HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) DENGAN KEPATUHAN MENELAN OBAT PADA PASIEN TB PARU ANAK DI POLI ANAK RUMAH SAKIT ISLAM KENDAL - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

  HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) DENGAN KEPATUHAN MENELAN OBAT PADA PASIEN TB PARU ANAK Manuscript

  Oleh: Umi Kulsum NIM : G2A216093 PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2018

PERNYATAAN PERSETUJUAN

  Manuskrip dengan judul HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) DENGAN KEPATUHAN MENELAN OBAT PADA PASIEN TB PARU ANAK

  Telah diperiksa dan disetujui untuk dipublikasikan Semarang, 28 Februari 2018 Pembimbing I Edy Soesanto, S.Kep, M.Kes Pembimbing I Ns. Dewi Setyawati, S.Kep,.MNS

  

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO)

DENGAN KEPATUHAN MENELAN OBAT PADA PASIEN TB PARU ANAK

1 ABSTRAK 2 3 1)

Umi Kulsum , Edy Soesanto Dewi Setyowati

2) Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan Fikkes UNIMUS, [email protected] 3) Dosen Keperawatan Fikkes UNIMUS, [email protected] Dosen Keperawatan Fikkes UNIMUS, [email protected]

  

Latar Belakang : Prevalensi kasus TB paru anak di Indonesia meningkat setiap tahun. Salah satu penentu

keberhasilan penatalaksanaan terapi tuberkulosis yaitu kepatuhan pasien menelan obat. Pengawas menelan obat

(PMO) bertugas memantau dan mengingatkan penderita TB paru untuk patuh minum obat secara teratur. Salah

satu kendala adalah kurangnya pemahaman masyarakat dan persepsi yang salah tentang TB Paru.

  

Tujuan penelitian : Untuk mengetahui hubungan antara persepsi Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan

Kepatuhan Menelan Obat Pada Pasien Tb Paru Anak.

Metode Penelitian : Jenis penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif korelasi dengan

pendekatan cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 93 responden dengan menggunakan teknik systematik

sampling . Analisis data dengan menggunakan uji rank spearman.

  

Hasil Penelitian : Persepsi keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) sebagian besar positif sebanyak 51

responden (54,8%). Kepatuhan menelan obat sebagian besar patuh sebanyak 54 responden (58,1%).

Simpulan: Ada hubungan antara persepsi keluarga sebagai PMO terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien

anak dengan p value 0,0001. Saran : Diharapkan keluarga tetap memberikan dukungan pada penderita TB agar patuh menelan obat.

  Kata kunci: Persepsi, Kepatuhan, Tb Paru Anak

ABSTRACT

Background: Pediatric pulmonary TB prevalence in children at Indonesia is annually improving. One of

the indicators of succeed tuberculosis therapy is the medicationconsistency. PMO or medication supervisor

is in charge to supervise and improve the awareness of pulmonary TB patient to consistently take the

medicine. One of the obstacles is peoplelack of knowledge and wrong perception about pulmonary TB.

  

This research was aimed to find out the correlation between medication supervisor (PMO) perception

and the medication consistency in pediatric pulmonary TB patient of pediatric outpatient clinic at Kendal

Islamic Hospital.

  

Research Method: It was descriptive correlation research with cross sectional approach. The sample for

this research was 93 respondents taken using systematic sampling technique. Rank Spearman Test was

used as the data analysis method for this research.

  

Results: The result of the research showed that family perception as medication supervisor (PMO) was

mostly positive with 51 respondents (54.8%). In term of medication consistency, there were 54 respondents

(58.1%) who consistently took the medicine.

  

Conclusion: There was correlation between family perception as medication supervisor (PMO) and the

medication consistency in pediatric pulmonary TB patient with p value 0.0001.

Suggestion: It is expected for the family to keep up supporting the TB patients to improve medication

consistency.

  Keywords : Perception, Consistency, Pediatric Pulmonary TB PENDAHULUAN

  Penyakit Tuberculosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Basil Tahan Asam (BTA) Mycobacterium Tuberculosis, yaitu bakteri berbentuk batang yang tahan terhadap asam (Rab, 2010). M. Tuberculosis ini biasanya menyerang paru, namun dapat pula menyerang bagian tubuh lainnya seperti otak, tulang, kelenjar getah bening, selaput jantung, dan kulit.

  Penyakit TB dapat disembuhkan dengan pengobatan yang teratur dan adekuat dengan masa pengobatan selama enam sampai delapan bulan, bahkan lebih dari satu tahun. Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

  Kegagalan pengobatan TB sebagian besar karena pasien berobat secara tidak teratur dan menimbulkan angka Drop Out (DO). Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tidak diminum secara teratur akan mengakibatkan Mycobacterium Tuber-culosis menjadi kebal dan menimbulkan kasus-kasus Multidrug (MDR) maupun Extensive Drug Resistant (XDR).

  Resistence

  Di negara-negara berkembang jumlah anak usia dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Berdasarkan hasil survei terbaru, jumlah kasus tuberkolosisi (TB) di Indonesia diperkirakan mencapai 1 juta kasus pertahun atau atau naik dua kali lipat dari perkiraan sebelumnya. Posisi Indonesia pun melonjak ke negara dengan kasus terbanyak ke dua setelah India. Dalam laporan Tuberkulosis Global 2014 yang dirilis Organisasi Dunia (WHO) disebutkan, di Indonesia 460.000 kasus baru pertahun 2015 angka tersebut sudah direvisi berdasarkan survai sejak 2013, naik menjadi 1 juta kasus baru pertahun. Pesentase jumlah kasus di indonesia menjadi 10 persen terhadap seluruh kasus di dunia sehingga menjadi negara dengan kasus terbanyak ke2 setelah India dengan urutan pertama presentase kasus 23 persen di dunia (WHO, 2016). Proporsi kasus TB anak di Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4% kemudian 8,5% pada tahun 2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9% pada tahun 2013, 7,16%, pada tahun2014,95% tahun 2015. Porporsi tersebut bervariasi dari 1,2% sampai 17,3% (Menkes RI, 2016). Menurut data dan informasi Kemenkes RI tahun 2017 bahwa kasus TB paru anak di Jawa Tengah adalah 221 anak (Kemenkes RI, 2017).

  Salah satu penentu keberhasilan penatalaksanaan terapi tuberkulosis yaitu kepatuhan pasien terhadap terapi. Ketidakpatuhan berobat akan menyebabkan kegagalan dan kekambuhan, sehingga muncul resistensi dan penularan penyakit terus menerus. Hal ini dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien maupun pada masyarakat luas. Konsekuensi ketidakpatuhan berobat jangka panjang adalah memburuknya kesehatan dan meningkatnya biaya perawatan (WHO 2013). Ketidakpatuhan penderita TB paru berobat menyebabkan angka kesembuhan penderita rendah, angka kematian tinggi dan kekambuhan meningkat serta yang lebih fatal adalah terjadinya resisten kuman terhadap beberapa obat anti tuberkulosis atau multi drug resistence, sehingga penyakit tuberculosis paru sangat sulit disembuhkan. Ketidakpatuhan ini sangat berbahaya, karena penelitian telah memperlihatkan bahwa pengobatan yang dilakukan dengan tidak teratur akan memberi efek yang lebih buruk dari pada tidak diobati sama sekali. Resistansi OAT yang terjadi akibat seseorang tidak berobat tuntas atau bila diberi OAT yang keliru akan memberikan dampak buruk tidak hanya kepada yang bersangkutan tetapi juga kepada epidemiologi TB paru di daerah tersebut (Depkes, 2010). Keberhasilan pengobatan TB paru sangat ditentukan oleh adanya keteraturan minum obat anti tuberkulosis (Sukana dkk, 2003). Hal ini dapat dicapai dengan adanya pengawas menelan obat (PMO) yang memantau dan mengingatkan penderita TB paru untuk meminum obat secara teratur. PMO sangat penting untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil yang optimal (DepKes, 2010). Kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat keberhasilannya (Purwanto, 2008). Salah satu kendala yang masih sering ditemukan pada upaya penekanan jumlah penderita TB Paru adalah kurangnya pemahaman masyarakat. Masih banyak masyarakat yang kurang memiliki akses informasi sehingga terkadang mempunyai persepsi yang salah tentang TB Paru. Persepsi positif tentang pencegahan penularan TB paru harus dimiliki semua penderita TB paru dalam upaya pencegahan penularan TB paru. Persepsi melibatkan kognisi (pengetahuan) dengan proses yang berawal dari menginterpretasi objek, simbol dan orang yang didasarkan pada pengalaman kita sehingga bisa mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap (Ivancevich dkk, 2008). Dengan demikian sangat dibutuhkan adanya peningkatan pemberian informasi mengenai pencegahan penularan TB paru yang disertai contoh tindakan yang aplikatif.

  Hasil studi pendahuluan dengan keluarga pendeita TB sebagian mengatakan bahwa tidak tahu jika penyakit TB itu menular, penyakit TB merupakan penyakit yang memalukan, dan mengatakan bahwa penyakit TB lebih berbahaya dari pada kanker paru karena mereka beranggapan bahwa penyakit TB adalah penyakitnya orang miskin sedangkan hasil wawancara dengan salah satu orang tua pasien TB paru anak menyatakan bahwa anaknya drop out 2 kali karena orang tua merasa kasihan meminumkan obat TB paru kepada anaknya. Orang tua beralasan pengalaman dari minum obat sebelumnya merasamual dan pusing setelah minum obat sehingga tidak tega bila meminumkan obat TB paru. Orang tua meminumkan obatnya bila anaknya minta saja. Setelah 5 bulan pengobatan, evaluasi hasil dari laboratorium RO, berat badan tidak naik, sehingga pengobatan diulang lagi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan persepsi orang tua sebagai PMO terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien TB paru pada anak di poli anak RSI Kendal.

  METODE

  Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah subyek (PMO TB paru anak) yang memenuhi kereteria yang telah di tetapkan. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PMO pasien TB anak yang berobat di poli anak RS Islam Kendal tanggal 15 Nopember 2017 sampai dengan 31 Januari 2018 sebanyak 120 pasien. Sampel dalam penelitian ini adalah PMO TB paru anak di poli anak RSI Kendal sebanyak 93 pasien. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah menggunakan systematik

  

sampling . Alat pengumpulan data dalam penelitian ini m yaitu kuesioner. Analisis data menggnakan

analisis univariat dan bivariat menggunakan uji spearmen rank.

  HASIL Karakteristik Responden

  Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Pengawas Menelan Obat (PMO)

  

Karakteristik Median Min Max Simpangan baku

Umur PMO 31,00

23

42 4,323 Umur Pasien 7,00

  

2

12 2,401

  Hasil penelitian menunjukkan distribusi responden berdasarkan umur didapatkan umur termuda 23 tahun, umur tertua 42 tahun, rerata umur 31 tahun. Distribusi responden berdasarkan usia pasien didapatkan umur termuda 2 tahun, umur tertua 12 tahun, rerata umur 7 tahun.

  Tabel 2 Distribusi Karakterisitk Responden Pengawas Menelan Obat (PMO)

  

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Jenis Kelamin Laki-laki 39 41,9 Perempuan

  54 58,1 Tingkat Pendidikan Pendidikan Dasar 40 43,0 Pendidikan Menengah

  50 53,8 Pendidikan Tinggi 3 3,2 Pekerjaan

  Buruh 12 12,9 Tidak bekerja 18 19,4 Pedagang 12 12,9 Pegawai Swasta

  3 3,2 Petani 19 20,4 PNS

  1 1,1 Wiraswasta 28 30,1 Terakhir Berobat (bulan)

  Januari 49 52,7 Desember 34 36,6 Nopember 10 10,8 Total 93 100,0 Hasil penelitian menunjukkan distribusi responden jenis kelamin perempuan lebih besar dari laki-laki yaitu sebanyak 54 responden (58,1%). Tingkat pendidikan pengawas menelan obat (PMO) sebagian besar pendidikan menengah sebanyak 50 responden (53,8%), pendidikan dasar sebanyak 40 responden (43,0%). Pekerjaan pengawas menelan obat (PMO) sebagian besar bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 28 responden (30,1%). Terakhir berobat sebagian besar bulan Januari sebanyak 49 responden (52,7%).

  Persepsi Keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO)

  Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Persepsi Keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat

  (PMO) Persepsi Frekuensi Persentase (%) Negatif 42 45,2 Positif 51 54,8 Total 93 100,0

  Persepsi Keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) sebagian besar positif sebanyak 51 responden (54,8%) dan persepsi negatif sebanyak 42 responden (45,2%).

  Kepatuhan Menelan Obat

  Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepatuhan Menelan Obat

  Kepatuhan Menelan Frekuensi Persentase (%) Obat Tidak patuh 39 41,9 Patuh

  54 58,1 Total 93 100,0

  Kepatuhan menelan obat sebagian besar patuh sebanyak 54 responden (58,1%) dan tidak patuh dalam menelan obat sebanyak 39 responden (41,9%). Hasil uji Rank Spearman antara persepsi PMO terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak diperoleh nilai r = 0,750 menunjukkan hubungan sangat kuat dengan posisi tebaran tidak beraturan atau tidak linier. Arah hubungan positif, yang berarti persepsi keluarga sebagai PMO semakin positif maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Hal ini membuktikan bahwa kepatuhan menelan obat dipengaruhi oleh persepsi keluarga sebagai PMO. Hasil ini didukung dengan uji korelasi bivariat Spearman Rank diperoleh nilai koefisien korelasi antara persepsi keluarga sebagai PMO terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak adalah sebesar r = 0,750, hal ini menurut Guilford berarti terdapat hubungan yang signifikan karena nilai r korelasinya < 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif. Sehingga semakin positif persepsi keluarga sebagai PMO maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Berdasarkan nilai signifikansinya diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 kurang besar dari 0,05 (p value > 0,05) berarti ada hubungan antara persepsi keluarga sebagai PMO terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak.

  a.

  Hubungan antara persepsi kerentanan terhadap kepatuhan menelan obat Hasil uji Rank Spearman antara persepsi kerentanan terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak diperoleh nilai r = 0,669 menunjukkan hubungan sangat kuat dengan posisi tebaran tidak beraturan atau tidak linier. Arah hubungan positif, yang berarti persepsi kerentanan semakin positif maka kepatuhan menelan obat semakin patuh.

  Hal ini membuktikan bahwa kepatuhan menelan obat dipengaruhi oleh persepsi kerentanan diri terhadap penyakit. Hasil ini didukung dengan uji korelasi bivariat Spearman Rank diperoleh nilai koefisien korelasi antara persepsi kerentanan diri terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak adalah sebesar r = 0,669, hal ini menurut Guilford berarti terdapat hubungan yang signifikan karena nilai r korelasinya < 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif. Sehingga semakin positif persepsi kerentanan maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Berdasarkan nilai signifikansinya diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 kurang besar dari 0,05 (p value >

  0,05) berarti ada hubungan yang signifikan antara persepsi kerentanan terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak b.

  Hubungan antara persepsi keseriusan terhadap kepatuhan menelan obat Hasil uji Rank Spearman antara persepsi keseriusan terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak diperoleh nilai r = 0,798 menunjukkan hubungan sangat kuat dengan posisi tebaran tidak beraturan atau tidak linier. Arah hubungan positif, yang berarti persepsi keseriusan semakin positif maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Hal ini membuktikan bahwa kepatuhan menelan obat dipengaruhi oleh persepsi keseriusan. Hasil ini didukung dengan uji korelasi bivariat

  Spearman Rank diperoleh nilai koefisien korelasi antara persepsi keseriusan terhadap kepatuhan

  menelan obat pada pasien anak adalah sebesar r = 0,798, hal ini menurut Guilford berarti terdapat hubungan yang signifikan karena nilai r korelasinya < 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif. Sehingga semakin positif persepsi keseriusan maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Berdasarkan nilai signifikansinya diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 kurang besar dari 0,05 (p value > 0,05) berarti ada hubungan yang signifikan antara persepsi keseriusan terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak.

  c.

  Hubungan antara persepsi manfaat terhadap kepatuhan menelan obat Hasil uji Rank Spearman antara persepsi manfaat terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak diperoleh nilai r = 0,883 menunjukkan hubungan sangat kuat dengan posisi tebaran tidak beraturan atau tidak linier. Arah hubungan positif, yang berarti persepsi hambatan semakin positif maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Hal ini membuktikan bahwa kepatuhan menelan obat dipengaruhi oleh persepsi hambatan. Hasil ini didukung dengan uji korelasi bivariat Spearman

  Rank diperoleh nilai koefisien korelasi antara persepsi hambatan terhadap kepatuhan menelan obat

  pada pasien anak adalah sebesar r = 0,883, hal ini menurut Guilford berarti terdapat hubungan yang signifikan karena nilai r korelasinya < 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif. Sehingga semakin positif persepsi hambatan maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Berdasarkan nilai signifikansinya diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 kurang besar dari 0,05 (p value > 0,05) berarti ada hubungan yang signifikan antara persepsi hambatan terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak.

  d.

  Hubungan antara persepsi hambatan terhadap kepatuhan menelan obat Hasil uji Rank Spearman antara persepsi hambatan terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak diperoleh nilai r = 0,534 menunjukkan hubungan kuat dengan posisi tebaran tidak beraturan atau tidak linier. Arah hubungan positif, yang berarti persepsi hambatan semakin positif maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Hal ini membuktikan bahwa kepatuhan menelan obat dipengaruhi oleh persepsi hambatan. Hasil ini didukung dengan uji korelasi bivariat Spearman

  Rank diperoleh nilai koefisien korelasi antara persepsi hambatan terhadap kepatuhan menelan obat

  pada pasien anak adalah sebesar r = 0,534, hal ini menurut Guilford berarti terdapat hubungan yang signifikan karena nilai r korelasinya < 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif. Sehingga semakin positif persepsi hambatan maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Berdasarkan nilai signifikansinya diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 kurang besar dari 0,05 (p value > 0,05) berarti ada hubungan yang signifikan antara persepsi hambatan terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak.

  e.

  Hubungan antara persepsi health motivation terhadap kepatuhan menelan obat Hasil uji Rank Spearman antara persepsi health motivation terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak diperoleh nilai r = 0,388 menunjukkan hubungan kuat dengan posisi tebaran tidak beraturan atau tidak linier. Arah hubungan positif, yang berarti persepsi health motivation semakin positif maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Hal ini membuktikan bahwa kepatuhan menelan obat dipengaruhi oleh persepsi health motivation. Hasil ini didukung dengan uji korelasi bivariat Spearman Rank diperoleh nilai koefisien korelasi antara persepsi health motivation terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak adalah sebesar r = 0,388, hal ini menurut Guilford berarti terdapat hubungan yang signifikan karena nilai r korelasinya < 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif. Sehingga semakin positif persepsi health motivation maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Berdasarkan nilai signifikansinya diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 kurang besar dari 0,05 (p value > 0,05) berarti ada hubungan antara persepsi health

  motivation terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak f.

  Hubungan antara persepsi cues to action terhadap kepatuhan menelan obat Hasil uji Rank Spearman antara persepsi cues to action terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak diperoleh nilai r = 0,663 menunjukkan hubungan sangat kuat dengan posisi tebaran tidak beraturan atau tidak linier. Arah hubungan positif, yang berarti persepsi cues to action semakin positif maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Hal ini membuktikan bahwa kepatuhan menelan obat dipengaruhi oleh persepsi cues to action. Hasil ini didukung dengan uji korelasi bivariat Spearman Rank diperoleh nilai koefisien korelasi antara persepsi cues to action terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak adalah sebesar r = 0,663, hal ini menurut Guilford berarti terdapat hubungan yang signifikan karena nilai r korelasinya < 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif. Sehingga semakin positif persepsi cues to action maka kepatuhan menelan obat semakin patuh. Berdasarkan nilai signifikansinya diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 kurang besar dari 0,05 (p value > 0,05) berarti ada hubungan antara persepsi cues to

  action terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak PEMBAHASAN Karakteristik Responden

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan usia rata-rata yang menjadi PMO berusia 31 tahun, usia terendah 23 tahun dan usia tertinggi 42 tahun. Secara teori tidak ada batasan umur untuk menjadi PMO penderita tuberkulosis paru, yang terpenting PMO dapat melakukan pengawasan terhadap penderita tuberkulosis paru pada saat menelan obatnya. Umur merupakan salah satu faktor yang dapat menggambarkan kematangan seseorang, baik kematangan fisik, psikis dan sosial,yaitu umur mempengaruhi baik tidaknya seseorang pada proses belajar mengajar (Notoatmodjo, 2012). Sehingga usia 31 tahun diharapkan PMO lebih matang dalam berfikir dan bekerja sehingga usia 31 tahun diharapkan mampu menjadi pengawas menelan obat sehingga diharapkan penderita tuberkulosis paru patuh dalam menelan obat, dengan tingkat usia rata-rata 31 tahun, responden cenderung untuk memiliki persepsi yang positif sebagai pengawas menelan obat.

  Siagian (2010) menegaskan semakin tinggi usia semakin mampu menunjukan kematangan jiwa dan semakin dapat berikir rasional, bijaksana, mampu mengendalikan emosi dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Usia berpengaruh dengan persepsi seseorang, seperti yang dijelaskan pada hasil penelitian Widjanarko (2016), yang menjelaskan bahwa usia terbanyak yang menjadi PMO adalah golongan umur lebih 30 tahun. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar jenis kelamin perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi PMO didominasi perempuan. Hal ini ini dterjadi karena perempuan lebih perhatian dan sabar dibandingkan laki-laki sehingga mampu untuk menjadi pengawas menelan obat yang baik. Disamping itu di dalam keluarga, perempuan biasanya menjalankan tanggung jawabnya sebagai pemelihara dan perawat bagi anggota keluarga yang sakit. Dari hasil penelitian diperoleh PMO dengan jenis kelamin perempuan sebagian besar memiliki persepsi sebagai PMO positif dan kepatuhan menelan obat lebih patuh dibandingkan jenis kelamin laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan yang menjadi PMO cenderung memiliki persepsi positif sebagai PMO sehingga pasien cenderung lebih mematuhi menelan obat.

  Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan pengawas menelan obat (PMO) sebagian besar pendidikan menengah, dan sebagian kecil yang pendidikan tinggi. Sesuai dengan teori menurut Notoatmodjo (2012) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan perilaku terhadap sesuatu yang baru, orang yang lebih tinggi akan lebih rasional, kreatif serta terbuka dalam menerima bermacam usaha pembaharuan. Makin tinggi pendidikan akan semakin tinggi pula daya inisiatifnya dan semakin mudah dalam menemukan cara-cara yang baik dan benar dalam menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Pendidikan PMO dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang materi pelayanan pengawasan penderita tuberkulosis paru. Semakin tinggi pendidikan PMO maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya, sehingga secara tidak langsung juga akan mempengaruhi persepsi positif tentang PMO dan kepatuhan menelan obat bagi penderita TB paru.

  Karakteritik responden berdasarkan pekerjaan sebagian besar bekerja sebagai wiraswasta. Hal ini terjadi karena pada penelitian ini secara kebetulan pekerjaan responden adalah wiraswasta, karena mata pencaharian penduduk sebagian besar wiraswasta. Seharusnya PMO yang tidak bekerja memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kepatuhan pengobatan penderita TB dibandingkan yang bekerja, dengan asumsi kualitas waktu memantau keteraturan pengobatan penderita TB akan lebih banyak bagi responden yang tidak bekerja dibandingkan yang bekerja, namun pada penelitian ini diperoleh hasil yang berbeda yang disebabkan sifat homogenitas data penelitian dimana jumlah responden yang bekerja sebagai wiraswasta lebih banyak.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan usia pasien didapatkan umur termuda 2 tahun, umur tertua 12 tahun, rerata umur 7 tahun. Hasil penelitian sesuai dengan data yang menyatakan bahwa proporsi kasus TB anak di Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4% kemudian 8,5% pada tahun 2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9% pada tahun 2013, 7,16%, pada tahun2014,95% tahun 2015. Porporsi tersebut bervariasi dari 1,2% sampai 17,3% (Menkes RI, 2016). Menurut data dan informasi Kemenkes RI tahun 2017 bahwa kasus TB paru anak di Jawa Tengah adalah 221 anak (Kemenkes RI, 2017).

  Hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yosi Maruah, meneliti tentang perbandingan kejadian TB paru anak yang diimunisasi BCG usia 0-11 tahun. Penelitian Yulistyaningrum, Dwi Sarwani, Sri Rejeki, meneliti tentang riwayat kontak TB dengan kejadian TB paru anak. Peneltiian Hermawan Hamidi (2010) meneliti tentang sikap pengetahuan dan prilaku tentang pencegahan TB paru anak usia 0-14 tahun, yang menunjukkan penderita TB paru sebagian besar anak usia 0-14 tahun.

  Karakteristik responden berdasarkan terakhir berobat sebagian besar 1 bulan yang lalu dan sebagian kecil yang terakhir berobat 3 bulan yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa penderita TB paru anak teratur berobat. Sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa keberhasilan pengobatan TB paru sangat ditentukan oleh adanya keteraturan minum obat anti tuberkulosis (Sukana dkk, 2003). Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hari secara teratur oleh pengawas minum obat (PMO). Orang tua adalah PMO terbaik untuk anak, pasien TB anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama fase intensif, dan sekali sebulan pada fase lanjutan. Pada setiap kunjungan di evaluasi respon pengobatan, kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping.

1. Persepsi Keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO)

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) sebagian besar positif. Temuan ini sesuai dengan tinjauan teoritik. Persepsi positif mengenai penyakit TB meningkatkan kepatuhan penderita TB terhadap pengobatan TB. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu suatu stimulus yang diterima oleh individu melalui alat reseptor yaitu indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya. Persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera. Persepsi sangatlah dipengaruhi oleh konsep yang dibuat pasien terhadap penyakitnya. Konsep tersebut berupa pemahaman. Proses memahami diartikan dapat menginterpretasikan obyek secara benar (Notoatmojo, 2012). Persepsi seseorang dalam menangkap informasi dan peristiwa-peristiwa menurut Kotler (Gunadarma, 2011) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: orang yang membentuk persepsi itu sendiri, khususnya kondisi intern (kebutuhan, kelelahan, sikap, minat, motivasi, harapan, pengalaman masa lalu dan kepribadian, yang kedua adalah stimulus yang berupa obyek maupun peristiwa tertentu (benda, orang, proses dan lain-lain), dan yang terakhir adalah stimulus dimana pembentukan persepsi itu terjadi baik tempat, waktu, suasana (sedih, gembira dan lain- lain).

  a.

  Persepasi kerentanan Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi positif kerentanan diri terhadap penyakit ditunjukkan dengan melakukan tes pemeriksaan dahak, mematuhi/ menjalani pengobatan sampai tuntas. Identifikasi persepsi kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility) dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan sangat setuju bahwa anak berisiko tinggi tertular dan menularkan penyakit TB paru. Artinya PMO merasa bahwa anak TB paru tersebut rentan tertular dan menularkan penyakit TB paru seperti yang dialami sekarang ini. Sesuai dengan teori bahwa persepsi ancaman atau kerentanan yang dirasakan terhadap resiko yang akan muncul terhadap penyakitnya. Individu bervariasi dalam menilai kemungkinan tersebut walaupun kondisi kesehatan mereka sama. Semakin tinggi perceived

  susceptibility , semakin besar ancaman yang dirasakan, dan semakin besar kemungkinan

  individu untuk mengambil tindakan guna mengatasi masalah yang mungkin muncul (Sarafino, 2008). Kerentanan-kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility) bagi masalah kesehatan mencerminkan kalau individu percaya bahwa kurang lebih mereka menderita hasil kesehatanya negatif atau positif. Namun individu sering mengabaikan kemungkinan dirinya tentang ancaman terhadap penyakitnya, sehingga tidak jarang individu tidak mengambil tindakan untuk mengatasi masalah kesehatan yang mengancam dirinya (Smet, 2008).

  b.

  Persepsi keseriusan Persepsi berdasarkan keseriusan responden menyatakan sangat setuju jika tertular TB paru akan mencari pengobatan. Artinya PMO tersebut merasa bahwa penyakit TB Paru yang sedang dialami anak dapat memberikan dampak yang serius bagi tubuh mereka sehingga jika tertular TB paru akan mencari pengobatan. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh pasien TB paru adalah patuh untuk minum obat TB paru, mengingat TB paru adalah penyakit serius yang dapat menyebabkan kematian. Menurut Sarwono (2004), makin berat resiko penyakit maka makin besar kemungkinan individu tersebut merasa terancam. Ancaman ini mendorong tindakan individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit. Artinya apabila individu tersebut merasa terjadinya keseriusan, maka tindakan pencegahan atau pengobatan penyakit akan semakin besar dilakukan. Dan juga semakin keseriusan itu tidak dirasakan, maka semakin kecil pula dorongan dari individu untuk bertindak mencari pengobatan atau pencegahan penyakit. Di samping itu, menurut Becker et al dikutip Niven (2012), telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan, dimana keyakinan tentang kesehatan dan kepribadian seseorang berperan dalam menentukan respon pasien terhadap anjuran pengobatan.

  c.

  Persepsi Manfaat Persepsi berdasarkan manfaat responden menyatakan sangat setuju bahwa kepatuhan minum obat akan mengurangi risiko penularan TB paru. Artinya PMO merasa bahwa pasien TB paru akan lebih banyak merasakan manfaat daripada rintangan yang ada untuk melakukan pengobatan. Sesuai dengan teori bahwa penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan. Manfaat yang dirasakan Penerimaan

  susceptibility sesorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya dapat menimbulkan keseriusan

  (perceived threat) adalah mendorong untuk menghasilkan suatu kekuatan yang mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada kepercayaan seseorang terhadap efektivitas dari berbagai upaya yang tersedia dalam mengurangi ancaman penyakit, atau keuntungan- keuntungan yang dirasakan (perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya kesehatan tersebut. Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan (susceptibility) dan keseriusan (seriousness), sering tidak diharapkan untuk menerima apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya tersebut dirasa manjur dan cocok (Machfoedz, 2006).

  d.

  Persepsi Hambatan Persepsi berdasarkan hambatan responden menyatakan sangat setuju bahwa anak penderita TB paru sering mengeluh bosan meminum obat. Artinya bahwa PMO merasa keluhan bosan meminum obat dapat menjadi hambatan dalam pengobatan. Sesuai dengan teori bahwa hambatan yang dirasakan untuk berubah, atau apabila individu menghadapi rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Sebagai tambahan untuk empat keyakinan (belief) atau persepsi. Aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan (seperti: ketidakpastian, efek samping), atau penghalang yang dirasakan (seperti: khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang mungkin berperan sebagai halangan untuk merekomendasikan suatu perilaku. Rintangan yang ditemukan dalam melakukan tindakan pencegahan akan mempengaruhi besar kecilnya usaha dari individu tersebut. Bila masalah yang dihadapi dalam tindakan pencegahan penyakit sangat besar maka persepsi untuk melaksanakan tindakan itu semakin kecil, tapi bila masalah yang dihadapi kecil maka akan semakin besar bagi individu untuk melaksanakan tindakan pencegahan tersebut (Edberg, 2010).

  e.

  Persepsi health motivation Identifikasi persepsi berdasarkan health motivation responden menyatakan sangat setuju menggunakan masker agar tidak tertular TB paru. Artinya PMO merasa bahwa dengan memberikan dukungan dan motivasi kesehatan untuk mencegah penularan TB paru misalnya dengan penggunaan masker agar tidak tertular TB paru. Konstruk ini terkait dengan motivasi individu untuk selalu hidup sehat. Terdiri atas kontrol terhadap kondisi kesehatannya serta

  health value . Kepedulian individu untuk meyoroti persoalan-persoalan terkait kesehatan bagi dirinya sendiri. Bagaimana kepedulian individu untuk kesehatannya (Conner & Norman, 2010).

  f.

  Persepsi berdasarkan cues to action Identifikasi persepsi berdasarkan cues to action responden menyatakan sangat setuju penderita TB paru harus kontrol tepat waktu (kontrol saat obat habis) agar cepat sembuh. Artinya PMO menyatakan telah mendapatkan informasi dan dukungan yang tinggi dari luar tentang penyakit TB paru yang saat ini mereka derita dan keharusan mereka untuk patuh minum obat. Sesuai dengan teori bahwa suatu perilaku dipengaruhi oleh suatu hal yang menjadi isyarat bagi seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku. (Becker dkk, 1997 dalam Conner & Norman, 2010). Isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal maupun internal, misalnya pesan-pesan pada media massa, nasihat atau anjuran kawan atau anggota keluarga lain, aspek sosiodemografis misalnya tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal, pengasuhan dan pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman, agama, suku, keadaan ekonomi, sosial, dan budaya.

  Kurangnya pemahaman pasien akan pentingnya pengobatan, akibat yang ditimbulkan bila pengobatan tidak dilakukan secara tuntas akan mempengaruhi kepatuhan pengobatan. Hal ini juga berkaitan dengan sedikitnya informasi yang diterima oleh penderita TB mengenai penyakit TB. Hal ini akan mengakibatkan penderita TB akan mengembangkan pemahaman dan harapan dari sudut pandang mereka sendiri. Pasien akan menjadi tidak patuh dalam pengobatan apabila pemahaman dan harapan mereka mereka mengenai pengobatan TB tidak sesuai dengan apa yang mereka dapatkan (Mukhsin, 2011).

  Hasil penelitian terdapat 42 responden (45,2%) responden yang memiliki persepsi negatif. Persepsi negatif sebagai PMO berkaitan dengan persepsi bahwa tidak tahu jika penyakit TB itu menular, penyakit TB merupakan penyakit yang memalukan, dan mengatakan bahwa penyakit TB lebih berbahaya dari pada kanker paru karena mereka beranggapan bahwa penyakit TB adalah penyakitnya orang miskin.

  Hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erawatiningsih (2005) yang menyatakan bahwa faktor persepsi penderita TB mengenai penyakit TB, pengobatan dan konsekwensi bila pengobatan tidak dilakukan secara benar berpengaruh terhadap kepatuhan pengobatan TB. Penderita TB yang memiliki persepsi baik cenderung akan patuh dalam pengobatan TB.

  2. Kepatuhan Menelan Obat Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan menelan obat sebagian besar patuh dan sebagian kecil yang tidak patuh dalam menelan obat. Alasan yang paling banyak diungkapkan oleh responden yang patuh adalah karena adanya keyakinan untuk sembuh dengan berobat dan meminumkan obat secara rutin sebelum makan pada jam yang sama secara teratur, disamping adanya dukungan dari keluarga dan informasi yang lengkap dari petugas TB di poli anak RSI Kendal.

  Jumlah obat yang harus diambil berhubungan dengan penggunaan pasien terhadap obat-obatan dan berperan sebagai penentu kesinambungan pengobatan. (WHO, 2013). Jika penderita TB paru tidak kontrol pada waktu yang telah ditentukan, maka dapat dipastikan penderita tersebut tidak minum obat secara teratur (tidak patuh), sehinga dapat terjadi putus berobat (drop out) pada penderita.

  Sementara itu, ketidakpatuhan penderita TB paru dalam menjalankan program pengobatannya dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penderita lupa minum obat, penderita yang sengaja tidak minum obat, penderita yang mengurangi atau melebihkan jumlah butir obat yang seharusnya diminum, penderita yang tidak tepat waktu dalam minum obat atau waktu untuk minum obat selalu berubah-ubah, penderita yang pernah membuang obatnya, dan penderita yang telat untuk memeriksakan ulang dahak dari waktu yang telah ditentukan.

  Jenis ketidakpatuhan yang paling banyak dilakukan oleh penderita TB paru adalah tidak tepat waktu dalam minum obat atau waktu untuk minum obat selalu berubah-ubah dan alasan yang paling banyak dari ketidakpatuhan tersebut disebabkan oleh berbagai aktivitas atau kesibukan mereka sehari-hari, selain karena rasa bosan dan malas. Hal ini diduga karena jangka waktu pengobatan yang cukup lama (6

  • –8 bulan) menyebabkan penderita merasa bosan dan lelah sehingga mereka malas dalam mengikuti program pengobatan. Kesibukan juga menjadi alasan semua responden yang pernah lupa meminum obatnya. Oleh karena itu, OAT dianjurkan diminum pada pagi hari sebelum makan. Hal ini tidak hanya baik bagi penyerapan obat kedalam tubuh, tetapi juga agar penderita tidak lupa dalam meminum obatnya (Aditama, 2014). Hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (2014) menyatakan bahwa sebagian besar pasien Tuberculosis Paru (TB Paru) di Puskesmas Nogosari Boyolali termasuk dalam kategori patuh. Penelitian yang dilakukan Yoisangadji (2016) yang menyatakan bahwa pasien Tuberculosis Paru (TB Paru) di Puskesmas Nogosari Boyolali termasuk dalam kategori patuh. Penelitian yang dilakukan oleh Sormin (2014) menyatakan bahwa kepatuhan berobat TB paru di kelurahan gambir baru kecamatan kisaran timur adalah baik.

  3. Hubungan antara persepsi PMO terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara persepsi PMO terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak. Persepsi PMO terhadap kepatuhan menelan obat yang paling erat hubungannya dengan kepatuhan menelan obat adalah persepsi manfaat pengobatan. Makin positif persepsi keluarga sebagai PMO maka semakin tingkat kepatuhan terhadap pengobatan TB semakin patuh. Hal ini terjadi karena persepsi positif mengenai penyakit TB meningkatkan kepatuhan penderita TB terhadap pengobatan TB. Persepsi melibatkan kognisi (pengetahuan) dengan proses yang berawal dari menginterpretasi objek, simbol dan orang yang didasarkan pada pengalaman kita sehingga bisa mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap (Ivancevich dkk, 2008). Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu suatu stimulus yang diterima oleh individu melalui alat reseptor yaitu indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya. Persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera (Anies, 2016). Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu. persepsi merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik dan stimulus sosial yang ada di lingkungannya. Sensasi-sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu berupa harapan- harapan,nilai-nilai, sikap, ingatan dan lain-lain (Gunadarma, 2011). Persepsi memiliki peranan yang signifikan dalam kepatuhan dalam mengambil obat TB, disamping jarak rumah dan peranan PMO. Persepsi pasien tentang efek samping obat berperan dalam kepatuhan pengobatan TB sehingga perlu ditanamkan persepsi yang benar tentang efek samping obat yang benar melalui edukasi yang baik dan efektif (Yudiana, 2010). Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Aisyah (2002), didapatkan hasil hubungan bermakna dengan kepatuhan berobat dengan variabel persepsi. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan beberapa hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa memang benar keberadaan PMO terbukti secara ilmiah memiliki hubungan yang bermakna dengan kepatuhan pengobatan penderita Tb (Aisyah, 2002; Arwida, 2011; Darmawan, 2002; Istiawan, 2005; Wirdani, 2001). Khususnya PMO yang berasal dari anggota keluarga ternyata terbukti mampu memberikan pengaruh terhadap kepatuhan pengobatan penderita Tb (Manders et al., 2001; Widagdo, 2003) sebab keluarga menciptakan iklim yang lebih nyaman bagi penderita sendiri (Oey, 2007).

  SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

  Persepsi keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) sebagian besar positif dalam hal kerentanan diri terhadap penyakit, keseriusan, manfaat pengobatan, hambatan, health motivation, cues

  

to action sebanyak 51 responden (54,8%). Kepatuhan menelan obat sebagian besar pasien patuh

  menelan obat sebanyak 54 responden (58,1%). Ada hubungan yang signifikan antara persepsi keluarga sebagai PMO terhadap kepatuhan menelan obat pada pasien anak dengan p value 0,0001 dan nilai ρ < 0,05. Semakin positif persepsi PMO, maka pasien TB paru semakin patuh menelan obat.

  Saran 1.

  Bagi Penderita TB Paru Sesuai hasil penelitian di atas maka penderita TB diharapkan mampu mempertahankan efikasi diri yang dimiliki yaitu dengan cara tetap berusaha mencapai kesembuhan.

  2. Bagi Keluarga Pasien Mengingat masih terdapat (45,2%) keluarga yang memiliki persepsi negatif sebagai pengawas menelan obat (PMO) maka diharapkan keluarga dapat memiliki pemahaman yang baik sebagai PMO sehingga dapat meningkatkan persepsi. Keluarga diharapkan tidak memaksa anak untuk menelan obat jika anak tidak bersedia tetapi hanya menganjurkan untuk menelan obat. Sedangkan yang sudah memiliki persepsi positif sebagai PMO dapat mempertahankan dukungan yang diberikan pada penderita TB. Dukungan dari keluarga dapat memotivasi penderita dalam melakukan pengobatan selama jangka waktu 6-9 bulan.

  3. Bagi petugas kesehatan Petugas kesehatan diharapkan dapat mempertahankan konseling TB dengan pasien dan PMO.

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN KINERJA PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA KUSTA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNGKANDANG KOTA MALANG

10 128 26

HUBUNGAN PERAN KELUARGA SEBAGAI PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) TERHADAP KEPATUHAN MENELAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS MULYOREJO MALANG

0 32 24

HUBUNGAN PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT PASIEN TUBERKULOSIS PARU (Studi di Puskesmas Janti Kota Malang)

4 47 23

HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) BARU DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KECAMATAN KOTA KABUPATEN JEMBER TAHUN 2010

0 6 20

HUBUNGAN PERSEPSI KUALITAS PELAYANAN INSTALASI FARMASI DAN HARGA OBAT DENGAN LOYALITAS PASIEN MEMBELI RESEP OBAT (STUDI KASUS PADA PASIEN UMUM RAWAT JALAN DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT PARU JEMBER)

0 18 86

STUDI KORELASIONAL PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU IBU DALAM PENCEGAHAN TB PARU PADA ANAK DI POLI ANAK RUMAH SAKIT TK II dr. SOEPRAOEN

0 0 8

KARYA TULIS ILMIAH IDENTIFIKASI PERAN PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) PADA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS (TBC) PARU DI BP4 RUMAH SAKIT PARU SURABAYA

0 0 16

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN TB PARU DI PUSKESMAS UMBULHARJO 1 YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN TB PARU DI PUSKESMAS UMBULHARJO 1 YOGYAKARTA - DIGILI

0 2 10

HUBUNGAN KINERJA PENGAWASAN MINUM OBAT (PMO) DENGAN KETERATURAN BEROBAT DAN KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN TB PARU STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS MADUKARA KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

1 1 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - HUBUNGAN KINERJA PENGAWASAN MINUM OBAT (PMO) DENGAN KETERATURAN BEROBAT DAN KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN TB PARU STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS MADUKARA KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

1 0 13