TESIS PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS

  

TESIS

PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS

STUDI KASUS DI WAISARISA, KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT,

MALUKU

  

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora

(M.Hum.) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Oleh :

  

FABIOLA SINTHYA SEITTE

076322002

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

YOGYAKARTA

  

2009

  Prof. Dr. A. Supratiknya

  

Lembaran Pernyataan

  Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Fabiola Sinthya Seitte, NIM: 076322002, dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

  Yogyakarta, 11 Desember 2009, Penulis

  Motto

  Takut akan Tuhan adalah permulaan Pengetahuan, (Amsal 1: 7a)

  

Kata Pengantar

  Ide penulisan tesis ini berawal dari rasa keprihatinan yang saya pendam dari Ambon terhadap nasib salah seorang adik (dan ribuan tenaga kerja lainnya) yang mengalami PHK pada pabrik pengolahan kayu lapis di Waisarisa, Kabupaten Seram Bagian Barat. Rasa keprihatinan ini kemudian menjadi suatu hal yang menarik ketika saya diperhadapkan pada mata kuliah Marxisme. Ide ini kemudian oleh Pa‟ Budiawan diarahkan bukan pada masalah ketidakadilan yang dialami tetapi pada bagaimana para mantan pekerja ini bergulat dengan identitas-identitas mereka sebagai mantan pekerja pabrik maupun sebagai etnis mayoritas dan minoritas dalam sebuah kabupaten baru. Saya mengakui untuk sampai pada tahap ini, saya sangat tertolong oleh berbagai bantuan yang diberikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, secara pribadi saya ingin mengucapkan danke banya voor semua orang yang telah membantu saya selama saya berstudi di IRB yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

  Danke voor Direktur Program Pasca Sarjana, Kaprodi dan Wakaprodi IRB.

  Untuk semua dosen yang selama ini telah membekali saya dengan sejumlah ilmu, Pa‟ Nardi, Romo Bas, Bu‟ Katrin, Romo Moko, Pa‟George, Romo Hary Susanto, Mbak Devi dan Mbak Stefani, khususnya untuk Pa‟ Budiawan dan Pa‟ Anton Haryono yang begitu sabar membimbing saya serta mengajarkan saya banyak hal baik, termasuk secara tidak langsung dan tanpa disadari oleh kalian. Bahkan penulisan tesis ini tidak akan selesai tanpa bimbingan dan arahan kalian berdua.

  Untuk Romo Banar atas diskusi-diskusi menarik yang semakin menambah wawasan saya. Untuk mbak Hengki atas pelayanannya serta mas-mas dan mbak pada WS dan perpustakaan.

  Danke voor Ketua STAKPN Ambon, R. Souhaly, SH,MH, yang telah

  memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar, serta para Pembantu Ketua I,II dan III. Pemda Propinsi Maluku Bidang Kesra yang telah membantu dengan dukungan dana pada awal saya berstudi. Sesama rekan dari STAKPN Ambon di Jogja, Bapa Agus, Bu Angky, Usi Udi, Usi Ko, Usi Echi dan Ona, serta untuk Nn Venty atas semua bantuannya. Teman-teman IRB angkatan 2007, Vivin, Novel,

  Sansan, Tia, Uul, Anas, Karin, Trisno, Boy, Mas Dedy, Wahyu, khusus buat Bu Risma untuk dorongannya yang tak henti-hentinya.

  Danke voor Drs.Nataniel Elake, M.Si (Bu

  ‟ Tanel) yang selalu memberikan bantuan setiap kali saya perlukan, bahkan untuk semua informasi yang diberikan termasuk membagi pengalaman selama berstudi di Makasar untuk saya. Semua kebaikan itu saya tidak bisa membalasnya, hanya doa yang dapat saya berikan semoga engkau tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang. Juga untuk para informan serta perangkat Desa Waisarisa dan staf kantor Bupati SBB yang telah memberikan sejumlah informasi yang saya butuhkan untuk kelengkapan penulisan ini. Khusus untuk Mas Yanto dan Usi Nonce atas kesediaan menjadi bapa dan

  

mama piara saya selama penelitian di Waisarisa. Juga untuk Keluarga Kakisina di

  Piru, Bapa Agus, Mama Ati, Bu Ade dan Usi Moni yang selalu memberikan bantuan dan dukungan untuk saya. Juga untuk Keluarga Ahyate (Angky, Erna dan anak-anak). Untuk sahabatku Pdt. Lita Tuamely

  (ingatlah “viva forever together”), Jus Anamofa, Fani dan Wien, Plavius, Eby H serta semua teman-teman lain atas kebersamaan selama ini. Juga untuk Keluarga Anguarmase untuk bantuannya dalam penyelesaian tesis ini.

  Danke banya voor kakak-kakak dan adik-adikku, Bu Ampi, Usi Lisa, Ade

  Nova, O64N dan Bu Cila serta semua keponakanku, Icky, Ge, Bapin, Adri (Topilus), Dave (Rambo), Dinda, Ona Kety atas semua bantuan dan dorongan semangat yang tak terkira, terutama dalam mengurus kedua buah hatiku serta menjadi teman bermain mereka. Keluarga besar Seitte-Frans (khusus untuk Opa Cada) dan keluarga Lekitoo (Mama Yo dan Son), Keluarga Suryaman serta Nn Ema T.

  Natalis Mathias Lekitoo, suamiku tercinta serta kedua buah hatiku, Jovi dan Ona Tasya, atas semua pengorbanan yang diberikan selama ini, untuk doa yang tak henti-hentinya, untuk cinta dan kepercayaan yang berwujud pada kerelaan kalian mengizinkan mama pergi belajar jauh di tana orang, untuk celoteh yang menguatkan ketika kerinduan menyergap hati bahkan untuk kesabaran kalian menanti mama pulang. Pada akhirnya kesuksesan ini merupakan buah dari pengorbanan kalian.

  Papa Agus dan Mama Sien Seitte, nama kalian yang saya cantumkan terakhir dalam lembaran ini, bukan bermaksud mengecilkan arti kehadiran dan pengorbanan kalian tapi saya tetap meyakini bahwa yang terakhir akan menjadi yang pertama. Karena itu kalian adalah orang pertama dalam hati saya. Karena kalianlah saya ada. Untuk semua keringat, doa dan air mata yang kalian taruhkan hanya untuk hidup anak-anakmu. Semuanya tidak akan sia-sia, teriring doa yang tulus, semoga Tete Manis mau kasih umur panjang voor papa deng mama supaya tetap menjadi sombar untuk anak- cucu.

  

ABSTRAK

  Setelah terjadi reformasi, otonomisasi daerah seakan-akan memberikan peluang bagi daerah-daerah untuk berkembang. Dari sisi jumlah, terjadi peningkatan jumlah propinsi diikuti dengan peningkatan kabupaten kota dan kecamatan-kecamatan yang merupakan salah satu syarat mutlak terjadinya pemekaran. Dari aspek tujuan, pemekaran bertujuan untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan- pembangunan diberbagai bidang. Tapi Otonomi daerah yang berwujud pada pemekaran wilayah menyisakan banyak persoalan. Daerah-daerah yang merasa tidak puas beramai-ramai menuntut mekar lepas dari kabupaten atau propinsi induk dengan harapan dapat mengatur diri sendiri. Pemekaran daerah juga setidaknya ikut memberikan harapan bagi masyarakat di daerah mekaran baru, khususnya akses ke sumber-sumber daya publik. Etnis yang termarjinalkan mulai bangkit dan memperjuangkan hak-haknya. Terjadi tegangan antara para pendatang dan putera daerah.

  Masalah tegangan antara para pendatang dan putera daerah juga terjadi pada Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Perebutan sumber-sumber daya publik pasca pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah arena pertarungan identitas “asli” dan bukan. Isu pengutamaan putera daerah yang beredar bersamaan dengan perjuangan pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah harga mati. Putera daerah mengklaim hak mereka pada sumber-sumber daya publik.

  Tesis ini bermaksud menunjukkan bahwa motivasi pemekaran kabupaten Seram Bagian Barat untuk kepentingan masyarakat, yakni agar masyarakat SBB dapat menikmati pembangunan yang setara dengan daerah-daerah lainnya. Selain itu motif lainnya adalah memperjuangkan nasib putera daerah yang setiap kali harus kalah dan tersingkir dalam perebutan sumber-sumber daya publik. Namun motivasi motivasi terselubung yang dibawa oleh masing-masing tokoh pemekaran justru menjadikan putera daerah berada pada tingkatan yang sama dengan para pendatang. Identitas sebagai yang asli/lokal bukan menjadi sebuah jaminan kesuksesan dalam perebutan sumber-sumber daya publik. Putera daerah pada akhirnya harus mengalami hal yang sama ketika masih berada dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah. Masyarakat Waisarisa yang adalah mantan pekerja pabrik turut merasakannya. Bagi mereka ketika bersama dalam perebutan sumber daya publik, sesama mantan pekerja pabrik yang merupakan etnis lain dianggap merupakan saingan. Tetapi ketika mereka sama-sama gagal dalam perebutan sumber daya publik tersebut, kebersamaa mereka wujudkan dalam kehidupan yang harmonis sebagai sesama mantan pekerja pabrik.

  

Daftar Isi

Halaman Judul

  5. Tinjauan Pustaka ...........................................................13

  4. Sejarah Panjang Yang berujung Pada Pemekaran ...................41

  B. Masa Kolonial Belanda .............................................38

  A. Mitos Yang Berkembang Dalam Masyarakat Seram dan Sejarah Adat ..........................33

  3. Sejarah Lokal Masyarakat Seram Bagian Barat .......................31

  C. Sumber Daya dan Pembangunan ................................29

  B. Kondisi Demografi ....................................................26

  A. Letak Geografis ........................................................24

  2. Gambaran Umum Seram Bagian Barat ..................................24

  1. Pengantar ...............................................................................21

  Bab II. Seram Bagian Barat: Geografi, Demografi dan Mitos-Sejarah

  7. Sistematika Penulisan ...........................................................20

  6. Metodologi Penelitian ............................................................17

  ...……………………………....…....6

  ……………………………………………………....………i Lembar Persetujuan ...

  ...…………………….....……...5 3. Tujuan Penelitian . ……........………………………....……...6 4. Kerangka Konseptual .

  1. Latar Belakang ..…… …………………....……………....…...1 2. Perumusan Masalah .............

  Bab I. Pendahuluan

  ……………………………………………………………....……...xi

  Daftar Isi

  ……………...……………………………………..………….....…..ix

  Abstrak

  ………………………………………………………....……..vi

  Kata Pengantar

  …....……………………………………………………...........v

  

Lembar Pengesahan ........................................................................................iii

Lembar Pernyataan .........................................................................................iv

Lembar Motto

  .…..…………………………………………....…...…ii

  5. Catatan Penutup .....................................................................43

  Bab III. Menuju Terbentuknya Kabupaten Seram Bagian Barat: Proses Politik dan Proses Administif

  1. Pengantar ...............................................................................45

  2. Pemekaran Wilayah Seram Bagian Barat ...............................47

  A. Di Awal Perjuangan .................................................49

  B. Pemekaran Kabupaten Baru ......................................51

  C. Alasan-alasan di balik Usulan Pemekaran ...............................................................57

  3. Catatan Penutup ..................................................................64

  Bab IV. Pergumulan Kabupaten Baru dan Politik Identitas

  1. Pengantar ................................................................................66

  2. Mengenal Masyarakat Waisarisa

  A. Geografis dan Demografis ........................................69

  B. Sejarah Lokal Masyarakat Waisarisa ..........................71

  3. Masyarakat Bekas Pekerja Pabrik .........................................72

  4. Proses Pengidentifikasian Diri „Lokal/Asli‟ dan „Pendatang (Orang dagang) „ ......................................75 A. Penduduk „Lokal/Asli‟ ..............................................76

  B. „Pendatang‟ ...............................................................78

  5. Upaya Perebutan Sumber-sumber Daya Publik ......................84

  6. Identifikasi Masyarakat: Sebuah Perjuangan hidup ................91

  A. Berjuang Untuk Hidup .............................................91

  B. Kesamaan Identifikasi Diri .......................................94

  7. Catatan Penutup ...................................................................95

  

Bab V. Penutup ....................................................................................98

Daftar Pustaka ............................................................................................105 Lampiran-lampiran

BAB I P E N D A H U L U A N

1. Latar Belakang

  Sejak tahun 1998 dengan jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan, banyak pengamat menyatakan bahwa Indonesia memasuki suatu era baru dalam bidang pemerintahan, yakni dari pemerintahan yang tersentralisasi ke pemerintahan yang terdesentralisasi. Artinya, daerah di beri kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dirinya sendiri (otonom). Ini jelas terlihat dengan adanya undang-undang otonomi daerah, walaupun garis pemisah tentang tanggung jawab dan klaim-klaim

  1 antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah belum begitu jelas .

  Sejak dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah, Propinsi Maluku yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga kabupaten dan satu kotamadya, dimekarkan menjadi 9 kabupaten, 2 kota dan 1 propinsi baru yakni Maluku Utara. Pemekaran wilayah-wilayah ini cukup membawa dampak bagi kehidupan masyarakat di daerah-daerah hasil pemekaran, terutama berkaitan dengan distribusi akses terhadap sumber-sumber daya publik. Ini dikarenakan tingginya angka pengangguran akibat konflik yang melanda propinsi ini beberapa waktu sebelumnya. Pengangguran di Maluku dan Maluku Utara tahun 1999 mencapai 120.000 orang atau 13, 34% dari angkatan kerja. Jumlah ini meningkat di tahun 2001 mencapai 17,40%, jumlah ini kemudian mulai menurun, seiring mulai 1 membaiknya kondisi keamanan. Sampai akhir tahun 2003, pengangguran

  

Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal Di Indonesia, , Jakarta, KITLV mencapai 15,43% dari jumlah usia kerja. Pada Desember 2004, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebanyak 505.296 orang dengan

  2

  penggangguran hampir mencapai 76.000 orang atau sekitar 15%. Jumlah ini perlahan-lahan mulai turun namun jumlah pengangguran termasuk kategori cukup tinggi dibandingkan yang terjadi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lainnya.

  Masalah perebutan akses sumber-sumber daya publik juga melanda Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), salah satu kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah. Di kabupaten ini bukan hanya berdiam masyarakat lokal SBB serta orang Maluku sendiri, tetapi juga etnis lain dari luar Maluku. Adanya etnis lain yang berdiam di daerah ini karena bermacam-macam alasan. Alasan terbesar adalah mengikuti program pemerintah Orde Baru, yakni transmigrasi nasional. Kehadiran etnis lain di daerah ini pada awalnya tidak bermasalah. Antara penduduk lokal dengan pendatang hidup saling berdampingan.

  3 Demikian pula dengan apa yang terjadi di Waisarisa. Waisarisa

  „negeri‟ adalah satu daerah di wilayah kabupaten SBB dengan komposisi penduduk yang sangat beragam karena adanya pabrik pengolahan kayu lapis milik PT. Djayanti Group. Pabrik ini menyerap banyak tenaga kerja yang bukan hanya etnis SBB atau Maluku, tetapi juga banyak dari etnis Jawa, Toraja, Minahasa, dll. Mereka yang berasal dari etnis luar Maluku, terutama Jawa dan Toraja, didatangkan secara 2 besar-besaran dengan menggunakan sistem angkatan kerja. Ketika mereka tiba

  

www.detiknews.com/ dan www.disnakertrans-jateng.go.id/ , tanggal 2 April 2009 dan

3 www.hamline.edu/apakhabar / dan http//74.125.153.132/ tanggal 27 Oktober 2009.

  

Negeri merupakan sebutan umum untuk desa di Maluku. Ketika pemerintahan orde baru, negeri-

negeri di Maluku mengalami perubahan nama menjadi desa dan sistem pemerintahannya pun diseragamkan dengan desa-desa di Jawa.. untuk pertama kalinya, tidak pernah ada rasa iri dan perasaan tersaingi dari penduduk lokal. Selain itu, karena merupakan tenaga kerja yang khusus didatangkan dari luar Maluku oleh perusahaan, maka keberadaan mereka sangat dilindungi oleh pihak perusahaan yang bersangkutan. Lagipula keberadaan mereka di sana hanya untuk bekerja, bukan untuk hal-hal lain yang dapat menyusahkan kehidupan mereka bersama.

  Kemp-kemp yang disediakan pihak perusahaan dihuni bersama-sama baik etnis lokal maupun pendatang. Dalam kehidupan bersama ini terjadi perjumpaan multietnik dan multikultural. Ketika konflik Ambon yang mengedepankan isu agama terjadi, daerah Waisarisa boleh dikatakan tidak terjamah sama sekali.

  Masyarakat telah belajar dari perjumpaan-perjumpaan yang terjadi, sehingga konflik relatif dapat dihindari.

  Dengan kondisi keamanan yang mulai membaik, undang-undang otonomi daerah mulai diberlakukan. Atas perjuangan tokoh-tokoh masyarakat, lahirlah kabupaten-kabupaten baru. Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini membawa harapan baru tentang akan adanya perbaikan dalam setiap bidang kehidupan buat masyarakat yang bermukim di daerah hasil pemekaran tersebut. Salah satunya adalah Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) yang beribukota di Piru, yang disahkan dengan UU No. 40 Tahun 2003. Kasus inipun terjadi pada kabupaten ini (SBB). Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini selalu diikuti dengan perekrutan tenaga kerja baru pada instansi pemerintah kabupaten dalam jumlah besar. Wacana yang berkembang sebelum pelaksanaan proses seleksi penerimaan pegawai adalah

  4

  5

  dan . Walaupun sudah hidup 4 pengutamaan “anak daerah” bukan “orang dagang”

  Istilah ini artinya sejajar dengan putera daerah bertahun-tahun di Maluku bahkan di SBB, para pendatang tetap dianggap orang luar. Dengan kata lain berhembusnya isu ini seakan-akan menutup peluang bagi etnis lain dari luar SBB, bahkan dari luar Maluku untuk mendapatkan pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Proses perjumpaan yang telah terjadi bertahun-tahun seolah-olah tidak lagi diperhitungkan. Perbedaan etnis menjadi isu utama dalam seleksi penerimaan PNS bukan perbedaan agama dan keyakinan.

  Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh warga Waisarisa. Tes yang pertama kali dilakukan diikuti oleh ribuan pelamar, termasuk orang- orang Waisarisa yang pada saat itu masih berstatus sebagai karyawan PT. Jayanti grup. Bukan hanya anak daerah yang berlomba-lomba, tetapi juga menarik minat orang-orang dari luar SBB. Ada rasa optimis

  “anak daerah” SBB bahwa mereka akan diterima sebagai PNS. Tapi kenyataan yang terjadi di luar dugaan mereka.

  Dari hasil yang diumumkan, muncul nama-nama yang berasal dari luar SBB. Hal ini tentu saja membawa rasa kecewa di kalangan orang Waisarisa. Mereka beranggapan bahwa sebagai orang Seram dan putera daerah SBB, mereka lebih berhak atas sumber-sumber daya publik tersebut daripada orang-orang luar. Rasa kekecewaan semakin diperkuat ketika pada tahun 2006 pabrik mengadakan PHK besar-besaran terhadap dua ribu lebih karyawannya dan disusul dengan penutupan pabrik itu pada tahun berikutnya. Mereka menilai pemerintah seakan-akan 5 menutup mata terhadap nasib mereka.

  

Istilah ini selalu dikenakan kepada orang asing atau bukan penduduk asli setempat yang berdiam

ditengah-tengan penduduk asli. Misalnya saja orang Waisarisa menyebut orang dari etnis luar yang

berdiam ditengah-tengah mereka dengan sebutan ini. Istilah ini bukan saja ditujukan pada orang-

orang dari luar propinsi Maluku tetapi juga kepada sesama orang Maluku, yang berlainan pulau

maupun negeri/kampung.

  Dengan gambaran di atas, identitas seseorang kembali dipertanyakan. Sebelum pemekaran wilayah tidak ada wacana penguatan identitas etnis. Tetapi setelah pemekaran wilayah, penguatan identitas etnis ini kemudian dimunculkan dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Fenomena inilah yang akan saya kaji.

2. Perumusan Masalah

  Dengan melihat latar belakang diatas maka pertanyaan masalah yang muncul adalah: Sejauh mana politik identitas berperan dalam perebutan sumber-sumber daya publik paska pemekaran wilayah di kabupaten Seram Bagian Barat? Pertanyaan umum tersebut diuraikan kedalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana etnis “pendatang” dan etnis “lokal” saling memandang?

  Bagaimana masing-masing mendefinisikan identitas mereka? 2. Bagaimana pandangan etnis “pendatang” dan etnis “lokal” terhadap isu

  “putra daerah” yang digulirkan dalam proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil pasca pemekaran? 3.

  Bagaimana identifikasi diri yang dibangun oleh orang Waisarisa (pendatang maupun lokal) dalam menjembatani penguatan-penguatan identitas etnis pasca seleksi CPNS?

3. Tujuan Penelitian

  Dengan melihat gambaran permasalahan diatas maka penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Mendeskripsikan proses politisasi identitas pasca pemekaran kabupaten baru.

  2. Mengungkapkan fungsi politisasi identitas dalam proses perebutan sumber- sumber daya publik.

4. Kerangka Konseptual

  Ketika pada akhirnya pemerintah pusat menyetujui usulan pemekaran Kabupaten Seram Bagian Barat dengan UU No.40 tahun 2003, ada rasa lega yang tersirat dari ungkapan-ungkapan oleh orang-orang yang berasal dari Seram Bagian Barat

  . Rasa lega itu dikaitkan dengan terbukanya lapangan pekerjaan, “Syukurlah, dengan berdiri sendiri maka setidaknya anak-anak daerah SBB punya peluang besar untuk mendapat pekerjaan di negeri sendiri

  ”. Demikianlah ungkapan seorang ibu asal SBB bahkan mungkin orang-orang SBB lainnya. Sekali lagi kata anak daerah ini patut digarisbawahi. U ngkapan “anak daerah” telah menjadi kata kunci bagi orang-orang yang merasa berasal dari Seram Bagian Barat (SBB). Ini merupakan pembeda mereka yang mengaku berasal dari SBB dengan orang lain

  6 yang bukan berasal dari SBB berdasarkan nama keluarga (fam) yang diwariskan.

  Anak daerah dan nama keluarga (fam) merupakan dua hal yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan berkaitan erat dengan masalah yang terjadi di kabupaten baru hasil pemekaran. Kedua hal ini juga yang menjadi 6 instrumen pengidentifikasian diri. Menurut Stuart Hall, pada dasarnya identitas

  

Kata ini sengaja penulis cetak miring. Fam bagi orang Maluku merupakan sebutan untuk nama

keluarga/marga, dan masing-masing etnis Maluku memilikinya dibelakang nama depannya, misalnya nama keluarga yang penulis pakai. selalu dinyatakan sebagai bentuk representasi diri. Ide atau gagasan tentang identitas merupakan suatu hal yang kontradiktoris, karena terdiri dari satu atau

  7

  lebih wacana yang berproses melewati atau membatasi yang lainnya. Artinya, identitas seseorang dapat merepresentasikan banyak hal dan oleh karena itu tidak tunggal serta selalu berproses. Identitas itu bersifat cair, ia akan berubah ketika situasi yang dihadapi berbeda pula. Dengan banyak komponen itulah maka kita dapat menggambarkan diri kita dan orang lain sehingga dapatlah dikatakan bahwa identitas menurut Hall selalu bersifat relasional. Defenisi tentang

  “diri” itu selalu terkait dengan siapa yang dilihat/dibayangkan sebagai yang “lain”.

  Sejalan dengan pikiran Hall, Robin Tolmach Lakoff menyatakan bahwa identitas manusia adalah sebuah „proses‟ yang dikonstruksi dan dapat berubah oleh pengalaman hidup. Identitas dikonstuksi lewat sebuah cara yang sangat kompleks dengan maupun tanpa kesadaran. Dalam beberapa kasus, ia menyatakan bahwa identitas sama dengan proses pengidentifikasian seseorang terhadap keanggotaan

  8

  dari komunitasnya. Dengan melihat pendapat di atas dapat dikatakan bahwa Hall dan Lakoff memiliki pandangan bahwa identitas itu disamakan dengan pengidentifikasian diri dan melewati sebuah proses yang dikonstruksi berulang- ulang oleh pengalaman yang berbeda-beda. Atau dengan kata lain, bagi Hall dan Lakoff, identitas itu bersifat cair. Seperti yang diungkapkan oleh Kobena Mercer bahwa identitas itu merupakan sebuah kata kunci dalam perkembangan politik, 7 bahkan kata identitas juga bisa ditafsirkan dalam makna yang berbeda maupun

  Stuart Hall, “Old and New Indentities, Old And New Ethnicities”, dalam Anthony D. King (ed),

Culture, Globalization And The World -System, Binghamton ,The Macmillan Press Ltd, 1991, hlm.

8 49.

  Robin Tolmach Lakoff, “Identity: „You Are What You Eat”, dalam Anna de Fina, dkk (ed) Discourse and Identity , Crambridge, Cambridge University, 2006, hlm. 142-143.

  9

  sama tergantung siapa pelakunya. Artinya, bahwa identitas bersifat cair karena ia bebas diartikan oleh siapa saja tergantung kepentingan yang ingin dicapai. Bahkan kelompok-kelompok etnis sebagai tatanan sosial pun terbentuk bila seseorang menggunakan identitas etnisnya dalam mengkategorikan/mengidentifikasi dirinya

  10 dan orang lain untuk tujuan interaksi.

  Pada kasus Waisarisa, asumsinya adalah bahwa yang dipakai sebagai tanda identifikasi diri adalah nama keluarga (fam). Tanda ini akan dipakai jika berkaitan dengan upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Lain lagi jika masalah yang dihadapi secara komunal sebagai sebuah masyarakat (sosial) bekas pekerja, tentunya indikator pengidentifikasian diri itupun berbeda pula. Misalnya saja yang dipakai adalah buruh pabrik yang terkena PHK gelombang pertama dan kedua atau kelompok kerja pada bagian alat berat di pabrik. Akhirnya dapat dikatakan bahwa nama keluarga (fam) yang dipakai sebagai penanda hanya merupakan salah satu dari begitu banyak penanda-penanda yang lain misalnya etnis, agama, pekerjaan, dll.

  Dalam pengidentifikasian diri yang menggunakan nama keluarga (fam), orang selalu mengaitkannya dengan perebutan sumber-sumber daya publik untuk membedakan yang asli dan pendatang. Banyak contoh menunjukkan bahwa nama keluarga (fam) ini pada akhirnya bermuara pada apa yang disebut etnis. Etnis pendatang dan etnis lokal itu yang selalu bergaung setelah pemekaran kabupaten Seram Bagian Barat. Sebenarnya, apa yang dimaksudkan dengan etnis itu sendiri?

  9 Kobena Mercer, 1968”:Periodizing Politics and Identity”, dalam Lawrence Grossberg, dkk (ed), 10 Cultural Studies , New York & London, Roudledge, 1992, hlm. 424.

  

Fredrik Barth, Ethnic Group and Boundaries, Bergen and London, Universitets Forlaget and

George Allen & UNWIN, 1970, hlm.14.

  Menurut Anthony D. Smith, etnis atau komunitas etnis dapat diartikan sebagai penamaan populasi manusia yang memiliki mitos, sejarah dan budaya yang

  11 sama, memiliki tanah tumpah darah (homeland) dan memiliki rasa solidaritas .

  Dengan demikian komunitas ini juga lebih mengacu pada sistem primodial yang telah berlangsung lama. Hal senada juga diungkapkan oleh Tilaar bahwa pada dasarnya suatu kelompok etnis memiliki enam sifat dasar diantaranya adalah memiliki nama khas yang mengidentifikasikan hakikat dari suatu masyarakat serta

  12

  terikat dengan tanah tumpah darah. Mengacu pada kedua pendapat ini maka, mereka yang mengaku sebagai anak daerah Seram Bagian Barat merasa bahwa mereka adalah etnis Seram Barat karena mereka memiliki nama keluarga dan mitos terutama tentang tiga batang air/aer: Tala (Kecamatan Kairatu), Eti (Kecamatan Seram Barat) dan Sapalewa (Kecamatan Taniwel), sejarah dan budaya yang sama, tanah tumpah darah (homeland) yang telah berdiri menjadi daerah otonom. Dari sinilah rasa solidaritas sebagai orang Seram Bagian Barat dibangun. Dengan demikian ketika diperhadapkan dengan perebutan sumber-sumber daya publik, etnis SBB mulai membangun benteng pertahanan dengan isu putera asli daerah. Asumsinya bahwa dengan adanya isu ini memungkinkan putera-puteri daerah memiliki kesempatan besar dalam perebutan sumber-sumber daya publik.

  Ketika telah berdiri menjadi sebuah kabupaten yang mandiri, dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik tersebut, masalah identitas mulai mencuat.

  Seiring dengan berjalannya waktu, kontestasi politik lokal yang mengetengahkan 11 isu identitas kembali dimunculkan. Politik identitas ini seakan-akan merupakan

  Anthony D. Smith, “Structure and Persistence of Etnie”, dalam Montserrat Guibernau dan John 12 Rex (ed), The Ethnicity Reader, Cambridge, Polity Press, 1997, hlm.27 H.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta, PT.Rineka Cipta, 2007, hlm.6. jalan terakhir dalam perebutan lapangan pekerjaan. Politik identitas itu mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun

  13 identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik.

  Mengacu pada kasus Waisarisa dimana banyak penduduknya berasal dari luar Seram, maka hal ini tentulah dapat dipahami. Mereka yang merasa sebagai orang lokal/putera asli daerah mengklaim bahwa mereka lebih berhak bekerja di negeri mereka sendiri ketimbang etnis/orang lain. Asumsi mereka adalah bahwa negeri mereka akan maju jika dipimpin oleh orang-orang mereka sendiri. Sejalan dengan itu Gustiana Kambo, mengutip Halls dan Gay, mengatakan bahwa politik identitas merujuk pada berbagai bentuk mobilisasi politik atas dasar identitas kolektif yang sebelumnya sering disembunyikan, ditekan, diabaikan baik oleh kelompok dominan yang terdapat dalam sebuah sistem demokrasi liberal atau oleh agenda politik kewarganegaraan yang diusung untuk dan atas nama demokrasi

  14 yang lebih progresif.

  Mengacu pada pendapat tadi pertanyaan yang muncul adalah apakah memang selama ini orang/etnis Seram Bagian Barat merasa selalu menyembunyikan identitas kolektifnya, karena selalu ditekan dan diabaikan oleh etnis lain yang dominan? Bukankah politik identitas selalu dikaitkan dengan sentimen primordialisme? Sentimen primordialisme bukan hanya berbicara tentang diri sendiri atau siapa kami, tetapi juga cenderung untuk melihat relasi 13 kekuasaan terutama berkaitan dengan siapakah yang dianggap “the other”. Bagi

  Ari Setyaningrum , „Memetakan lokasi Bagi Politik Identitas dalam Wacana Politik Poskolonial‟, 14 Jurnal Mandatory, Edisi 2/Tahun 2/2005, Yogyakarta, IRE, 2005, hlm.18.

  

Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik: Sebuah Kajia n Dalam Pembentukan Propinsi Sulawesi Barat‟ makalah, disampaikan pada seminar internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008. penduduk “asli” Waisarisa, ketika masih sama-sama bekerja di pabrik, mungkin ia tidak merasa bahwa sesama pekerja e tnis pendatang adalah “orang lain”, tetapi ia menjadi “orang lain“ ketika konteks yang dihadapi mulai berubah, sama-sama dalam urusan memperjuangkan hidup.

  Masalah etnisitas telah menjadi sebuah hal penting dalam membicarakan berbagai fenomena di seputar masalah otonomi daerah. Otonomi daerah selalu dikaitkan dengan kebijakan daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Konsep otonomi daerah pada hakikatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif, menurut prakarsa

  15

  sendiri. Secara normatif otonomi daerah lebih menekankan aspek kemandirian daerah dalam mengurus dirinya sendiri, tak lain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya. Otonomi daerah memicu terjadinya pemekaran wilayah-wilayah. Pemekaran wilayah sendiri merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah,

  16

  dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Sejalan dengan pemikiran itu, Henk S. Nordholt dan Gerry van Klinken menyatakan bahwa pemekaran daerah merupakan sebutan untuk subdivisi distrik-distrik dan

  17

  provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif baru. Dari kedua pendapat ini terlihat bahwa yang menjadi alasan adanya pemekaran sebuah daerah baru bukan cuma keinginan mengatur dirinya sendiri, tetapi secara 15 administratif lebih mempermudah pelayanan kepada masyarakat.

  

Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta, Pustaka

16 Pelajar, 2007, hlm.7.

  

Yadi Surya Diputra, “Analisa Kekuatan Politik Etnisitas Dalam Proses Pemekaran Propinsi Pulau

Sumbawa”, makalah, disampaikan pada seminar internasional Percik dengan tema “Dinamika

Politik Lokal d 17 i Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008, hlm.11 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, op.cit, hlm.25.

  Bagi masyarakat Seram Bagian Barat, menjadi sebuah kabupaten sendiri lepas dari kabupaten induk, secara administratif sangat mempermudah mendapatkan pelayanan birokrasi, karena jarak yang harus ditempuh tidaklah jauh dibandingkan ke Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah. Jarak antara Kairatu (kecamatan SBB yang berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah) kurang

  18

  lebih sekitar 148 km , belum lagi dengan kecamatan-kecamatan yang tidak berbatasan langsung. Selama ini untuk mengurus keperluan administrasi maka orang dari Seram Bagian Barat harus ke Masohi. Secara geografis, jarak yang harus ditempuh cukup jauh dengan kondisi jalan raya yang rusak cukup parah sehingga memakan biaya yang tidak sedikit. Selain itu prasarana jalan raya ini tidak langsung menghubungkan beberapa daerah dengan Masohi disebabkan kondisi geografis yang tidak memungkinkan, belum lagi sarana transportasi yang sulit menyebabkan pengurusan bisa memakan waktu berhari-hari dan mahal. Jadi, alasan pemekaran ini bukan karena masalah perbedaan etnis semata, tetapi lebih pada alasan pelayanan atministratif yang lebih efisien. Dengan kata lain, untuk mempersempit rentang kendali pemerintahan.

5. Tinjauan Pustaka

  Ketika berbicara tentang otonomisasi daerah yang berwujud pada pemekaran wilayah, pemikiran kita akan dibawa pada adanya kemandirian dan desentralisasi kekuasaan. Dengan adanya desentralisasi ini maka daerah mendapat kewenangan yang lebih besar untuk mengatur jalannya roda pembangunan di 18 daerah bersangkutan. Ada banyak penelitian yang telah dilakukan baik pribadi http://www2.kompas.com/ tanggal 12 Desember 2008. maupun berkelompok untuk melihat persoalan yang terjadi di seputar otonomisasi daerah. Mulai dari perlunya merevisi UU Otonomi Daerah yang selama ini telah digunakan sampai pada masalah kontestasi politik lokal.

  Berdasarkan tulisan-tulisan tersebut tampak bahwa masalah otonomisasi daerah selalu ditinjau dari aspek yuridisnya (Lili Romli,2007; Ni‟matul

  Huda,2007), tetapi ada beberapa tulisan yang berbicara dari sisi kontestasi politik lokal, misalnya tentang bagaimana para elit lokal mulai melebarkan pengaruhnya untuk turut mengambil bagian dalam setiap proyek daerah paska otonomisasi (John

  F. McCarthy, 2007; Erwiza Erman, 2007; Akiko Morishita, 2006, dll). Dari sisi kontestasi politik ini ada beberapa orang yang sudah mulai berbicara tentang politik identitas (Yadi Surya Diputra, 2008; Gustiana A. Kambo, 2008; Carole Foucher, 2007; Myrna Eindhoven,2007). Tulisan-tulisan mengenai otonomisasi daerah dan kaitannya dengan politik identitas ini semuanya sangat menarik karena kasus yang dihadapi oleh setiap daerah berdasarkan hasil penelitian ini hampir sama. Alasan sebuah daerah ingin mekar atau terlepas dari daerah induk (entah propinsi atau kabupaten), selalu dikaitkan dengan identitas etnis dan rasa termarjinalkan dalam bidang sosial maupun bidang ekonomi oleh etnis

  “dominan”. Dalam tulisan Myrna Eindhoven misalnya, alasan terpisahnya kepulauan

  Mentawai sebagai sebuah kabupaten sendiri lepas dari kabupaten Padang Pariaman di daratan Sumatera disebabkan kurangnya perhatian pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang berada di daratan Sumatra terhadap pembangunan di kepulauan ini. Selain itu juga adanya diskriminasi agama yang dimunculkan sebagai sebuah persyaratan, yakni dengan adanya peraturan daerah yang mengharuskan para pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) harus beragama Islam.

  

…Selain itu, untuk bisa melamar menjadi pegawai negeri, ada syarat yang

bersangkutan harus orang Muslim, dan hal ini membuat sebagaian besar

orang Mentawai praktis tidak mungkin melamar posisi-posisi di

pemerintahan. Karena menjadi orang Kristen sejak awal abad ke-20,

mayoritas orang Mentawai sekarang memandang Kristenitas sebagai

  

bagian integral dari identitas mereka. Meskipun begitu, ada beberapa

kasus yang diketahui ketika orang-orang Mentawai beralih memeluk

agama Islam atau setidak-tidaknya mengubah nama Kristen menjadi nama

19 Islam-agar bisa memenuhi syarat sebagai pegawai negeri.

  Hal ini menyebabkan etnis Mentawai merasa terpinggirkan karena mayoritas beragama Kristen. Seiring dengan masalah tersebut identitas yang dipolitisir ikut menentukan dalam pengambilan kebijakan tentang kepemimpinan “putra daerah”. Tulisan Gustiana A. Kambo juga mencirikan hal yang sama yakni adanya ketidakpuasan etnis Mandar yang merasa didominasi oleh etnis Bugis. Padahal etnis Mandar merasa memiliki sejarah kolektif tentang asal usul dan keberadaan mereka sendiri. Seperti yang diungkapkan bahwa politik perbedaan (politik identitas) antaretnik di Sulawesi Selatan didasarkan atas dominasi etnik dominan (Bugis) atas kelompok minoritas dan marginal (Mandar). Dengan alasan inilah mereka lepas dari Propinsi Sulawesi Selatan dan membentuk Propinsi Sulawesi

20 Barat.

  Dari kedua kajian di atas dapat kita lihat betapa identitas dapat menjadi 19 sebuah kekuatan untuk menentukan nasib sendiri lewat pemekaran sebuah daerah

  Myrna Eindhoven, “Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru ”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik 20 Lokal di Indonesia , Jakarta, KITLV dan YOI, 2007, hlm.92.

  Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik: Sebuah Kajian Dalam Pembent ukan Propinsi Sulawesi Barat‟ makalah, disampaikan pada seminar internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008. baru. Artinya, identitas etnis dan atau agama telah menjadi alasan utama pemekaran. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi yang dihadapi oleh Kabupaten Seram Bagian Barat. Isu tentang perbedaan etnis bukan menjadi alasan mendasar pemekaran. Isu identitas etnis baru dimunculkan setelah terjadi pemekaran dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik antara etnis “asli” dan “pendatang” (orang dagang). Bagi orang Maluku sendiri, penyebutan seseorang dengan istilah “orang dagang” bukan cuma ditujukan bagi orang-orang yang berasal dari etnis di luar Maluku (etnis Jawa, Buton, Bugis-Makasar, dll). Sebutan ini juga dikenakan bagi orang-orang Maluku sendiri yang berasal dari

  21

  bahkan pulau bahkan negeri yang berbeda. Misalnya, orang Saparua memanggil orang-orang Seram atau orang Kei dengan sebutan ini (baca: orang dagang). Hal ini pun terjadi di Waisarisa yang dihuni bukan saja oleh penduduk lokal, tetapi oleh berbagai suku bekas pekerja pabrik. Seorang mantan pekerja yang berasal dari desa Allang dan menikah dengan perempuan Waisarisa, oleh keluarga istrinya tetap

  22

  disebut orang dagang. Identitas menjadi salah satu variabel kunci. Penduduk lokal (asli Waisarisa dan Seram Bagian Barat) akhirnya menggunakan variabel kunci ini sebagai justifikasi untuk dapat menjadi CPNS bahkan PNS.

  Selain hal itu, yang menarik dari daerah Seram Bagian Barat khususnya Waisarisa adalah bahwa daerah ini tidak terjamah konflik sama sekali sehingga ketika terjadi pemekaran wilayah, agama bukanlah sebuah alasan yang cukup 21 penting untuk membedakan yang lokal dan pendatang. Hal ini disebabkan karena

  

Maluku merupakan propinsi kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 972 pulau, dengan Pulau

Seram sebagai pulau terbesar (Sumber: Asisten

  I Sekda Maluku 2007, 22 http://www.malukuprov.go.id/) tanggal 12 Desember 2008.

  

Seperti yang diungkapkan oleh seorang mantan pekerja pabrik berinisial AS, tanggal 13 Januari 2009. dalam kehidupan masyarakat pada umumnya terjadi pembauran, dimana tempat tinggal tidak berdasar pada agama yang dipeluk. Hal ini berbeda dengan negeri-

  23 negeri lainnya di Maluku, terutama pasca-konflik Ambon.