ANDI SUBANDI BAB II

  BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian tentang implikatur tentu sudah pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Namun objek kajian dan fokus pembahasan yang digunakan berbeda dengan yang digunakan penulis. Pada penelitian ini mengambil judul “Implikatur dalam Naskah Drama Wek-Wek karya Iwan Simatupang” sebagai kajiannya. Sedangkan penelitian terdahulu membahas tentang “Analisis Implikatur pada Tuturan Kata Bijak Mario Teguh dalam Acara Talk Show Mario Teguh Golden Ways di Metro TV” dan “Kajian Implikatur pada Tuturan Penyiar di Radio Paduka 100,6 FM Purwokerto” berikut penjelasan lengkapnya.

1. Penelitian dengan Judul Analisis Implikatur pada Tuturan Kata Bijak

  Mario Teguh dalam Acara Talk Show Mario Teguh Golden Ways di Metro TV Januari 2015 oleh Albina Nur Aeni

  Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk implikatur yang terkandung pada tuturan kata bijak Mario Teguh di dalam acara Talk Show Mario Teguh Golden Ways. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa tuturan kata bijak Mario Teguh sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan Mario Teguh dalam acara Talk Show Mario Teguh Golden Ways di Metro TV pada tanggal 4, 11, 18, dan 25 Januari 2015.

  Pengumpulan data mengguanakan metode simak yang menerapkan teknik dasar berupa teknik sadap dan dilanjutkan dengan teknik Simak Bebas Libat

  11 Cakap (SBLC), teknik rekam, dan teknik catat. Tahap analisis data menggunakan metode padan yang diterapkan melalui dua teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP) daya pilah pragmatis. Teknik lanjutan berupa Teknik Hubung Banding Menyamakan (HBS). Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini mengguanakan metode penyajian informal karena perumusan menggunakan kata-kata biasa.

  Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Albina Nur Aeni dengan penelitian ini terdapat pada jenis penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif, teori implikatur dan metode pengumpulan data. Sementara perbedaan terletak pada data sumber data. Data yang digunakan Albina Nur Aeni dalam penelitiannya yaitu tuturan bijak Mario Teguh dan sumber data yang digunakan adalah acara Talk Show Mario Teguh Golden Ways di Metro TV pada tanggal 4, 11, 18, dan 25 Januari 2015. Sedangkan penelitian ini menggunakan data berupa tuturan tokoh dalam naskah drama Wek-Wek karya Iwan Simatupang dan sumber data yang digunakan adalah naskah drama Wek-Wek karya Iwan Simatupang.

2. Penelitian dengan Judul Kajian Implikatur pada Tuturan Penyiar di

  Radio Paduka 100,6 FM Purwokerto Januari 2013 oleh Bunga Maratus Sholikah

  Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan implikatur pada tuturan penyiar Paduka 100,6 FM Purwokerto. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa tuturan penyiar yang memiliki implikatur percakapan dan implikatur konvensional. Pengumpulan data menggunakan metode simak, dengan teknik dasar berupa teknik sadap, dilanjutkan dengan teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC), teknik rekam dan teknik catat. Pada tahap analisis data digunakan metode padan yaitu berupa metode padan pragmatis.

  Teknik dasar analisis data yang digunakan adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP) dan teknik lanjutan Hubung Banding Menyamakan (HBS). Pada tahap penyajan, data yang dianalisis disajikan dengan metode informal yaitu perumusan kata-kata biasa. Hasil penelitiannya berupa bentuk-bentuk implikatur yang terdapat pada tuturan penyiar radio yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan.

  Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Bunga Maratus Sholikah dengan penelitian ini terletak pada teori implikatur dan penggunaan metode pada tahap pengumpulan, analisis, serta penyajian data. Perbedaannya yaitu penelitian Bunga Maratus Sholikah menggunakan data dan sumber data berupa tuturan penyair di Radio Paduka 100,6 FM, sedangkan penelitian ini menggunakan data dan Sumber datanya berupa tuturan dalam naskah drama Wek-Wek karya Iwan Simatupang.

B. Landasan Teori

1. Wacana

  Menurut Douglas (dalam Mulyana, 2005: 3), istilah “wacana” berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana. Menurut Webster (dalam Mulyana, 2005: 4), wacana diartikan sebagai ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratannya harus dalam satu rangkaian dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat. Menurut Teum A. Van Dijk (dalam Lubis, 2015: 23), wacana yaitu kesatuan dari beberapa kalimat yang satu dengan yang lain terikat dengan erat.

  Menurut Chaer (2003: 267), wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sependapat dengan Chaer, Kridalaksana (2001: 231), menyatakan bahwa wacana merupakan satuan terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan lain-lain), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Mulyana (2005: 4), istilah wacana dapat dimaknai sebagai ucapan, perkataan, bacaan yang bersifat kontekstual.

  Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tentang wacana, penulis dapat menyimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, disusun secara teratur dan membentuk suatu makna, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana juga bisa dalam bentuk ucapan lisan maupun tulisan. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh seperti, paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

2. Pragmatik

  Menurut Wijana (1996: 2), semantik dan pragmatik adalah cabang-cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Hal ini dapat diartikan, ilmu semantik dan pragmatik merupakan ilmu yang mengkaji tentang makna. Namun, kajian tentang makna dari pragmatik dan semantik berbeda. Semantik mengkaji makna secara internal, sedangkan pragmatik mengkaji makna secara eksternal, yaitu maksud ujaran penutur.

  Perbedaan ilmu semantik dengan pragmatik terletak pada konteksnya. Wijana (1996: 2), menyatakan bahwa semantik adalah makna yang bebas konteks, sedangkan makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang terikat konteks. Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini, walau pun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para ahli bahasa, bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi, Leech (1993: 1).

  Menurut Kridalaksana (2001: 176), pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari isyarat-isyarat bahasa yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran.

  Verhaar dkk. (2016: 14), menyatakan pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Semantik dan Pragmatik itu berbeda, perbedaan tersebut terletak pada pengkajian maknanya. Pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang membahas makna-makna satuan lingual secara eksternal terkait dengan aspek pemakainya, disesuaikan dengan konteks dan situasi berbahasa. Aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran.

3. Konteks

  Menurut Cummings (2007: 5), pragmatik tidak dapat didefinisikan dengan lengkap apabila konteksnya tidak disebutkan. Gagasan tentang kontesk berada di luar pengejawantahannya yang jelas seperti latar fisik tempat dihasilkannya suatu ujaran yang mencakup faktor-faktor linguistik, sosial, dan epistemis. Mulyana (2005: 21), menyatakan bahwa konteks adalah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Sementara itu, Kridalaksana (2001: 120), mengatakan bahwa konteks merupakan aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait-mengkait dengan ujaran tertentu. Pengetahuan yang sama harus dimiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham akan apa yang dimaksud pembicara. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Kristina, dkk. (2015), mengatakan bahwa untuk memahami maksud pemakaian bahasa kita dituntut pula memahami konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut.

  Menurut Sobur (2009: 56), konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Arti atau makna sebuah kalimat sebenarnya barulah dapat dikatakan benar apabila kita ketahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya apabila diucapkan dan lain-lain. Anton M. Moeliono dan Samsuri (dalam Mulyana, 2005: 23), menyatakan bahwa konteks terdiri atas beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran.

  Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian konteks di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan konteks sangat diperlukan dalam sebuah peristiwa tutur. Konteks merupakan bagian yang menyertai teks. Makna dalam sebuah kalimat atau tuturan dapat dikatakan benar apabila diketahui darimana kalimat atau tuturan itu ada. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.

  Konteks terdiri atas beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran.

4. Implikatur

  Menurut Echols (dalam Mulyana, 2005: 11), istilah implikatur hampir sama dengan kata implication, yang artinya maksud, pengertian, keterlibatan.

  Dalam komunikasi verbal, implikatur biasanya sudah diketahui oleh para pembicara. Oleh karena itu, tidak perlu diungkapkan secara eksplisit. Kristina, dkk. (2015), mengatakan implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Levinson (dalam Nadar,

  2009: 61), menyatakan bahwa implikatur sebagai salah satu gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik. Nadar (2009: 61), memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa implikatur dapat menjelaskan secara eksplisit tentang cara bagaimana dapat mengimplikasikan suatu tuturan lebih banyak dari apa yang dituturkan.

  Menurut Wijana (1996: 38), implikatur adalah hubungan antara tuturan dengan pesan yang disiratkan dan tidak bersifat semantik, keterkaitan keduanya hanya didasarkan pada latar belakang yang mendasari kedua proposisinya. Sementara Lubis (2015: 70), berpendapat bahwa implikatur merupakan arti atau aspek arti pragmatik. Mulyana, (2005: 11) memberikan penjelasan bahwa dalam ruang lingkup wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan pembicaraan. Sementara itu, Purwo (dalam Putrayasa, 2014: 64), mengatakan bahwa pada implikatur terdapat kesepakatan bersama yang tidak tertulis dan keterkaitan makna juga tidak terungkap pada kalimat yang diucapkan secara literal. Wijana (1996: 37), mengatakan implikatur sebuah tuturan tergantung pada implikasi-implikasi yang hadir dari tuturan tersebut diperkuat dengan konteks yang meliputi tuturan tersebut. Sebagaimana yang dicontohkan berikut.

  (1) A : Doni datang B : Cepat persiapkan

  (2) A : Doni datang B : Aku akan pergi dulu

  (3) A : Doni datang B : Kamarnya dibersihkan

  Jawaban B dalam contoh (1) mungkin mengimplikasikan bahwa Doni sedang ulang tahun dan akan diberi kejutan. Hal ini menyebabkan munculnya tuturan “jangan sampai Doni tahu bahwa mereka akan memberi kejutan pada Doni”. Tuturan yang muncul sebagai tanggapan “Doni datang” pada contoh (2) mengimplikasikan bahwa orang itu tidak suka dengan kedatangan Doni. Implikatur dari tuturan tanggapan tersebut adalah bahwa “orang itu tidak mau bertemu Doni”. Tuturan “kamarnya dibersihkan” pada contoh (3) mengimplikasikan bahwa Doni adalah seorang yang pembersih dan akan marah jika melihat sesuatu yang kotor. Tuturan ini memiliki implikatur bahwa “orang itu tidak mau mendengarkan Doni berkomentar atau marah-marah”.

  Berdasarkan penjelasan definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam tuturan seringkali mengandung pesan yang tersirat. Implikatur adalah pesan yang tersirat dalam sebuah tuturan yang umumnya dapat ditafsirkan berdasarkan konteks tuturan. Implikatur dapat mengimplikasikan banyak tuturan tergantung implikasi yang ditimbulkan dari tuturan tersebut. Implikatur sebagai salah satu gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik dapat menjelaskan secara eksplisit suatu tuturan.

  Menurut Levinson dalam Putrayasa (2014: 64), implikatur merupakan konsep yang cukup penting dalam pragmatik karena empat hal. Pertama, konsep implikatur memungkinkan penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik. Kedua, konsep implikatur memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang dikatakan secara lahiriah. Sebagai contoh, pertanyaan tentang tempat dapat dijawab tidak dengan menyebutkan tempatnya secara langsung, tetapi dengan menyebutkan peristiwa yang biasa mereka lakukan. Perhatikan contoh di bawah ini.

  (4) A : Dimana saya harus menunggunya? (5) B : Ayo kita ngopi. Kelihatannya, secara konvensional struktural, kedua kalimat itu tidak berkaitan. Namun, penutur kedua sudah mengetahui bahwa jawaban yang disampaikannya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan penutur pertama, sebab dia sudah mengetahui dimana mereka biasa bertemu. Ketiga, konsep implikatur dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik. Hal ini diperlukan untuk membedakan antara pesan eksplisit atau penjelasan (seperti dalam pernyataan yang sebenarnya dikatakan) dan implikatur (pesan tersirat dari penulis), "yang direkonstruksi secara inferensial dari pembaca," yang secara tidak langsung dapat diakses dari kesimpulan operasional, Klemenčič (2014). Contoh sebagai berikut.

  (6) Mungkin ada orang di WC. (7) Mungkin ada orang di WC dan mungkin pula tidak ada orang di WC.

  Pada contoh di atas, kalimat (6) sudah mengandung pengertian seperti yang terkandung dalam kalimat (7). Selain strukturnya, isi dalam kalimat (7) dapat dinyatakan secara lebih sederhana, seperti pada kalimat (6). Keempat, konsep implikatur dapat menerangkan berbagai macam fakta atau gejala yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan. Sebagai contoh, ujaran dia pintar yang berarti kebalikannya, cara kerja metafora dan peribahasa dapat dijelaskan oleh konsep implikatur.

5. Jenis-Jenis Implikatur

  Grice (dalam Mulyana, 2005: 12), menyatakan bahwa ada dua jenis implikatur, yaitu implikatur konvensional dan konversasional. Speber dan Wilson (dalam Nadar, 2009: 62), membedakan implikatur menjadi dua macam, yaitu implicated premises dan implicated conslusoin. implicated premises harus dilakukan oleh pendengar yang harus memperolehnya dari ingatannya atau menyusunnya dengan mengembangkan ancangan-ancangan asumsi yang diperoleh dari ingatannya. Sedangkan implicated conslusoin diperoleh dengan jalan menyimpulkan dari keterangan tuturan dengan konteks.

a. Implikatur Konvensional

  Konvensional merupakan turunan dari kata “konvensi” yang artinya persetujuan tersirat di antara penutur bahasa untuk mempergunakan kaidah yang sama dalam berkomunikasi (Kridalaksana, 2001: 121). Implikatur konvensional menurut Mulyana (2005: 12), adalah pengertian yang bersifat umum dan konvensional. Sementara Putrayasa (2014: 70), menyatakan implikatur konvensional adalah implikatur yang kehadirannya di dalam percakapan tidak memerlukan konteks khusus.

  Yule (2006: 78), menyatakan implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsisp kerjasama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Maksudnya, penafsiran implikatur konvensional bisa langsung pada tuturan tersebut bahkan tanpa konteks sekali pun sudah bisa dipahami. Hal ini karena penafsiran implikatur konvensional mangacu pada kesepakatan umum sebagaimana contoh di bawah ini.

  (8) Ahmad anak tentara, pantas ia sangat disiplin. Selama ini, tentara dianggap sosok yang disiplin, sosok yang tegas dan sosok yang berwibawa. Implikasi yang muncul adalah dalam mendidik anak seorang tentara selalu menerapkan kedisiplinan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa implikatur konvensional lebih menjelaskan pada apa yang dimaksud dan diketahui secara umum. Jadi, peserta tutur umumnya sudah mengetahui tentang maksud atau pengertian suatu hal tertentu dalam sebuah tuturan.

b. Implikatur Percakapan

  Implikatur percakapan menurut Mulyana (2005: 13), memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan” sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Maksudnya, keberadaan konteks tentu sangat membantu penulis dalam memahami maksud yang sebenarnya. Putrayasa (2014: 65), implikatur percakapan adalah suatu bagian dari kajian pragmatik yang lebih mengkhususkan kajian pada suatu makna implisit dari suatu percakapan yang berbeda dengan makna harafiahnya. Karini (2017), menjelaskan penerjemahan implikatur percakapan, untuk mendapatkan makna yang lebih akurat daya pragmatik tetap harus muncul dalam teks terjemahannya.

  Menurut Mulyana (2005: 13), implikatur percakapan hanya akan muncul dalam suatu tindak percakapan. Sesuai dengan pengertiannya, implikatur sebenarnya adalah pesan tersirat yang terkandung dalam tindak percakapan. Dalam tindak percakapan terdapat tindak ujar. Tindak ujar terdiri dari lokusi, ilokusi dan perlokusi. Implikatur seringkali terkandung dalam tindak ilokusi. Mulyana (2005: 81), menyatakan bahwa tindak ilokusi (illocutionary act) berarti tindak ujar yang isinya menyatakan sesuatu. Misalnya tindakan pertanyaan, pernyataan, tawaran, janji, ejekan, permintaan, perintah, pujian, dan sebagainya. Dalam penafsirannya ilokusi juga menggunakan konteks untuk mengetahui makna yang terkandung dalam tuturan. Hal ini tentu menunjukkan adanya keterkaitan anatara implikatur dengan tindak ilokusi. Keterkaitannya, yaitu implikatur merupakan pesan tersirat pada suatu tuturan yang dinyatakan melalui tindak ilokusi. Berikut contoh implikatur percakapan.

  (9) Ibu : Ani, adikmu belum mandi (10) Ani : Ya, Bu. Ini lagi masak air Pada contoh diatas terdapat tindak implikatur dan tindak ilokusi.

  Percakapan antara Ibu dan Ani pada contoh (9) mengandung implikatur yang bermakna “pesan agar Ani memandikan adiknya”. Sementara tindak ilokusinya adalah “Ibu menyuruh Ani untuk memandikan adiknya”. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan ibu hanyalah pemberitahuan bahwa “adik belum mandi”.

  Namun, karena Ani dapat memahami implikatur yang disampaikan ibunya, ia menjawab dan siap melaksanakan perintah ibunya untuk memandikan adiknya.

  Nadar (2009: 15-16), mengatakan bahwa tindak ilokusi merupakan bagian sentral dalam kajian tindak tutur. Sependapat dengan Putrayasa (2014: 90-92), dalam tindak ilokusi dibagi menjadi lima, yaitu:

  a) Representatif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk menetapkan atau menjelaskan sesuatu apa adanya. Misalnya seperti menyatakan, melaporkan, memberitahukan, menjelaskan, mempertahankan, menolak, dan lain-lain.

  b) Direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, perintah, meminta. Ibrahim (dalam Putrayasa 2014: 91), mengatakan bahwa direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur misalnya meminta, memohon, mengajak, bertanya, memerintah, dan menyarankan.

  c) Komisif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pembicara melakukan sesuatu, seperti berjanji, bernazar, bersumpah, dan ancaman.

  d) Ekspresif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap. Misalnya meminta maaf, berterimakasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji dan mengkritik.

  e) Deklarasi yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan seseuatu yang dinyatakan. Misalnya setuju, tidak setuju, benar-benar salah, dan sebagainya.

  Menurut Yule (2006: 74), implikatur percakapan atau sering disebut implikatur percakapan khusus ialah implikatur yang terjadi dalam peristiwa komunikasi yang terjadi dalam konteks khusus. Yule (2006: 74), menjelaskan lebih lanjut bahwa untuk mengetahui implikatur jenis ini kita perlu memperhitungkan informasi-informasi yang kita ketahui terkait dengan peristiwa komunikasi tersebut. Cummings (2007: 19), menyatakan bahwa konteks memberikan kontribusi yang sama dalam setiap kasus percakapan. Konteks juga memungkinkan peserta tutur untuk melanggar prinsip kerjasama. Kadang-kadang peserta tutur menggunakan bahasa yang bersifat ironis, metaforis, dan sebagainya untuk menyampaikan tuturan dalam suatu percakapan. Berikut contoh dari implikatur percakapan.

  Berdasarkan uraian di atas penulis berkesimpulan bahwa implikatur percakapan memiliki makna yang bervariasi. Implikatur percakapan muncul dalam konteks pemakaian bahasa yang bersifat khusus. Konteks memberikan kontribusi yang sama dalam setiap kasus percakapan, dalam artian konteks sangat diperlukan dalam implikatur percakapan. Selain itu, dalam implikatur percakapan juga terdapat relevansi antara jenis-jenis tindak ilokusi dengan jenis implikatur percakapan yang akan penulis uraikan pada bagian hasil dan pembahasan.

6. Prinsip Kerjasama

  Komunikasi antara penutur dan mitra tutur tentu akan menimbulkan sebuah percakapan yang memiliki maksud tertentu. Dalam percakapan terdapat prinsip kerjasama untuk menjalin suatu percakapan yang komunikatif. Putrayasa (2014: 101), mengatakan bahwa dalam menyampaikan sebuah maksud, tentu akan ada implikatur yang terjadi. Cummings (dalam Putrayasa, 2014: 101), menyatakan implikatur yang terjadi merupakan sebuah kerjasama antara penutur dan mitra tutur. Hal ini dapat dikatakan bahwa munculnya implikatur dalam sebuah tuturan karena adanya kerjasama antara penutur dan mitra tutur. Grice (dalam Putrayasa, 20014: 102), mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama, setiap penutur harus mematuhi empat maksim, yakni: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim pelaksanaan.

a. Maksim Kuantitas

  Menurut Rahardi (2005: 53), dalam maksim kuantitas seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Namun informasi yang diberikan tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya. Apabila tuturan yang tidak mengandung sebuah informasi sesungguhnya diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerjasama Grice. Menurut pandangan Grice apabila sebuah tuturan itu mengandung informasi yang jelas maka tuturan tersebut termasuk dalam masksim kuantitas yang tidak melanggar. Sebagai contoh di bawah ini.

  (11) “Biarlah ia menangis!” (12) “Biarlah ia yang sedang terluka hatinya menangis!” Konteks: tuturan tersebut dituturkan oleh seorang teman kepada teman yang lain untuk tidak mengganggu temannya yang sedang menangis.

  Tuturan (11) merupakan tuturan yang sudah jelas dan informatif isinya. Hal ini karena tanpa ditambahkan informasi lain tuturan tersebut sudah dapat dipahami maksudnya oleh mitra tutur. Namun apabila informasi itu ditambahkan seperti pada (12) justru akan menyebabkan tuturan tersebut berlebihan dan terlalu panjang. Dengan demikian, karena tuturan (12) disampikan secara tidak informatif dan berlebihan, maka tuturan tersebut dianggap melanggar prinsip kerjasama Grice.

b. Maksim Kualitas Maksim kualitas merupakan tuturan yang nyata dan sesuai fakta.

  Seseorang dalam menyampaikan tuturan diharapkan mampu memberikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam tuturannya.

  Fakta harus didukung dan didasarkan dengan bukti-bukti yang jelas (Rahardi, 2005: 55). Sebuah tuturan bila didasarkan dengan bukti-bukti sebenarnya tentu dapat menyampaikan sesuatu yang nyata. Tuturan berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.

  (13) “Silahkan menggunjing biar saya dapat dikurangi dosanya!” (14) “Jangan menggunjing, dosanya nanti bertambah!” Konteks: tuturan tersebut dituturakan oleh seorang muslim kepada temannya karena sedang membicarakan keburukannya kepada teman yang lain. Tuturan (14) dapat dikatakan sudah memenuhi maksim kualitas. Dapat dikatakan demikian, karena tuturan tersebut sesuai fakta dan berdasarkan bukti yang ada. Hal tersebut memungkinkan adanya kerjasama denga mitra tutur. Tuturan (13) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan seseorang. Membiarkan seseorang menggunjing dalam agama islam merupakan sesuatu yang dilarang dan sudah seharusnya seorang muslim itu mengingatkan kepada seorang muslim lainnya.

c. Maksim Relevansi

  Di dalam maksim relevansi dinyatakan bahwa agar terjalin kerjasama yang baik antara penutur dan mitra tutur, penutur dan mitra tutur harus dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang suatu yang sedang dipertuturkan (Rahardi, 2005: 56). Apabila tuturan tersebut tidak memberikan kontribusi demikian, maka akan dianggap tuturan tersebut tidak mematuhi prinsip kerjasama. Sebagai ilustrasi atas pernyataan di atas perlu dicermati tuturan berikut.

  (15) Pimpinan : “Tolong selesaikan pekerjaanmu minggu ini!” Karyawan : “Siap Pak, akan saya laksanakan.”

  Konteks: tuturan tersebut dituturkan seorang pimpinan kepada karyawannya dalam sebuah kantor. Pertuturan pada (15) di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Dikatakan demikian, karena apabila dicermati secara mendalam, tuturan yang disampaikan oleh karyawan yakni “Siap Pak, akan saya laksanakan.” merupakan tanggapan atas perintah Pimpinan yang dituturkan sebelumnya, yakni “Tolong selsaikan pekerjaanmu minggu ini!”. Dengan demikian pertuturan tersebut dapat dikatakan mematuhi maksim relevansi dalam prinsip kerjasama Grice.

d. Maksim Pelaksanaan

  Maksim pelaksanaan mengharuskan peserta tutur bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Apabila seseorang bertutur tidak mempertimbangkan hal-hal tersebut maka dapat dikatakan melanggar prinsip kerjasama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan, (Rahardi, 2005: 57). Untuk memperjelas pernyataan di atas, tuturan pada contoh berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi.

  (16) A : “Ayo, cepat naik!” B : “Sebentar dulu, masih kurang.” Konteks: dituturkan oleh seseorang kepada temannya.

  Tuturan (16) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena apabila kadar kejelasan rendah maka akan dengan sendirinya kadar kekaburan menjadi sangat tinggi. Tuturan (A) yang berbunyi “Ayo, cepat naik!” sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh mitra tutur. Kata naik dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan yang tinggi. Oleh karena itu, maknanya menjadi sanagat kabur. Hal tersebut dikarenakan kata naik memungkinkan adanya penafsiran yang bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan (B), yakni “Sebentar dulu, masih kurang.” mengandung ketaksaan cukup tinggi. Kata kurang pada tuturan tersebut dapat memungkinkan ada banyaknya persepsi penafsiran karena dalam tuturan tersebut tidak jelas apa yang masih kurang.

  Berdasrkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa setiap maksim memiliki tujuan yang berbeda untuk menilai sebuah tuturan. Apabila sebuah tuturan sesuai dengan maksim-maksim di atas, maka dapat dikatakan mematuhi prinsip kerjasama Grice. Sebaliknya, apabila sebuah tuturan tidak sesuai dengan maksim-maksim, maka dapat dikatakan tuturannya melanggar prinsip kerjasama Grice. Namun dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya dalam masyarakat bahasa Indonesia, ketidakjelasan, kekaburan dan ketidaklangsungan merupakan hal yang wajar dan lazim bahkan justru dianggap memiliki tingkat kesantunan yang tinggi. Mengapa demikian? Karena, dalam menyampaikan maksud tuturan secara tidak langsung akan mengurangi kerugian bagi orang lain.

7. Prinsip Kesantunan

  Kesantunan merupakan cara perperilaku seseorang yang sesuai dengan kaidah sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dalam berkomunikasi tentu memerlukan kesantunan. Pelaku tuturan memerlukan prinsip kesantunan, Leech (dalam Putrayasa, 2014: 107). Prinsip kesantunan tentu menjadikan takaran menilai kesantunan tuturan seseorang dalam bertutur. Leech (dalam Putrayasa, 2014: 108), mengemukakan bahwa dalam prinsip kesantunan terdapat enam maksim, yakni: maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, maksim kesimpatisan.

a. Maksim Kebijaksanaan

  Menurut Rahardi (2005: 60), peserta tutur hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain dalam kegiatan bertutur. Seseorang ketika bertutur menggunakan maksim kebijaksanaan maka akan dianggap sebagai orang yang santun. Apabila seseorang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan maka dirinya akan terhindar dari sikap dengki, iri hati dan sikap-sikap lain yang kurang santun dalam bertutur.

  Ketika bertutur, seseorang dapat meminimalkan perlakuan yang tidak menguntungkan bagi mitra tutur, sehingga tidak menyakiti hati seseorang.

  Dengan kata lain, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila seseorang menggunakan maksim kebijaksanaan dengan baik. Untuk memperjelas pernyataan di atas dapat dilihat pada contoh berikut.

  (17) “Silahkan duduk Bu! Saya masih kuat berdiri.” “Oh iya terimakasih.”

  Konteks: dituturkan oleh seorang anak muda kepada seorang Ibu yang sedang berdiri ketika dalam bus. Pada tuturan (17) di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan anak muda tersebut sungguh memaksimalkan keuntungan bagi seorang ibu. Sudah semestinya tuturan semacam itu dituturkan oleh anak muda kepada seorang ibu. Terlebih lagi yang dihadapi adalah orang tua yang sudah semestinya dihormati. Sekalipun sebenarnya anak muda itu sedang merasa lelah dan perlu duduk, anak tersebut merelakan tempat duduknya untuk seorang ibu. Tuturan tersebut disampaikan dengan maksud agar ibu tersebut merasa nyaman ketika naik bus.

b. Maksim Kedermawanan

  Pada maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila seseorang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain (Rahardi, 2005: 61). Tuturan (18) pada contoh berikut dapat memperjelas pernyataan di atas.

  (18) A : ”Mari naik motor saya, biar saya antar pulang.” B : ”Tidak usah, saya jalan kaki saja”

  Konteks: dituturkan oleh seseorang kepada temannya yang sedang berjalan kaki. Pada tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan cara menawarkan tumpangan untuk mengantarkan pulang. Dalam masyarakat Jawa hal demikian merupakan wujud nyata dari sebuah kerjasama. gotong royong dan kerjasama untuk membangun rumah, gorong-gorong dan lain sebagainya dapat dianggap sebagai realisasi maksim kedermawanan. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dianggap tidak sopan. c. Maksim Penghargaan Menurut Rahardi (2005: 62-63), dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada orang lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar peserta tutur tidak saling mengejek, mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek mitra tutur dalam bertutur akan dianggap orang tersebut tidak memiliki sopan santun. Hal ini karena tindakan mengejek merupakan tindakan yang tidak menghargai orang lain. Untuk mempejelas pernyataan di atas perhatikan contoh (19) berikut.

  (19) A : “Mas saya tadi sudah tampil membacakan puisi.” B : ”Oya, tadi aku mendengar baca puisimu jelas sekali dari sini.”

  Konteks: dituturkan oleh seseorang kepada temannya dalam ruang sekertariat himpunan mahasiswa program studi. Pemberitahuan yang disampaikan oleh A terhadap temannya B di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh A. Dengan demikian dapat dikatakan dalam tuturan itu B berperilaku santun terhadap A . Hal demikian karena B berpegang teguh pada maksim penghargaan dan tidak ingin menyakiti hati orang lain.

  d. Maksim Kesederhanaan Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pijian terhadap dirinya sendiri (Rahardi 2005: 64). Seseorang akan dikatakan sombong apabila dalam kegiatan bertutur selalu mengunggulkan dan memuji dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang di sekitarnya. Dalam masyarakat bahasa Indonesia, kesederhanaan merupakan parameter penilaian kesantunan seseorang dalam bertutur.

  Contoh tuturan (20) berikut untuk memperjelas pernyataan ini.

  (20) “Nanti kamu yang jadi moderator ya!” “Ya mas, tapi saya kurang bagus, lho.”

  Konteks: dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada rekannya dalam suatu kegiatan kemahasiswaan. Tuturan (20) dapat dikatakan mematuhi maksim kesederhanan. Hal ini dapat dilihat dari tanggapan B yang mengatakan “Ya mas, tapi saya kurang bagus, lho.” dari tanggapan tersebut tentu menunjukan kesederhanaan. Sementara tuturan A “Nanti kamu yang jadi moderator ya!” merupakan tuturan yang memberikan kepercayaan bahwa B sanggup untuk menjalankannya. Tanggapan B seperti itu menunjukkan dirinya memiliki kesantunan yang baik.

e. Maksim Permufakatan

  Menurut Wijana (dalam Rahardi, 2005: 64), maksim permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan. Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur, (Rahardi, 2005: 64).

  Kemufakatan atau kecocokan bila diterapkan dengan benar oleh penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur tentu akan menunjukkan sikap santun. Di dalam masyarakat Jawa, seseorang tidak boleh memotong pembicaraan bahkan membantah secara langsung apa yang dipertuturkan orang lain. Jika ini dilanggar, orang yang bersangkutan dikatakan tidak memiliki sopan santun. Tuturan berikut dapat digunakan untuk memperjelas pernyataan ini.

  (21) Doni : “Wah lantainya kotor sekali ya, Gus! Agus : “Iya, mana sapunya ya?”

  Konteks : dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temanya pada saat mereka masuk ruang kelas. Tuturan (21) di atas dapat dikatakan sudah mematuhi maksim permufakatan. Dikatakan demikian, karena tanggapan Agus yaitu “Iya, mana sapunya ya?” merupakan tanggapan yang menyetujui dengan apa yan dituturkan oleh Doni. Hal ini tentu menunjukkan adanya kecocokan dalam bertutur. Sementara tuturan Doni yaitu “Wah lantainya kotor sekali ya, Gus!” merupakan tuturan yang memberikan pernyataan terhadap apa yang dilihatnya. Karena tanggapan Agus terdapat sebuah kecocokan, maka tuturan di atas dapat dikatakan memiliki kesantunan dilihat dari maksim permufakatan dalam prinsip kesantunan Leech.

f. Maksim Kesimpatisan

  Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan para peseta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya (Rahardi, 2005: 65). Sikap simpati terhadap mitra tutur tentu akan dianggap santun. Sebaliknya, sikap antipati terhadap mitra tutur dalam kegiatan bertutur akan dianggap tidak santun. Masyarakat tutur Indonesia sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatian terhadap orang lain dalam komunikasi sehari-hari. Sikap simpati terhadap orang lain dapat ditunjukkan dengan senyuman, anggukan dan lain sebagainya sesuai tuturan apa yang disampaikan. Contoh di bawah ini dapat memperjelas pernyataan.

  (22) Adik : “Mas, saya lulus ujian skripsi.” Kakak : “wah, selamat ya.”

  Konteks: dituturkan seoerang adik kepada kakanya pada saat di rumah. Tuturan di atas dituturkan oleh seorang adik kepada kakanya yang telah menerima informasi terkait hasil ujiannya pada saat di rumah.

  Tuturan (22) merupakan tuturan yang termasuk dalam maksim kesimpatisan. Hal ini dapat dilihat dari tanggapan Kakak yaitu “Wah, selamat ya”. Pada tanggapan tersebut tentu dapat dilihat bahwa Kakak ikut senang dengan apa yang disampaikan adiknya. Kata “...selamat ya” dapat menunjukkan kesimpatisan kakak terhadap apa yang telah diraih adiknya. Dengan kata lain, tuturan di atas dapat dikatakan memiliki kesantunan dalam maksim kesimpatisan.

8. Iwan Simatupang

  Iwan Martua Dongan Simatupang, lebih umum dikenal dengan nama Iwan Simatupang. Lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 dan meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970. Iwan Simatupang adalah seorang pengarang Indonesia. Ia belajar di HBS Medan, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tetapi tidak selesai. Kemudian ia belajar antropologi di Universitas Leiden (1954-1956), drama di Amsterdam, dan filsafat di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958. Ia pernah menjadi Komandan Pasukan TRIP dan ditangkap pada penyerangan kedua polisi Belanda di Sumatra Utara (1949). Setelah bebas, ia melanjutkan sekolahnya hingga lulus SMA di Medan. Ia pernah menjadi guru SMA di Surabaya, redaktur Siasat, dan terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970). Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun1952. Pada mulanya ia menulis sajak, tapi kemudian ia menulis esai, cerita pendek, drama, dan roman. Sebagai pengarang prosa, ia menampilkan gaya baru, baik dalam esainya maupun karya yang lainnya. Karya drama yang ia ciptakan diantaranya Wek-Wek, Rt 0 Rw 0, Bulan Bujur Sangkar, dan Taman. Karya novel yang terkenal yaitu Merahnya Merah (1968) mendapatkan hadiah sastra Nasional 1970 dan Ziarah (1970) mendapatkan hadiah roman ASEAN terbaik 1977.

9. Naskah Drama

  Naskah merupakan karangan dalam bentuk tulisan. Kata drama berasal dari kata Yunani “draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya, jadi drama berarti perbuatan atau tindakan, Haryamawan (dalam Hasanuddin, 1996: 2). Drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan perilaku, Hasanuddin (1996: 2). Dengan demikian, naskah drama berarti karangan dalam bentuk tulisan yang didalamnya memuat adegan seperti berbuat berlaku, dan beraksi untuk melukiskan sikap dan kehendak manusia. Dalam pementasan drama biasanya terdapat naskah drama. Naskah ini digunakan untuk mempermudah pemain dalam menghafalkan sekenario yang akan dipentaskan nantinya. Naskah drama termasuk dalam karya satra. Naskah drama Wek-Wek yang menjadi objek penelitian ini merupakan naskah karya Iwan Simatupang yang ditulis ulang oleh Teater Anonimus Serang, Banten.

C. Kerangka Pemikiran

  Implikatur dalam Naskah Drama Wek-Wek Karya Iwan Simatupang Wacana

  Pragmatik Konteks

  Implikatur Implikatur

  Implikatur Konvensional

  Percakapan Maksud

  Prinsip Kerja Sama Grice: Prinsip Kesantunan Leech:

  1. Maksim Kuantitas

  1. Maksim Kebijaksanaan

  2. Maksim Kualitas

  2. Maksim Kedermawanan

  3. Maksim Relevansi

  3. Maksim Penghargaan

  4. Maksim Pelaksanaan

  4. Maksim Kesederhanaan

  5. Maksim Permufakatan

  6. Maksim Kesimpatisan Tuturan tokoh dalam naskah drama Wek-Wek karya Iwan

  Simatupang