Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung - Repository UNRAM

  Volume 2 Nomor 3 September 2013

  ISSN : 2301-5970

JURNAL JURNAL KEDOKTERAN KEDOKTERAN

  

UNRAM

UNRAM R S E

  

I

T

  V I A N S U M M A A T A R Tinjauan Pustaka :

Kejang Demam Pada Anak

Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun 2011-2012 Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Tinjauan Pustaka :

  Volume 2 Nomor 3 September 2013

  ISSN : 2301-5970

JURNAL JURNAL KEDOKTERAN KEDOKTERAN

  

UNRAM

UNRAM R S E

  

I

T

  V I A N S U M M A A T A R Tinjauan Pustaka :

Kejang Demam Pada Anak

Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun 2011-2012 Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Tinjauan Pustaka :

  Jurnal Kedokteran Unram Penasehat

  Prof. Mulyanto

  Editor  dr. Hamsu Kadriyan, SpTHT.,M.Kes.

   dr. Yunita Sabrina, M.Sc.,Ph.D.  dr. Arfi Syamsun, SpKF., M.Si.Med.

  Dewan Redaksi  dr. Doddy Ario Kumboyo, SpOG (K)  dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med.,SpAn.

   dr. Ima Arum Lestarini, M.Si.Med,SpPK  dr. I G N Ommy Agustriadi, SpPD  dr. Ida Ayu Eka Widiastuti, M.Fis.  dr. Bambang Priyanto, SpBS  dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes.  dr. Seto Priyambodo, M.Sc.

   dr. Nurhidayati, M.Kes.  dr. Pandu Ishak Nandana, SpU  dr. Arif Zuhan, SpB  dr. Dewi Suryani, M.Infectdis(MedMicro)  dr. Fathul Djannah, SpPA  dr. Marie Yuni Andari, SpM  Siti Rahmatul Aini, SF.Apt.,M.Sc.  dr. Yunita Hapsari, M.Sc.SpKK  dr. Akhada Maulana, SpU  dr. Monalisa Nasrul, SpM  dr. Joko Anggoro, M.Sc.,SpPD  Agriana Rosmalina H., M.Farm., Apt

  Mitra Bestari

   dr. I Made Jawi, M.Kes. (Bagian Farmakologi FK UNUD)  dr. Sofwan Dahlan, SpF (Bagian Bioetik FK UNDIP)

  Sekretaris

  dr. Prima Belia Fathana

  Layout dan Percetakan

  Syarief Roesmayadi

  ISSN : 2301-5977 Jurnal Kedokteran Universitas Mataram Edisi 4, Volume 3, September 2013 DAFTAR ISI Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak Wayan Sulaksmana SP, Sukardi, Abdul Razak Dalimunte.........................................................

  3 Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Eustachius Hagni Wardoyo, Teguh Sarry Hartono ....................................................................

  12 Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Erwin Kresnoadi, Hadian Rahman, Wahyu Sulistya Affarah...................................................

  16 Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun 2011-2012 Prima Belia Fathana, Gede Wira Buanayuda, Novia Andansari Putri .......................................

  27 Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Hamsu Kadriyan ..................................... ...................................................................................

  38 Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Rifana Cholidah ............................................................ ……….................................................

  45 Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Erwin Kresnoadi ...................... ...………....................................................................................

  51 Tinjauan Pustaka : The Relationship Between Child Obesity And Bone Health Rifana Cholidah ......................

  61 ...………....................................................................................

  Pedoman Penulisan Naskah Artikel.........................................................................................

  69

KEJANG DEMAM PADA ANAK

  Wayan Sulaksmana SP, Sukardi, Abdul Razak Dalimunte

  Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-Unram/RSUP NTB Abstract: Febrile convultion is a neurological disorder that is often found in children. Fever is usually caused by

  

an infection outside of the central nervous system such as : Upper respiratory tract infection,gastroenteritis,

urinary tract infection, etc.Febrile siezures in general brief form : tonic, tonic-clonic,focal or partial. Febrile

convultion should receive prompt and appropriate treatment because of delays and procedural errors would

cause sequel and death. Appropriate education for parents about febrile convultion is unbelievably necessary

to reduce anxiety. Keywords : seizure,fever,anticonvulsanst Pendahuluan

  Kejang merupakan suatu manifestasi klinik lepas muatan listrik berlebihan dari sel- sel neuron di otak yang terganggu fungsinya. Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan anatomis, fisiologis, dan biokimia, 1 Pada sebagian besar kasus, gangguan fungsi sel neuron otak hanya bersifat sementara. Kejang dapat merupakan petanda serius suatu penyakit yang mendasarinya. 2 Kejang pada anak lebih sering terjadi karena kenaikan suhu tubuh. Demam sering disebabkan oleh infeksi di luar sistem saraf pusat seperti : infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis dan infeksi saluran kemihdan lain-lain. Menurut

  Consensus Statement of Febrile Seizures(1980), Kejang demam biasanya

  dapat terjadi pada usia antara 3 bulan dan 5 tahun dan tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. 3 Pendapat lain mengatakan bahwa kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 6 bulan dan 5 tahun. Anak yang pernah mengalamin kejang tanpa demam dan bayi umur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. 3,4,8

  Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidak sama, tergantung dari nilai ambang kejang masing- masing. 4,6 Setiap serangan kejang pada anak harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat apalagi pada kasus kejang yang berlangsung lama dan berulang. Karena keterlambatan dan kesalahan prosedur akan mengakibatkan gejala sisa pada anak atau bahkan menyebabkan kematian. ,3,5,6,8

  Makalah ini bertujuan membahas beberapa aspek dan tatalaksana kejang demam pada anak.

  Definisi

  Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh(suhu rectal) Lebih dari 38 o

  C, yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial. 3,5,6 Kejang Demam Sederhana adalah kejang demam yang terjadi pada umur antara 6 bulan sampai 4 tahun, lama kejang kurang dari 15 menit, kejang bersifat umum, frekuensi kejang kurang dari 4 kali dalam setahun, kejang timbul dalam 16 jam sesudah kenaikan suhu. 6 Patofisiologi

  Dasar patofisiologi terjadinya kejang demam adalah belum berfungsinya dengan baik susunan saraf pusat(korteks serebri). 6 Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa glukosa yang didapat dari proses metabolisme sel. Sel-sel otak dikelilingi oleh membran yang dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K + ) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na

  • + ) dan elektrolit lain kecuali Clorida (Cl -

  ). Akibatnya konsentrasi ion K

  • + di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na +

  rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron.Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh :1.Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. 2. Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. 3. Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan.

  Pada keadaan demam, kenaikan suhu

  1 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium melalui membran sel, akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar keseluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter terjadilah kejang. Pada anak degan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38°C sudah terjadi kejang, namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu diatas 40°C. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang rendah. 4,6,8

  Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama >15 menit “Status epilepticus“ adalah suatu keadaan darurat dan perlu tindakan segera karena bila berlangsung lama akan menyebabkan kerusakan neuron dengan akibat kematian.

  Bila kejang tidak teratasi (status epileptikus) akan timbul keadaan hipoksia jaringan otak dengan akibat permeabilitas kapiler meninggi, terjadi edema otak dengan tekanan intrakranial yang meninggi. Akibat edema otak terjadi kerusakan sel dan depressi pernapasan yang menambah hipoksia. Kematian timbul kemudian oleh kolaps sirkulasi. 7 Bila kejang dapat diatasi, anak bisa kembali normal atau sembuh dengan gejala sisa. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi. 4 Manifestasi Klinik

  Terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar sistem saraf pusat, misalnya karena tonsillitis, bronchitis atau otitis media akut. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat, dengan sifat bangkitan kejang berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa ada kelainan neurologi. 3,5,8 Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam pertama. 3 Bila menghadapi penderita dengan kejang demam, pertanyaannya yang sering timbul apakah Kejang Demam Sederhana atau Kejang Demam Kompleks. Dahulu

  LivingStone membagi kriteria kejang

  menjadi dua golongan, yaitu: Kejang Demam Sederhana (simple febrile convulsion) dan Epilepsi yang diprovokasi oleh Demam (epilepsy triggered of by fever). Klasifikasi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi membuktikan bahwa resiko berkembang epilepsi atau berulangnya kejang tidak sebanyak diperkirakan. 3 Unit Kerja Koordinasi Nerologi (UKK) IDAI 2006 membuat Klasifikasi Kejang Demam pada anak menjadi : 4,8

  1. Kejang Demam Sederhana (Simple

  Febrile Seizure)

  a. Kejang berlangsung singkat kurang dari 15 menit b. Kejang bersifat umum, tonik dan atau klonik c. Tidak berulang dalam 24 jam

  (frekuensi 1 kali dalam 24 jam)

  2. Kejang Demam Kompleks Complex

  fibrile Seizure)

  a. Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit b. Kejang fokal atau parsial, atau kejang umum didahului kejang parsial

  c. Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam (kejang multipel atau kejang serial)

  Deferensial Diagnosa

  Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipertimbangkan apakah penyebabnya dari luar atau dari dalam susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak biasanya karena

  Gambar 1. Skematik patofisiologi pada Kejang infeksi, seperti: Meningitis, Encephalitis, atau abses otak dll. Oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organik di otak. Baru sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks. 3 Penegakkan Diagnosis: 4,8

  1. Anamnesis : Dari anamnesis ditanyakan :

  a. Tampilan kejang,umum atau fokal dan berapa lama durasi kejangnya

  b. Riwayat demam dan penyakit lain yang diderita oleh anak c. Riwayat penggunaan obat pada anak d. Riwayat kejang sebelumnnya, masalah nerologik, keterlambatan tumbuh kembang atau penyebab lain seperti trauma

  e. Riwayat keluarga yang pernah atau tidak mengalami kejang demam, epilepsy

  2. Pemeriksaan fisik dan nerologi Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsangan meningeal, tanda peningkatan tekanan intrakranial, dan tanda infeksi di luar Susunan Saraf Pusat (SSP). Pada umumnya tidak dijumpai adanya kelainan nerologis termasuk tidak ada kelumpuhan nervi kranialis.

  3. Pemeriksaan penunjang

  a. Pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan secara rutin, namun untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau keadaan lain. Pemeriksaan yang dapat dikerjakan : Pemeriksaan darah perifer, elektrolit dan gula darah b. Pungsi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan atau menegakan diagnosis meningitis, dianjurkan pada: 1) Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan 2) Bayi usia antara 12 bulan-18 bulan dianjurkan 3) Bayi usia> 18 bulan tidak rutin.

  Prognosis

  Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian.Frekuensi berulangnya kejang berkisar antara 25 – 50%. Resiko untuk mendapatkan epilepsy rendah ditemukan 2,9% dari semua penderita kejang demam. 3 Penanggulangan

  Anak yang mengalami Kejang Demam Sederhana atau Kejang Demam Kompleks sebaiknya dirawat dirumah sakit dan dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih lanjut. 4 Dalam penanggulangan kejang demam pada anak, ada 4 faktor yang harus dilakukan, yaitu:

  A. Memberantas kejang secepat mungkin 1,2,4,8

  Apabila penderita datang dalam keadaan kejang, segera diberikan diazepam secara rektal dengan dosis :

  • – 10 mg /kg bb/hari dibagi 2 dosis selama 2 hari, selanjutnya 3 – 5 mg/kg bb/hari dibagi 2 dosis selama demam.

  ICU/ED Jika preparat (+) 20-30 mnt

  dengan diazepam dapat diberikan antikonvulsan long acting seperti Phenobarbital, terutama bila ada faktor resiko: kejang lama, kejang fokal atau parsial, adanya kelainan neurologis yang nyata, kejang multipel, dan riwayat epilepsi dalam keluarga.

  (lihatgambar2). Bila kejang sudah teratasi

  Berat badan < 10 kg = 5 mg Berat badan > 10 kg = 10 mg

  Kelainan Pulse Oksimetri

Gambar 2

Alogaritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus.

( PKB Ilmu Kesehatan Anak FK. Unud , Sanur 5-8 Juli 2012)

  EKG gula Darah Serum Elektrolit Na, K, Ca, Mg, Cl analisa gas darah Koreksi

  30-60 menit

atau

atau

Vital sign

  Blood Drug Level Note: Aditional 5-10mg/kg/IV

  Propofol 3-5mg/ kg/infusion Monitoring

  Prehospital Diazepam 5- 10mg/rec max 2x Jarak 5 menit

  ICU Midazolam 0,2mg/kg/IV bolus di lanjutkan drip per infus

  Tiopental 2- 4mg/kg/IV

  50 ml NS Max 1000mg Refrakter Pentotal-

  

>5-10 menit,

max 1gr)

Phenitoin 20mg/ kg/IV 20 menit/

  

0,1 mg/kg/IV

(rate<2mg/menit

Phenobarbital

20mg/kg/IV (rate

  IV (rate 2mg/menit,max dose 20 mg) 10-20 mnt

Midazolam 0,2

mg/kg/IV bolus

Lorazepam 0,005-

  Circulation Diazepam 0,25-0,5 mg/kg/

  0-10 menit Hospital/ED Airway Breathing

  Dosis phenobarbital : loading dose secara intramuskuler : Neonatus : 30 mg Anak usia 1 bulan – 1 tahun : 50 mg Anak usia > 1 tahun : 75 mg Dilanjutkan 4 jam kemudian dengan phenobarbital oral : 8

  5,6

  

B. Pengobatan penunjang. Diazepam rectal setiap 8 jam (lihat

  Sebelum memberantas kejang jangan dosis rektal sesuai berat badan) lupa dengan pengobatan penunjang yaitu : Berikan penjelasan pada orang tua

  1. Penderita sebaiknya dibebaskan dari tentang efek samping obat semua pakaian, posisi kepala miring diazepam yaitu : mengantuk, letargi, yaitu untuk menghindari aspirasi. iritabel dan ataksia. 4,6,8

  2. Penting sekali mengusahakan jalan 2. Profilaksis jangka panjang. nafas yang bebas agar oksigenasi Pemberian obat profilaksis terus terjamim, jika diperlukan dapat menerus jangka panjang ditujukan dipasang intubasi bahkan untuk menjamin terdapatnya dosis trakheotomi. Penghisapan lendir terapeutik di dalam darah stabil dan dilakukan secara teratur, juga cukup, guna mencegah berulangnya diberikan oksigenasi yang memadai. kejang di kemudian hari. Diberikan

  3. Mengawasi secara ketat fungsi vital pada keadaan : seperti kesadaran, suhu tubuh, a. Adanya kelainan nerologis yang tekanan darah, pernafasan dan fungsi nyata sebelum atau sesudah kejang jantung. seperti : hemiparesis, paresis todd,

  4. Cairan intravena sebaiknya diberikan palsi serebral, retardasi mental, dengan monitor kelainan metabolik hidrosefalus/mikrosefali dll. dan elektrolit. Bila ada kenaikan

  b. Bila kejang berlangsung lebih dari tekanan intracranial jangan diberikan 15 menit, natrium dengan kadar tinggi

  c. Kejang bersifat fokal, kejang

  5. Bila suhu tubuh masih tinggi( berulang lebih dari 2 kali dalam 24 hiperpireksi ) diberikan antipiretik jam intravena dan kompres es atau d. Anak usia < 12 bulan . alkohol. 4,6,8

  e. Kejang demam kompleks berulang

  C. Pengobatan profilaksis lebih dari 4 kali dalam setahun.

  Pengobatan profilaksis terhadap Obat yang diberikan berupa : berulangnya kejang demam dapat dibagi

  1. Fenobarbital dalam dua yaitu: Dosis 4-5 mg/kgBB/hari

  1. Profilaksis intermiten pada waktu Efek samping pemakaian jangka demam. panjang : hiperaktif, perubahan

a. Antipiretik : siklus tidur, gangguan kognitif, dan – parasetamol 10-15 mg/kgbb tiap 4 gangguan fungsi luhur.

  6 jam

  2. Asam Valproat Ibuprofen 5 – 10 mg/kgbb tiap 6 – Dapat menurunkan resiko 8 jam terulangnya kejang dengan

  b. Obat antikonvulsan : memuaskan bahkan lebih baik Diazepam oral 0,3 mg/kgbb setiap 8 dibanding dengan fenobarbital. jam saat demam atau Dosis : 20-30 mg/kgBB/hari dalam

  4 3 dosis.

  E. Edukasi Pada orang Tua.

  Efek samping : mual, hepatotoxis Kejang selalu merupakan peristiwa yang dan pancreatitis. menakutkan bagi orang tua, karena saat Antikonvulsan pada profilaksis jangka kejang sebagian besar orang tua panjang ini diberikan sekurang- beranggapan bahwa anaknya akan kurangnya selama 1 tahun bebas meninggal. Kecemasan tersebut harus kejang. Penghentian pengobatan harus dikurangi dengan edukasi yang tepat bagi dilakukan dengan cara tapering orang tua seputarkejang demam, off,dalam waktu 3-6 bulan guna diantaranya : menghindari rebound fenomena. 1. meyakinkan bahwa kejang demam

  

D. Mencari Dan Mengobati Faktor umumnya bukan merupakan

Penyebab/Kausatif

  penyakit yang serius tetapi tidak juga Penyebab dari kejang demam baik kejang dianggap ringan (berprognosis baik ) demam sederhana /kejang demam

  2. Memberikan cara penanganan kejang kompleks biasanya infeksi pada traktus

  3. Memberikan informasi kemungkinan respiratorius bagian atas, otitis media kejang kembali( kejang berulang) akut, gastrointestinal, saluran kemih dll.

  4. Terapi memang efektif mencegah Pemberian antibiotika yang tepat dan rekurensi tetapi memiliki efek adekuat akan sangat berguna untuk samping menurunkan demam yang pada gilirannya

  5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan akan menurunkan resiko terjadinya mengurangi kejadian epilepsy kejang. Secara akademis, anak yang datang dengan kejang demam pertama Kesimpulan kali sebaiknya dilakukan pemeriksaan Walaupun sebagian besar kejang demam punksi lumbal. Hal ini perlu untuk dapat berhenti sendiri, sebagian lain tetap menyingkirkan kemungkinan infeksi memerlukan pengobatan profilaksis jangka intrakranial (meningitis). Selanjutnya panjang. Tatalaksana yang adekuat sangat apabila menghadapi anak dengan kejang penting untuk mencegah kejang lama(status yang berlangsung lama diperlukan epileptikus) dan kematian. Setelah kejang pemeriksaan : punksi lumbal, darah berhasil diatasi, dilakukan anamnesis, lengkap, glukosa, elektrolit, EEG, Brain pemeriksaan klinis neurologis, dan Scan, MRI, Pneumo Ensefalografi dan pemeriksaan penunjang untuk mecari 3,4,5 arteriografi. etiologi. Tentukan apakah kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks.

  Daftar Pustaka

  2. Widodo DP : Penatalaksanaan Kejang dan Status Epileptikus pada Bayi dan

  1. Suarba IG : Manajemen terkini kejang Anak. Dalam : Paediatric Neurology and dan status epileptikus. Dalam : Neuroemergency in Daily Practice. PKB

  Penangan kegawat daruratan XLIX IKA Fk.UI, Jakarta 2006. Neonatologi dan Anak pada fasilitas

  3. Mansjoer, Suprohaita, Wahyu IW, Wiwik terbatas, PKB IKA Fk Unud/RSUP S. Editor : Kejang Demam. Kapita Sanglah , sanur 2012. Selekta Kedokteran, ed 3;2. Penerbit Media Aesculapius Fk.UI, 2000;434-7.

  4. Prasasti AS. Kejang Demam pada Anak.

  Diakses 12 september 2012. Diunduh dari :http//asprasasti.blogspot.com/2011/05/ kejang demam pada anak.html.

  5. Ismael S . Kejang Demam. Dalam : Sudaryat,Suwendra IP editor. Simposium Kedaruratan pada Anak. IKA Fk. Unud, Denpasar 1983.

  6. Anonim : Kejang Demam pada Anak . diakses 12 september 2012. Diunduh dari :http//medlinux.blogspot.com/2007/09/kej ang-demam-pada-anak.html.

  7. Hendarto SK, Ismael S : Kejang Demam pada Anak. Dalam : Sulestea G,Steawati A, Mariana, Handoko T editor : Kumpulan Naskah KPPIK X. Fk.UI, Jakarta 1979.

  8. Anonim : Kejang Demam . Pedomam Pelayanan Medis Kesehatan Anak.

  Bagian/SMF

  IKA. Fk. Unud/RSUP Sanglah Denpasar,2011.

HUBUNGAN ANTARA DURASI PEMBERIAN HAART (HIGHLY ACTIVE ANTI RETROVIRAL

  

1

2 Eustachius Hagni Wardoyo dan Teguh Sarry Hartono Abstrak

Latar Belakang: Dinamika CD4 dikaitkan dengan durasi pemberian HAART memiliki keberagaman antar

individu, antar seting waktu dan tempat. Dinamika CD4 paska HAART merupakan faktor penting baik dalam

evaluasi klinis pasien HIV dan kepentingan epidemiologis. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara

durasi pemberian HAART dengan peningkatan level CD4.

  Metodologi: Merupakan penelitian potong lintang dengan kriteria inklusi: 1.

  Usia pasien ≥18 tahun, pria dan

wanita, 2. Memiliki angka CD4 pre ART (CD4 naïve) dan CD4 setelah ART, 3. Memiliki data CD4 naïve dan

CD4 setelah HAART, 4. Memiliki selisih CD4 terakhir dengan CD4 naïve positif, dan 5. Memiliki kepatuhan

berobat. Durasi pemberian HAART (bulan) dikelompokkan dalam kelompok waktu: 1) <12, 2) 12

  • – 23, 3) 24- 36 dan 4) ≥ 36.

  

Hasil: Sejumlah 68 pasien dievaluasi. Dari 68 pasien terdapat 18 pasien yang memenuhi kriteria inklusi.

  

Distribusi kelompok durasi dari 18 pasien: 1) 4 (22,2%), 2) 3 (16,7%), 3) 6 (33,3%) dan 4) 5 (27,8%). Dengan

multivariate analysis terdapat perbedaan antar kelompok durasi terapi yang bermakna terhadap peningkatan

CD4 (p=0,033; ANOVA). Secara spesifik perbandingan antar kelompok diuji menggunakan LSD post hoc test

pada kelompok 1 dan 2 tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0,801) demikian juga kelompok 2 dan 3

(p=0,553) namun pada kelompok 3 dan 4 terdapat perbedaan yang bermakna (p=0.020).

  

Kesimpulan: Hanya 26,5% pasien yang mengalami kenaikan level CD4. Kenaikan level CD4 dapat terlihat

secara bermakna setelah 36 bulan terapi HAART. 1 Kata kunci: HAART, CD4, antiretroviral therapy 2 Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Jl. Pendidikan 37 Mataram Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Soelianti Saroso, Jl. Sunter Permai Raya Jakarta Koresponden: wardoyo_eh@yahoo.com Abstract

Background: Dynamics of CD4 after commencing highly active antiretroviral therapy (HAART) for certain

periods of time differ between patients, time and place. The present study aims to investigate the relationship

between duration of commencing HAART and the increasing of CD4.

  Methods: Using cross- sectional study with inclusion criteria as follow: man and women age ≥ 18 y.o., having

CD4 naïve and CD4 post HAART, having positive difference between last CD4 and CD4 naïve and good

adherence. HAART’s duration (months) was grouped into: 1) <12, 2) 12 – 23, 3) 24-36 and 4) ≥ 36.

  

Results: Sixty eight patients were evaluated, only 18 patients met inclusion criteria. The duration groups are:

1) 4 (22,2%), 2) 3 (16,7%), 3) 6 (33,3%) and 4) 5 (27,8%) patients. Using multivariate analysis found there

was significant difference between duration groups to increasing CD4 (p=0,033; ANOVA). Followed by LSD

post hoc tested to group 1 and 2 no significant difference (p=0,801) also group 2 and 3 (p=0,553) but between

group 3 and 4 found significant difference (p=0.020).

  

Conclusion: Only 26,5% (18/68) patients with increasing CD4. Increasing CD4 was observed significant after

36 months commencing HAART. 1 Keywords: HAART, CD4, antiretroviral therapy 2 Faculty of Medicine Mataram University, Pendidikan Street, 37, Mataram, Indonesia Infection Disease Hospital Soelianti Saroso, Baru Sunter Permai Raya street Jakarta, Indonesia. 1,2,3

  Level CD4 menjadi bagian penting dalam paduan HAART yang sesuai . Setelah manajemen HIV, mulai dari menentukan inisiasi HAART perlu dimonitor efek samping apakah pasien sudah memenuhi syarat obat dan kepatuhan minum obat setidaknya inisiasi highly active antiretroviral therapy dalam 2 minggu-2 bulan pertama, 6 bulan (HAART), menilai status supresi imun setelah inisiasi HAART perlu dilakukan 1,4 pasien, menentukan infeksi oportunistik yang pemeriksaan CD4 dan viral load . Studi telah atau sedang terjadi, dan menentukan dinamika level CD4 di Indonesia masih terbatas dan respon imun pada seting lokal perlu diketahui, perbedaan tiap seting penelitian terutama terkait dengan variasi heterogeneity virus, latar belakang farmakogenetik, dan konstitusi tubuh. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang mencari korelasi antara durasi HAART dan efek peningkatan level CD4.

  METODOLOGI

  Penelitian ini mengambil tempat di klinik

  care, support and treatment (CST) di

  Tomang Jakarta Barat yang berlangsung bulan Juni 2011. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan mengambil subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: 1. Usia pasien ≥18 tahun pria dan wanita, 2. Memiliki angka CD4 pre ART (CD4 naïve) dan CD4 setelah ART,

  3. Memiliki data CD4 naïve dan CD4 setelah HAART, 4.Memiliki selisih CD4 terakhir dengan CD4 naïve positif, dan 5.Memiliki kepatuhan berobat. Durasi pemberian HAART dikelompokkan dalam kelompok waktu: 1) <12 bulan, 2) 12 – 23, 3) 24-36 dan 4) ≥ 36.

  Definisi operasional

  Durasi pemberian HAART: selisih waktu antara inisiasi HAART dengan pemeriksaan level CD4 yang terakhir. Peningkatan level CD4: selisih positif antara pemeriksaan level CD4 terakhir dengan CD4 naïve

  Analisis statistik

  Data yang diolah adalah data peningkatan CD4 (data numerik) dalam pengelompokan durasi pemberian HAART.Perbedaan antar kelompok durasi dilakukan analisis

  multivariate dan uji post hoc menggunakan software SPSS 16.

  HASIL

  Sampai dengan bulan Juni 2011 terdapat 68 pasien yang memiliki kepatuhan berobat diatas 95%.Dari 68 pasien terdapat 18 pasien yang masuk kriteria inklusi. Sebanyak 50 pasien tidak memenuhi kriteria inklusi karena tidak memiliki data CD4 setelah HAART dan peningkatan level CD4 tidak dapat dievaluasi.

  Karakteristik subyek penelitian

  Menurut jenis kelamin terdapat

  3 perempuan dan 15 laki-laki dengan median usia 28 tahun (23-37). Sebanyak 9 pasien memiliki resiko penularan dari riwayat hubungan seks beresiko dan 9 pasien lainnya memiliki resiko penularan baik dari riwayat hubungan seks beresiko maupun penasun.

  Delapan belas pasien dikelompokkan berdasarkan durasi HAART yang telah dijalani menjadi empat kelompok: 1) kurang dari 12 bulan sebanyak 4 (22,2%) orang, 2) antara 12-24 bulan sebanyak 3 (16,7%) orang, 3) antara 24-35 bulan sebanyak 6 (33,3%) orang dan 4) lebih atau sama dengan 36 bulan sebanyak 5 (27,8%) orang dengan peningkatan CD4 yang dapat dilihat pada tabel 1.

  

Tabel 1. Distribusi kelompok pasien berdasarkan durasi HAART

  Kelomp. Durasi HAART Jumlah pasien Median peningkatan CD4 (min- max) 1 <12 bulan 4 122,5 (46-240) 2 12-23

  3 114 (13-187) 3 24-35 6 146,5 (1-418) 4 ≥36 5 361 (240-710)

  DISKUSI

  Respon imun CD4 paska HAART pada beberapa studi menunjukkan hasil yang bervariasi mulai dari peningkatan 190-423 sel/mmk dalam kurun waktu 4 tahun paska HAART 5 , peningkatan 50 sel/mmk setelah 120 hari 6 namun tidak mengaitkan dengan durasi pemberian HAART. Dalam studi ini dibandingkan dengan studi Kaufmann dkk (2003) 5 dan Erb dkk

  (2000) 7 menunjukkan persentase pasien yang mengalami peningkatan level CD4 yang lebih rendah (26,5% vs 39% dan 37,9%).

  Diduga factor usia pasien, respon imun yang buruk dan adanya interupsi saat HAART 1,3,5,7,8 menjadi penyebab kegagalan naiknya CD4

  Monitoring laboratorium menggunakan CD4 lebih dipilih terkait dengan biaya dan ketersediaan tempat pemeriksaan di

  Indonesia. Kriteria laboratorium yang dipergunakan dalam monitoring antara lain darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin serum, profil lipid dan lain-lain sesuai kondisi klinis pasien dan kemampuan sumber daya local. Pemeriksaan total lymphocyte count tidak mampu menggantikan pemeriksaan CD4 1,3,4 .

  Dalam kurun waktu diatas 36 bulan, terjadi median peningkatan level CD4 sebanyak 361 sel/mmk, sedikit melampaui perkiraan peningkatan level CD4 sebanyak 50-100 sel/mmk pertahun. Level CD4 merupakan penanda yang dipergunakan dalam manajemen HIV. Tanpa adanya HAART level CD4 akan menurun antara 80- 110 sel/ μL, pertahun 1,2,4,9 (tabel1).

  

Gambar 1. Distribusi nilai peningkatan CD4 pada kelompok durasi pemberian HAART

  Pada gambar 1 dan tabel 1, terlihat median peningkatan CD4 yang telah terlihat pada kelompok durasi pertama (122,5 sel/mmk) kemudian mengalami sedikit penurunan (114). Pada kelompok tiga terjadi peningkatan CD4 kembali, lebih tinggi dibanding kelompok pertama dan kedua (246,5 sel/mmk). Peningkatan CD4 yang terjadi antar kelompok durasi berbeda bermakna (p=0,033; ANOVA). Menggunakan LSD post hoc test pada kelompok 1 dan 2 tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) demikian juga kelompok 2 dan 3 (p>0,05) namun pada kelompok 3 dan 4 terdapat perbedaan yang bermakna (p=0.020). Sehingga durasi HAART selama lebih atau sama dengan 36 bulan baru terjadi peningkatan CD4 yang bermakna secara statistik.

  Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dalam melakukan monitoring dan evaluasi HAART. Jika diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai pemberian HAART memberikan respon peningkatan level CD4 dibandingkan dengan

  CD4 pre-HAART (CD4 naïve) pada seting local akan memberikan manfaat baik itu dalam manajemen pasien yang baru terdiagnosa HIV maupun yang telah mengkonsumsi HAART dalam jangka waktu tertentu. Manfaat bagi pasien dan keluarganya diharapkan akan mendapatkan pembekalan awal pre-HAART (konseling) yang lebih baik sehingga meningkatkan kepatuhan minum obat. Manfaat bagi konselor, klinisi dan manajer kasus adalah mengetahui durasi HAART sampai memberikan peningkatan CD4 dipopulasi yang dijangkaunya sehingga mempengaruhi perencanaan program, menambahkan materi edukasi, monitoring dan evaluasi efikasi terapi dan lebih lanjut lagi dapat menjadikan pertimbangan kapan dilakukannya uji resistensi HAART.

  Keterbatasan penelitian ini harus ditindak lanjuti dengan penelitian selanjutnya dengan subyek penelitian yang lebih banyak, metodologi yang lebih baik dan memiliki interpretative operasional dilapangan untuk level CD4 dapat terlihat secara bermakna membantu manajemen HIV yang lebih baik. setelah 36 bulan terapi HAART.

  Ucapan terimakasih KESIMPULAN

  Penulis mengucapkan terimakasih Hanya 18/68 (26,5%) pasien yang kepada AIDS Research Center (ARC) Unika mengalami kenaikan level CD4. Peningkatan Atma Jaya dan Kios Informasi Kesehatan

  PPH Unika Atma Jaya Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

  6. Binquet C, G Chêne, H Jacqmin-Gadda, V Journot, M Savès, D Lacoste, et al.

  1. Kemenkes RI. 2011. Pedoman

  Modeling Changes in CD4-positive T- Nasional Tatalaksana Klinis dan Lymphocyte Counts after the Start of Terapi Antiretroviral Pada Orang Highly Active Antiretroviral Therapy Dewasa. Jakarta and the Relation with Risk of

  2. Sabin CA, AN Phillips. Should HIV

  Opportunistic Infections. Am J therapy be started at a CD4 cell count Epidemiol 2001;153:386

  • –93

  above 350 cells/ μl in asymptomatic

  7. Erb P, M Battegay, W Zimmerli, M HIV-1-infected patients? [Special

  Rickenbach, M Egger, for the Swiss HIV

  commentary]. Curr Opinion in Infectious

  Cohort Study. Effect of Antiretroviral Diseases: 2009. 22 (2):191-197

  Therapy on Viral Load, CD4 Cell

  3. WHO. 2010. Antiretroviral therapy for

  Count, and Progression to Acquired HIV infection in adults and Immunodeficiency Syndrome in a adolescents: recommendations for a Community Human Immunodeficiency

  public health approach. – 2010 rev.

  Austria

  Virus –Infected Cohort Arch Intern Med.

  2000;160:1134-1140

  4. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional 8. Wardoyo EH, Hartono TS, Yunita R.

  Terapi Antiretroviral, Edisi kedua.

  Highly active antiretroviral therapy

  Jakarta

  (HAART) initiation to HIV patients with

5. Kaufmann GR, L Perrin, G Pantaleo, M

  various CD4 levels. Poster Presentation

  Opravil, H Furrer, A Telenti et al for the th in 6 National Symposium Indonesian Swiss HIV Cohort Study Group. CD4 T-

  Antimicrobial Resistance Watch, July,

  Lymphocyte Recovery in Individuals

  2010. Jakarta

  with Advanced HIV-1 Infection 9. Kelly M. 2004. HIV Immunopathology. Receiving Potent Antiretroviral

  In: Hoy J and S Lewin (Editor) HIV Therapy for 4 Years. Arch Intern Med. Management in Australasia: a guide for

  2003;163:2187-2195 clinical care. Australasian Society for HIV Medicine Inc. ASHM.

  

EFEKTIVITAS PETIDIN 25 MG INTRAVENA UNTUK MENCEGAH MENGGIGIL PASCA

ANESTESI UMUM

  Erwin Kresnoadi, Hadian Rahman, Wahyu Sulistya Affarah Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

  ABSTRACT

Background : Post anesthesia complication scan be caused by various factors, shivering is quite frequently

encountered complications during recovering time. Risks that may happen is increasing of metabolism and

make post operative pain worst. This study proves petidine can be used as an alternative to prevent shivering

after general anesthesia.

  

Methods : This research includes phase II clinical trials, the sample selection by Quota Sampling of patients

are being prepared for elective surgery with general anesthesia, aged 20-40 years, ASA I-II, all patients who

meet the criteria for inclusion in the sample until the required number met, willing to volunteer. Randomization

was done at the end of the operation. Patients were divided into two groups, Pand S.Severity of shivering

were recorded and assessed.

  

Results : Characteristics of patients five minutes before induction did not significant differences.

  

Measurement of systolic blood pressure and heart rate immediately after extubation showed significant

differences. Duration of shivering in saline group occurredin almost the same when compared with the

treatment group, because after the shivering, the patient is given immediate intervention of meperidine of

nd rd

25mg for the treatment of shivering occurred, especially given to people who experience shivering with2 , 3 ,

th

or 4 degree. For patients shivered first degree was given meperidine administration intervention. Duration of

shivering in the control group took place in almost the same time.

  

Conclusion : Pethidine had a good effectiveness in preventing the occurrence of shivering after general

anesthesia. Keywords: Pethidine, shivering after general anesthesia.

  

LATAR BELAKANG MASALAH akan dapat berbahaya bagi pasien dengan

  Penyulit yang terjadi pasca anestesi dapat kondisi fisik yang tidak optimal, pasien ditimbulkan oleh berbagai faktor yaitu dengan penyakit paru obstruktif menahun tindakan pembedahan, tindakan anestesi yang berat, atau pasien dengan gangguan atau faktor penderita itu sendiri. Salah satu kerja pada jantung. Asidosis laktat dan penyulit yang cukup sering dijumpai selama asidosis respiratorik dapat terjadi bila pemulihan yaitu menggigil. Angka kejadian ventilasi dan kerja dari jantung tidak menggigil selama pemulihan anestesi ini meningkat secara proporsional,karena itu antara 5% hingga 65%. Menggigil menggigil harus segera dicegah atau diatasi. menimbulkan keadaan yang tidak nyaman Cara yang dapat dilakukan untuk bagi pasien, selain itu menggigil juga mencegah atau mengatasi menggigil pasca menimbulkan risiko. Risiko utama yang operasi antara lain dengan menjaga suhu terjadi pada pasien menggigil ialah tubuh tetap normal selama tindakan 10,11 peningkatan proses metabolisme (dapat pembedahan, atau memberikan obat- mencapai 400%) dan memperberat nyeri obatan. Penggunaan obat-obatan pasca operasi. Aktivitas otot yang meningkat merupakan cara yang sering dilakukan untuk akan meningkatkan konsumsi oksigen dan mengatasi kejadian menggigil pasca operasi. peningkatan produksi karbondioksida. Hal ini Penghangatan secara aktif terhadap pasien yaitu suatu cara yang dapat digunakan, meskipun hasilnya tidak selalu efektif karena menggigil pasca anestesi tidak selalu terjadi pada pusat pengaturan suhu, oleh karena

  • Kelompok I (kontrol) = 24 orang
  • Kelompok II (perlakuan) =24 orang.

  core temperature tidak selalu rendah pada

  pasien yang mulai mengalami menggigil selama masa pemulihan dari tindakan anestesi.

  Meperidin dianjurkan untuk mengatasi kejadian menggigil pasca anestesi. Efek anti menggigil dari meperidine pada reseptor- dari reseptor opioid. Meperidin dosis kecil (10

  • 25 mg) sering digunakan sebagai terapi menggigil pasca anestesi pada orang dewasa dan 0,2mg/kgBB
    • – 0,5 mg/kgBB untuk pasien anak-anak. Dosis yang dibutuhkan untuk pencegahan terhadap menggigil 0,5 mg/kgBB dapat menurunkan angka kejadian menggigil 32 % - 80%. Meperidin mempunyai efek samping spesifik yaitu sedasi, euforia, pruritus dan bias menyebabkan rasa mual dan muntah pasca operasi. Selain itu juga kejadian depresi pernafasan cukup tinggi.