

  Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, sensitifitas dari pemeriksaan IVA untuk deteksi dini lesi prakanker serviks adalah 84%, spesifisitas 89%, nilai duga positif 87%, nilai duga negatif 86%. Tes IVA ini dilakukan dengan mengusap atau mengoles asam asetat 3-5% pada leher rahim pada epitel abnormal, lalu hasilnya dapat diamati dengan mata telanjang selama 20-30 detik. Setelah itu akan dapat diamati apakah ada kelainan seperti area berwarna putih atau tidak. Jika tidak ada perubahan warna, maka dapat dianggap tidak ada infeksi pada serviks. Jika hasilnya tampak bercak putih, maka ada kemungkinan kelainan tahap prakanker serviks. Tujuannya untuk melihat adanya sel yang mengalami displasia sebagai salah satu metode skrining kanker serviks. Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan pada wanita pasca menopause, karena daerah zona transisional seringkali terletak di kanalis servikalis dan tidak tampak dengan pemeriksaan inspekulo. Usia merupakan salah satu faktor yang penting karena pada usia banyak ditemukan penyakit. Risiko tinggi infeksi HPV pada umumnya terjadi pada wanita dengan usia muda (Rasjidi, 2010).

  3. Penerimaan (Acceptability)

  Penerimaan merupakan suatu keadaan menyambut sesuatu atau mengakui sesuatu (Geddes and Crosset, 2006). Menurut Kalonga, misinformasi dari wanita lain yang telah mengakses layanan sebelumnya tentang prosedur skrining dan peralatan yang digunakan, mungkin mempengaruhi pengetahuan dan penerimaan untuk skrining kanker serviks. Jika wanita tidak memiliki informasi yang memadai tentang kanker serviks dan pelayanan skrining, mungkin itu mempengaruhi pengambilan keputusan dan oleh karena itu mungkin tidak menerima skrining (Kalonga, 2011).

  Tingkat pendidikan perempuan memiliki peran utama dalam hal pemahaman dan penerimaan skrining kanker serviks. Wanita yang telah mencapai pendidikan dasar berada diposisi yang lebih baik untuk memahami masalah yang berkaitan dengan skrining kanker serviks, sedangkan perempuan yang belum pernah menempuh pendidikan akan memiliki masalah dalam memahami isu-isu yang berkaitan dengan kanker serviks dan skrining karena materi informasi pendidikan dan komunikasi dan metode yang digunakan, dengan demikian mungkin tidak menerima skrining kanker serviks (Kalonga, 2011).

  4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan a. Faktor Predisposisi 1) Pendidikan

  Pendidikan erat kaitannya dengan pengetahuan yang akan berpengaruh terhadap pola pikir seseorang terhadap kesehatan. Tingkat pendidikan masyarakat berkaitan dengan pemahaman informasi tentang kesehatan yang diterima masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka penerimaan terhadap informasi akan berbeda. Setelah mendapatkan pendidikan maka pengetahuan seseorang akan bertambah, dimana pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan perilaku seseorang. Pendidikan setingkat SMA merupakan pendidikan menengah, dimana tingkat pendidikan ini seseorang akan cukup memiliki kemampuan untuk menerima informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan kesehatan (Nurtini, 2017). Menurut Arikunto, pendidikan dikategorikan menjadi 2 yaitu : pendidikan rendah (SD-SMP) dan pendidikan tinggi (SMA- Perguruan Tinggi).

  Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan seseorang tentang kesehatan mungkin penting sebelum terjadinya perilaku kesehatan, namun tindakan kesehatan yang diinginkan mungkin tidak terjadi kecuali seseorang memiliki motivasi untuk bertindak atas pengetahuan yang dimilikinya. Studi kualitatif di Malaysia, didapatkan pengetahuan tentang skrining kanker serviks, sikap dan keyakinan berkaitan dengan perilaku seorang wanita untuk tidak menjalani skrining kanker serviks. Studi ini menemukan bahwa wanita kurang menyadari indikasi dan manfaat skrining kanker serviks. Hal ini didukung oleh penelitian di India, dilaporkan bahwa faktor yang paling dominan menyebabkan seorang wanita tidak melakukan skrining kanker serviks adalah faktor pengetahuan (51,4%), wanita menganggap tidak perlu skrining karena tidak merasakan gejala, tidak menyadari pentingnya skrining dan merasa tidak wajib untuk melakukannya.

  Penelitian di Jerman, didapatkan hasil bahwa kurangnya pengetahuan wanita tentang faktor risiko kanker serviks dapat mengurangi partisipasi dalam skrining kanker serviks, hal ini menyebabkan perlunya peningkatan informasi dan pendidikan kesehatan bagi masyarakat umum (Nurtini, 2017).

2) Pengetahuan

  Menurut Retnosari, WUS yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang menyebabkan praktik untuk melakukan deteksi dini kanker serviks pun kurang. Hasil penelitiannya menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan wanita tentang risiko kanker serviks terhadap motivasi untuk melakukan deteksi dini kanker serviks (Retnosari, 2010). Hubungan signifikan terjadi antara tingkat pengetahuan WUS dengan cakupan IVA, dimana semakin baik tingkat pengetahuan WUS mempunyai hubungan dengan tingginya cakupan IVA di suatu puskesmas. Penelitian kualitatif di Thailand menunjukkan bahwa WUS tidak termotivasi dalam menjalani tes IVA antara lain karena malu, tidak menunjukkan gejala, takut jika tahu menderita kanker serviks, dan pemeriksaanya sakit. Sedangkan pada WUS yang menjalani tes IVA mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai rasa malu, dan menjalani tes IVA adalah sesuatu yang normal, dan jika sudah dites maka akan merasa lega mengetahui hasilnya. Penelitian Pharta Basu di India Selatan, mendapatkan hasil wanita yang tidak mengikuti skrining adalah sebagian wanita yang berpendidikan tinggi namun tidak mempunyai motivasi untuk melakukan skrining, karena merasa belum penting melakukannya (Nurtini, 2017).

b. Faktor Eksternal (Reinforcing)

  Faktor eksternal yaitu faktor yang terdapat dari luar pribadi manusia. Faktor ini berupa interaksi sosial di luar kelompok. Pengetahuan dan motivasi responden dapat mendukung terwujudnya perilaku responden untuk menjalani tes IVA jika didukung oleh suatu kondisi berupa faktor keluarga dan faktor sosial. Faktor keluarga meliputi dukungan suami dan keluarga lainnya. Faktor sosial meliputi dukungan teman, tenaga kesehatan, tokoh masyarakat dan dukungan masyarakat. Hasil wawancara menunjukkan masih rendahnya dukungan dari faktor keluarga dan sosial di sekitar responden yang mendorong WUS tidak menjalani tes IVA. Wanita yang mendapatkan dukungan keluarga dan sosial yang baik cenderung melakukan pemeriksaan deteksi dini kanker serviks. Dukungan dari orang atau kelompok terdekat memberikan kontribusi yang kuat untuk memperkuat alasan bagi seseorang untuk berperilaku. Jika seseorang wanita tidak memiliki orang atau kelompok terdekat yang memiliki pemahaman yang baik mengenai kesehatan, maka secara tidak langsung akan berimbas pada perilaku wanita tersebut. Oleh karena itu informasi mengenai kanker serviks dan pemeriksaan deteksi dini kanker serviks tidak hanya wanita yang menjadi fokus utama, namun pria juga merupakan sasaran yang sangat potensial. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang menyatakan bahwa faktor penting dalam memberikan dorongan bagi ibu untuk melakukan pemeriksaan deteksi dini kanker serviks adalah orang-orang terdekat yaitu suami dan keluarga (Suarniti, 2017).

1) Dukungan Suami

  Peran suami dan keluarga sangat kuat dalam memberikan dukungan bagi ibu untuk melakukan pemeriksaan kesehatan sehingga sangat mempengaruhi status kesehatannya (Nurtini, 2017). Suami dan keluarga merupakan orang terdekat dengan WUS dalam berinteraksi dan dalam mengambil keputusan terutama dalam menentukan kemana akan mencari pertolongan dan pengobatan. Suami di dalam keluarga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan dan biaya. Dengan demikian diharapkan suami dan keluarga dapat memberikan dukungan atau memotivasi ibu untuk melakukan pemeriksaan IVA secara rutin dan tepat waktu(Nurtini, 2017).

C. Kerangka konsep

  Faktor predisposisi : Pengetahuan dan Pendidikan Penerimaan deteksi dini

  Skrining kanker kanker serviks dengan tes IVA serviks metode

  IVA Faktor eksternal : Dukungan suami

Gambar 2.2 Kerangka Konsep D.

   Hipotesis

  1. H = Tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan penerimaan skrining kanker serviks H a = Terdapat hubungan antara pendidikan dengan penerimaan skrining kanker serviks

  2. H = Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan penerimaan skrining kanker serviks H a = Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan penerimaan skrining kanker serviks

  3. H = Tidak terdapat hubungan antara dukungan suami dengan penerimaan skrining kanker serviks H = Terdapat hubungan antara dukungan suami dengan penerimaan

  a

  skrining kanker serviks