BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori Medis 1. Persalinan - Krisnawati Wijaya BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori Medis

1. Persalinan

  a. Definisi Persalinan Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin turun ke dalam jalan lahir. Kelahiran adalah proses dimana janin dan ketuban didorong keluar melalui jalan lahir (Saifuddin, 2007, hal;100). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau ,melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri), (Manuaba, 2010, hal; 164). Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Saifuddin, 2007, hal;100).

  Menurut (Bobak, 2005, hal;235) ada 5 faktor esensial yang mempengaruhi proses persalinan dan kelahiran. Faktor-faktor ini mudah diingat sebagai 5 P yaitu passenger (penumpang, yaitu janin dan plasenta), passageway (jalan lahir), powers (kekuatan), posisi ibu dan psychologic respons (respon psikologis). Tanda-tanda persalinan menurut (Asrinah, 2010, hal;6) antara lain;

  11

  1) Terjadinya his persalinan His persalinan mempunyai sifat; a. Pinggang terasa nyeri yang menjalar kedepan.

  b. Sifatnya teratur, interfal makin pendek, dan kekuatannya makin besar.

  c. Mempunyai pengaruh terhadap perubahan serviks

  d. Makin beraktifitas kekuatan makin bertambah 2) Bloody Show (pengeluaran lendir disertai darah melalui vagina)

  Dengan his permulaan, terjadi perubahan pada serviks yang menimbulkan pendataran dan pembukaan, lendir yang terdapat pada kanalis servikalis lepas, kapiler pembuluh darah pecah, yang menjadikan perdarahan sedikit.

  3) Pengeluaran Cairan Keluar banyak cairan dari jalan lahir. Ini terjadi akibat pecahnya ketuban atau selaput ketuban robek. Sebagian besar ketuban baru pecah menjelang pembukaan lengkap tetapi kadang-kadang ketuban pecah pada pembukaan kecil. Dengan pecahnya ketuban diharapkan persalinan berlangsung dalam waktu 24 jam.

  b. Mekanisme Persalianan Putaran dan penyesuaian lain yang terjadi pada proses kelahiran manusia disebut mekanisme persalinan. Tujuh gerakan kradinal presentasi puncak kepala pada mekanisme persalinan ialah engagement, penurunan, fleksi, putar paksi dalam, ekstensi, putaran paksi luar (restitusi) dan akhirnya kelahiran melaui ekspulasi (Bobak, 2005, hal;246).

  Engagement menurut (Bobak, 2005, hal;247) apabila diameter bipariental kepala melewati pintu atas panggul, kepala dikatakan telah menancap (engaged) pada pintu atas panggul. Pada kebanyakan wanita nulipara, hal ini terjadi sebelum persalinan aktif dimulai karena otot-otot abdomen masih tegang, sehingga bagian presentasi terdorong ke dalam panggul. Pada wanita multipara yang otot-otot abdomennya lebih kendur kepala seringkali tetap dapat digerakkan di atas permukaan panggul sampai persalinan mulai.

  Penurunan adalah gerakan bagian presentasi melewati panggul. Penurunan terjadi akibat tiga kekuatan; 1) Tekanan dari cairan amnion.

  2) Tekanan langsung kontraksi fundus pada janin. 3) Kontraksi diafragma dan otot-otot abdomen ibu pada tahap kedua persalinan.

  Efek ketiga kekuatan itu dimodifikasi oleh ukuran dan bentuk bidang panggul ibu dan kapasitas kepala janin untuk bermolase. Segera setelah kepala yang turun tertahan oleh serviks, dinding panggul atau dasar panggul dalam keadaan normal fleksi terjadi dan dagu didekatkan kearah dada janin (Bobak, 2005, hal;247).

  Kepala yang sedang turun menemui diafragma pelvis yang berjalan dari belakang atas kebawah depan. Akibat kombinasi elastisitas diafragma pelvis dan tekanan intrauterine disebabkan oleh his yang berulang-ulang, kepala mengadakan rotasi, disebut pula putaran paksi dalam. Dengan kekuatan his bersama dengan kekuatan mengejan, berturut-turut tampak bregma, dahi, muka dan akhirnya dagu. Sesudah kepala lahir, kepala segera mengadakan rotasi yang disebut putar paksi luar. Putaran paksi luar ini ialah gerakan kembali ke posisi sebelum putaran paksi dalam terjadi, untuk menyesuaikan kedudukan kepala dengan punggung anak (Prawirohardjo, 2008, hal;312-313). Setelah bahu keluar, kepala dan bahu diangkat keatas tulang pubis ibu dan badan bayi dikeluarkan dengan gerakan fleksi lateral kearah simfisis pubis. Ketika seluruh tubuh bayi keluar, persalinan bayi selesai (Bobak, 2005, hal;248).

  Kemudian dilanjutkan pelepasan plasenta yang disebut dengan kala III. Menurut (Prawirohardjo, 2008, hal;312-313) segera setelah bayi lahir, his mempunyai amplitudo yang kira-kira sama tingginya, hanya frekuensinya berkurang. Akibat his ini, uterus akan mengecil sehingga perlekatan plasenta dengan dinding uterus akan terlepas. Umumnya kala III berlangsung selama 6 sampai 15 menit. Tinggi fundus uteri setelah kala III kira-kira 2 jari di bawah pusat.

  c. Asuhan Persalinan Normal Menurut (Prawirohardjo, 2008, hal;334-335) dasar asuhan persalinan normal adalah asuhan yang bersih dan aman selama persalinan dan setelah bayi lahir, serta upaya pencegahan komplikasi terutma perdarahan pasca persalinan, hipotermia, dan asfiksia bayi baru lahir. Tujuan asuhan persalinan normal adalah mengupayakan kelangsungan hidup dan mencapai derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya, melalui berbagai upaya yang terintegrasi dan lengkap serta intervensi minimal sehingga prinsip keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga pada tingkat yang optimal.

  Kegiatan yang tercakup dalam asuhan persalinan normal, adalah sebagai berikut; 1) Secara konsisten dan sistematik menggunakan praktik pencegahan infeksi, misalnya mencuci tangan secara rutin, menggunakan sarung tangan sesuai dengan yang diharapkan, menjaga lingkungan yang bersih bagi proses persalinan dan kelahiran bayi, serta menerapkan standar proses peralatan. 2) Memberikan asuhan rutin dan pemantauan selama persalinan dan setelah bayi lahir, termasuk penggunaan patograf. Patograf digunakan sebagai alat bantu untuk membuat suatu keputusan klinik, berkaitan dengan pengenalan dini komplikasi yang mungkin terjadi dan memilih tindakan yang paling sesuai. 3) Memberikan asuhan sayang ibu secara rutin selama persalinan, pasca persalinan dan nifas termasuk menjelaskan kepada ibu dan keluarganya mengenai proses kelahiran bayi dan meminta para suami dan kerabat untuk turut berpartisipasi dalam proses persalinan dan kelahiran bayi. 4) Menyiapkan rujukan bagi setiap ibu bersalin atau melahirkan bayi. 5) Menghindari tindakan-tindakan berlebihan atau berbahaya, seperti episiotomy rutin, amniotomi, kateterisasi dan penghisapan lendir secara rutin sebagai upaya untuk mencegah perdarahan pascapersalinan.

  6) Memberikan asuhan bayi baru lahir, termasuk mengeringkan dan menghangatkan tubuh bayi, memberi asi secara dini, mengenal sejak dini komplikasi dan melakukan tindakan yang bermanfat.

  7) Memberikan asuhan dan pemantauan ibu dan bayi baru lahir, termasuk dalam masa nifas dini secara rutin. Asuhan ini akan memastikan ibu dan bayinya berada dalam kondisi aman dan nyaman, mengenal sejak dini komplikasi pascapersalinan dan mengambil tindakan yang sesuai dengan kebutuhan . 8) Mengajarkan kepada ibu dan keluarga untuk mengenali secara dini bahaya yang mungkin terjadi selama massa nifas dan pada bayi baru lahir. 9) Mendokumentasikan semua asuhan yang telah diberikan.

2. Preeklamsia

  a. Definisi Preeklamsia Preeklamsia merupakan hipertensi yang didiagnosis berdasarkan proteinuria, jika proteinuria > 1+ pada pemeriksaan dipstick atau > 0,3 g/L protein dalam spesimen urin tangkapan bersih yang diperiksa secara acak atau eksresi 0,3 g protein/24 jam (Fraser, 2009, hal;352). Pada preeklamsia diklasifikasikan menjadi 2 yaitu 1) Preeklamsia Ringan

  Menurut (Rukiyah, 2010, hal;173) preeklamsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan atau edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah kehamilan. 2) Preeklamsia Berat

  Preeklamsia dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah distolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam (Prawirohardjo, 2008, hal;544). b. Etiologi Menurut (Maryunani, 2009, hal:139) penyebab timbulnya preeklamsia pada ibu hamil belum diketahui secara pasti, tetapi pada umumnya disebabkan oleh vasospasme arteriola. Faktor-faktor lain yang diperkirakan akan mempengaruhi timbulnya preeklamsia antara lain adalah :

  1. Primigravida, menjadi resiko terjadinya preeklamsia karena pembentukan antibody penghambat (blocking antibodies) belum sempurna dan faktor imunologik (Prawirohardjo, 2008, hal 535).

  2. Kehamilan ganda, dapat mengakibatkan preeklamsia karena banyaknya sel trofoblas plasenta, maka reaksi stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, akan mengaktivasi sel endotel dan sel-sel makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadilah reaksi sistemik inflamsi yang menimbulkan gejala preeklamsia (Prewirohardjo, 2008, hal 537).

  3. Mola hidatidosa, karena pasien mengalami perdarahan sehingga masuk dalam keadaan anemia. Mola hidatosa bisa disertai dengan preeklamsia (eklamsia), hanya perbedaannya ialah bahwa preeklamsia pada mola terjadinya lebih muda dari pada kehamilan biasanya (Prawirohardjo, 2008, hal;488).

  4. Multigravida, faktor riwayat lain yang mendukung diagnosis preeklamsia yang menjadi penyulit kehamilan sebelumnya selain kehamilan pertama, biasanya terdapat riwayat hipertensi esensial dalam keluarga (Cunningham, 2006, hal;629).

  5. Usia kurang dari 18 tahun atau lebih dari 35 tahun serta dapat m enjadi faktor dari preeklamsai, dimana pada usia ≤ 18 tahun meningkatkan toksemia, sedangkan ≥ 35 tahun meningkatkan hipertensi kronik (yang mendasari peningkatan preeklamsia) (Varney, 2004, hal;339).

  Menurut (Bobak, 2005, hal;630) mengatakan kira-kira 85% preeklamsia terjadi pada kehamilan pertama. Preeklamsia terjadi pada 40% sampai 20% kehamilan dengan janin lebih dari satu dan 30% pasien mengalami anomaly rahim yang berat. Pada ibu yang mengalami hipertensi kronis atau penyakit ginjal, insiden dapat mencapai 25%.

  c. Faktor Resiko Menurut (Laksmi, dkk, 2008, hal;158-159) faktor resiko terkait partner (nulipara, primigravida, kehamilan remaja, inseminasi donor, orang tua hasil kehamilan dengan preeklamsia).

  1. Faktor resiko ibu (riwayat PE sebelumnya, usia ibu tua, jarak kehamilan pendek, riwayat keluarga, ras kulit hitam, pasien yang membutuhkan donor oosit, inaktivitas fisik, riwayat hipertensi sejak ≥4 tahun yang lalu, hipertensi pada kehamilan sebelumnya).

  2. Adanya penyakit penyerta lain yaitu hipertensi kronis dan penyakit ginjal, obesitas, resistensi insulin, berat badan ibu rendah, tubuh yang pendek (short stature), migraine, diabetes gestasional, DM tipe 1, penyakit Raynaud, resisten protein C aktif, defisiensi protein S, antibody antifosfolipid, SLE, hiperhomosisteinemia, talasemia dan inkompatibilitas rhesus.

  3. Faktor eksogen (merokok, stress, ketegangan psikis terkait pekerjaan, makanan tidak adekuat) faktor resiko terkait kehamilan (kehamilan kembar, infeksi salur kemih, anomaly structural congenital, hidropsfetalis, kelainan kromosom, dan media hidatidosa)

  d. Tanda dan Gejala Tanda-tanda preeklamsia biasanya timbul dalam urutan pertambahan berat badan yang berlebihan, di ikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria (Marmi, 2011, hal;67). Preeklamsi merupakan hipertensi yang didiagnosa berdasarkan proteinuria, jika proteinuria >1+ pada pemeriksaan dipstick atau >0,3 g/L protein dalam specimen urine tangkapan bersih yang diperiksa secara acak atau eksresi 0,3 g protein/24 jam (Fraser, 2009, hal;352).

  Sebagai tanda-tanda penyakit preeklamsia yang lainnya odema salah satunya, edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka.

  Kenaikan berat badan 1/2 kg setiap minggu masih normal tetapi kalau kenaikan berat badan 1 kg atau lebih setiap minggu beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya preeklamsia (Marmi, 2011, hal;66).

  Menurut (Fraser, 2009, hal;355) edema klinis dapat bersifat ringan atau berat dan keparahannya berhubungan dengan semakin memburuknya preeklamsia. Edema mata kaki di akhiri kehamilan merupakan hal yang sering terjadi. Edema ini akan cekung ke dalam jika ditekan dan mungkin ditemukan diarea anatomis yang tidak menggantung, seperti wajah, tangan, abdomen bagian bawah, vulva dan area sacrum. Menurut (Bilington, 2010, hal;126) edema yang tiba- tiba muncul, menyebar, dan parah merupakan tanda-tanda adanya preeklamsia atau keadaan patologis yang menambah beberapa gambaran preeklamsia berat, seperti nyeri epigastrium atau nyeri punggung (edema hati), sakit kepala dan konvulasi (edema serebri) dan sesak nafas (edema paru).

  e. Gejala Klinis Menurut (Prawirohardjo, 2008, hal 545) ada preeklamsia berat ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut a)

  Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg.

  b) Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.

  c) Oliguria yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.

  d) Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan kabur.

  e) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsul Glisson).

  f) Edema paru-paru dan sianosis.

  f. Patofisiologi Preeklamsia merupakan sindrom yang gejalanya mengenai banyak system organ, diantaranya otak, hati, ginjal, pembuluh darah, dan plasenta. Kegagalan invasi sitotrofoblas dari arteri spiralis uterus adalah salah satu awal dari gangguan ini. Pembuluh darah tersebut tidak bertransformasi menjadi pembuluh darah yang berdilatasi seperti pada kehamilan normal. Kelainan itu menyebabkan perfusi plasenta buruk dan menghambat pertumbuhan (Laksmi, 2008, hal;159-160).

  Pada preeklamsia, volume plasma yang beredar menurun, sehingga terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal. Perubahan ini membuat perfusi organ maternal menurun, termasuk perfusi ke unit janin-uletroplasenta. Vasospasme siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel-sel darah merah, sehingga kapasitas oksigen meternal menurun. Vasospasme merupakan sebagian mekanisme dasar tanda dan gejala yang menyertai preeklamsia. Vasospasme merupakan akibat peningkatan sensitivitas terhadap tekanan peredaran darah, seperti angiotensin II dan kemungkinan suatu ketidakseimbangan antara prostasiklin prostaglandin dan tromboksan A 2 (Bobak, 2005, hal;630-631).

  g. Pemeriksaan Penunjang Menurut (Joseph, 2010, hal;54) melakukan pemeriksaan fisik seperti;

  1. Kardiovaskuler : evaluasi tekanan darah, suara jantung, pulsasi perifer.

  2. Paru : auskultasi paru untuk mendiagnosis edema paru.

  3. Abdomen : palpasi untuk menentukan adanya nyeri pada hepar.

  Evaluasi keadaan rahim dan janinnya.

  4. Ekstermitas : menentukan adanya klonus.

  5. Funduskopi : menentukan adanya retinopati grade I-III.

  Menurut (Maryunani, 2009, hal;142) selain anamnesa dan pemeriksaan fisik, pada kecurigaan adanya preeklamsia sebaiknya diperiksa juga :

  a. Pemeriksaan darah rutin serta kimia darah; uriumkreatinin, SGOT, LDH, bilirubin.

  b. Pemeriksaan urine; protein, reduksi, bilirubin, sedimen.

  c. Kemungkinan adanya pertumbuhan janin terhambat dengan konfirmasi USG (bila tersedia).

  d. Kardiotokografi untuk menilai kesejahteraan janin.

  h. Penatalaksanaan Medis Penanganan preeklamsia bertujuan untuk menghindari kelanjutan menjadi eklamsia dan pertolongan kebidanan dengan melahirkan janin dalam keadaan optimal dan bentuk pertolongan dengan trauma minimal (Manuaba, 2010, hal;266). Penanganan hipertensi dalam kehamilan pada berbagai tingkat pelayanan menurut (Saifuddin, 2007, hal; 217)

  1. Polindes

  a. Preeklamsai ringan dilakukan rawat jalan, istirahat baring, diet biasa, tak perlu obat-obatan, bila tidak ada perbaikan rujuk.

  b. Preeklamsia berat dengan pastikan gejala dan tanda preeklamsia berat, nifedipin 10 mg dan MgSO

  4 4 g IV dalam 10 menit, persiapan peralatan untuk kejang, kateter urin, rujuk RS.

  2. Puskesmas

  a. Preeklamsia ringan dilakukan idem, umur kehamilan < 36 minggu rawat janin 1x seminggu, tidak ada perbaikan rawat atau rujuk.

  b. Preeklamsia berat dilakukan idem, rujuk RS.

  3. Rumah Sakit

  a. Preeklamsia ringan dilakukan evaluasi seperti diatas, bila terdapat preeklamsia berat atau tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat lakukan terminasi.

  b. Preeklamsia berat dilakukan idem, penanganan kejang dengan MgSO

  4 dosis awal dan dosis pemeliharaan, antihipertensi, persalinan segera, perawatan postpartum.

  Pada ibu yang mengalami preeklamsia harus selalu didampingi oleh bidan, karena dapat memburuk secara tiba-tiba setiap saat.

  Memantau kondisi ibu dan janin secara cermat merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Adanya penyimpangan yang drastic harus dicatat dan batuan medis. Adapun pengawasan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

  1. Pantau keadaan umum dan tanda-tanda vital Menurut (Depkes RI, 2008) pantau keadaan umum ibu, tekanan darah, nadi, dan respirasi setiap 15 menit, suhu setiap 1 jam, dilakukan jika ditemui adanya penyulit dalam persalinan, sehingga bisa cepat dilakukan penanganan segera. Tekanan darah diukur setiap setengah jam, 15-20 menit pada preeklamsi berat, terdapat perubahan hemodinamika yang dapat terjadi dengan cepat.

  Observasi frekuensi nafas (>14 /menit) harus dilakukan disertai dengan oksimetri nadi pada kasus preeklamsia, suhu harus diukur setiap jam. Pada preeklamsia berat, pemeriksaan fundus optikus dapat menjadi indikasi oedema serebral (Fraser, dkk, 2009).

  2. Keseimbangan cairan Berkurangnya ruang intravascular pada preeklamsia yang disertai dengan control keseimbangan cairan yang buruk dapat mengakibatkan kelebihan sirkulasi, edema pulmuner, sindrom distress pernafasan dan akhirnya kematian. Pada preeklamsia berat pemasangan jalur tekanan vena sentral dapat dipertimbangkan untuk memantau status cairan secara lebih efektif. Cairan intravena harus diberikan dan total asupan cairan yang direkomendasikan pada preeklamsia berat adalah 85 ml/jam. Oksitosin harus diberikan secara hati-hati karena menimbulkan efek diuretik. Pengeluaran urine harus dipantau secara ketat, dan urinalisis dilakukan setiap 4 jam untuk mendeteksi adanya protein, keton, dan glukosa. Pada preeklamsia berat kateter harus dipasang dan pengeluaran urine diukur setiap jam jumlah >30 ml/jam mencerminkan fungsi ginjal yang adekuat.

  3. Penambahan volume plasma Pada preeklamsia berat penambahan volume darah diperlukan untuk memperbaiki sirkulasi sistemik maternal dan uteroplasenta sehingga dapat mencegah terjadinya hipoksia dan mengurangi efek perdarahan. Menurut (Manuaba, 2010) pemberian infuse dextrose 5% atau RL merupakan pilihan dengan pertimbangan dan tujuan mendapatkan kalori secukupnya, menimbulkan dehidrasi, meningkatkan volume darah sehingga meningkatkan dieresis, mengubah metabolism lever yang baik sehingga menghindari komplikasi lanjut, meningkatkan aliran darah menuju organ vital, untuk mengurangi komplikasi.

  4. Kondisi janin Periksa denyut jantung janin tiap 5-10 menit dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gawat janin yang ditandai dengan denyut jantung janin kurang dari 120 atau lebih dari 160 x/menit, mulai waspada tanda awal terjadinya gawat janin dan denyut janin kurang dari 100 atau lebih dari 180x /menit (Depkes RI, 2008).

  Pemberian obat anti kejang pada preeklamsia untuk mencegah dan mengatasi kejang pada preeklamsia dan eklamsia. Penggunaan atau pemakaian larutan MgSO

  4 baik secara intravena (drip) ataupun secara intramuscular (Prawirohardjo, 2008, hal;547).

  1. Sebelum pemberian MgSO4, periksa:

  a. Frekuensi pernafasan minimal 16/menit

  b. Reflek patella (+)

  c. Urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir

  2. Loading Dose/intial dose Pemberian 4 gram MgSO4 secara intravena (40% dalam 10 cc) selama 15 menit.

  3. Maintenance dose Diberikan infuse 6 gram dalam larutan Ringer/ 6 jam atau diberikan 4 atau 5 gram IM. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram

  IM tiap 4-6 jam.

  4. Stop pemberian MgSO4, jika: a. Frekuensi pernafasan < 16/menit.

  b. Reflek patella (-).

  c. Urin < 30 ml/jam (Saifuddin, 2007, hal;213).

  Penanganan obstetrik yang dilakukan pada ibu yang mengalami preeklamsia berat, bila usia > 36 minggu dilakukan pengakhiran, dengan diperlukan langkah induksi persalinan untuk pasien inpartu (Achadiat, 2004, hal;9). Pada pasien preeklamsia berat persalinan harus terjadi dalam 24 jam, jika terdapat gawat janin atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam lakukan seksio sesaria. Bila dilakukan bedah seksio sesaria perhatikan bahwa tidak terdapat koagulopati dan anastesi yang aman/terpilih adalah anastesi umum. Jika anastesi yang umum tidak tersedia atau janin mati, aterm terlalu kecil lakukan persalinan pervaginam. Jika serviks matang lakukan induksi dengan oksitosin 2-5 IU dalam 500 ml dektrose 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin (Saifuddin, 2007, hal;214).

B. Tinjauan Asuhan Kebidanan

1. Manajemen Asuhan Kebidanan

  Manajemen kebidanan merupakan proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan dengan urutan logis dan menguntungkan, menguraikan perilaku yang diharapkan dari pemberi asuhan yang berdasarkan teori ilmiah, penemuan, ketrampilan dalam rangkaian/tahapan yang logis untuk pengambilan keputusan yang berfokus pada klien. Manajemen kebidanan menguraikan perilaku apa yang diharapkan dari pemberian asuhan (Purwandari, 2008, hal;76).

  Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi dari kegiatan yang menjadi tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada klien yang mempunyai kebutuhan/masalah dalam bidang kesehatan ibu masa hamil, masa persalinan, nifas bayi setelah lahir serta keluarga berencana (IBI, 2006, hal; 126).

  Dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini menggunakan manajemen kebidanan yang terdiri dari tujuh langkah yaitu a) Langkah I (Tahap Pengumpulan Data)

  Pada langkah pertama ini semua informasi yang akurat dan lengkap dikumpulkan dari semua sumber yang berkait dengan kondisi klien. Untuk memperoleh data dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik sesuai kebutuhan, pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan khusus, dan pemeriksaan penunjang. Pendekatan ini harus bersifat komprehensif meliputi data subyektif, obyektif dan hasil pemeriksaan yang menggambarkan kondisi klien yang sebenarnya (Purwandari, 2008, hal;78).

  b) Langkah II (Interprestasi Data) Pada langkah ini bidan melakukan identifikasi diagnosis atau masalah berdasarkan interprestasi yang akurat terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterprestasi sehingga dapat merumuskan diagnosis dan masalah yang spesifik. Diagnosis kebidanan adalah diagnosis yang ditegakkan bidan dalam lingkup praktik kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosis kebidanan (Purwandari, 2008, hal;79).

  c) Langkah III (Identifikasi Diagnosis atau Masalah potensial) Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah potensial atau diagnosis potensial berdasarkan diagnosis/masalah yang sudah diidentifikasi. Pada langkah ketiga ini, bidan dituntut mampu mengantisipasi masalah pontensial tidak hanya merumuskan masalah potensial yang akan terjadi tetapi merumuskan tindakan antisipasi agar maslah atau diagnosis potensial tidak terjadi (Purwandari, 2008, hal;79-80).

  d) Langkah

  IV (Identifikasi Kebutuhan Akan Tindakan Segera/Kolaborasi)

  Langkah ini menderminkan sifat kesinambungan proses penatalaksanaan, yang tidak hanya dilakukan selama perawatan primer atau kunjungan prenatal periodic, tetapi juga pada saat bidan melakukan perawatan berkelanjutan bagi wanita tersebut (Varney,2007, hal;27). e) Langkah V (Menyusun Rencana Tindakan Menyeluruh) Langkah ini mengembangkan sebuah rencana keperawatan yang menyeluruh, ditentukan dengan mengacu pada hasil langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan pengembangan masalah atau diagnosis yang diidentifikasi baik pada saat ini maupun yang dapat diantisipasi serta perawatan kesehatan yang dibutuhkan. Langkah ini dilakukan dengan mengumpulkan setiap informasi tambahan yang hilang atau diperlukan untuk melengkapi data dasar (Varney,2007, hal;28).

  f) Langkah VI (Melaksanakan Tindakan Menyeluruh) Langkah ini melaksanakan rencana asuhan secara menyeluruh. Langkah ini dapat dilakukan secara keseluruhan oleh bidan atau dilakukan sebagian oleh ibu atau orang tua, bidan atau anggota tim kesehatan lain. Apabila tidak dapat melakukan sendiri, bidan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa implementasi benar-benar dilakukan. Pada keadaan melakukan kolaborasi dengan dokter dan memberi kontribusi terhadap pelaksanaan perawatan ibu dengan komplikasi, bidan dapat mengambil tanggung jawab mengimplementasi yang efisien akan meminimalkan waktu dan biaya serta meningkatkan kualitas keperawatan kesehatan. Suatu komponen implementasi yang sangat penting adalah pendokumentasian secara berkala, akurat dan menyeluruh (Varney, 2007, hal;28). g) Langkah VII (Evaluasi) Langkah ini langkah terakhir, evaluasi yang merupakan tindakan untuk memeriksa apakah rencana perawatan yang dilakukan benar-benar telah mencapai tujuan yaitu memenuhi kebutuhan ibu, seperti yang diidentifikasi pada langkah kedua tentang, masalah, diagnosis, maupun kebutuhan perawatan kesehatan. Rencana tersebut menjadi efektif bila bidan mengimplementasikan semua tindakan dalam rencana dan menjadi tidak efektif bila tidak diimplementasi (Varney, 2007, hal;28).

  Menurut (Purwandari, 2008, hal;83-85) pendokumentasian asuhan kebidanan dengan metode empat langkah yang dinamakan SOAP (Subjektif, Objektif, Assessment, Plan) disarikan dari proses pemikiran penatalaksanaan kebidanan, dipakai untuk pendokumentasikan asuhan pasien dalam rekam medis sebagai catatan kemajuan pasien. SOAP adalah catatan yang bersifat sederhana, jelas, logis dan tertulis.

  Pengertian dari masing-masing kata subyektif, obyektif, assessment, plan tersebut adalah: 1) Subyektif adalah apa yang dikatakan klien. 2) Obyektif adalah apa yang dilihat dan dirasakan oleh bidan sewaktu melaksanakan pemeriksaan (laboratorium, tanda vital, dan lain-lain).

  3) Assessment adalah kesimpulan dari data-data subjektif/objektif. 4) Plan adalah apa yang dilakukan berdasarkan hasil pengevaluasian.

2. Tinjauan Asuhan Kebidanan Ibu Bersalin dengan Preeklamsia

  a. Pengkajian 1) Data Subyektif

  Informasi yang diceritakan ibu tentang apa yang dirasakannya, apa yang sedang dan telah dialaminya. Data subyektif juga meliputi informasi tambahan yang diceritakan oleh anggota keluarga tentang status ibu, terutama jika ibu merasa sangat nyeri atau sangat sakit.

  a) Identitas Klien Nama : Identitas dimulai dengan nama pasien, yang harus jelas dan lengkap (Matondang,

  2009, hal;5). Hal tersebut merupakan bagian yang paling penting dalam anamnesa agar tidak salah orang dalam pemberian asuhan kebidanan.

  Umur : Untuk mengetahui umur ibu, karena umur mempengaruhi terjadinya preeklamsia yang terjadi pada usia kurang dari 18 tahun dan lebih dari 35 tahun (Cunningham, 2006, hal;630). Agama : Data tentang agama untuk mengetahui perilaku seseorang tentang kesehatan dan penyakit yang sering berhubungan dengan agama (Matondang, 2009, hal;6).

  Pendidikan : Dengan tingkat intelektual yang rendah atau tinggi akan mempengaruhi ibu dalam menjaga kesehatan waktu hamil. Pada tingkat intelektual yang rendah berarti dalam kalangan keluarga buruk atau kemiskinan yang dapat menghambat ibu dalam melakukan pemeriksaan rutin antenatal (Fraser, 2009, hal;354).

  Suku Bangsa : Data tentang suku bangsa juga memantapkan identitas, disamping itu perilaku seseorang tentang kesehatan dan penyakit yang sering berhubungan dengan suku bangsa. Pada ras kulit hitam merupakan faktor terkenanya preeklamsia (Laksmi, dkk, 2008, hal;158). Pekerjaan : Berguna untuk mengetahui apakah klien bekerja dengan setres, ketegangan psikososial yang terkait dengan preeklamsia (Laksmi, dkk,hal; 158 ).

  Alamat : Untuk mengetahui lingkungan tempat tinggal apakah berpotensi membahayakan kehamilan. Pada dataran tinggi mempengaruhi kehamilan yang menyebabkan terjadinya preeklamsia (Cunningham, 2006, hal;630). b) Keluhan Utama Pengkajian anamnesis keluhan utama didapat dengan menanyakan tentang gangguan terpenting seperti peningkatan tekanan darah, edema kaki atau tangan, proteinuria, sakit kepala di daerah frontal, rasa nyeri di daerah epigastrium dan penglihatan kabur yang dirasakan oleh pasien (Manuaba, 2010, hal;264).

  c) Riwayat Kesehatan (1) Riwayat kesehatan dahulu

  Menanyakan tentang penyakit-penyakit yang pernah dialami sebelumnya seperti migraine, diabetes gestasional, DM tipe I, hipertensi sejak ≥ 4 tahun yang lalu dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya karena mempengaruhi terhadap kehamilan selanjutnya (Laksmi, dkk, 2008, hal;158).

  (2) Riwayat kesehatan sekarang Menanyakan kesehatan sekarang untuk mengetahui kesehatan ibu apakah selama ibu hamil mengalami migraine, pandangan mata kabur, hipertensi kronis, diabetes gestasional, DM tipe 1 yang merupakan faktor resiko dari preeklamsia (Laksmi, dkk, 2008, hal;158). (3) Riwayat kesehatan keluarga

  Menanyakan riwayat kesehatan keluarga karena mempengaruhi terhadap kehamilan preeklamsia mencapai 25% jika ibu mengalami preeklamsia dan mencapai 40% jika saudara kandung mengalami preeklamsia (Billington, 2010, hal;123).

  d) Riwayat Obstetrik (1) Riwayat Menstruasi

  Menanyakan riwayat menstruasi klien yang akurat biasanya membantu penetapan tanggal perkiraan kelahiran (estimated date of delivery [EDD]) yang disebut taksiran partus (estimated date of confinement [EDC]) dibeberapa tempat (Wheeler, 2004,hal;36). (2) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu

  Menanyakan riwayat kehamilan sebelumnya agar dapat menentukan kemungkinan masalah pada kehamilan sekarang, seperti pada primigravida (meningkat risiko 2 kali lipat), ada atau tidaknya preeklamsia sebelumnya, peningkatan usia ibu/peningkatan interval antar kehamilan, berat badan lahir rendah, dan kehamilan kembar yang merupakan faktor terjadinya preeklamsia (Billington, 2010, hal;123).

  e) Riwayat kehamilan sekarang Untuk mengidentifikasi kehamilan saat ini, dengan keadaan sosial yang buruk atau kemiskinan yang dapat menghambat ibu dalam melakukan pemeriksaan rutin antenatal (Fraser, 2009, hal;354). Dengan dilakuan pengawasan antenatal secara rutin berapa kali, untuk indentifikasi penyulit (preeklamsia atau hipertensi dalam kehamilan) dan adanya penyakit yang lain yang diderita dan untuk mengetahui adanya gerakan janin dalam kandungan, kapan mulai dirasakan dan berapa kali gerakan dalam satu hari (Prawirihardjo, 2008, hal;280).

  f) Riwayat perkawinan Riwayat perkawinan dikaji untuk mengetahui usia perkawinan ibu dan lamanya perkawinan ibu. Preeklamsia biasanya terjadi pada wanita yang menikah dibawah usia 20 tahun atau diatas 35 tahun (Cunningham, 2006, hal;630).

  Pada wanita yang baru menjadi ibu atau ibu dengan pasangan baru ternyata 6-8 kali lebih mudah terkena preeklamsia (Bobak, 2005, hal;632).

  g) Riwayat KB Riwayat kontrasepsi perlu ditanyakan karena ibu yang menggunakan kb hormonal dapat menjadi faktor presdiposisi hipertensi dengan tanda-tanda sakit kepala hebat, kehilangan penglihatan atau kabur (Saifuddin, 2006, hal;31) h) Pola kebutuhan sehari-hari

  (1) Pola nutrisi Mengkaji pola nutrisi ibu yang berhubungan dengan peningkatan berat badan ibu, karena berat badan ibu yang rendah dan obesitas merupakan faktor terjadinya preeklamsia (Laksmi, 2008, hal;158).

  (2) Pola eliminasi Pada pola eliminasi terjadi perubahan pada ginjal, terjadi penurunan aliran darah ke ginjal yang menimbulkan perfusi dan filtrasi ginjal menurun yang menimbulkan oliguria sehingga menimbulkan proteinuria (Manuaba, 2008, hal;96). (3) Pola aktivitas

  Untuk mengetahui kegiatan ibu sehari-hari apakah ibu mengalami stress, ketegangan psikososial terkait pekerjaan yang merupakan faktor preeklamsia (Billington, 2010, hal;123).

  (4) Pola istirahat Untuk mengetahui pola istirahat ibu, karena dengan tirah baring sering kali dianjurkan, ditekankan untuk mengambil posisi miring kiri agar aliran darah ke janin dan plasenta meningkat. Tujuan positif tirah baring ialah mengurangi edema, memperbaiki pertumbuhan janin, dan mencegah terjadinya preeklamsia berat (Wheeler, 2003, hal;116). (5) Pola personal hygiene

  Menggambarkan pola hygiene pasien, misalnya berapa kali ganti pakaian dalam, mandi, gosok gigi dalam sehari, dan keramas dalam satu minggu. Data ini perlu dikaji karena bagaimanapun juga ini akan mempengaruhi kesehatan pasien (Sulistyawati, 2009, hal;171).

  (6) Pola seksual Melakukan hubungan seksual dengan pasangan

  (suami) baru dapat mengembalikan risiko ibu sama seperti primigravida terjadinya preeklamsia (Chapman, 2006, hal;162). i) Psikososial, kultural, spiritual

  (1) Psikososial Psikososial mempengaruhi dengan kesehatan ibu apabila ibu mengalami stress, ketegangan psikososial dapat menjadi faktor dari preeklamsia (Billington, 2010, hal;123). Pada ibu preeklamsia berada dalam kondisi yang labil dan mudah marah, ibu merasa khawatir akan keadaan dirinya dan bayi yang dikandungnya (Mitayani, 2011, hal;19). (2) Kultural

  Kultural untuk mengetahui kebiasaan atau keyakinan budaya yang mempengaruhi pada kesehatan ibunya seperti merokok, penggunaan obat dan alkohol yang dapat menyebabkan preeklamsia (Bobak, 2005, hal;634).

  (3) Spiritual Mengkaji spiritual untuk mengetahui kebiasaan yang berhubungan dengan kesehatan, selain faktor pendidikan dan sosial ekonomi yang dapat menjadi penyebab preeklamsia (Fraser, 2009, hal;354). j) Lingkungan yang berpengaruh Lingkungan masuk dalam faktor terjadinya preeklamsia, pada dataran tinggi mempengaruhi kehamilan yang menyebabkan terjadinya preeklamsia (Cunningham, 2006, hal;630).

  2) Data Obyektif

  a) Keadaan umum Pemeriksaan fisik pada kunjungan awal prenatal difokuskan untuk mengidentifikasikan kelainan yang sering mengontribusi morbiditas dan mortalitas dan untuk mengidentifikasi gambaran tubuh yang menunjukan gangguan genetik (Wheeler, 2004, hal;71).

  b) Tingkat kesadaran Tingkat kesadaran dapat menurun karena terjadi kenaikan tekanan darah, nyeri kepala yang dapat mengakibatkan eklamsia dan kejang yang berlanjut dapat koma karena pembengkakan dan perdarahan gangguan visus yang sifatnya reversible (Billington, 2009, hal;96).

  c) Tanda vital (1) Tekanan darah

  Pada tekanan darah mencapai 160/110 mmHg atau lebih, memintahlah ibu berbaring miring ke kiri dan santai sampai terkantuk selama 20 menit kemudian ukurlah tekanan darahnya. Apabila kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 30 mmHg atau mencapai >140 mmHg atau kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 15 mmHg atau mencapai >90 mmHg, pertimbangkan adanya preeklamsia, eklamsia (Mufdlilah, 2009, hal;15). (2) Nadi Dilakukan untuk mengetahui nadi ibu normal atau tidak.

  Jika nadi cepat 100x/menit merupakan tanda ibu mengalami syok (Billington, 2010, hal;123).

  (3) Suhu Suhu dikaji bermaksud untuk mengetahui adakah peningkatan suhu yang menandakan terjadi infeksi pada persalinan tersebut (Mitayani, 2011, hal;51). (4) Pernafasan

  Pengkajian pernafasan perlu dilakukan untuk mengkaji adanya edema paru (mengi, crackle, tanda dispnea, napas dangkal), karena masuk dari gejala klinis preeklamsia (Billington, 2010, hal;132).

  d) Berat badan Berat badan yang rendah dan berat badan yang berlebih

  (obesitas) yang dapat mengakibatkan terjadinya preeklmsia yang dapat membahayakan bagi ibu dan janinnya (Laksmi, dkk, 2008, hal;158).

  e) Tinggi badan Tinggi badan sangat mempengaruhi dalam persalinan dengan tubuh yang pendek (short stature) masuk dalam faktor penyakit penyerta terhadap preeklamsia (Laksmi, dkk, 2008, hal;158).

  f) Lila Melakukan pemeriksaan lingkar lengan kiri dinyatakan kurang gizi bila kurang sama dengan 23,5 cm yang berarti berat badan ibu rendah dapat menyebabkan preeklamsia (Mufdlilah, 2009, hal;15).

  g) Status present (1) Kepala

  Kepala di kaji untuk mengetahui nyeri kepala yang jarang terjadi pada kasus yang ringan, tetapi sering pada kasus yang parah, termasuk pada preeklamsia (Cunningham, 2011, hal;508).

  (2) Rambut Rambut dikaji untuk mengetahui karakter umum

  (seperti kering , berminyak), kerontokan, inspeksi kulit kepala, berketombe atau tidak, ada kutu rambut atau tidak (Varney, 2007, hal;35). Keadaan rambut yang rontok akan menunjukan status gizi seorang.

  (3) Muka Untuk mengetahui adanya cloasma gravidarum atau tidak, melihat apakah muka pasien anemis atau tidak, dan menilai adakah edema pada daerah muka. Biasanya pada penderita preeklamsia mengalami edema pada wajah (Mitayani, 2011, hal;18).

  (4) Mata Pemeriksaan mata untuk mengetahui salah satu dari gejala timbulnya preeklamsia adalah penglihatan yang kabur (Manuaba, 2010, hal;261). Tanda dari preeklamsia yaitu konjungtiva sedikit anemis, edema pada retina (Mitayani, 2011, hal;18) . (5) Mulut

  Pemeriksaan mulut dikaji untuk mengetahui kesimetrisan bibir, warna, lesi, terdapat karies atau tidak, terdapat perdarahan dan edema pada gusi atau tidak, sebab dengan terdapat edema pada bagian mulut merupakan bagian dari preeklamsia (Varney, 2007, hal;37).

  (6) Telinga Pemeriksaan telinga dikaji untuk mengetahui kebersihannya, ada serumen atau tidak, ketajaman pendengaran secara umum (Varney, 2007, hal;36). (7) Hidung

  Pemeriksaan hidung dikaji untuk mengetahui kesimetrisan, terdapat napas cuping hidung atau tidak, kebersihannya, ada polip, tonjolan dan sumbatan atau tidak (Varney, 2007, hal;36).

  (8) Leher Pemeriksaan pada leher untuk menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar gondok atau kelenjar limfe (Uliyah,

  2009, hal;142). (9) Dada & Axila

  Pemeriksaan axial untuk menilai ada atau tidaknya pembesaran kelenjar limfe dan mengetahui ada tidaknya edema pada paru dengan auskultasi (Joseph, 2010, hal;54).

  (10) Abdomen Untuk mengetahui ada atau tidak nyeri hepar dan edema karena merupakan gejala dari preeklamsia

  (Joseph, 2010, hal;54). Terdapat nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas sering merupakan gejala preeklamsia berat dan dapat mengidenfikasikan bahwa akan segera terjadi kejang (Cunningham, 2011, hal;506).

  (11) Genatalia Pemeriksaan vulva untuk menilai keadaan perineum, ada tidaknya tanda Chadwick dan adanya flour. Kemudian pemeriksaan ekstermitas untuk menilai ada tidaknya varises (Uliyah, 2009, hal;142).

  (12) Ekstermitas Ekstermitas dikaji untuk mengetahui apakah terdapat edema pada muka, kaki, dan tangan (Varney, 2007, hal;35). Edema pada muka dan tangan memerlukan pemeriksaan lanjut karena merupakan tanda dari preeklamsia (Prawirohardjo, 2008, hal 540).

  h) Status Obstretikus (1) Inspeksi Muka

  Inspeksi dilakukan untuk menilai keadaan ada tidaknya edema pada muka ibu, yang merupakan faktor dari preeklamsia (Uliyah, 2009, hal;142). (2) Dada

  Pemeriksaan dada untuk menilai bentuk buah dada, pigmentasi putting susu, adakah benjolan dan sudahkah keluar kolostrumnya (Uliyah, 2009, hal;142). (3) Abdomen

  Tujuan pemeriksaan abdomen adalah untuk menentukan letak dan presentasi janin, turunnya bagian janin yang terbawah, tinggi fundus uteri, dan denyut jantung janin (Mufdlilah, 2009, hal;17). Menurut (Uliyah, 2009, hal;142-144) pemeriksaan secara palpasi dilakukan dengan menggunakan metode Leopold, yakni: (a) Leopold I digunakan untuk menentukan usia kehamilan dan bagian apa yang ada dalam fundus. Bila kepala sifatnya keras, bundar, dan melintang. Sedangkan bokong lunak, kurang bundar, dan kurang melenting.

  (b) Leopold II digunakan untuk menentukan letak punggung anak dan letak bagian kecil pada janin.

  (c) Leopold III digunakan untuk menentukan bagian terbawah janin.

  (d) Leopold IV digunakan untuk mengetahui bagian terbawah sudah masuk panggul atau belum.

  (4) Kontraksi uterus Observasi kontraksi uterus untuk mengetahui frekuensi kontraksi, durasi kontraksi, dan intensitas kontraksi yang harus dinilai secara akurat untuk menentukan status persalinan (Varney, 2004, hal 341).

  (5) Auskultasi Pemantauan janin berfungsi untuk mengkaji pola denyut jantung janin yang harus dilakukan karena penurunan gerak janin dapat mengidikasikan derajat hipoksia janin (Billington, 2010, hal;134). Pada ibu preeklamsia memberi dampak pada janin dengan adanya fetal distress dan IUGR (Prawirohardjo, 2008, hal 549).

  Dalam keadaan sehat, bunyi jantung antara 120-140 kali per menit . Jika terdapat abnormalitas denyut jantung janin (kurang dari 100 atau lebih dari 180 kali permenit) tidak dapat dilahirkan pervaginam melainkan dengan seksio sesaria (Yulianti, 2006, hal;131). i) Pemeriksaan dalam

  (1) Pemeriksaan vagina bertujuan untuk mengetahui keadaan vagina apakah ada kelainan atau luka parut.

  (2) Pembukaan bertujuan untuk mengetahui pembukaan dan penipisan serviks. Primipara pembukaan terjadi setiap 1 jam 1 cm dan multipara tiap 1 jam 2 cm. (3) Effacement berfungsi untuk mengetahui effacement yang telah terjadi berapa persen.

  (4) Kulit ketuban bertujuan untuk mengetahui kulit ketuban utuh atau sudah pecah.

  (5) Bagian terendah diperiksa untuk mengetahui bagian terbawah.

  (6) Kaput untuk mengetahui adanya kaput atau tidak. (7) POD pada persalinan normall UUK. (8) Penurunan bertujuan untuk mengetahui penurunan kepala pada panggul.

  (9) Pemeriksaan bagian menumbung bertujuan untuk mengetahui adakah bagian yang menumbung.

  (10) Moulage bertujuan untuk mengetahui ada moulage atau tidak (JNPK-KR, 2008, hal;42-43). j) Pemeriksaan penunjang

  Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah, proteinuria, dan kardiotokografi untuk menilai kesejahteraan janin.

  Pada proteinurin positif artinya jumlah protein lebih dari 0,3 gram per liter 24 jam atau lebih dari 2 gram per liter sewaktu.

  Urine diambil dengan penyadapan/kateter.

  • = 0,3 gram protein per liter.
  • = 1 gram protein per liter.

  • = 3 gram protein per liter.
    • = > 10 gram protein per liter. (Maryunani, 2009, hal;140-142).

  b. Interprestasi Data 1) Diagnosa

  Ny. X, umur … tahun, G…P…A…, hamil … minggu, janin tunggal hidup, intra uteri, preskep, puka/puki, bagian bawah sudah masuk panggul/belum, inpartu dengan preeklamsia berat.

  Diagnosa kebidanan dibuat berdasarkan analisa data yang telah dikaji dan yang telah dibuat berdasarkan dengan masalah yang dihadapi oleh pasien. Berdasarkan nama sebagai identitas dari pasien, menanyakan umur yang mempengaruhi terhadap persalinan pada umur ≤18 atau ≥35 tahun, paritas yang terjadi pada nulipara lebih muda terkena dibandingkan multipara merupakan faktor penyebab preeklmsia berat. 2) Data Dasar:

  (a) Data Subyektif Data subyektif berasal dari keluhan yang dirasakan ibu selama hamil, menanyakan usia ibu karena usia ≤18 tahun atau ≥35 tahun faktor dari preeklamsia (Cunningham, 2006, hal;630). Kemudian kehamilan yang keberapa, pada primigravida resiko 2 kali lipat dibandingkan multipara (Billington, 2010, hal;123).

  Riwayat kesehatan dahulu mempunyai riwayat preeklamsia, riwayat kesehatan sekarang mengalami sakit kepala, pandangan kabur yang menjurus ke preeklamsia, dan riwayat kesehatan keluarga yang pernah mengalami preeklamsia, karena hal tersebut masuk dalam faktor dari preeklamsia (Laksmi, dkk, 2008, hal;158).