BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 6. Wacana c. Pengertian Wacana - AIS RAHMATIKA BAB II

BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 6. Wacana c. Pengertian Wacana Ekoyanantiasih (2002: 9) berpendapat bahwa wacana merupakan tataran

  yang paling besar dalam hierarki kebahasaan setelah kalimat. Sebagai tataran terbesar dalam hierarki kebahasaan, wacana bukanlah merupakan susunan kalimat secara acak, melainkan merupakan suatu satuan bahasa baik lisan maupun tulis yang tersusun berkesinambungan dan membentuk suatu kepaduan. Pendapat Tarigan (2009: 26) juga sejalan dengan Ekoyanantiasih, bahwa yang dimaksud dengan wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Selain adanya kohesi dan koheresi, Sudaryat (2009: 151) menambahkan satu unsur lagi untuk mendukung keutuhan sebuah wacana, yakni konteks situasi. Menurutnya, wacana merupakan satuan gramatikal yang terbentuk dari dua lapisan, yaitu lapisan bentuk dan lapisan isi. Kepaduan makna atau isi (kohesi) dan kekompakan bentuk (koherensi) merupakan dua unsur yang turut menentukan keutuhan wacana. Jadi, secara singkat wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dibentuk dari rentetan kalimat yang kontinuitas, kohesif, dan koheren sesuai dengan konteks situasi.

  Selain pendapat di atas, Chaer (2007: 267) menyebutkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana tersebut berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apa pun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat atau kalimat- kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan.

  Persyaratan tersebut dapat dipenuhi jika sebuah wacana sudah terbina yang disebut dengan kekohesian, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut. Jika wacana sudah kohesif, maka akan terbentuk kekoherensian, yaitu isi wacana yang apik dan benar. Hal tersebut sejalan dengan Kridalaksana (2011: 259) yang mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap yang dalam tataran gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Menurutnya, wacana tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

  Sehubungan dengan bentuk wacana, Qodratilah, dkk. (2011: 605) juga sependapat dengan Kridalaksana bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang dapat diwujudkan dalam bentuk karangan yang utuh seperti novel, buku, atau artikel, pada pidato atau khotbah. Hal tersebut diperjelas lagi oleh Sumarlam, dkk. (2003: 15) yang membagi bentuk wacana menjadi lebih terperinci, yaitu wacana dapat dinyatakan secara lisan dan secara tertulis. Bentuk wacana lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dialog, dan bentuk wacana tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dokumen tertulis. Bentuk-bentuk wacana tersebut akan berarti jika dilihat dari struktur lahirnya (segi bentuk) bersifat kohesif serta saling terkait dan dari struktur batinnya (segi makna) bersifat koheren serta terpadu. Djajasudarma (2010: 3) juga sependapat dengan apa yang telah dikemukakan oleh kedua ahli di atas bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap dan satuan bahasa tertinggi dalam hierarki gramatikal. Wacana ini dapat diwujudkan dalam bentuk karangan yang utuh berupa novel, buku, seri ensiklopedia, dsb., paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Menurutnya, wujud wacana dapat dilihat dari segi tataran bahasa mulai tataran terkecil (kata) yang dapat memuat makna menjadi utuh dengan cara melihat informasi yang terkandung di dalamnya.

  Pendapat selanjutnya mengenai definisi wacana secara fungsional dalam komunikasi berbahasa. Hal tersebut diawali dengan definisi wacana sebagai satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa di bawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frasa, kata, dan bunyi.

  Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk kata. Rangkaian kata membentuk frasa dan rangkaian frasa membentuk kalimat. Akhirnya, rangkaian kalimat membentuk wacana, baik berupa lisan atau tulis (Rani, 2006: 3). Pendapat tersebut diperjelas lagi oleh Marwoto (1987: 151) yang lebih berfokus pada fungsi wacana sebagai alat komunikasi. Menurutnya, wacana adalah paparan penyampaian ide atau pikiran secara teratur, baik lisan maupun tertulis. Kegiatan mengarang atau menulis dibutuhkan penguasaan pengetahuan dasar tentang menulis dan pengetahuan praktik menulis. Selain harus mengerti beberapa pengetahuan dasar tentang ejaan, penggunaan kosakata, kalimat, serta kaidah- kaidah kebahasaan, subyek individu (penulis) juga dituntut menguasai beberapa pengetahuan dasar tentang wacana. Dengan demikian, dapat disimpulkan semua bentuk paparan lisan atau tulisan yang merupakan wadah penyampaian informasi maupun pikiran yang utuh disebut dengan wacana.

  Secara umum sebuah wacana mengacu kepada sebuah teks utuh, baik dalam situasi lisan maupun tulis. Sebuah wacana dapat diajukan kepada setiap tujuan berbahasa atau kepada setiap jenis bentuk bahasa, misalnya sebuah puisi, percakapan, tragedi, lelucon, diskusi dalam seminar, sejarah yang penting, makalah dalam majalah, wawancara, khotbah, dan wawancara TV. Teori tentang analisis wacana menjelaskan tentang bagaimana kalimat-kalimat dihubungkan dan memberikan satu kerangka acuan yang terpahami tentang berbagai jenis wacana. Selain itu, dapat pula memberikan penjelasan tentang urutan kelogisan, pengelolaan wacana, dan karakteristik stilistik sebuah wacana (Parera, 2004: 218- 219).

  Dari definisi wacana yang telah disebutkan oleh beberapa ahli bahasa dapat disimpulkan bahwa pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan baik secara lisan maupun tulisan dengan tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi. Maksud dari tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi adalah wacana tersebut memiliki keutuhan dan kepaduan dari segi bentuk dan segi makna. Wacana dapat diwujudkan dalam bentuk bahasa lisan dan bahasa tulis, seperti pidato, khotbah, ceramah, dialog, novel, cerpen, puisi, buku, karangan ilmiah. Sesuai dengan hal tersebut, penelitian ini menggunakan objek kajian yang berbentuk karangan ilmiah berupa skripsi.

  Ragam kompetensi kebahasaan dibagi menjadi dua, yaitu kompetensi kemahiran fungsional dan kompetensi komunikatif. Kompetensi kemahiran fungsional memiliki tiga komponen di dalamnya, yaitu kompetensi partisipasif, kompetensi interaksional, dan kompetensi akademik. Selanjutnya, kompetensi komunikatif memiliki empat komponen di dalamnya, yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi strategik (Tarigan, 2009: 29).

  Sehubungan dengan penelitian ini, kompetensi kewacanaan termasuk ke dalam kompetensi komunikatif. Kompetensi yang dimaksud dalam hal ini adalah pengetahuan mendasar seseorang tentang sistem bahasa, seperti kaidah-kaidah tata bahasanya, kosakatanya, dan seluruh pernak-pernik bahasa serta bagaimana menggunakan bahasa tersebut secara padu (Brown, 2007: 39). Selain itu, Richards, et al (2010: 103) mendefinisikan kompetensi adalah kemampuan seseorang dalam membuat dan memahami kalimat, termasuk kalimat yang belum pernah mereka dengar sebelumnya, membedakan kalimat yang benar dan kalimat yang tidak benar dalam bahasa tertentu, serta kemampuan untuk memahami kalimat-kalimat ambigu dan menyimpang. Kompetensi sering mengacu pada seorang penutur/pendengar yang baik, yaitu seseorang yang sudah diidealkan tetapi bukan seseorang yang mungkin mempunyai pengetahuan lengkap pada keseluruhan bahasa.

  Setelah mengetahui pengertian dari kompetensi dalam sebuah bahasa, maka dapat diketahui definisi kompetensi komunikatif. Richards, et al (2010: 99) mendefinisikan kompetensi komunikatif sebagai pengetahuan yang tidak hanya mengenai kemungkinan-kemungkinan yang dapat muncul dalam suatu bahasa, tetapi juga mengenai apakah suatu bahasa tersebut dapat diterima, pantas, dan dapat dilakukan dalam suatu ujaran tertentu. Selanjutnya, Tarigan (2009: 31) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kompetensi komunikatif adalah kemampuan untuk menerapkan kaidah-kaidah gramatikal suatu bahasa untuk membentuk kalimat-kalimat yang benar secara gramatikal dan untuk mengetahui apabila, di mana, kepada siapa menggunakan kalimat-kalimat tersebut.

  Kompetensi kewacanaan merupakan salah satu komponen dari kompetensi komunikatif. Menurut Riyono (2015: 2) kompetensi wacana adalah kemampuan untuk mengkaitkan kalimat-kalimat dalam rentang wacana dan untuk membentuk keseluruhan rangkaian tuturan yang bermakna. Wacana berarti apa saja mulai dari percakapan sederhana hingga teks tulis panjang (artikel, buku, dan sebagianya).

  Kompetensi wacana merupakan kompetensi yang mencakup pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengkombinasikan atau menggabungkan bentuk-bentuk dan makna-makna untuk mencapai teks-teks lisan dan tertulis yang terpadu atau utuh. Kompetensi ini berkaitan dengan penguasaan menggabungkan bentuk- bentuk dan makna-makna gramatikal untuk mencapai teks lisan atau tertulis yang terpadu dalam berbagai ragam „genre‟ (Tarigan, 2009: 40). Yang dimaksud „genre‟ di sini adalah tipe/jenis teks, misalnya: 1) narasi lisan atau tulis;

  2) esei argumentatif; 3) laporan ilmiah; 4) surat bisnis; 5) seperangkat instruksi yang masing-masing mewakili setiap genre.

  Kesatuan atau kepaduan suatu teks diperoleh atau dicapai melalui kohesi (segi bentuk) dan koherensi (segi makna). Kohesi berfokus pada bagaimana ucapan-ucapan dihubungkan secara struktural dan memberi kemudahan dalam proses interpretasi atau penafsiran suatu teks. Sebagai contoh, penggunaan sarana- sarana kohesi seperti pronomina, sinonim, elipsis, konjungsi, dan struktur-struktur paralel yang bertindak menghubungkan ucapan-ucapan individual dan untuk menyatakan bagaimana cara sekelompok ucapan dapat dipahami atau dimengerti (secara logis atau secara kronologis) sebagai suatu teks.

  Selanjutnya, sarana kohesi yang mendukung aspek-aspek koherensi yang beraneka ragam juga dapat memberi sumbangan pada kualitas dan kesatuan suatu teks. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kompetensi wacana merupakan jenis-jenis teks lisan dan tulis namun yang dipilih berdasarkan analisis kebutuhan dan minat komunikasi para pembelajar, yang mencakup (Tarigan, 2004: 43-44):

  1. Kohesi dalam jenis-jenis teks yang beraneka ragam, antara lain:

  a. sarana-sarana kohesi leksikal dalam konteks, misal ulangan butir-butir leksikal, pemakaian sinonim-sinonim (yang berlaku bagi kegiatan menyimak, berbicara, membaca, menulis); sarana-sarana kohesi gramatikal dalam konteks, misal koreferemsi nomina dengan pronomina, elipsis, konektor-konenktor logis, struktur-struktur paralel (yang berlaku bagi kegiatan menyimak, berbicara, membaca, menulis).

  2. Koherensi dalam jenis-jenis teks yang beraneka ragam, diantaranya:

  a. pola-pola wacana lisan, misalnya gerak-maju mekna-makna yang normal, terutama sekali makna-makna kalamiah dan fungsi komunikatif dan konversasi kasual (yang berlaku pada kegiatan menyimak, berbicara, membaca);

  b. pola-pola wacana tulis, gerak maju, makna-makna normal dalam surat bisnis, sebagai contohnya (yang berlaku dalam kegiatan membaca dan menulis saja).

  Sehubungan dengan hal tersebut, Pangaribuan (2008: 55) berpendapat bahwa kompetensi kewacanaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan menginterpretasi maupun mengungkapkan seperangkat tuturan lisan atau tulisan secara kohesif dan koheren. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa kompetensi kewacanaan dibentuk oleh kemampuan penutur menguasai aspek-aspek kohesi dan koherensi kewacanaan. Pendapat tersebut diperkuat oleh Badru (2003: 24) bahwa yang dimaksud dengan kemampuan berwacana adalah kemampuan menerapkan kaidah-kaidah kewacanaan dalam tulisan. Seseorang dikatakan mempunyai kemampuan berwacana tinggi jika dia mampu menerapkan keseluruhan kaidah yang berlaku dalam sebuah wacana. Kaidah kewacanaan tersebut, antara lain terbentuknya kesatuan dan kepaduan. Kesatuan dan kepaduan sebuah wacana dapat dilihat dari jalinan kalimat dalam paragraf yang dibuatnya.

  Menurutnya, ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam penulisan paragraf, yaitu masalah alur pikir dan masalah kepaduan paragraf, baik kepaduan di bidang bentuk maupun kepaduan di bidang makna. Proses membangun paragraf-paragraf tersebut atau dalam hal ini adalah wacana dapat diartikan sebagai sebuah tahapan dari pembentukan kalimat pertama yang menyebabkan timbulnya kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu kembali ke kalimat pertama, dan seterusnya. Rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain tersebut membentuk kesatuan yang kemudian disebut sebagai wacana (Ekoyanantiasih, 2002: 10).

  Berdasarkan pemaparan pendapat para ahli bahasa, simpulan yang dapat ditarik mengenai pengertian kompetensi kewacanaan adalah kemampuan seseorang dalam berbahasa tulis maupun lisan yang kohesif dan koheren. Kompetensi kewacanaan seseorang dihasilkan oleh aspek-aspek kohesi dan koherensi yang telah dikuasainya. Dengan demikian, makin baik penguasaan kebahasaannya, tentu makin baik kompetensi kewacanaannya.

  Penentu utama sekumpulan kalimat untuk dapat dikatakan sebagai wacana bergantung pada hubungan kohesif yang terdapat di dalam kumpulan kalimat tersebut dan di antara kalimat yang satu dengan yang lain. Kohesi adalah keterkaitan antarunsur dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa.

  Keterikatan tersebut digunakan untuk menghubungkan informasi antarkalimat dalam wacana yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan kata-kata pengikat ide. Hubungan kohesif dalam wacana dapat dibangun apabila unsur-unsur dalam wacana saling berkaitan (Brown & Yule, 1987: 191). Berkaitan tersebut diartikan sebagai keserasian, maksudnya adalah keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana. Keserasian hubungan tersebut dapat dilihat dari berbagai alat atau peranti wacana, baik yang berupa aspek gramatikal maupun yang berupa aspek semantik, atau gabungan antara kedua aspek ini (Chaer, 2007: 267). Jadi, dapat dikatakan bahwa kohesi merupakan keserasian hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren (Djajasudarma, 2010: 44).

  Sehubungan dengan alat atau peranti wacana, Halliday & Hasan (1994: 65) mengartikan kohesi sebagai perangkat sumber-sumber kebahasaan yang dimiliki setiap bahasa sebagai bagian dari metafungsi tekstual untuk mengaitkan satu bagian teks dengan bagian lainnya. Sumber-sumber yang dimaksud adalah referensi, substitusi, elipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal. Pendapat tersebut diperkuat oleh Ramlan (1993: 11) bahwa untuk membentuk paragraf yang baik, selain harus mengandung kepaduan makna, paragraf tersebut harus mengandung kepaduan bentuk. Bidang bentuk dalam paragraf dapat dilihat dari pemakaian tanda-tanda atau unsur-unsur kebahasaan yang menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam satuan paragraf. Jadi, terdapat kepaduan lain yang disebut dengan kohesi, yakni kepaduan di bidang bentuk

  Pendapat lain mengenai kohesi diungkapkan oleh Richards, et al (2010: 94) yang menjelaskan bahwa kohesi merupakan hubungan gramatikal atau leksikal antara unsur-unsur yang berbeda dalam sebuah teks. Hal ini juga mencakup tentang hubungan antara kalimat yang berbeda atau bagian-bagian yang berbeda dalam sebuah kalimat. Unsur-unsur tersebut maksudnya adala proposisi yang dinyatakan dalam sebuah wacana. Hubungan antara proposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana disebut dengan kohesi. Kohesi dapat pula dilihat berdasarkan hubungan unsur-unsur kalimat. Unsur-unsur tersebut dihubungkan melalui penggunaan sebuah konjungtor yang mengungkapkan pertentangan, pengutamaan, perkecualian, konsesi, tujuan. Selanjutnya, kohesi dapat pula ditandai oleh pengulangan kata atau frasa, baik secara utuh maupun sebagian. Selain itu, kohesi sering pula diciptakan dengan memakai kata yang maknanya berbeda dengan makna kata yang diacunya, tetapi kata yang digantikan dan kata pengganti menunjuk ke referen yang sama. Pada umumnya wacana menunjukkan bentuk lahir yang kohesif dengan ditandai pemakaian sarana kohesi. Dengan demikian, kohesi dalam wacana tidak hanya menyatakan pertalian bentuk lahir saja, melainkan menyiratkan koherensi, yakni hubungan semantis yang mendasari wacana tersebut (Alwi, dkk., 2003: 427).

  Sehubungan dengan hubungan antara proposisi dalam wacana, Suladi (2000: 13) berpendapat bahwa dalam suatu wacana, kohesi merupakan keterkaitan semantis antara proposisi yang satu dan proposisi yang lainnya dalam wacana tersebut. Kohesi dapat diartikan sebagai keserasian hubungan antara unsur yang satu dan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang apik atau koheren. Jadi, suatu wacana dikatakan kohesif apabila hubungan antara unsur yang satu dan unsur lainnya dalam wacana tersebut serasi sehingga tercipta suatu pengertian yang apik atau koheren. Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk sintaktikal. Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk, maksudnya unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi termasuk dalam aspek internal struktur wacana (Mulyana, 2005: 26). Selanjutnya, kohesi dapat disebut sebagai unsur yang menentukan keutuhan sebuah wacana. Hal ini dijelaskan oleh Tarigan (2009: 92) dalam pendapatnya bahwa kohesi (kepaduan) merupakan salah satu unsur yang turut menentukan keutuhan wacana. Kata kohesi mengandung pengertian kepaduan dan keutuhan. Jika dikaitkan dengan aspek bentuk dan makna, dapat dikatakan bahwa kohesi mengacu kepada aspek bentuk. Selanjutnya, dapat dikatakan pula bahwa kohesi mengacu kepada aspek formal bahasa (language). Aspek tersebut berkaitan erat dengan kohesi ini untuk melukiskan bagaimana caranya proposisi saling berhubungan satu sama lain untuk membentuk suatu teks. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kohesi merupakan hubungan semantik antara kalimat yang satu dengan yang lain dengan ditandai oleh adanya bentuk penanda ikatan formal. Kohesi juga berfungsi untuk membentuk ketekstualan suatu teks, yakni menjalin hubungan makna dan mengatur keurutan informasi (Pangaribuan, 2008: 58)

  Berdasarkan definisi kohesi yang dikemukakan oleh para ahli bahasa, maka dapat disimpulkan pengertian kohesi dalam penelitian ini adalah keserasian atau keterkaitan hubungan antara unsur-unsur pembangun wacana yang menghubungkan bentuk bahasa dan konteksnya. Kohesi lebih mengarah kepada kepaduan bentuk. Hal ini dapat dilihat melalui alat atau peranti kohesi yang digunakan dalam membangun wacana tersebut sehingga tercipta sebuah wacana yang apik dan kohesif.

  Peranti kohesi leksikal dapat dibagi menjadi enam, yaitu repetisi, sinonimi, kolokasi, hiponimi, antonimi, dan ekuivalensi. Keenam peranti kohesi tersebut digunakan untuk mencapai kepaduan wacana melalui aspek leksikal (Sumarlam, dkk., 2003: 34). Berikut ini adalah penjelasan dari keenam peranti kohesi leksikal tersebut.

  a) Repetisi (Pengulangan) Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan hal tersebut, repetisi dapat dibedakan menjadi repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Berikut ini adalah penjelasan dan contoh penggunaan kedelapan jenis repetisi tersebut.

  1) Repetisi Epizeuksis Repetisi epizeuksis ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Misalnya pada tuturan berikut.

  (1) Sebagai orang beriman, berdoalah selagi ada kesempatan, selagi diberi kesehatan, dan selagi diberi umur panjang. Berdoa wajib bagi manusia.

  Berdoa selagi kita sehat tentu lebih baik daripada berdoa selagi kita butuh. Mari kita berdoa bersama-sama selagi Allah mencinta umat-

  Nya . Pada tuturan di atas, kata selagi diulang beberapa kali secara berturut-turut untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan itu.

  2) Repetisi Tautotes Repetisi Tautotes ialah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi. Agar lebih jelas perhatikan contoh berikut ini.

  (2) Aku dan dia terpaksa harus tinggal berjauhan, tetapi aku sangat

  mempercayai dia, dia pun sangat mempercayai aku. Aku dan dia saling mempercayai .

  Dalam hal ini, kata mempercayai diulang tiga kali dalam sebuah konstruksi.

  3) Repetisi Anafora Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Pengulangan pada tiap baris biasanya terjadi dalam puisi, sedangkan pengulangan pada tiap kalimat terdapat dalam prosa. Contohnya adalah sebagai berikut.

  (3) Bukan nafsu,

  Bukan wajahmu, Bukan kakimu, Bukan tubuhmu, Aku mencintaimu karena hatimu.

  Pada penggalan puisi di atas terjadi repetisi anafora berupa pengulangan kata bukan pada baris pertama sampai dengan keempat.

  4) Repetisi Epistrofa Repetisi Epistrofa ialah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut.

  Misalnya adalah sebagai berikut.

  (4) Bumi yang kudiami, laut yang kulayari, adalah puisi.

  Udara yang kauhirupi, air yang kauteguki, adalah puisi. Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli, adalah puisi. Gubug yang kauratapi, gubug yang kautinggali, adalah puisi.

  Pada bait puisi di atas satuan lingual adalah puisi diulang empat kali pada tiap baris secara berurutan.

  5) Repetisi Simploke Repetisi simploke ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut, seperti pada contoh berikut ini.

  (5) Kamu bilang hidup ini brengsek. Biarin.

  Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Biarin.

  kepribadian. Biarin.

  Kamu bilang nggak punya Kamu bilang nggak punya pengertian. Biarin.

  Pada bait puisi di atas terdapat pengulangan satuan lingual kamu bilang

  hidup ini pada baris pertama dan kedua, dan satuan lingual kamu bilang nggak punya pada baris ketiga dan keempat, masing-masing terdapat pada awal baris.

  Sementara itu satuan lingual yang berupa kata biarin diulang empat kali pada tiap akhir baris pertama sampai dengan keempat.

  6) Repetisi Mesodiplosis Repetisi Mesodiplosis ialah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut. Contohnya sebagai berikut.

  (6) Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon.

  Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng. Para pembesar jangan mencuri bensin. Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri.

  Pada tiap baris puisi di atas terdapat pengulangan satuan lingual jangan mencuri yang terletak di tengah-tengah baris secara berturut-turut.

  7) Repetisi Epanalepsis Repetisi Epanalepsis ialah pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama. Berikut ini adalah contoh penggunaan repetisi tersebut.

  (7) Minta maaflah kepadanya sebelum dia datang minta maaf.

  Kamu mengalah bukan berarti dia mengalahkan kamu. Berbuat baik lah kepada sesama selagi bisa berbuat baik.

  Pada tuturan di atas terdapat repetisi epanalepsis, yaitu frasa minta maaf pada akhir baris merupakan pengulangan frasa yang sama pada awal baris pertama. Kata kamu pada akhir baris merupakan pengulangan kata yang sama pada awal baris kedua. Selanjutnya, frasa berbuat baik pada akhir baris merupakan pengulangan frasa yang sama pada awal baris ketiga.

  8) Repetisi Anadiplosis Repetisi anadiplosis ialah pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya.

  Berikut ini adalah contoh repetisi berikut.

  (8) dalam hidup ada tujuan

  tujuan dicapai dengan usaha usaha disertai doa doa berarti harapan

  harapan adalah perjuangan perjuangan adalah pengorbanan

  Tampak pada puisi di atas, kata tujuan pada akhir baris pertama menjadi kata pertama pada baris kedua, kata usaha pada akhir kedua menjadi kata pertama pada baris ketiga, kata doa pada akhir baris ketiga menjadi kata pertama pada baris keempat, kata harapan pada akhir baris keempat menjadi kata pertama pada baris kelima, dan kata perjuangan pada akhir baris kelima menjadi kata pertama pada baris terakhir dari puisi tersebut.

  b) Sinonimi (Padan Kata) Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain.

  Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.

  Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa dengan frasa, klausa/kalimat dengan klausa/kalimat. Berikut ini adalah penjelasan dari kelima macam sinonimi tersebut. 1) Sinonimi Morfem (Bebas) dengan Morfem (Terikat)

  Berikut ini adalah penggunaan morfem (bebas) aku, kamu, dia yang masing-masing bersinonim dengan morfem (terikat) -ku, -mu, -nya.

  (9) Aku mohon kau mengerti perasaanku.

  Kamu boleh bermain sesuka hatimu. Dia terus berusaha mencari jatidirinya.

  2) Sinonim Kata dengan Kata (10) Meskipun capeg, saya sudah terima bayaran. Setahun menerima gaji 80%. SK pagnegku keluar. Gajiku naik.

  Tampak pada tuturan di atas, kepaduan wacana tersebut antara lain didukung oleh aspek leksikal yang berupa sinonimi antara kata bayaran pada kalimat pertama dengan kata gaji pada kalimat kedua dan ketiga. Kedua kata tersebut maknanya sepadan.

  3) Sinonim Kata dengan Frasa atau Sebaliknya (11) Kota itu semalam dilanda hujan dan badai. Akibat adanya musibah itu banyak gedung yang runtuh, rumah-rumah penduduk roboh, dan pohon-pohon pun tumbang disapu badai. Kepaduan wacana tersebut didukung oleh aspek leksikal yang berupa sinonimi antara frasa hujan dan badai pada kalimat pertama dengan kata musibah pada kalimat berikutnya.

  4) Sinonimi Frasa dengan Frasa (12) Tina adalah sosok wanita yang pandai bergaul. Betapa tidak. Baru dua hari pindah ke sini, dia sudah bisa beradaptasi dengan baik.

  Wacana di atas kepaduannya didukung oleh aspek leksikal sinonimi antara frasa pandai bergaul pada kalimat pertama dengan frasa beradaptasi dengan baik pada kalimat ketiga. Kedua ungkapan itu mempunyai makna yang sepadan.

  5) Sinonimi klausa/kalimat dengan klausa/kalimat (13) Gunakan landasan teori yang tepat untuk memecahkan masalah

  tersebut . Pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan itu pun juga harus akurat.

  Klausa memecahkan masalah tersebut pada kalimat pertama bersinonim dengan klausa menyelesaikan persoalan itu pada kalimat kedua. Kedua klausa yang bermakna sepadan itu mendukung kepaduan wacana yang baik secara leksikal maupun semantis.

  c) Antonimi (Lawan Kata) Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi juga disebut dengan oposisi makna. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu oposisi mutlak, oposisi kutub, oposisi hubungan, oposisi hirarkial, oposisi majemuk. Oposisi makna atau antonimi juga merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu mendukung kepaduan wacana secara semantis. Berikut ini adalah penjelasan dari kelima macam tersebut. 1) Oposisi Mutlak

  Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak, misalnya oposisi antara kata hidup dengan kata mati, kata bergerak dengan diam. Misalnya pada wacana berikut ini.

  (14) Hidup dan matinya perusahaan tergantung dari usaha kita. Jangan hanya diam menunggu kehancuran, mari kita mencoba bergerak dengan cara yang lain.

  2) Oposisi Kutub Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tapi bersifat gradasi. Artinya, terdapat tingkatan makna pada kata-kata tersebut.

  Misalnya oposisi makna antara kata-kata: kaya >< miskin besar >< kecil panjang >< pendek lebar >< sempit senang >< susah Berikut ini adalah wacana yang mengandung oposisi kutub. (15) Memasuki era globalisasi sekarang ini, meningkatkan kualitas sumber daya manusia sangatlah penting. Semua warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, baik itu orang kaya maupun orang miskin. Semua mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan. Pada wacana di atas terdapat oposisi kutub antara kata kaya dengan kata miskin pada kalimat kedua. Kedua kata tersebut dikatakan berproposisi kurub sebab terdapat gradasi di antara oposisi keduanya, yaitu adanya realitas sangat

  kaya, kaya, agak kaya, agak miskin, miskin,

  dan sangat miskin bagi kehidupan orang di dunia ini.

  3) Oposisi Hubungan Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi.

  Karena oposisi ini bersifat saling melengkapi, maka kata yang satu dimungkinkan ada kehadirannya karena kehadiran kata yang lain yang menjadi oposisinya; atau kehadiran kata yang satu disebabkan oleh adanya kata yang lain, seperti oposisi antara kata-kata: bapak >< ibu guru >< murid dosen >< mahasiswa dokter >< pasien senang >< susah Berikut ini adalah wacana yang mengandung oposisi hubungan.

  (16) Ibu Rini adalah seorang guru yang cantik dan cerdas. Selain itu, beliau juga pandai dalam menyampaikan materi pelajaran di kelas, sehingga semua murid senang kepadanya. Wacana di atas terdapat oposisi hubungan antara kata guru pada kalimat pertama dengan murid pada kalimat kedua. Guru sebagai realitas dimungkinkan ada karena kehadirannya dilengkapi oleh murid dan sebaliknya.

  4) Oposisi Hirarkial Oposisi hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Satuan lingual yang beroposisi hirarkial pada umumnya kata-kata yang menunjuk pada mana-mana satuan ukuran (panjang, berat, isi), nama satuan hitungan, penanggalan, dan sejenisnya. Misalnya pada oposisi kata-kata berikut ini. milimeter >< sentimeter >< meter >< kilometer kilogram >< kuintal >< ton detik >< menit >< jam >< hari >< minggu >< bulan >< tahun SD >< SLTP >< SMU >< PT Pemakaian kata-kata tersebut antara lain dapat diamati pada tuturan berikut.

  (17) Sudah berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan Shinta menunggu kabar dari kekasihnya yang sedang bertugas di negeri orang. Setelah

  bertahun-tahun tak ada kabar darinya, maka Shinta pun memutuskan untuk menikah dengan kenalan barunya. Pada wacana di atas dapat ditemukan oposisi hirarkial yang menyatakan realitas tingkatan waktu, yaitu antara satuan waktu berminggu-minggu yang dioposisikan dengan berbulan-bulan dan dioposisikan pula dengan bertahun- tahun .

  5) Oposisi Majemuk Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata

  (lebih dari dua). Perbedaan antara oposisi majemuk dengan oposisi kutub terletak pada ada tidaknya gradasi yang dibuktikan dengan dimungkinkannya bersanding dengan kata agak, lebih, dan sangat pada oposisi kutub, dan tidak pada oposisi majemuk. Adapun perbedaannya dengan oposisi hirarkial, pada oposisi hirarkial terdapat makna yang menyatakan jenjang atau tingkatan yang secara realitas tingkatan yang lebih tinggi atau lebih besar selalu mengasumsikan adanya tingkatan yang lebih rendah atau lebih kecil. Akan tetapi, pada oposisi majemuk tidak demikian adanya. Contoh kata-kata yang beroposisi majemuk antara lain: berdiri >< jongkok >< duduk >< berbaring diam >< berbicara >< bergerak >< bertindak berlari >< berjalan >< melangkah >< berhenti Berikut ini adalah contoh oposisi majemuk dalam sebuah wacana.

  (18) Adi berlari karena takut dimarahi ibunya. Setelah agak jauh dari ibunya, ia berjalan menuju rumah temannya. Sampai di rumah itu lalu ia melangkahkan kakiknya masuk ke dalam rumah. Mendadak ia

  berhenti dan terkejut karena ternyata yang tampak di depan mata Adi adalah ibunya sendiri. d) Kolokasi (Sanding Kata) Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu dominan atau jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kata-kata seperti guru, murid, buku, sekolah, pelajaran, dan alat tulis, misalnya, merupakan contoh kata-kata yang cenderung dipakai secara berdampingan dalam domain sekolah atau jaringan pendidikan.

  Berikut ini adalah wacana yang mengandung oposisi kolokasi jaringan pertanian.

  (19) Waktu aku masih kecil, ayah sering mengajakku ke sawah. Ayah adalah seorang petani yang sukses. Dengan lahan yang luas dan bibit

  padi yang berkualitas serta didukung sistem pengolahan yang

  sempurna maka panen pun melimpah. Dari hasil panen itu pula keluarga ayahku mempu bertahan hidup secara layak.

  e) Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah) Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain.

Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut “hipernim” atau “hiperordinat”

  Berikut ini adalah contoh penggunaan hiponimi dalam sebuah wacana. (20) Binatang melata termasuk kategori hewan reptil. Reptil yang hidup di darat dan di air ialah katak dan ular. Cicak adalah reptil yang biasa merayap di dinding. Adapun jenis reptil yang hidup di semak- semak dan rumput adalah kadal. Sementara itu, reptil yang dapat berubah warna sesuai dengan lingkungannya yaitu bunglon.

  Pada contoh di atas yang merupakan hipernim atau superordinatnya adalah binatang melata atau yang disebut reptil. Sementara itu, binatang-binatang yang merupakan golongan reptil sebagai hiponimnya adalah katak, ular, cicak, kadal, dan bunglon. Fungsi hiponimi adalah untuk mengikat hubungan antara unsur yang mencakupi dan unsur yang dicakupi.

  f) Ekuivalensi (Kesepadanan) Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan, misalnya hubungan makna antara kata membeli, dibeli, dan pembeli, semuanya dibentuk dari bentuk asal yang

  membelikan, dibelikan, sama, yakni beli.

  Berikut ini adalah contoh wacana yang mengandung ekuivalensi. (21) Andi memperoleh predikat pelajar teladan. Dia memang tekun sekali alam belajar. Apa yang telah diajarkan oleh guru pengajar di sekolah diterima dan dipahaminya dengan baik. Andi merasa senang dan tertarik pada semua pelajaran.

  Selanjutnya, peranti kohesi leksikal berupa kata atau frasa bebas yang mampu mempertahankan hubungan kohesif dengan kalimat mendahului atau yang mengikuti. Menurut Rani (2006: 129) peranti kohesi leksikal terdiri atas dua macam, yaitu reiterasi dan kolokasi. Reiterasi meliputi repetisi dan ulangan hiponim. Berikut ini adalah penjelasan dari peranti kohesi leksikal tersebut. a) Repetisi (Pengulangan) Repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan hubungan kohesif antar kalimat. Hubungan ini dibentuk dengan mengulang sebagian kalimat. Dengan mengulang, berarti terkait antara topik kalimat yang satu dengan kalimat sebelumnya yang diulang. Jenis repetisi dalam hal ini dibagi menjadi tiga macam. Berikut ini adalah penjelasannya. 1) Ulangan Penuh

  Ulangan penuh berarti mengulang satu fungsi dalam kalimat secara penuh, tanpa pengurangan dan perubahan bentuk. Pengulangan tersebut dapat berfungsi untuk memberi tekanan pada bagian yang diulang. Contohnya adalah sebagai berikut.

  (22) Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini.

  2) Ulangan dengan Bentuk Lain Ulangan dengan bentuk lain terjadi apabila sebuah kata diulang dengan konstruksi atau bentuk kata lain yang masih mempunyai bentuk dasar yang sama.

  Contohnya adalah sebagai berikut.

  (23) Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya.

  Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu.

  3) Ulangan dengan Penggantian Ulangan dengan penggantian sama dengan penggunaan kata ganti

  (substitusi). Untuk menghubungkan kalimat dapat dilakukan dengan mengulang bagian kalimat seperti yang sudah dicontohkan pada kalimat-kalimat di atas. Selain itu, pengulangan dapat dilakukan dengan mengganti bentuk lain seperti dengan kata ganti. Contohnya adalah sebagai berikut.

  (24) Lulusan IPA merasa lebih tinggi dari lulusan IPS. Atau, lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lain.

  Mereka meremehkan moral, agama, dan nilai estetika.

  b) Ulangan dengan Hiponim Dalam kehidupan sehari-hari, telah dikenal kata superordinat yang mempunyai beberapa subordinat. Pengulangan yang terjadi pada kata subordinat disebut ulangan dengan hiponim. Contohnya adalah berikut ini.

  (25) Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS.

  c) Kolokasi Suatu hal yang selalu berdekatan atau berdampingan dengan yang lain biasanya diasosiasikan sebagai satu kesatuan. Seperti ikan dan air sering diasosiasikan membentuk suatu kesatuan. Contohnya adalah sebagai berikut.

  (26) Sifat terbuka atau demokratis dari Pancasila sebagai ideologi pertama-tama dapat kita lihat dari proses kelahirannya. Sebagaimana diketahui rumusan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan konstitusi bersama lahir melalui proses musyawarah mufakat yang bersuasana terbuka dan demokratis. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila dan UUD 1945 merupakan dua hal yang selalu ada berdampingan. Pembahasan Pancasila tentu tidak dapat dipisahkan dengan pembahasa UUD 1945. Kedua hal tersebut merupakan kolokasi. Pada contoh wacana di atas, pengulangan diikuti dengan penyajian kata yang menunjukkan kolokasi. Jadi, kata UUD 1945 pada wacana di atas tidak menimbulkan suatu penyimpangan proposisi karena keduanya menunjukkan kolokasi.

  Dari penjelasan dan perincian macam-macam peranti kohesi leksikal yang telah disebutkan oleh Rani, dkk. dan Sumarlam, dkk., maka peneliti merumuskan peranti kohesi leksikal yang digunakan dalam penelitian menjadi enam, yaitu (a) repetisi, (b) ulangan dengan hiponim, (c) kolokasi, (d) sinonimi, (e) antonimi, (f) ekuivalensi.

  Peranti kohesi gramatikal merupakan peranti atau penanda kohesi yang melibatkan penggunaan unsur-unsur kaidah bahasa. Peranti kohesi gramatikal yang digunakan untuk menghubungkan ide antarkalimat cukup terbatas ragamnya. Rani (2006: 97) membagi peranti kohesi gramatikal menjadi tiga macam, yaitu referensi, penggantian (substitusi), peranti konjungsi. Berikut ini adalah peranti kohesi tersebut.

  a) Referensi Referensi memiliki arti hubungan antara kata dengan benda. Misalnya kata

  “buku” mempunyai referensi kepada sekumpulan kertas yang dijilid untuk menulis dan dibaca. Referensi dibagi menjadi dua macam, yaitu eksofora dan endofora. Berikut ini adalah penjelasan dua macam referensi tersebut. 1) Referensi Eksofora

  Referensi eksofora adalah pengacuan terhadap anteseden (unsur terdahulu yang ditunjuk oleh ungkapan dalam suatu klausa atau kalimat) yang terdapat di luar bahasa (ekstratekstual), seperti manusia, hewan, alam sekitar, atau acuan kegiatan. Misalnya, itu matahari. Kata itu pada tuturan tersebut mengacu pada sesuatu di luar teks, yaitu benda yang berpijar yang menerangi alam ini.

  2) Referensi Endofora Referensi endofora adalah pengacuan terhadap anteseden (unsur terdahulu yang ditunjuk oleh ungkapan dalam suatu klausa atau kalimat) yang terdapat di dalam bahasa (intratekstual). Pengacu dan yang diacu adalah koreferensial. Apabila yang ditunjuk itu sudah lebih dahulu diucapkan atau ada pada kalimat yang lebih dahulu maka disebut anafora (referensi mundur ke belakang); dan jika yang ditunjuk berada di depan atau pada kalimat sesudahnya maka disebut katafora (referensi ke depan). Baik referensi yang bersifat anafora maupun katafora menggunakan pronomina persona (saya, aku, kami, kita, kamu, engkau,

  

anda, kalian, kamu sekalian, dia, ia, beliau, mereka ), pronomina petunjuk (di sini,

di situ, di sana, di sana sini, yang ini, yang itu ), dan pronomina komparatif (sama,

persis, mirip, identik, serupa, segitu, selain, berbeda, yang demikian ). Berikut ini

adalah contoh tuturan bereferensi anafora.

  (27) (a) Nauval hari ini tidak masuk sekolah. (b) Ia ikut ibunya pergi ke Surabaya.

  Kata ia pada kalimat (b) mengacu pada kata Nauval di kalimat (a). Selanjutnya, berikut ini adalah contoh tuturan bereferensi katafora.

  (28) Seperti kulitnya, mata Zia juga khas; berkelopak tebal, tanpa garis lipatan. Pronomina enkilitik -nya pada klausa pertama kalimat di atas mengacu pada anteseden Zia yang terdapat pada klausa kedua kalimat tersebut. b) Penggantian (Substitusi) Substitusi adalah penyulihan suatu unsur wacana dengan unsur lain yang acuannya tetap sama, dalam hubungan antarbentuk kata atau bentuk lain yang lebih besar daripada kata, seperti frasa atau klausa. Secara umum, penggantian itu dapat berupa kata ganti orang, tempat, dan sesuatu hal. Penggunaan peranti kohesi yang berupa kata ganti pada dasarnya sama dengan pengulangan (repetisi) dengan bentuk berbeda. Misalnya sebagai berikut.

  (29) Dalam aksioma yang ketiga, Buhler berusaha menguraikan struktur

  modell der Sprache . Ia beranggapan bahwa semua bahasa mempunyai struktur.

  Pada kalimat di atas, kata Buhler diganti dengan kata ia. Kata ganti ia merupakan kata ganti orang ketiga tunggal.

  c) Peranti Konjungsi Konjungsi berfungsi untuk merangkaikan atau mengikat beberapa proposisi dalam wacana agar perpindahan ide dalam wacana itu terasa selaras.

  Sesuai dengan fungsinya, konjungsi dalam bahasa Indonesia dapat digunakan untuk merangkai ide, baik dalam satu kalimat (intrakalimat) maupun antarkalimat.