Estetika dan Etika dalam Seni Islam dan

Estetika dan Etika dalam Seni Islam dan Seni Barat
Oleh : Aditya Rahman Yani, ST., M.Med.Kom
(Lecturer in Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jatim)
saimuslim@gmail.com
+62 857 332 65655
Abstraksi
Tidak ada suatu masyarakat yang tidak memiliki budaya visual (visual culture). Hidup dalam budaya mana
pun berarti hidup dalam budaya visual. Citraan visual (visual imagery) dan kegiatan visual bersifat sangat sosial,
kultural dan politis. Yang membedakan satu dunia sosial dari dunia sosial lainnya sebagian berupa perbedaan cara
citraan-citraan dibuat, diolah, dan dialami di setiap dunia sosial itu.
Islam dan umat Islam sering digambarkan oleh para orientalis sebagai agama dan umat yang nirikon
(menghindari citraan), ikonofobi (takut oleh citraan), dan ikonoklastik (mengutuk dan menghancurkan citraan),
khususnya yang terkait dengan seni visual atau penggambaran makhluk bernyawa seperti manusia, hewan atau
sosok tertentu yang lain. Ditambah lagi dengan respon kemarahan umat Islam saat munculnya kartun Nabi
Muhammad Saw di Denmark oleh surat kabar Jyllen Posten, tindakan Taliban dalam penghancuran patung Budha di
Bamiyan serta peledakan kantor Kedutaan Besar Amerika di Libya dalam aksi penolakan film The Innocent of
Muslim, semakin memperkuat anggapan bahwa budaya Islam di mana pun pasti menentang keindahan seni dan
pembuatan visual image yang representasional.
Seni membentuk dimensi utama dalam peradaban Islam. Peninggalan seni khat Arab dan seni hiasan yang
ditemukan disetiap daerah-daerah bekas pemerintahan Islam terdahulu merupakan bukti bahwa seni dianggap
sebagai fenomena penting dalam kebudayaan umat Islam. Peradaban Islam sendiri sudah berinteraksi dengan seni

visual sejak lama dengan landasan bahwa estetika, keindahan dan setiap kecenderungan terhadapnya merupakan
fitrah dari setiap manusia.
Disisi lain, seni Islam juga bukanlah seni yang bebas tanpa adanya batasan-batasan syariat. Seni Islam
berbeda dengan seni dari Barat yang liberal dan jauh dari nilai-nilai adab. Islam melarang keras menggambar
sesuatu dengan niat untuk diagung-agungkan, dikultuskan atau disembah, dan berusaha menandingi ciptaan Allah
Swt dengan menggambar makhluk bernyawa. Meskipun begitu, seni Islam terbukti mampu menjadi salah satu style
yang khas dan fenomenal di dunia seni tanpa harus melanggar batasan-batasan syariat.
Lalu bagaimana konsep dasar seni dalam Islam? Apakah yang membedakan secara mendasar antara seni
Islam dengan seni di Barat? Bagaimana seni Islam mampu menghasilkan karya-karya visual yang memiliki estetika
tinggi namun tidak menyalahi aturan syariat Islam?
Keywords: Visual Culture, Seni Islam, Estetika, Etika

PENDAHULUAN
Visual Culture Sebagai Produk Peradaban
Suatu masyarakat pasti memiliki budaya visual (visual culture). Menurut W.J.T. Mitchell manusia
yang hidup dalam lingkungan budaya mana pun dapat diartikan dia hidup dalam suatu budaya visual
tertentu (2005:349). Sebagaimana Sturken dan Cartwright mendefiniskannya; visual culture sebagai aspek
budaya yang dimanifestasikan dalam bentuk visual (Sturken & Cartwright, 2001:4). Singkatnya, setiap
karya visual yang telah menjadi bagian dari kehidupan sosial dan kebudayaan tertentu disebut sebagai
budaya visual (visual culture).

Citraan visual (visual imagery) dan kegiatan visual bersifat sangat sosial, kultural dan politis.
Seperti yang katakan Kenneth M. George (2012:15) bahwa kita juga harus mempertimbangkan konstruksi
visual dunia yang kita diami, dimana disitu kita akan melihat citraan, pembuatan citraan, dan penglihatan
telah membentuk bidang pengalaman politik, ekonomi, religius dan kultural kita.
Sturken & Cartwright (2004:2) juga menganggap bahwa budaya visual yang muncul saat ini
muncul sebagai perkembangan peradaban manusia di mana melibatkan visual/ gambar di luar konteks
keilmuan seni dan hiburan, juga diadopsi karena sifat adaptif dan fleksibilitas masyarakat dan menjadi
tradisi yang diaplikasikan meluas ke dalam ilmu dan teknologi.

Peradaban Islam dan Seni Islam
Peradaban Islam sering digambarkan oleh para peneliti populer di Barat sebagai peradaban yang
menentang dan memberangus seni dan citraan, sehingga kemajuan-kemajuan Islam dalam bidang seni
sering tidak diakui oleh Barat. Sebagian orientalis justru mengklaim bahwa seni Islam yang berkembang
selama ini bukanlah hasil dari kemajuan peradaban Islam. Bahkan Blair dan Bloom (2003: 152-184)
mengatakan:
“Tidak ada bukti bahwa setiap seniman atau pelindung seni dalam kurun empat
belas abad sejak turunnya Islam pernah menganggap seninya sebagai “Islam”,
dan

gagasan


tentang

tradisi

khas

“Islam”

di

bidang

seni

dan

arsitektur...merupakan produk kesarjanaan Barat akhir abad ke-19 dan ke-20,

sebagai terminologi yang digunakan untuk mengidentifikasi-kannya.”1—Blair

& Bloom
Bukan hanya klaim itu saja yang dilakukan Barat kepada masyarakat Islam, tetapi Barat juga
berusaha memperkuat anggapannya bahwa Islam merupakan agama yang anti-citraan (ikonofobi),
menghindari citraan (nirikon) bahkan mengutuk dan menghancurkan citraan (ikonofobi) khususnya
menyangkut sosok dan penggambaran manusia, atau gambar makhluk hidup. Christian Snouck Hugronje
(1906: 65), seorang orientalis asal Belanda yang sangat berpengaruh di Indonesia mengatakan bahwa
dirinya melihat umat Islam hampir sama sekali tidak memiliki sense of art, dan menyatakan bahwa Islam
tidak begitu sesuai dengan kebangkitan atau perkembangan perasaan artistik. Sejarahwan seni Oleg Grabar
(1983: 31) juga menuliskan bahwa kebudayaan Islam bukanlah budaya visual, melainkan budaya
mendengar:
“Budaya Islam menemukan sarana representasi dirinya dengan mendengar
ketimbang dengan melihat”—Oleg Grabar.
Dalam kajian-kajian tentang pemikiran Islam memang tidak banyak yang memperhatikan dan
mementingkan citraan dan peristiwa secara luas yang direpresentasikan melalui media-media Barat.
Seperti misalnya respon yang berlebihan ketika Nabi Muhammad Saw digambarkan kartun oleh Jyllen
Posten di Denmark, atau tindakan penghancuran Buddha oleh Taliban di Bamiyan, serta melarang unjuk
fotografi dan gambar didepan umum, yang semua itu, menurut Kenneth M. George (2012:16) lebih
memperkuat anggapan bahwa peradaban dan kebudayaan Islam di mana pun menentang seni dan
penciptaan gambar yang representasional. Hal ini menyebabkan Barat melihat umat Islam secara
stereotype, yaitu kolot, represif, dan miskin seni.


PEMBAHASAN
Seni Visual Islam dan Peradaban Islam
Peninggalan peradaban Islam adalah bukti empirik yang paling nyata untuk membantah tuduhan
Barat terhadap umat Islam yang dikatakan sebagai masyarakat nirikon (menghindari citraan), ikonofobi
(takut oleh citraan) dan iconoclastik (mengutuk dan menghancurkan citraan). Peradaban Islam secara
nyata telah menghasilkan seni visual Islam yang menjadi ciri khas peradaban dan masyarakat Islam sejak
Islam ada di muka bumi ini.
1 Blair, Sheila S. and Jonathan M. Bloom. The Mirage of Islamic Art: Reflections on the Study of an Unwieldy Field,
Art Bulletin 85 (1), 2003, p.152-184

Namun seni visual Islam jelas berbeda dengan seni Islam Barat. Seperti yang dikatakan oleh
Kenneth M. George, sesuatu yang membedakan satu dunia sosial dari dunia sosial lainnya sebagian berupa
perbedaan cara citraan-citraan dibuat, diolah, dan dialami di setiap dunia sosial itu (George, 2012:15).
Maka seni-seni visual yang dilahirkan oleh suatu peradaban Islam pasti memiliki perbedaan secara
mendasar dengan seni-seni visual yang dihasilkan oleh peradaban yang lainnya. Perbedaan Islam
memandang estetika dan etika seni visual tentu akan mengahasilkan kaidah-kaidah yang berbeda pula
dalam menciptakan karya seninya. Misalnya dalam aspek syariat Islam yang melarang penggambaran
makhluk bernyawa membuat kaidah-kaidah estetika yang jauh berbeda dengan Barat yang mengagungkan
realisme dalam kesenian visualnya, sehingga wajar adanya jika estetika dan etika seni Islam sering tidak

dipahami oleh Barat.

Seni Visual di Masa Kejayaan Islam
Seni Islam dinilai sebagai salah satu ekspresi dari bentuk-bentuk peradaban Islam yang paling
bersih dan paling teliti. Bahkan menurut Raghib As-Sirjani (2009: 670), seni Islam menjadi cermin yang
terang terhadap peradaban manusia dikarenakan seni Islam dinilai sebagai seni yang paling agung di antara
seni-seni yang dihasilkan oleh peradaban dunia lainnya pada zaman dulu hingga saat ini.
Berbagai macam seni Islam menjadikan peradaban Islam memiliki karakteristik yang berbeda
dengan peradaban lainnya. Di antara seni-seni tersebut adalah Seni Bangunan, Seni Hiasan dan Seni Khat
Arab. Dari ketiga jenis seni yang menjadi ciri khas seni Islam, dua diantaranya yang merupakan kategori
seni visual adalah Seni Hiasan dan Seni Khat Arab, meskipun Seni Bangunan yang selama ini dihasilkan
oleh peradaban Islam juga tidak pernah lepas dari sentuhan seni visual seperti penggunaan Ornamen
Timbul pada interior maupun eksterior bangunan, dan juga Seni Jendela Rumah yang juga sering memakai
bentukan visual ornament geometris khas Islam.

A. Seni Hiasan
Seni Hiasan pada masa kejayaan Islam telah memiliki ciri khas tersendiri dan berpengaruh besar
dalam menampilkan kebangkitan peradaban Islam yang terjadi pada waktu itu. Menurut DR. Raghib AsSirjani, seni hiasan yang dihasilkan oleh peradaban Islam tersebut memiliki nilai seni yang sangat tinggi,
baik dari segi rancangannya, temanya, maupun style-nya (2009:679).


Para visual artist muslim di masa itu menggunakan garis-garis hiasan yang merepresentasikan
pemandangan dan bentuk yang sangat indah. Dari kumpulan-kumpulan hiasan mereka membuat sebuah
pola yang di situ imajinasi mereka bekerja tanpa batas, terus menampilkan pembaruan dan keserasian,
menciptakan bangun bintang yang bersegi banyak, bentuk-bentuk dari kertas hias, dan gaya-gaya
penampilan khusus Arab. Seni model ini dikenal oleh orang Eropa dengan istilah Arabesque.
Seni Hiasan khas Islam yang pertama kali muncul pada masa kekhilafahan Fathimiyah yaitu di
masjid Al-Azhar pada pertengahan abad keempat Hijriah (10 Masehi). Para ahli seni hiasan bangunan
sangat mahir dalam mendesain segala macam pahatan di kayu, batu, dan marmer/ pualam. Mereka juga
ahli dalam memanfaatkan bahan-bahan pewarna dan ukiran.2
Bentuk dasar yang diadopsi dari tumbuh-tumbuhan dan bangunan sangat mendominasi seni hiasan
di masa kejayaan Islam. Pada sebagian karya tertentu terdapat penggabungan kedua bentuk dasar tersebut,
namun adakalanya juga keduanya muncul dalam penempatan yang terpisah atau dibuat secara tersendiri.
Oleh karena itu, jika dilihat dari unsur bentuk dasarnya, seni hiasan khas Islam dapat dibagi menjadi dua
macam: hiasan dengan unsur tumbuhan dan hiasan dengan unsur bangunan.3
a. Hiasan Tumbuhan
Seni hiasan tumbuhan didesain dengan berbagai variasi bentuk daun tumbuhan dan bunga.
Teknik penggambarannya juga menggunakan beraga gaya. Dalam karya seni hiasan tertentu terdiri
dari bermacam-macam unsur tumbuhan dalam berbagai macam desain pula (Sirjani, 2009: 680).

Gambar 1. Hiasan Tumbuhan


2 At-Turats Al-Ilmi Al-Islami, karya Ahmad Fuad Basya, hlm. 44
3 Ibid.

Melalui segala daya kreatifitasnya, seniman visual muslim juga mengkombinasikan hiasan
dengan white space4. Bahkan terkadang white space menjadi unsur yang dominan di dalamnya.
Penggunaan hiasan jenis ini biasanya untuk mendekorasi tembok, kubah, berbagai macam karya
seni yang terbuat dari tembaga, kaca, keramik, dan digunakan pada halaman buku beserta covernya (Sirjani, 2009: 681).
b. Hiasan Bangun
Seni Hiasan Bangun juga merupakan bentuk lain dari hiasan Islam. Para seniman muslim
sangat ahli dalam mengkomposisikan garis-garis dan membentuknya menjadi berbagai bentukan
yang bernilai estetis yang tinggi. Sehingga berbagai macam bentuk bangun geometris yang
kesemuanya bisa didesain dalam satu kesatuan karya seni visual. Hiasan-hiasan bangun ini
digunakan untuk mendekorasi permukaan bangunan-bangunan arsitektur Islam, handycraft yang
berbahan dasar kayu dan tembaga, pintu-pintu dan atap-atap bangunan. Suatu bukti nyata majunya
ilmu dibidang arsitektur praktis.
Para seniman muslim sudah mampu menciptakan bentuk-bentuk geometris seperti segi tiga,
segi empat dan seterusnya dengan desain-desain yang menarik dan artistik. Lalu dari
penggabungan satu bentuk dengan bentukan lainnya, memenuhi satu sisi dan mengosongkan sisi
yang lain. Seniman muslim telah berhasil menciptakan ragam hiasan yang memiliki kreatifitas

tanpa batas. Semuanya karya-karya tersebut tampak indah dan menarik pandangan secara bertahap
jika diperhatikan dari keseluruhan menuju bagian-bagian detailnya maupun sebaliknya, dari
bagian-bagian detailnya menuju keseluruhan desain.
Setiap seniman akan berusaha untuk menciptakan karya seni yang baru, unik, menarik, dan
bernilai estetis yang tinggi. Satu hal yang dipikirkan oleh para seniman muslim dahulu adalah
mencari bentukan-bentukan hiasan bangun yang baru yang berasal dari persinggungan garis-garis
geometris atau keserasian bentuk bangun untuk menambah keindahan yang kuat. Salah satu
contohnya adalah bentuk-bentuk bangun yang saling bersentuhan dan berdampingan, garis-garis
yang berpencar, dan garis-garis yang membentuk sulaman (As-Sirjani, 2009: 682).

4 White space adalah istilah untuk area kosong yang sengaja dibuat untuk menambah keindahan layout suatu
karya visual.

Gambar 2. Hiasan Bangun dalam Seni Visual Islam

Bentuk bangun segi banyak yang membentuk visual bintang bertingkat adalah satu bentuk
hiasan bangun yang paling dikenal di dunia seni Islam. Hiasa jenis tersebut banyak digunakan
sebagai hiasan-hiasan yang berbahan dasar kayu, tembaga, buku-buku dan atap.

B. Seni Kaligrafi

Seni kaligrafi Arab (khat) merupakan seni Islam yang murni diciptakan oleh umat Islam
karena sangat erat kaitannya dengan penulisan kitab suci Al-Qur’an. Menurut DR. Raghib AsSirjani (2009: 684), tulisan tidak menjadi seni yang bisa dinikmati estetikanya oleh pengelihatan
dalam bangsa-bangsa kecuali setelah Al-Qur’an turun kepada bangsa Arab. Jika setiap bangsa
memiliki bahasa dan tulisannya sendiri, maka bahasa dan tulisan tersebut tetap dengan fungsi
utamanya, yaitu mengungkapkan sesuatu yang diinginkan dalam hati. Akan tetapi tidak pernah
menjadi seni yang menampilkan nilai-nilai artistik sebagaimana yang dimiliki bahasa Arab setelah
Al-Qur’an diturunkan.5
Dr. Ismail Faruqi6 mengatakan bahwa tidak pernah ditemui bangsa-bangsa didunia ini yang
memiliki peradaban-peradaban, yakni bangsa di antara dua sungai, bangsa Ibrani, India, Yunani,
Romawi dan lain sebagainya memiliki seni tulisan. Tulisan bagi mereka hanya sebagai simbol
untuk mengungkapkan makna dan tidak mengandung unsur seni. Di India, Bizantium, dan Barat,
5 Al-Fann Al-Islami Iltizam wa Ibda’, karya Shaleh Ahmad Asy-Syami, hlm.196
6 Ismail Faruqi (1339-1406H/ 1921-1986 M) adalah salah satu ahli yang terkemuka di bidang studi Islam di dunia.
Ia berkebangsaan Palestina dan memperoleh gelar doktor bidang filsafat. Dia belajar di Amerika dan Pakistan,
serta pernah menjabat ketua Al-M’had Al-Alami li Al-Fikr Al-Islami di Amerika.

tulisan hanya digunakan untuk simbol ungkapan kalimat. Perannya hanya pelengkap saja dibidang
seni-seni yang dapat dilihat. Hal ini berarti tulisan hanya sebatas media untuk mendeskripsikan
keindahan karya seni tertentu dan ia bukan seni itu sendiri. Namun sejak kemunculan Islam, Seni
Islam mampu membuka prespektif baru dibidang kata-kata sebagai sarana untuk ekspresi seni.7

Salah satu bukti yang jelas dalam menunjukkan perhatian kaum muslimin di bidang seni ini
adalah adanya macam-macam khat. Di antara khat Al-Kufi, khat An-Naskhi, khat Ats-Tsulus, khat
Al-Andalusi, khat Ar-Riq’ah, khat Ad-Diwani, khat At-Ta’liq (Al-Farisi) dan khat Al-Ijazah.
Masing-masing khat tersebut memiliki cabang-cabang sehingga menjadikan seni kaligrafi kaya
akan nilai seni dan mampu mengikuti perkembangan zaman.

Etika dan Estetika Seni Islam
Pokok persoalan yang dikaji dalam filsafat pada pokoknya mencakup tiga segi, yaitu apa yang
disebut benar dan apa yang dianggap salah (epistimologis), mana yang dapat dianggap baik dan mana yang
dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan mana yang termasuk buruk (estetika) (Sony &
Ganda, 2004: 34). Dalam seni Islam ketiga cakupan tersebut berada dibawah pandangan hidup kaum
Muslimin, yaitu tauhid. Hal ini sejalan dengan pendapat Seyyed Hossein Nasr (1993:18) yang
memberikan ciri-ciri pada seni Islam yaitu seni yang merupakan hasil pengejawantahan Ke-Esaan pada
bidang keanekaragaman yang merefleksikan Ke-Esaan Illahi.
Seni visual Islam sejatinya tidak terbatas pada Seni Hiasan dan Seni Kaligrafi (khat) saja,
meskipun kedua jenis seni visual tersebutlah yang menjadi peninggalan paling bernilai dari peradaban
Islam. Dalam seni Islam, objek dan penampilan seni dapat berkembang lebih luas lagi dari waktu ke waktu
asalkan tidak bertentangan dengan ‘fitrah’ atau pandangan Islam. Pada saat digunakan untuk media
dakwah, atau bertujuan untuk amar ma’ruf nahi munkar, maka seni tersebut dapat disebut sebagai seni
Islam. Menurut Nanang Rizali, Seni Islam adalah seni yang dapat mengungkap keindahan dan konsep
tauhid sebagai esensi aqidah, tata nilai dan norma Islam, yaitu menyampaikan pesan Ke-Esaan Tuhan.8
Karakteristik tertentu yang membentuk hasil perwujudan seni Islam diantaranya adalah estetika
dan kreatifitas. Menurut Islam, setiap hasil karya seni adalah karya ibadah (pengabdian kepada Allah)
sekaligus mengandung dan mengungkapkan keindahan estetis. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ismail
R. Al-Faruqi (1986: 163) dalam ‘The Cultural Atlas of Islam’ bahwa estetika dalam seni Islam tidak dapat
7 Majjalah Al-Muslim Al-Muashir, edisi 25, tahun 1401 H.
8 Nanang Rizali, Kedudukan Seni Dalam Islam, Jurnal Kajian Seni Budaya Islam Vol. 1, No. 1, Juni 2012.

dicapai melalui penggambaran manusia dan alam. Estetika hanya bisa disadari

melalui perenungan

terhadap kreasi artistik yang akan mengarahkan pemerhati kepada suatu intuisi kebenaran yang hakiki
bahwa Allah juga seluruh ciptaan-Nya sebagai sesuatu yang tak tergambarkan dan terkatakan.
Kaidah estetika Islam merujuk pada penelitian dan hukum Islam tertinggi –Al-Qur’an dan AsSunnah, karena seni Islam pada satu segi dibatasi oleh nilai-nilai azasi, etis dan norma-norma Illahi yang
umum serta pada segi lain dibatasi oleh kedudukan manusia sendiri sebagai abdi Allah. 9 Ketika peradaban
Islam berkembang dan meluas ke berbagai wilayah didunia, seni Islam juga mengalami perkembangan
pesat melalui pengenalan bahan, teknik, dan motif yang khas dari peradaban sebelum Islam (seperti
Byzantium atau Sassanide) kemudian dikembangkan sesuai dengan koridor nilai-nilai dan norma Islami.
Dalam tradisi seni Islam, yang dikedepankan adalah creatio. Hal ini berarti seni dalam Islam
adalah suatu ciptaan, atau arti penuangan dan pengungkapan secara artistik gagasan dan pengalaman
keruhanian seniman muslim. Jadi, didalam Seni Islam yang disalin adalah gagasan, cita rasa, pengalaman
dan wawasan keruhanian. Menurut Prof. Dr. Abdul Hadi W.M. (dalam George: 2012: xxvii), potensi
keruhanian dalam suatu karya seni visual sangatlah utama dalam seni Islam. Oleh karenanya, senimanseniman muslim tidak mengejar dan mengagungkan realisme dan naturalisme dalam karya-karya seninya.
Meniru penampakan rupa lahir dari objek-objek tidak menjadi obsesi seniman Muslim, karena jika itu
dilakukan berarti seniman tersebut kurang berupaya menggali potensi keruhaniannya yang terpandam.
Ditambah lagi Al-Qur’an juga mengajarkan agar manusia lebih menghargai hasil dari pencapaian akal
budinya dibandingkan dengan hasil pengamatan inderanya.
Terakhir, satu hal lagi yang menjadi bagian dari estetika Islam yang terkait dengan pemilihan tone
warna, pencahayaan (gelap-terang) dan visualisasi cahaya. Dalam tradisi estetik Islam, warna cerah dan
cahaya menegaskan akan keberadaan Sang Cahaya (Abdul Hadi dalam George, 2012: xxviii). Selain itu
cahaya dapat mengesankan harapan, optimisme dan hidayah.

Etika dan Estetika Seni Barat
9 ibid

Asal kata Estetika diambil dari bahasa Inggris, yaitu ‘aesthetics’. Pertama kali diperkenalkan pada
sekitar abad 17 oleh filosof bernama Alexander Baumgarten (1714-1762), seorang filosof Mazhab
Leibnitio-Wolfian Jerman dalam karyanya, Meditationes (1735).10
Istilah estetik biasanya dikaitkan dengan arti 'citarasa yang baik’, ‘keindahan’ dan ‘artistik’.
Estetika merupakan kajian yang menjadikan estetik sebagai objeknya. Dalam tradisi intelektual, biasanya
estetika dipahami sebagai satu dari banyak cabang ilmu filsafat yang membahas tentang seni dan objek
lainnya yang memiliki nilai estetik.
Pendekatan estetika filosofis menurut pemahaman seniman Barat bersifat spekulatif, artinya dalam
upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan
kemampuan logika atau proses mental. Estetika filosofis ala Barat juga tidak membatasi objek
permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataankenyataan yang dapat diindera. Dengan kata lain, hal mendasar yang harus dipahami mengenai estetika di
Barat adalah bahwa estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan
atau fenomena estetik.
Para filosof Barat dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis
dan golongan filsafat Materialistis.11 Jawaban-jawaban para filosof tentang estetika dapat ditelusuri
berasal dari gambaran-gambaran pemikiran atau konsep-konsep. Seperti misalnya, Plato yang dikenal
sebagai tokoh filosof ldealisme, mengatakan tentang konsep hakekat kenyataan itu adalah Idea (Bentuk).
Konsep yang dicetuskan Plato ini didasari oleh anggapan bahwa alam merupakan suatu kenyataan yang
tidak sempurna, dapat rusak dan musnah, sehingga menurut Plato alam bukan kenyataan yang
sesungguhnya, karena Realitas mestinya bersifat sempurna dan abadi, dan itu hanya ditemui pada
kenyataan Idea.
Dalam pemahaman Plato, seni adalah tiruan atau imitasi dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato
menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh
tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat
tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru
meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak

10 T.J. Diffey, A Note on Some Meaning of The Term `Aesthetic ' dalam `British Journal of Aesthetics Vol. 35, No_ 1,
January,1995
11 http://www.fsrd.itb.ac.id (diakses tanggal 28 Februari 2013)

mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan
Realitas. Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas.12
Pandangan Plato tentang seni agak berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini
bahwa seni adalah imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia
maka hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana halnya
kenyataan alam. Lebih jauh, Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi yang lebih tinggi
sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses penciptaannya karya seni melibatkan
unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki
dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme.

Gambar 3. Realisme dalam seni Barat

Peran Orientalis Barat dalam Seni Islam
Seni visual Islam mulai mendapat campur tangan orientalis Barat mulai akhir abad ke-19 (Blair &
Bloom, 2003: 153-154). Perkembangan seni Islam setelah itu diklaim oleh Barat sebagai jasa dan hasil
karya seniman Orientalis Barat. Bahkan, Islam dituduh tidak pernah menganggap seninya sebagai seni
Islam dan gagasan tentang tradisi khas Islam di berbagai bidang seni dan arsitektur merupakan produk
kesarjanaan Barat.
“Seni Islam sebagaimana yang ada pada awal abad ke-21 sebagaian
besar merupakan ciptaan budaya Barat”—Sheila S. Blair & Jonathan M.
Bloom
12 ibid

Namun dalam bagaimanapun juga para Orientalis Barat memiliki pemahaman yang berbeda
melihat seni Islam. Mereka tidak mampu menjaga batasan-batasan yang ada dalam kaidah estetika dan
etika dalam seni Islam sebagaimana karya para seniman Islam di masa kejayaan peradaban Islam.
Bagaimanapun juga, Orientalis Barat tidak pernah menjadikan Islam sebagai subyek, namun sebagai
objek. Sehingga ilmu yang mereka kuasai tidak berlandaskan keimanan, padahal dalam seni Islam terdapat
kaidah-kaidah estetis dan etis yang tidak boleh keluar dari koridor hukum tertinggi, Al-Qur’an dan AsSunnah.
Seni visual Islam karya Orientalis hanya sebatas menciptakan seni yang memakai simbol-simbol
identitas Islam namun direpresentasikan tanpa menggunakan batasan-batasan syar’i. Gaya Realisme yang
mereka agungkan justru dicampur-adukkan dalam karya-karya mereka yang kemudian mereka klaim
sebagai seni visual Islam, sedangkan dimensi ruhiyah yang menjadi prioritas utama dalam seni Islam sama
sekali tidak menjadi prioritas. Bahkan penggambaran karya-karya seni visual para Orientalis cenderung
menampakkan suasana yang jauh dari realitas yang sebenarnya, seperti perbudakan wanita yang
digambarkan secara porno dan vulgar. Hal ini dapat dipahami jika dikembalikan kepada tujuan mendasar
Orientalisme Barat dalam mengkaji Islam.

Gambar 4. Karya-karya seni Orientalis yang diklaim sebagai Seni Islam

KESIMPULAN
Seni Islam dinilai sebagai salah satu ekspresi dari bentuk-bentuk peradaban Islam yang paling
bersih dan paling teliti. Berbagai macam seni Islam menjadikan peradaban Islam memiliki karakteristik
yang berbeda dengan peradaban lainnya, seperti Seni Bangunan, Seni Hiasan dan Seni Khat Arab. Ketiga
macam seni Islam tersebut merupakan representasi dari bagaimana Islam memahami etika dan estetika.
Memahami kedua hal tersebut berada dibawah pandangan hidup kaum Muslimin, yaitu tauhid.
Menurut Islam, setiap hasil karya seni adalah karya ibadah (pengabdian kepada Allah) sekaligus
mengandung dan mengungkapkan keindahan estetis. Estetika hanya bisa disadari melalui perenungan
terhadap kreasi artistik yang akan mengarahkan pemerhati kepada suatu intuisi kebenaran yang hakiki
bahwa Allah juga seluruh ciptaan-Nya sebagai sesuatu yang tak tergambarkan dan terkatakan.
Kaidah estetika Islam merujuk pada penelitian dan hukum Islam tertinggi –Al-Qur’an dan AsSunnah, karena seni Islam pada satu segi dibatasi oleh nilai-nilai azasi, etis dan norma-norma Illahi yang
umum serta pada segi lain dibatasi oleh kedudukan manusia sendiri sebagai abdi Allah.
Etika dan estetika seni Islam bertolak belakang dengan pemahaman Barat. Pendekatan estetika
filosofis menurut pemahaman seniman Barat bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab
permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau
proses mental. Oleh karenanya, Barat mengagungkan Realisme dan Naturalisme dalam karya-karya
seninya.
Hasil-hasil karya seni visual Islam yang diklaim sebagai karya orientalis, tidak dapat dikategorikan
dalam seni visual Islam meskipun memakai simbol-simbol Islam. Hal ini dikarenakan Orientalis tidak
menggunakan kaidah-kaidah mendasar seni Islam dalam etika dan estetika, melainkan dengan filsafat seni

ala Barat. Demikian yang mengakibatkan sebagian besar representasi Islam dalam seni visual Barat
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
Books:
As-Sirjani, Raghib, 2009, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
George, Kenneth M., 2012, Melukis Islam: Amal dan Etika Seni Islam di Indonesia, Bandung: Mizan
Grabar, Oleg, 1983, Symbols and Signs in Islamic Architecture, dalam Architecture and Community:
Building in the Islamic World Today, Renata Holod, Peny., Millerton, New York: Aperture
Kartika, Dharsono S., 2004, Pengantar Estetika, Bandung: Rekayasa Sains.
Mitchell, W.J.T., 1986, What Do Pictures Want? The Lives and Loves of Images, Chicago: University of
Chicago Press.
Sturken & Cartwright, 2004, Practices of Looking: An Introduction to Visual Culture, London : Oxford
University Press.

Other Publications:
Blair, Sheila S. Dan Jonathan M. Bloom, 2003, The Mirage of Islamic Art: Reflections on the Study of an
Unwieldy Field, Art Bulletin 85
Majjalah Al-Muslim Al-Muashir, edisi 25, tahun 1401 H.
Nanang Rizali, Kedudukan Seni Dalam Islam, Jurnal Kajian Seni Budaya Islam Vol. 1, No. 1, Juni 2012.
T.J. Diffey, A Note on Some Meaning of The Term `Aesthetic ' dalam `British Journal of Aesthetics Vol.
35, No.1, January,1995

Website
http://www.fsrd.itb.ac.id (diakses tanggal 28 Februari 2013)