ISLAM ETNISITAS DAN POLITIK IDENTITAS (1)

MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman
Vol.XXXV No. 2 Juli-Desember 2011
ISSN 0852-0720
ISLAM, ETNISITAS, DAN POLITIK IDENTITAS
(KASUS SUNDA)
Abdul Syukur
ABSTRAK
Dalam kerangka pemikiran Durkhemian masyarakat terikat karena adanya
solidaritas sosial, dan solidaritas sosial dibangun oleh nilai-nilai dan norma
kolektif yang menjadi pegangan bersama. Individu yang lepas dari norma dan
aturan-aturan bersama akan merusak solidaritas sosial dan dianggap
menyimpang, sehingga ia akan berhadapan dengan sanksi sosial yang dapat
berujung pada dikeluarkannya dari kelompoknya. Begitu pula masyarakat
Sunda terikat oleh norma-norma dan nilai-nilai budaya bersama yang
diwariskan secara turun temurun. Mayoritas orang Sunda beragama Islam,
yang mengindikasikan bahwa budaya dan norma masyarakat Sunda
bersumber dari, atau sesuai dengan, nilai-nilai ajaran Islam, sehingga
melahirkan ungkapan bahwa “Sunda adalah Islam.” Kenyataan adanya
kelompok-kelompok yang bukan muslim tetapi mereka masih bagian dari dan
mengaku sebagai orang Sunda menunjukkan keterbatasan model pemikiran di
atas. Alternatif lain adalah memfokuskan analisis terhadap wacana “Sunda

adalah Islam” dengan menggunakan pendekatan teori identitas.
Kata kunci: Sunda, Islam, budaya, identitas
Sementara sebagian orang memahami bahwa masyarakat merupakan kumpulan
individu dan mereka membentuk masyarakat melalui ikatan kontrak sosial, Emile Durkheim
(1858-1917)1 justru memandang bahwa tidak ada individu yang lahir dari belah batu dan
terasing dari masyarakat. Sebaliknya, setiap individu lahir dari sebuah keluarga dan besar di
tengah-tengah masyarakat. Konsekwensi metodologis dari pandangan Durkheim ini ialah
bahwa setiap penelitian sosial harus meletakkan perhatiannya pertama-tama pada masyarakat,
yaitu adanya fakta-fakta sosial yang mengikatnya dan bersifat memaksa kepada setiap
individu tersebut. Sebagai contoh, individu yang lahir dari orang-orang Sunda akan
diperkenalkan dan dipaksa untuk berbicara bahasa Sunda, berperilaku menggunakan standar
norma dan etika masyarakat Sunda, dan kalau kebetulan orang tuanya beragama Islam maka
ia akan diperkenalkan tentang agama Islam dan diajari melaksanakan ajaran-ajaran agama
Islam sebagaimana yang dipeluk oleh kedua orang tuanya dan masyarakat di sekitarnya.


Dosen matakuliah Buddhisme pada Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas ushuluddin, Universitas Islam
Negri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung.
1
Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta, Qalam, cet. 1, 2001, hlm. 158.


1

Dalam konteks agama Islam, apa yang dikatakan Durkheim di atas mengingatkan kita
kepada sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa “Setiap anak lahir dalam
keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau
Majusi.” Sekalipun Rasulullah menyatakan hal tersebut dalam konteks agama, tetapi boleh
jadi yang dimaksud beliau mencakup wilayah yang lebih luas, yaitu aspek-aspek budaya
lainnya seperti bahasa, etika, dan lain-lainnya.
Mengapa masyarakat terintegrasi? Terhadap pertanyaan ini Durkehim menjelaskan
bahwa suatu masyarakat terintegrasi karena pada setiap masyarakat terdapat fakta-fakta sosial
yang berfungsi mengikat setiap individu yang menjadi anggota kepada masyarakat tersebut.
Fakta sosial ini dapat berupa aturan-aturan, norma-norma, dan tradisi yang secara kolektif
berlaku atau dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan (conscience collective).
Selanjutnya, fakta-fakta sosial ini menjadi semacam pegangan hidup bersama, dan karena
menjadi pegangan bersama maka ia memiliki sifat memaksa. Artinya, setiap individu harus
berperilaku sesuai dengan aturan dan norma-norma yang terdapat pada masyarakatnya,
karena kalau tidak demikian maka ia akan menghadapi sanksi atau ancaman hukuman dari
masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi individu yang ingin
selamat dan memperoleh rasa aman kecuali tetap bergabung dengan masyarakat dan

mengikuti aturan-aturan dan norma-norma yang ada dan dipaksakan oleh masyarakat
tersebut.
Herbert Spencer (1920-1903)2 mengidentikan masyarakat dengan suatu organisme.
Sebagai sebuah organisme maka masyarakat terdiri dari bagian-bagian di mana setiap bagian
memiliki fungsi tersendiri. Apabila setiap bagian yang masing-masing membangun struktur
sosial berfungsi dengan baik makan secara otomatis struktur-struktur itu akan membentuk
bangunan masyarakat yang utuh. Sebaliknya, apabila ada bagian atau struktur sosial yang
tidak berfungsi dengan baik maka ia akan menjadi beban atau bahkan penyakit bagi
masyarakat yang bersangkutan sehingga akibat yang paling buruk yang mungkin terjadi
adalah bagian tersebut harus diamputasi. Pandangan Spencer dan Durkheim ini kemudian
melahirkan sebuah teori yang dalam Sosiologi dan Antropologi dikenal dengan teori
Struktural-Fungsionalisme.
Terdapat sebuah ungkapan di kalangan masyarakat Sunda yang menyatakan bahwa
“Sunda adalah Islam,” sebuah ungkapan yang, kurang lebih maknanya sama, juga dapat kita
temukan di kalangan orang-orang Melayu,3 Minang, dan mungkin juga Aceh. Akan tetapi,
2
3

Buhanan, Paul and Mark Glazer (eds.), 1988, hlm. 7.
Sumardjo, Jacob, 2010, hlm. 122.


2

identifikasi demikian ternyata bukan tanpa masalah, karena dengan identifikasi tersebut
berimplikasi, paling tidak, pada kesimpulan sederhana tapi menyesatkan bahwa orang Sunda
pasti beragama Islam. Di lain pihak, kenyataan memperlihatkan bahwa tidak semua orang
Sunda beragama Islam.
Identitas adalah konstruksi sosial, yaitu bahwa identitas dikonstruksi oleh masyarakat
dan dalam proses ini berkaitan erat dengan pemilahan siapa kita (we) dan siapa mereka
(them).4 Dengan kata lain, pengkonstruksian identitas ini menyangkut proses inklusi-eksklusi.
Dalam konteks ini maka identifikasi “Sunda adalah Islam” dapat berarti bahwa orang Sunda
harus beragama Islam dan, seperti dikemukakan Ekadjati,5 akan menjadi aneh apabila ada
orang Sunda yang tidak beragama Islam. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan orang
Sunda yang tidak beragama Islam. Pertanyaan selanjutnya adalah adakah makna di balik
pernyataan atau ungkapan tersebut, apa yang melatar-belakanginya, dan tujuan apa kira-kira
yang hendak dicapainya.
Dengan latar belakang masalah di atas maka paper ini akan membahas pertama-tama
tentang arti dari pernyataan “Sunda adalah Islam,” alasan-alasan yang menyertainya, dan
upaya-upaya politik mempertahankannya. Selanjutnya, akan dibahas tentang masalah Sunda
itu sendiri sebagai suatu kategori “etnik,” problematika dan implikasi yang mungkin

ditimbulkannya. Konsekuensi dari identifikasi semacam itu sangat luar biasa karena secara
logika berarti bahwa orang Sunda harus beragama Islam dan bahwa orang Sunda yang tidak
memeluk agama Islam bukanlah orang Sunda, dan ini berarti adanya eksklusi terhadap orangorang Sunda lainnya. Terakhir, dalam kaitannya dengan aspek-aspek sejarah, geografis, serta
budaya tersebut kemudian akan dibahas relevansi pernyataan “Sunda adalah Islam” dalam
konteks hubungan antar etnik di Indonesia.
Seperti Gula dengan Manisnya
Istilah lain yang memiliki pengertian yang sama dengan ungkapan “Sunda adalah
Islam” adalah perumpamaan yang populer dalam bahasa Sunda yaitu bahwa Sunda dan Islam
ibarat gula dengan manisnya (gula jeung peueutna). Ungkapan ini berarti bahwa hubungan
antara Sunda dan Islam sangatlah erat dan bahkan saking eratnya maka keduanya tidak dapat
dipisahkan, karena meskipun tidak setiap yang manis itu gula tetapi tidak ada gula yang
rasanya tidak manis.

4
5

Bowie, 2001, hlm. 71.
Ekadjati, 2010, hlm. 81.

3


Dalam makalahnya yang berjudul “Agama Islam dan Budaya Sunda” 6 Kahmad
mengatakan bahwa antara kebudayaan Sunda sulit dipisahkan dengan ajaran agama Islam
sehingga melahirkan ungkapan bahwa “Sunda adalah Islam.” Menurut Kahmad, orang Sunda
dapat menerima dengan mudah ajaran-ajaran agama Islam karena, selain dimungkinkan oleh
adanya cara dakwah Islam yang disampaikan melalui pendidikan ketimbang penaklukan,
karakter agama Islam juga ternyata tidak jauh berbeda dengan karakter budaya Sunda, yaitu
bersifat sederhana dan Islam yang masuk ke tataran Sunda telah dibungkus oleh kebudayaan
Timur yang tidak asing lagi bagi orang-orang Sunda. Dengan demikian maka proses
Islamisasi masyarakat Sunda dapat berjalan dengan mulus dan lancar. Dengan kata lain,
meskipun agama Islam berasal dari luar tetapi karena unsur-unsurnya terdapat kesesuaian
maka Islam dapat diterima dengan kedua belah tangan terbuka oleh orang-orang Sunda
sehingga terjadilah proses asimilasi dan akulturasi antara berbagai budaya yang membungkus
Islam dengan nilai-nilai budaya lokal Sunda. Umpamanya, sekalipun secara tradisi
masyarakat Sunda masih melaksanakan upacara-upacara adat seperti babarit (upacara
kehamilan) empat bulan atau tujuh bulan, memperingati kematian tiga hari (tiluna), tujuh hari
(tujuhna), empat puluh hari (matangpluh), seratus hari (natus), dan seterusnya, tapi upacaraupacara tradisional tersebut telah dipadukan dengan doa-doa yang bersumber pada ajaran
agama Islam. Karena telah terjadi perpaduan antara ajaran Islam dan nilai-nilai budaya Sunda
itulah maka kini antara keduanya sulit untuk dipisahkan, ibarat gula dengan manisnya.
Alwasilah,7 lebih lanjut, membuat rincian tentang nilai-nilai yang terkandung dalam

kebudayaan Sunda yang ditemukan dalam peribahasa, idiom-idiom, ungkapan-ungkapan
yang populer di kalangan masyarakat Sunda, yaitu:
1. Manusia harus memiliki tujuan yang mulia dalam kehidupannya.
2. Manusia adalah bagian kecil dari alam semesta, oleh karena itu harus melestarikan
alam dan jangan merusaknya supaya mendapat keuntungan daripadanya.
3. Manusia harus menyadari dan belajar dari alam, masyarakat, dan Tuhan.
4. Manusia memerlukan guru yang mengajari mereka tentang yang baik dan yang
buruk.
5. Manusia harus belajar dari, terutama, orang tua dan kemudian dari orang lain.
6

Disajikan pada International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese Values yang
diselenggarakan oleh CESRAS (Centre for the Study of Religion and Society) UIN Sunan Gunung Djati,
Bandung, kerjasama dengan The Catholic University of America, The Islamic College, dan MIZAN tanggal 9
Januari 2009.
7
“Islamic Thoughts and Sundanese Values,” makalah disampaikan pada acara International Roundtable
Discussion on Islamic Thought and Sundanese Values, diselenggarakan oleh CESRAS (Centre for the Study of
Religion and Society) UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, kerjasama dengan The Catholic University of
America, The Islamic College, dan MIZAN, 9 Januari 2009.


4

6. Manusia harus menjaga dan menghormati nilai-nilai yang ada yang masih relevan
sebagai petunjuk.
7. Manusia harus mencontoh orang tua dan leluhur dalam melakukan tradisi, sehingga
orang tua harus memberikan contoh sebagai model perilaku yang baik.
8. Manusia harus memperhatikan kearifan-kearifan tradisional dalam menghadapi
masa yang akan datang.
9. Manusia harus ingat pada kehidupan setelah mati.
10. Manusia harus saling menghormati, melaksanakan etika, bicara dan berperilaku
sopan dan ramah.
11. Manusia harus melindungi yang lemah secara ekonomi, berpihak pada yang benar,
dan bertindak tegas.
12. Manusia dianugrahi kekuatan oleh Tuhan, sehingga mereka harus tunduk kepadaNya.
13. Manusia harus memiliki sifat-sifat ikhlas, sabar, cerdas, jujur, waspada, dan
mental bertanggung jawab.
14. Manusia harus memperlihatkan sikap siger tengah (tidak bersikap keterlaluan).
15. Manusia harus memiliki sifat-sifat ideal: hurip (penuh semangat), waras (sehat
fisik), cageur (sehat mental), bageur (baik pada sesama), bener (benar), pinter (pintar),

ludeung (berani), silih asah (saling mengingatkan), silih asih (saling mencintai), dan silih
asuh (saling menjaga).
Menurut Alwasilah, nilai-nilai budaya Sunda sebagaimana yang diungkapkannya di
atas ternyata sesuai dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Keterkaiatan erat antara agama Islam dengan budaya Sunda ini bahkan mengantarkan
Ekadjati8 kepada kesimpulan yang dinyatakan dalam judul tulisannya yaitu “Islam, Agama
Pilihan Utama dan Abadi Orang Sunda.” Kesimpulan demikian diperoleh Ekadjati
berdasarkan alasan fakta bahwa sementara orang-orang Sunda dapat dengan mudah
menerima agama Islam tetapi tidak demikian halnya ketika orang-orang kolonial Barat
memperkenalkan agama Nasrani kepada mereka.
Kesimpulan Ekadjati di atas tampaknya diperkuat oleh bukti adanya laporan yang
merupakan hasil analisis para misionaris Belanda, J. Verhoeven, yang membandingkan antara
karakter orang-orang Sunda dan orang Jawa, dan P.N. Gijsman. Menurut Verhoeven orangorang Jawa dalam keberagamaan memang kurang taat, namun dalam hal bekerja mereka
termasuk orang-orang yang rajin dan ulet. Sebaliknya, orang-orang Sunda termasuk orang8

Ekadjati, ibid,. Hlm. 81

5

orang yang malas bekerja, namun dalam hal keberagamaan mereka adalah orang-orang yang

taat. Karena ketaatannya kepada agama Islam itulah maka orang-orang Sunda sangat antusias
untuk melaksanakan ibadah haji dan, demikian dikatakan Verhoeven, masyarakat Sunda
termasuk salah satu kelompok yang mengirim rombongan jemaah haji yang terbanyak.
Gijsman, bahkan, mengatakan bahwa Islam bagi masyarakat Sunda sudah bukan lagi hanya
sekedar bungkus, tapi sudah menjadi jiwa dalam tata perilaku dan aktivitas kehidupan seharihari. Oleh karena itu, para misionaris Belanda tersebut sampai kepada kesimpulan bahwa
Kristenisasi di kalangan masyarakat Sunda sangat sulit, kalau bukan tidak mungkin.9
Kita juga diingatkan bahwa Gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin Sekar Marijan
Kartosuwiryo menjadikan basis gerakannya di Garut, Jawa Barat. Kartosuwiryo adalah orang
Jawa yang menikah dengan dengan gadis Malangbong, Garut. Ia kemudian berhasil
menyebarkan pengaruhnya hampir di seluruh wilayah Priangan. Keberhasilan gerakan
Katosuwiryo erat kaitannya dengan fakta bahwa masyarakat Jawa Barat, khususnya Priangan,
adalah orang-orang yang memiliki semangat keagamaan yang kuat yang menginginkan
tegaknya syariat Islam. Salah satu indikatornya adalah bahwa pada Pemilu tahun 1955 dua
partai yang berlandaskan agama Islam, yaitu Partai Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU),
memperoleh suara yang sangat signifikan di Priangan dibandingkan dengan partai-partai
lainnya. Amin Mudzakkir dalam tulisannya berjudul Islam Priangan: Pergulatan Identitas dan
Politik Kekuasaan, dengan mengutip Herbert Feith (1999: 97), mengemukakan tabel

perbandingan raihan suara antara lima partai besar di Priangan sebagai berikut:10
Hasil Pemilu 1955 di Jawa Barat (lima partai besar)

Partai
PNI
Masyumi
NU
PKI
PSII

Suara Parlemen
1.541.927
1.844.442
673.466
755.643
393.174

Konstituante
1.586.507
1.761.406
692.755
827.858
384.790

Perbedaan
+44.580
-83.036
+19.289
+72.215
-8.384

Pada masa sekarang, khususnya masa reformasi dan sejalan dengan kebijakan
otonomi daerah (Otda), ekspresi keberagamaan masyarakat Sunda yang kuat itu di beberapa
daerah dinyatakan dalam bentuk dibuatnya Peraturan Daerah (Perda). Dua daerah yang
sangat bersemangat mengekspresikan agama Islam dalam bentuk penegakkan syariat Islam
9

De Nederlandse Zendings-Vereniging in West Java 1858-1963, doc. 97, hlm. 208 dan doc. 48, P.N. Gijsman,
hlm. 144-5.
10
http://penelitianku.wordpress.com/2009/03/04/islam-priangan-pergulatan-identitas-dan-politik-kekuasaan/

6

lewat Perda tersebut, menurut Mudzkkir, adalah Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Tasikmalaya. Di Cianjur, Wasidi Swastomo, sejak proses pengajuan calon Bupati, merupakan
satu-satunya calon yang secara terbuka menjanjikan akan memberlakukan ‘syariat Islam.’
Ketika akhirnya ia terpilih menjadi Bupati Cianjur untuk periode 2001-2006 maka pada 1
Muharram 1422/26 Maret 2001 ia pun memenuhi janjinya dengan mendeklarasikan ‘Gerbang
Marhamah’ (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Kemudian, melalui
SK. Bupati Cianjur No. 34/2001 Wasidi membentuk Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Islam (LPPI) yang beranggotakan tokoh-tokoh kyai dan aktivis politik
Muslim dan bertugas menyusun teknis pelaksanaan pemberlakuan ‘syariat Islam’ di Cianjur.
Langkah selanjutnya, Wasidi mengeluarkan SK No. 451/277/ Asda-1/2001 yang berisi
petunjuk tentang apa yang menjadi materi Gerbang Marhamah. Materi-materi itu mencakup
(1) Membiasakan/membudayakan shalat berjamaah terutama pada saat jam kerja (dhuhur
berjamaah); (2) Membiasakan/membudayakan mengeluarkan zakat, infak, dan shadaqah
setiap rizqi/pendapatan yang diterima; (3) Meningkatkan kegiatan pengajian di unit kerja,
majelis taklim, dan tempat lainnya; dan (4) Menciptakan lingkungan yang Islami dan kepada
aparatur pemerintah hendaknya memberi contoh keteladanan (uswatun hasanah).
Bupati Cianjur berikutnya, Tjetjep Muhtar Sholeh, memberi dukungan terhadap
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Gerbang Marhamah yang diajukan oleh
Bupati Warsidi sebelumnya. Maka, Raperda Gerbang Marhamah disetujui menjadi Perda
No.3/2006 pada tanggal 20 Juli 2006. Menyusul penetapan Perda No.3/2006 tentang Gerbang
Marhamah, Sang Bupati pun mengeluarkan dua peraturan untuk mengimplementasikan Perda
tersebut. Pertama, Peraturan Bupati Cianjur No.15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian
Pegawai dilingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Kedua, Instruksi Bupati Cianjur
No.2/2007

tentang

pemasangan

papan

visi

dan

misi

Kabupaten

Cianjur

serta

penyelenggaraan pengajian/tadarrus al-Qur’an.
Di Kabupaten Tasikmalaya, sesuai dengan PP No. 108/2000 yang mengharuskan
setiap Pemerintah Daerah membuat rencana strategis (renstra) bagi acuan pelaksanaan
pembangunan, kalangan politisi dari partai-partai Islam mengajukan ide untuk memasukan
nuansa ‘syariat Islam’ ke dalam renstra. Renstra Kabupaten Tasikmalaya 2001-2005 itu
akhirnya disepakati dan dituangkan dalam Perda No. 13/2001. Akan tetapi, terdapat bagian
yang kontroversial dalam Perda itu yang kemudian menjadi bahan perseteruan yaitu adanya
penyantuman visi Kabupaten Tasikmalaya “yang religius/Islami sebagai pusat pertumbuhan
di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa
Barat pada tahun 2010”. Sekalipun begitu, Bupati Tasikmalaya tetap mengeluarkan Surat
7

Edaran No. 451/SE/Sos/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan
sebagai bentuk realisasi dari visi Tasikmalaya yang religius/Islami tersebut. Dalam
perkembangannya, karena banyaknya kritik terhadap visi kabupaten sebagaimana tertuang
dalam Perda No. 13/2001, dua tahun kemudian visi renstra direvisi dengan Perda No.
13/2003 di mana visi Kabupaten Tasikmalaya mengalami sedikit perubahan menjadi
“Tasikmalaya yang religius/Islami sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera serta
kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010”. Dikaitkan dengan visi
Tasikmalaya yang tercantum dalam renstra sebagai kabupaten yang ‘religius/Islami’ maka
peraturan-peraturan tersebut dipandang sebagai ‘Perda Syariat.’ Tetapi dengan peraturanperaturan semacam itu maka kemudian dapatkah dikatakan bahwa Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Tasikmalaya adalah daerah-daerah yang mencerminkan keterkaitan antara ajaran
agama Islam dengan nilai-nilai budaya Sunda?
Yang Mana Yang Sunda?
Di antara etnik-etnik yang ada di Indonesia etnik Sunda merupakan etnik nomor dua
terbesar setelah etnik Jawa. Menurut Wikipedia jumlah etnik Sunda adalah 31 juta dan
mayoritas orang Sunda beragama Islam. Menurut Sensus Penduduk tahun 2000 jumlah
pemeluk agama Islam di Jawa Barat sebanyak 37.606.317 yang, seperti dikatakan Kahmad,
membentuk 98% dari seluruh penduduk Jawa Barat yang beretnik Sunda. Persoalannya
sekarang adalah apakah dengan begitu dapat dikatakan bahwa Jawa Barat merepresentasikan
etnik Sunda dan bahwa “Sunda adalah Islam”? Karena, Wikipedia tidak hanya menempatkan
etnik Sunda secara geografis di daerah Jawa Barat, tetapi juga di Banten dan Jakarta.
Persoalan selanjutnya adalah manakah dan siapa yang dimaksud dengan “Sunda” kalau
begitu?
Sebelum memisahkan diri dan menjadi provinsi sendiri tahun 2000, Banten memang
merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat, sehingga dapat dimengerti pernyataan bahwa
mayoritas etnik Sunda terdapat di Jawa Barat. Begitu pula karena di Banten sendiri terdapat
komunitas yang mengaku dirinya sebagai orang Sunda maka dapat dimengerti bahwa tidak
hanya terdapat di Jawa Barat tetapi juga ada di Banten. Masyarakat Baduy di Desa Kanekes
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, adalah komunitas warisan dari Kerajaan Pakuan
Pajajaran yang mengasingkan diri bersamaan dengan terjadinya proses Islamisasi di tanah
Sunda.11 Desa Kanekes terdiri dari 3 kampung utama yang terletak di daerah Baduy Dalam
(Kajeroan), yaitu Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo, dan 28 kampung lainnya serta 8
11

Wildan, 2010, hlm. 86-7.

8

kampung babakan (pemekaran) yang tersebar di wilayah Baduy Luar (Panamping,
Pasisian).12
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya orang-orang Sunda bertempat tinggal di
Pulau Jawa bagian barat, tetapi mengidentikan Jawa Barat (termasuk Banten) dengan Sunda
tidaklah tepat. Karena ternyata pada umumnya penduduk di pantai utara daerah Jawa Barat
maupun Banten berasal dari dan menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi.
Sebaliknya, kita juga dapat menemukan komunitas Sunda di bagian barat provinsi Jawa
Tengah, seperti di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes. Selain itu, Jakarta, yang
dikatakan dalam Wikipedia juga sebagai daerah yang secara dominan etnik Sunda, beserta
kota-kota besar lainnya di Jawa Barat dan Banten sekarang cenderung dihuni oleh penduduk
campuran dari berbagai etnik.
Identifikasi Sunda dengan bahasa pun bukan tanpa masalah. Hasbullah pernah
mengungkapkan keluhannya tentang adanya dampak dari kehidupan multi-etnik di kota-kota
besar seperti di atas terhadap penggunaan bahasa Sunda di tatar Sunda. Menurutnya, terdapat
kecenderungan besar di mana orang-orang Sunda di kota-kota lebih suka menggunakan
bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dari pada menggunakan bahasa Sunda. Disebutkan
bahwa karena gengsi dan tren untuk menjadi modern maka keluarga orang Sunda pun kini
tidak suka lagi berbahasa Sunda kepada anak-anak mereka, sehingga anak-anak tersebut
kemudian lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan
teman-temannya. Selanjutnya, dikatakan bahwa mereka lebih merasa akrab memanggil
“papih-mamih,” “papah-mamah,” “ayah-ibu,” kepada kepada orang tuanya dari pada
memanggil mereka dengan sebutan “abah-ambu,” “ema-apa” atau “indung-bapa.”13
Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi selain menyebabkan globalisasi
yang menjadikan ruang menjadi sempit dan waktu menjadi pendek juga menyebabkan
terjadinya deteritorialisasi. Seperti dikemukakan di atas, mengidentifikasi Jawa Barat dan
Banten dengan Sunda selain bermasalah karena secara geografis Jawa Barat dan Banten tidak
hanya dihuni oleh orang-orang Sunda, juga banyak orang-orang Sunda sekarang tidak lagi
terkungkung oleh batas-batas geografis. Kita dapat menemukan orang-orang Sunda di Jawa
bagian tengah maupun timur, di Sumatra, Kalimantan, bahkan di Papua dan di luar negri.
Seperti kebanyakan etnik lainnya mereka pun rata-rata mengaku beragama Islam. Tetapi
apakah karena pengakuan mereka beragama Islam lantas dapat secara sederhana dikatakan
bahwa “Sunda adalah Islam”?
12
13

Sam, 1986, hlm. 10.
Hasbullah, 2010, hlm. 127.

9

Bagaimana pun angka 98% yang menyatakan bahwa penduduk Jawa Barat beragama
Islam, seperti yang dikatakan Kahmad,14 atau, sebagaimana dikatakan Ekadjati bahwa 95%
orang Sunda menganut agama Islam, 15 tetap menyisakan ruang kemungkinan bagi adanya
orang-orang Sunda yang memeluk agama di luar Islam. Baik Kahmad maupun Ekadjati,
begitu juga penulis dan peneliti tentang Sunda lainnya, mengakui bahwa di samping Islam,
yang dipeluk secara mayoritas, juga terdapat agama-agama lain yang menjadi anutan orang,
Sunda Wiwitan, yaitu agama karuhun (nenek moyang) masyarakat Sunda, masih
dipertahankan; sebagian masyarakat Cideres (Majalengka) dan Sukabumi beragama Katolik
dan Protestan; bahkan orang-orang Sunda penganut Kebatinan atau Penghayat Kepercayaan
pun dapat kita temukan di masyarakat Sunda Cigugur (Kuningan) dan Ciparay (Bandung).
Fakta-fakta di atas memperlihatkan betapa problematis dalam mengidentifikasi yang
namanya “Sunda.” Secara geografis Jawa Barat dan Banten tidak lagi dihuni oleh manusia
Sunda, dan orang-orang Sunda sudah tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis. Begitu
pula dalam perspektif bahasa. Sekalipun di daerah-daerah yang relatif homogen orang-orang
Sunda masih menggunakan bahasa Sunda dalam berkomunikasi tetapi di daerah-daerah urban
sudah banyak yang tidak bisa berbahasa Sunda. Pelajaran bahasa Sunda di sekolah-sekolah
kurang diminati, apalagi oleh anak-anak anomali yang dilahirkan dari proses perkawinan
etnik campuran. Lantas, bagaimanakah dengan identifikasi bahwa “Sunda adalah Islam”?
Sunda: antara Pajajaran, Majapahit, Banten dan Cirebon
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pengkonstruksian identitas berkaitan erat
dengan proses inklusi-eksklusi. Ini berarti pula bahwa identitas merupakan aspek relasional,
yaitu terjadi dalam hubungan dan interaksi sosial di mana suatu kelompok sosial akan
mengidentifikasi dirinya dalam hubungannya dengan kelompok atau golongan lain (others).
sehingga masing-masing saling mengidentifikasi. Proses pengidentifikasian ini terjadi dalam
situasi dan kondisi tertentu. Dengan kata lain, pengkonstruksian identitas dilakukan secara
kontekstual sehingga apabila situasi dan kondisi berubah maka konstruksi identitas pun akan
berubah.16 Sekalipun hubungan dan interaksi sosial mengandaikan keseimbangan tetapi
kenyataan sering kali memperlihatkan adanya ketidak-setaraan. Dalam hal ini maka
hubungan antar kelompok sosial kerap ditandai oleh adanya persaingan, kontestasi, resistensi,
dan bahkan konflik.
14

Kahmad, ibid., 2009.
Ekadjati, ibid., 2010, hlm. 81.
16
Erkisen, 1995, hlm. 62.
15

10

Secara historis Pajajaran adalah kerajaan Sunda terakhir dengan rajanya yang terkenal
yaitu Prabu Siliwangi. Namun cikal bakal kerajaan ini adalah Kerajaan Sunda di Pakuan
(Bogor) dan Kerajaan Galuh di Kawali (Ciamis) yang dipersatukan di bawah kekuasaan
Rakeyan Jamri, pewaris tahta Kerajaan Galuh, yang menikah dengan Tejakencana, Putri
Mahkota Kerajaan Sunda, dan berkuasa antara tahun 723-732 dengan ibukotanya di Kawali
(Ciamis). Di bawah kekuasaan Sri Baduga Maharaja yang berkuasa antara tahun 1482-1521
ibukota kerajaan dipindahkan ke Pakuan (Bogor). Menurut prasasti Batutulis, Sri Baduga
Maharaja, yang kemudian dikenal sebagai Prabu Siliwangi, mendirikan parit sebagai benteng
pertahanan mengelilingi ibukota kerajaan. Karena Pakuan, ibukota Kerajaan Sunda, ini
berada sejajar dengan dua buah sungai, yaitu Ciliwung dan Cisadane, maka nama kerajaan
pun berubah menjadi Pakuan Pajajaran. Oleh karena itu, kerajaan ini sering disebut Kerajaan
Pakuan atau, lebih dikenal lagi, Kerajaan Pajajaran.
Selain memindahkan ibukota dari Kawali ke Pakuan dan membangun benteng
pertahanan yang kuat, Prabu Siliwangi juga berhasil mengonsolidasikan kekuasaan dan
keamanan. Di bawah kekuasaannya pula masyarakat Sunda dapat merasakan kesejahteraan
dan menikmati kemakmuran sehingga zaman Siliwangi kerap dianggap sebagai zaman
keemasan Kerajaan Sunda Pajajaran. Karena alasan itu pulalah Prabu Siliwangi mendapat
tempat istimewa di hati sebagian masyarakat Sunda.
Akan tetapi, sejarah Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran bukanlah awal dan akhir cerita.
Sebelumnya telah bertahta raja-raja lain dengan riwayatnya sendiri. Prabu Maharaja Lingga
Buana naik tahta di kerajaan Sunda Galuh di Kawali (Ciamis) pada tahun 1340. Meskipun
menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa II sarga 3, terdapat hubungan darah
antara Kerajaan Sunda Galuh dan Kerajaan Majapahit, sehingga raja-raja Majapahit enggan
untuk menaklukan kerajaan Sunda, tetapi ambisi Patih Gajahmada dari Kerajaan Majapahit
untuk menyatukan kedua kerajaan di Pulau Jawa tersebut telah membawa orang Sunda
kepada perasaan malu dan terhina serta memandang dengan sebelah mata terhadap orangorang Jawa. Ketika Raja Hayamwuruk dari Majapahit menyatakan keinginannya untuk
mempersunting Dyah Pitaloka alias Citraresmi, putri Maharaja Lingga Buana dari Kerajaan
Sunda Galuh, kesempatan ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Patih Gajahmada.
Dengan tipu dayanya Maharaja Lingga Buana beserta keluarga kerajaan tidak menanti
kedatangan Hayamwuruk yang akan mempersunting putrinya melainkan mereka berangkat
mengantarkan Sang Putri ke Majapahit. Akan tetapi, sebelum sampai di ibukota kerajaan
Majapahit rombongan Kerajaan Sunda Galuh tersebut beristirahat dan mendirikan

11

perkemahan, yaitu di daerah Bubat, sambil menunggu waktu pernikahan dan jemputan dari
Majapahit.
Rombongan dari Majapahit memang datang, tetapi bukan untuk menjemput Sang
Putri dan keluarganya dari Kerajaan Sunda Galuh. Pada kesempatan itu malahan Gajahmada
menyampaikan tuntutan kepada Kerajaan Sunda Galuh untuk takluk kepada Majapahit, dan
alih-alih Dyah Pitaloka akan dijadikan permaisuri ia dianggap sebagai upeti atas takluknya
Kerajaan Sunda Galuh tersebut. Merasa dipecundangi maka keluarga Kerajaan Sunda Galuh
tersebut menolak tuntutan Gajahmada, dan ketika Gajahmada dan pasukannya melakukan
penyerangan maka keluarga Kerajaan Sunda Galuh pun, meski pada akhirnya kalah dan luluh
lantak, mengadakan perlawanan. Dyah Pitaloka sendiri, demi mempertahankan harga diri dan
kehormatan keluarga, melakukan tindakan bunuh diri. Itulah sebabnya maka nama
Gajahmada, yang dalam buku-buku sejarah dikatakan sebagai pemersatu kepulauan
Nusantara dengan Sumpah Palapanya yang terkenal, dimasukan ke dalam daftar hitam dalam
memori masyarakat Sunda sehingga tidak ada yang namanya Jl. Gajahmada di wilayah
orang-orang Sunda.
Kerajaan Pajajaran bukanlah satu-satunya kerajaan Sunda yang pernah berdiri di tatar
Sunda. Ia hanyalah satu mata rantai dari rangkaian panjang sejarah kerajaan-kerajaan yang
pernah ada yang bermuara pada Kerajaan Tarumanegara yang didirikan oleh Purnawarman.
Pada tahun 670, Tarusbawa, raja ke-13 yang naik tahta tahun 669 menggantikan mertuanya,
mengganti nama Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda. Setelah itu kerajaan ini pun
mengalami pasang surut. Terpecah menjadi Kerajaan Sunda di Pakuan (Bogor) dan Galuh di
Kawali (Ciamis); bersatu kembali di bawah kekuasaan Rakeyan Jamri yang dikenal sebagai
prabu Harisdarma atau Sanjaya; berganti-ganti ibukota kerajaan dari Galuh ke Pakuan atau
sebaliknya. Mengalami masa kejayaan dan keemasan di bawah Sri Baduga Maharaja alias
Prabu Siliwangi yang bertahta dari 1482-1521 dan menjadi raja pertama dari Kerajaan
Pakuan Pajajaran. Kemudian mengalami kemunduran dan akhirnya menderita kehancuran
sejak masa Prabu Surawisesa Jayaperkosa alias Ratu Sang Hyang sampai Raja Mulya alias
Prabu Surya Kencana, yang dalam Carita Parahyangan dikenal sebagai Nusa Mulya, yang
bertahta dari 1567-1579.
Patut dikemukakan di sini bahwa sebagai pewaris dan penerus tradisi Tarumanegara,
Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi sendiri pada dasarnya adalah kerajaan dan raja Hindu
di mana Purnawarman menganggap dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu. Atau, paling tidak
perpaduan antara kepercayaan lokal, Sunda Wiwitan, dengan agama Hindu dan Buddha.
Kalau Kerajaan Sunda Galuh ditaklukan oleh Majapahit yang sama-sama kerajaan Hindu
12

maka Pajajaran mengalami kekalahan oleh rangkaian serangan dari Kesultanan Banten dan
Cirebon yang Islam. Kesultanan Banten dan Cirebon adalah perpanjangan tangan dari
Kerajaan Islam Demak yang kemudian menjadi dua pusat kekuasaan Islam di Jawa Barat.
Oleh karena itu, mengiringi kekalahan Kerajaan Pajajaran oleh Kesultanan banten maka
proses Islamisasi di wilayah Pajajaran pun semakin intens, sehingga akhirnya rakyat
Pajajaran menerima dan menjadikan Islam sebagai agama anutan mereka. Namun rakyat
Pajajaran telah menganut agama Islam, akan tetapi kenangan tentang Prabu Siliwangi dan
Kerajaan Pajajaran sebagai raja dan kerajaan Sunda tampaknya sulit dihapuskan dari memori
kolektif orang-orang Sunda. Oleh karena itu, menarik dikemukakan di sini apa yang
dikatakan oleh Wibisana tentang ambivalensi orang-orang Sunda, bahwa sesungguhnya
“junjunan orang Sunda sampai saat ini sebenarnya ada dua, yakni Nabi Muhammad (bila
mereka menempatkan diri sebagai umat Islam) dan Prabu Siliwangi (bila mereka sedang
menyadari kesundaannya).”17
Menurut hikayat Carita Parahyangan, ketika Pajajaran mengalami kemunduran dan
kemudian hancur oleh kekuatan Banten yang Islam, ibukota kerajaan sudah tidak lagi
bertempat di Pakuan tetapi di Pulasari, Pandeglang atau di Keduhejo, Kecamatan Menes.
Rakyat Kerajaan Pajajaran yang tidak mau menerima agama Islam yang didakwahkan oleh
Banten inilah yang menjadi bagian dari orang-orang Sunda, kemudian dikenal sebagai orangorang Baduy, yang tetap mempertahankan kepercayaan dan tradisi leluhur Pajajaran yang
disebut Agama Sunda Wiwitan
Wildan, mengutip Djatisunda (1992:2-3), mengatakan bahwa orang-orang Baduy
menyebut orang-orang Sunda yang beragama Islam sebagai “Sunda Eslam,” yang berarti
bahwa sekalipun berbeda agama tetapi secara etnik mereka menganggapnya tidak ada
perbedaan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah memang benar demikian adanya? Bowie
mengatakan bahwa batas-batas identitas bersifat contested, yaitu bahwa penarikan batas-batas
dilakukan dalam hubungan kontestasi antara berbagai kelompok sosial. Pengalaman saya
berada dan berkomunikasi dengan masyarakat di Kabupaten Lebak, Banten, diperoleh
informasi yang berharga bahwa orang-orang Baduy menyebut orang-orang Sunda Priangan
sebagai Urang Wetan (orang timur). Ini berarti bahwa boleh jadi mereka menganggap orangorang Sunda Priangan sama-sama orang Sunda, tetapi istilah “Urang Wetan” bukanlah
ungkapan biasa yang tanpa makna. Istilah “Urang Wetan” merupakan stereotype yang dibuat
orang Sunda Baduy yang dikenakan terhadap Sunda Priangan untuk membedakan bahwa
secara kultural mereka berbeda. “Urang Wetan” berarti orang-orang Sunda yang berada timur
17

Wibisana, 2010, hlm. 95.

13

(mencakup Bandung, Garut, Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur, Sukabumi, Bogor) di
mana mereka telah mengalami dominasi Majapahit-Hindu dan Mataram-Islam dan budaya
mereka telah dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Kalau orang Sunda Baduy masih
mempertahankan cara bercocok tanam padi huma (berladang), maka orang Sunda Priangan
dengan cara bersawah; kalau orang Sunda Baduy dalam pergaulan sosial masih
memperlihatkan sikap egaliter, maka orang Sunda Priangan lebih bersifat feodal. Kahmad
mengatakan bahwa proses Islamisasi tatar Sunda yang dilakukan oleh Banten dan Cirebon
sebagai perpanjangan tangan Demak dan Mataram Islam berakibat pula pada terjadinya
“Jawanisasi” kebudayaan Sunda. Ia mengemukakan contoh pengaruh kebudayaan Jawa
terhadap kebudayaan Sunda tersebut, selain dalam hal bertani dan pergaulan sosial di atas,
juga ditunjukkan oleh adanya undak-usuk (tatakrama) dalam bahasa Sunda yang
mengindikasikan feodalisme dalam sistem sosial masyarakat Sunda. Undak-usuk dalam
bahasa Sunda merupakan pengaruh dari tatakrama bahasa kromo-inggil (ditujukan kepada
priyayi) dan ngoko (ditujukan kepada masyarakat biasa) sehingga dalam bahasa Sunda pun
dikenal bahasa Sunda lemes (halus) yang ditujukan kepada para menak (priyayi) dan bahasa
Sunda kasar yang ditujukan kepada masyarakat biasa.
Berharap pada Provinsi Pasundan
Masa reformasi adalah masa euforia kebebasan. Dengan alasan demokratisasi maka
rakyat bebas mengemukakan pendapat dan menyatakan kehendaknya. Hal ini didukung oleh
kebijakan pemerintah sendiri dengan mengeluarkan kebijakan Otonomi Daerah (Otda) untuk
mengurangi beban kerja pemerintah pusat dan membaginya dengan pemerintah daerah.
Sejalan dengan kebijakan Otda dan kebebasan menyatakan kehendak maka inisiatif
pemekaran wilayah atau daerah pun bermunculan, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota,
bahkan sampai ke tingkat desa.
Di Jawa Barat salah satu daerah yang berusaha memisahkan diri dan membentuk
provinsi sendiri terpisah dari Jawa Barat adalah Banten, yang sebelumnya dikenal sebagai
Keresidenan Banten yang mencakup 3 kabupaten (Serang, Pandeglang, Lebak) dan satu kota
Cilegon. Dengan alasan menuntut realisasi janji pemerintah masa Presiden Soekarno dan
kurangnya perhatian dari pemerintah provinsi Jawa Barat, maka akhirnya pada tahun 2000
Banten pun berdiri menjadi provinsi sendiri.
Sekalipun wacana pemekaran dan pembentukan provinsi dan kabupaten baru menjadi
fenomena umum tetapi pemekaran wilayah Jawa Barat dan pembentukan provinsi Banten
merupakan proses pemekaran yang terjadi pada masa-masa awal sekali. Pemisahan Banten
14

dari provinsi Jawa Barat sangat melukai perasaan orang-orang Sunda, khususnya di Priangan,
bukan hanya karena pemerintah provinsi Jawa Barat telah berusaha memberikan perhatian
yang lebih dengan melakukan pembangunan untuk kemajuan Banten melainkan lebih
disebabkan oleh faktor sentimen etnisitas di mana Banten dan Jawa barat sama-sama daerah
mayoritas etnik Sunda. Dalam konteks hubungannya dengan etnik Jawa perpisahan Banten
dengan Jawa Barat menjadi pukulan tersendiri dan menorehkan rasa malu berikutnya pada
sejarah orang-orang Sunda. Memang di kalangan etnik Jawa pun terdapat desakan di
beberapa daerah, seperti Banyumas, Surakarta, Muria Raya, Jawa Utara, dan Madura, untuk
memisahkan diri dari provinsi-provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi hal itu hanya
menjadi wacana yang sampai sekarang tidak pernah terjadi.
Setelah Banten memisahkan diri, sebagian orang Sunda berusaha memunculkan lagi
isu ke-Sunda-an. Dengan mengemukakan alasan bahwa provinsi Jawa Barat sekarang tidak
lagi berada di bagian barat Pulau Jawa dan mengenang kembali nama “Pasundan” pada masa
Republik Indonesia Serikat (RIS), mereka pun mengajukan untuk mengganti nama provinsi
Jawa Barat menjadi provinsi Pasundan. “Pasundan” berarti hal-hal yang berkaitan dengan
Sunda dan, oleh karena itu, dengan nama “Pasundan” diharapkan memberikan kesan khusus
terhadap orang lain yang mendengarnya. Seperti nama “Priangan” atau “Parahyangan” yang
menyiratkan tentang keindahan alam tatar Sunda sebagai tempat bersemayamnya para dewa
(hyang) yang hidup di alam surgawi.
“Pasundan” memang pernah menjadi nama dari sebuah negara bagian dari Republik
Indonesia Serikat (RIS), yaitu “Negara Pasundan.” “Negara Pasundan” adalah bentukan
Belanda pada tanggal 24 April 1948 yang secara historis dianggap sebagai upaya Belanda
untuk memecah belah Indonesia. Oleh karena itu, ketika “Negara Pasundan” didirikan
masyarakat Sunda terpecah, sementara orang-orang Sunda Priangan menerima tetapi orangorang Sunda Banten menolaknya. Ketika Presiden Soekarno mengembalikan bentuk negara
federasi kepada negara kesatuan Republik Indonesia Banten mendukung kebijakan politik
tersebut. Itulah sebabnya Presiden Soekarno memberikan janji kepada Banten untuk menjadi
provinsi dan, dalam pandangan orang Sunda Banten, mengambil nama “Pasundan” dengan
merujuk kepada sejarah “Negara Pasundan” justru menyiratkan sejarah kelam Sunda itu
sendiri.
Provinsi Pasundan memang kemudian tidak terwujud. Tetapi tidak teralisasinya
provinsi Pasundan ternyata bukan karena bercermin pada sejarah masa lalu melainkan karena
adanya resistensi dari Cirebon. Keresidenan Cirebon yang mencakup Kota dan Kabupaten
Cirebon, Kabupaten Indaramayu, Kabupaten Kuningan, dan Kabupaten Majalengka, menolak
15

adanya usaha penggantian nama provinsi Jawa Barat menjadi provinsi Pasundan dan
seandainya usaha tersebut terus dilakukan maka mereka mengancam akan memisahkan diri
dan membentuk provinsi sendiri dengan nama Ciayumajakuning. Sekalipun telah membentuk
presidium dan pembentukan provinsi Cirebon telah dideklarasikan namun kemudian provinsi
itu tidak terbentuk, begitu pula provinsi Pasundan.
Masyarakat di Wilayah Cirebon, khususnya Kota dan Kabupaten Cirebon serta
Kabupaten Indramayu, kebanyakan adalah orang-orang Jawa. Oleh karena itu, sekalipun
Cirebon terletak di Jawa Barat yang didominasi oleh orang-orang Sunda tetapi bagi orangorang Cirebon nama “Pasundan” dianggap terlalu eksklusif. Selain itu, sebagai salah satu
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat Cirebon memiliki kebanggaan tersendiri dan ini
menjadi bagian dari alat bagi orang-orang Jawa Cirebon untuk negosiasi dalam wacana
pembentukan provinsi Pasundan.
Di lain pihak, gagalnya dalam pembentukan provinsi Cirebon ternyata bukan karena
gagalnya penggantian nama provinsi Pasundan sehingga orang-orang Cirebon merasa masih
terakomodasi dalam provinsi Jawa Barat. Sebagaimana diberitakan dalam Berita Cirebon,
gagalnya pembentukan provinsi Cirebon ternyata lebih disebabkan adanya penolakan untuk
bergabung dari Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka. 18 Meski alasan yang
dikemukakan Yudi Budyana, Ketua DPRD Kuningan, bukan karena perbedaan kultur
melainkan terlalu dini, emosional, dan cenderung mengandung muatan politik dari pihakpihak yang kecewa, tetapi tampaknya nuansa perbedaan etnik dan budaya tetap berperan.
Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka mayoritas adalah etnik Sunda. Sementara
itu, masyarakat di Kota dan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu didominasi oleh
etnik Jawa. Orang-orang Jawa di Wilayah Cirebon sendiri sebenarnya berada di
persimpangan jalan, karena meski mereka Jawa tetapi kultur dan bahasa Jawa mereka
ternyata sangat berbeda dengan kultur dan bahasa Jawa daerah lainnya. 19 Mereka tampaknya
menyadari hal itu. Oleh karena itu, mereka lebih suka mengidentifikasi dirinya sebagai
“orang Cirebon” dari pada sebagai orang Jawa, sehingga dalam Sensus Penduduk Tahun 2000
terdapat kategori kelompok etnik “Cirebon.”20
Nasib Orang Tak Putus Dirundung Malang
18

BERITA CIREBON, 10 Mar 2009 dan 19 Aug 2009.
Seorang teman dari Solo pernah menceritakan pengalamannya ketika ia bertandang ke Cirebon. Ia
mengatakan bahwa is merasa asing dan ketika berkomunikasi ia tidak mengerti sama sekali bahasa Jawa yang
diucapkan oleh orang-orang Cirebon.
20
Suryadinata, et.al., 2003, hlm. 7.
19

16

Apabila, seperti dikemukakan Wildan di atas, orang-orang Sunda Baduy yang
mempertahankan Agama Sunda Wiwitan masih menganggap orang-orang Sunda yang
beragama Islam sebagai sama-sama orang Sunda, maka pertanyaannya kemudian adalah
mengapa orang-orang Sunda Islam dengan identifikasi bahwa “Sunda adalah Islam”?
Seperti dikemukakan di atas, secara kuantitas etnik Sunda adalah etnik nomor dua
terbesar. Sekalipun demikian, jarang orang-orang Sunda yang muncul dalam percaturan sosial
dan politik Indonesia. Dalam kaitannya dengan masalah ini menarik untuk disimak apa yang
dikatakan Hasbullah dalam tulisannya di atas bahwa sejarah Sunda adalah sejarah kekalahan:
Secara historis, sejarah Sunda –dibandingkan dengan Jawa misalnya- adalah sejarah
yang kalah. Kerajaan-kerajaan Sunda seperti Tarumanegara, Galuh, Pajajaran dan
Sumedang Larang, adalah kerajaan-kerajaan lokal dan tidak ekspansionis sehingga
tidak memiliki supremasi besar seperti luasnya pengaruh dan banyaknya taklukan
kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan Sunda adalah taklukan kerajaan Majapahit, Mataram
dan Demak. Identitas asli kebudayaan Sunda pun karam dalam hegemoni kebudayaan
yang lebih besar seperti Jawa, Islam dan Barat.21
Dari pernyataan Hasbullah di atas maka dapat dikatakan bahwa, kecuali orang-orang
Baduy yang dianggap sebagai pewaris dan penerus budaya Sunda Pajajaran dengan agama
Sunda Wiwitannya, orang-orang Sunda pada umumnya mengalami kehilangan identitas
setelah mengalami penaklukan yang terus menerus oleh kerajaan-kerajaan Jawa sejak zaman
Majapahit, Banten dan Cirebon. Penaklukan oleh Demak dan Mataram Islam memang
membawa dampak pada diperkenalkannya agama Islam pada masyarakat Sunda sehingga
terjadi proses Islamisasi Sunda. Akan tetapi, seperti dikatakan Kahmad, Islamisasi Sunda ini
ternyata tidak lepas dari proses Jawanisasi sehingga secara kultural budaya Sunda pun
mengalami “kontaminasi.”
Kekalahan secara politik dan budaya masa silam ini berakibat pula pada kalahnya
orang-orang Sunda masa kini dalam konteks percaturan kekuasaan nasional. Pada masa
kolonial Bandung pernah menjadi semacam kawah candradimuka bagi orang-orang yang
aktif dalam bidang politik. Dari sinilah lahir tokoh-tokoh kaliber nasional, bahkan
internasional, seperti Soekarno, M. Natsir, dan lain-lain. Ironisnya, Soekarno sendiri adalah
orang Jawa sedangkan M. Natsir berasal dari Sumatra. 22 Bandung sendiri, bersama-sama

21

Hasbullah, ibid., hlm. 128.
Pada masa kemerdekaan orang-orang Sunda yang pernah naik ke panggung kekuasaan tingkat nasional di
antaranya adalah Ali Sadikin, Umar Wirahadikusumah, Ginanjar Kartasasmita, Agum Gumelar, Mochtar
Kusumaatmaja, Rachmat Witoelar.
22

17

dengan Garut, Tasikmalaya, dan Sukabumi, kini hanya melahirkan artis-artis23 dan menjadi
salah satu pusat seni dan mode.
Setelah Pajajaran tak dapat diharapkan, diperkenalkannya Islam sepertinya membawa
angin segar bagi masyarakat Sunda yang ingin mempertahankan identitasnya. Dalam hal ini
Islam menjadi alternatif untuk membangun kembali budaya Sunda, sehingga Islam menjadi
sumber rujukan dalam merajut kembali nilai-nilai budaya Sunda yang telah mengalami
“kontaminasi.” Dengan dijadikannya Islam sebagai sumber rujukan maka akan memberikan
ciri tersendiri bagi budaya Sunda dan dapat membedakannya dari budaya Jawa yang sarat
dengan kepercayaan dan tradisi mistiknya.
Memang Islam masuk ke masyarakat Sunda lewat penaklukan oleh kerajaan-kerajaan
Jawa dan mayoritas masyarakat Jawa beragama Islam. Tetapi Islam yang masuk ke Jawa dan
diterima masyarakat Jawa mengalami proses Jawanisasi dalam pengertian disaring dan
disesuaikan dengan kebudayaan Jawa. Dalam terminologi antropologi, Islam yang masuk ke
Jawa lebih bersifat asimilatif di mana Islam mengalami proses adaptasi terhadap kebudayaan
Jawa. Orang Jawa lebih bangga dengan budayanya sehingga para wali yang menyebarkan
agama Islam harus menyesuaikan diri terhadap alam pemikiran orang Jawa, dan betapa pun
orang Jawa Islam

lebih banyak tidak ada pernah ada ungkapan “Jawa adalah Islam.”

Sebaliknya, di kalangan masyarakat Jawa terkenal istilah “Kejawen” yang merupakan bentuk
tradisi di mana berbagai kepercayaan yang diterima diramu dalam bingkai budaya Jawa.
Selain dapat membedakannya dengan budaya Jawa, identifikasi budaya Sunda dengan
Islam diharapkan bahwa nilai-nilai ajaran Islam memberikan warna terhadap perilaku orangorang Sunda. Dalam hal ini, Kahmad menulis:
Maka sekarang persoalannya bukan terletak pada bagaimana menyundakan Islam dan
meng-Islam-kan Sunda, tetapi bagaimana keduanya dapat bersinergi melahirkan sosok
insan kamil, luhung elmuna [inggi ilmunya], pengkuh agamana [kuat agamanya],
jembar budayana [luas wawasan budayanya]...Sebagai orang Sunda, tantangan
terbesar adalah bagaimana orang Sunda dapat tampil ke muka dengan segala identitas
ke-Sunda-an yang mempunyai jiwa kosmopolitan ajaran Islam. Dan kewajiban bagi
setiap orang Islam Sunda untuk membuktikan bahwa dengan semangat jihad Islamlah
sunda akan terus nanjung [tegak], dan dengan kekayaan budaya Sundalah Islam akan
tetap agung.24
Penutup
Dalam karangka pemikiran Struktural-Fungsional masyarakat digambarkan sebagai
terdiri dari sejumlah struktur yang memiliki fungsi sendiri sehingga menciptakan equilibrium
23

Seperti penyanyi dangdut Elvi Sukaesih, Rhoma Irama, Dessy Ratnasari, Nike Ardila, Iwa Kusuma, Evi
Tamala, dan lain-lain.
24
Kahmad, ibid.

18

yang harmonis. Supaya tercipta masyarakat yang harmonis maka setiap individu anggota
masyarakat diharapkan dan diharuskan menyesuaikan diri terhadap nilai-nilai, norma-norma
dan aturan yang menjadi pegangan bersama, dan demi terciptanya masyarakat yang seimbang
dan harmonis nilai dan norma-norma tersebut tidak hanya harus disosialisasikan melainkan
juga harus dipaksakan, karena pelanggaran terhadap norma dan aturan bersama akan merusak
ikatan solidaritas sosial. Dari kacamata ini maka perubahan budaya dan perubahan sosial
merupakan sesuatu “haram.”
Menjaga dan mempertahankan kebudayaan suatu masyarakat tidak lepas dari peranan
para elit masyarakat yang bersangkutan. Di tangan para elit inilah suatu tindakan atau
perbuatan yang dilakukan anggota masyarakat dinilai sebagai sesuai atau tidak dengan
kebudayaan mereka. Sebagai organisme masyarakat mengalami perkembangan. Kontak
antara budaya, yang terjadi lewat individu, memungkinkan terjadinya perubahan kebudayaan.
Tetapi tetap saja di tangan para elit inilah unsur-unsur yang masuk disaring, diolah, dan
ditetapkan sebagai bagian dari kebudayaannya. Dengan kata lain, perubahan diterima selagi
tidak membuat struktur sosial yang lebih besar mengalami perubahan radikal. Itulah sebabnya
pendekatan Struktural-Fungsional kerap dianggap sebagai pendekatan yang pendukung status
quo.
Dalam konteks hubungan antara Islam dan Sunda, dengan demikian, pernyataan
“Sunda adalah Islam” dapat dikatakan sebagai upaya dari orang-orang Sunda Islam tertentu
untuk mempertahankan statusnya, sedangkan status sosial yang elit pada suatu masyarakat
tertentu merupakan status istimewa yang berimplikasi pada hak-hak yang juga istimewa.
Henley dan Jamie Davidson25 mengingatkan bahwa dalam melihat gerakan kebangkitan
masyarakat adat dewasa ini harus diperhatikan sejauh mana mereka yang berbicara atas nama
komunitas adat mewakili warga komunitasnya, karena bisa jadi gerakan ini hanya menjadi
tunggangan politik segelintir orang demi mengejar dan mempertahankan kekuasaan atau
kepentingan pribadi.

25

Henley dan Jamie Davidson, 2010, hlm. 6.

19

DAFTAR BACAAN
Abdullah, Irwan (2007), Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, cet. 2.
Alwasilah, Chaedar (2009), “Islamic Thoughts and Sundanese Values,” makalah disampaikan
pada acara International Roundtable Discussion on Islamic Thought and Sundanese
Values, 9 Januari 2009.
Bowie, Fiona (2001), The Anthropology of Religion, Oxford, Blackwell Publishers, reprint.
Buhanan, Paul and Mark Glazer (ed