Pengakuan Pariyem Dunia Batin Seorang Wa

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra dan tata nilai kehidupan adalah dua fenomena yang saling melengkapi dalam
kesendirian mereka sebagai sesuatu yang eksistansial. Sebagai suatu bentuk seni sebuah
karya sastra lahir atas dasar tata nilai dalam kehidupan, sehingga akhirnya sebuah karya
sastra mampu memberikan kontribusinya kepada tatanan nilai yang ada pada masyarakat.
Hal tersebut terjadi karena seni adalah bagian dari kehidupan manusia itu sendiri yang
memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan manusia di dalamnya.
Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial yang menghiasi
keberadaannya, diantaranya nilai sosial, falsafah, religi, dan lainya. Baik yang berangkat
dari isu yang telah lama kemudian diungkapkan kembali dengan balutan yang berbeda, atau
bahkan ditawarkan karya sastra dengan konsep, isu, dan struktur yang berbeda. 1 Namun,
diungkapkan dengan tersirat maupun tersurat, sehingga serta-merta karya sastra
menghadirkan sikap ambigunitas dalam presepsinya. Itulah sastra.
Sastra tidak saja lahir karena fenomena kehidupan lugas, tetapi juga dari kesadaran
penulisnya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, inovatif, juga harus
melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bertendensi. Sastrawan ketika
menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan, tetapi
juga hendak bertujuan menyampaikan pemikirannya atau bahkan keresahan yang tengah
penulis rasakan. Hal tersebut yang mendorong pula karya sastra banyak muncul karena

motif-motif tertentu dari penulis, tak jarang pula penulis membuat tulisan sastra berdasarkan
pesanan pihak-pihak tertentu, tengok saja Biola Tak Berdawai novel karya Seno Gumira
Ajidarma yang mengaku karyanya merupakan pesanan dari pihak lain yang bukan
berangkat dari hasratnya. Selain itu ada Putu Wijaya yang membuat naskah drama Cipoa,
penulis mengatakan bahwasanya naskah drama tersebut merupakan pesanan dari sebuah
stasiun televisi Nasional yang ketika itu tengah berulang tahun. Tetapi, pada dasarnya tetap
saja karya sastra tersebut berisikan mengenai aspek menghibur dan mendidk.
Kemudian semua itu juga terkait mengenai karya Linus Suryadi Ag, dalam
Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa. Linus selaku penulis yang
kehadiran karyanya tanpa adanya intervensi pihak manapun menghadirkan sebuah novel
dengan gagasan yang berbeda dibandingkan penyair lain. Dalam Pengakuan Pariyem
menceritakan eksistensi seorang wanita jawa di tengah peradaban kemajuan sekaligus
bentuk konservatif yang teramat menyandera batin (Pariyem) tokoh utama. Gagasan dalam
cerita yang ditawarkan Linus begitu eksentrik, karena membenturkan berbagai aspek
kehidupan khususnya peranan wanita dewasa ini. Tak sampai disitu saja Linus juga
membenturkan kepada aspek religiusitas yang teramat dijauhi oleh penulis karya sastra
1 Drs. Suyitno, Sastra Tata Nilai dan Eksegesis, PT. Hanindita : Yogjakarta, 1986. Hlm 3

1


kebanyakan, bagaimana tokoh Pariyem yang beragama Katolik namun hal tersebut justru
disanggahnya sendiri dengan pengakuan yang begitu kontroversial.
Saya beragama katolik
Memang saya pernah sinau di Sekolah Dasar
Kanisius di Wonosari Gunung Kidul
Tapi sebagaimana saya sinau tak tamat
Saya pun tak punya akar kokoh beragama
Memang saya dibaptis rama pastur Landa
Berambut pirang dan tubuhnya jangkung
-

Van de Moutten namanya

Jadi jelasnya, terang-terangan saja:
-

Kepercayaan saya Katolik mitik

Alias Katolik kejawen2


Hal tersebut yang menjadi kerangkan dalam penyusunan makalah ini, yang
mendasarkan bagaimana hegemoni prespektif keberadaaan wanita yang disandera oleh batin
secara konservatif dan modern, selain itu juga makalah ini akan mengupas tinjauan
mengenai pandangan agama yang dianut Pariyem dengan dibenturkan dengan mistik
kejawen yang begitu kental dalam penyajian cerita.
Apabila kita mampu berfikir secara hakikat manusia mungkin tak ada salahnya buku
Pengakuan Pariyem karangan Linus Suryadi Ag menjadi rujukan kita atau setidaknya buku
ini mampu membawa kita untuk menyematkan perhatian kepada berbagai hal yang begitu
dianggap tabu dan tak layak diperbincangkan. Namun, Linus mencoba mendobrak hal itu
dengan gagasan dan penyajian yang terkesan monolog tapi mampu membawa pembaca
kepada sikap kontemplasi yang begitu mendalam. Oleh karena itu penulis dengan penuh
perhatian hendak mengupas tuntas segala pemikiran yang masih tersirat yang akan
disampaikan oleh Linus Suryadi Ag pada Pengakuan Pariyem ke dalam makalah ini.

2 Linus Suryadi Ag, Pengakuan Pariyem, Pustaka Sinar harapan: Jakarta, 1994, hlm 23.

2

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana unsur intrinsik dalam novel Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang

Wanita Jawa?
1.2.2 Bagaimana proses analisis mengenai Batin Pariyem sebagai wanita serta bagaimana
social kultur budaya dalam kepercayaan kejawen yang Pariyem yakini ?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk penyelesaian tugas akhir mata kuliah kajian
prosa semester genap tahun ajaran 2013/2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
diampu oleh Novi Diah Haryanti, M.Hum selaku dosen mata kuliah terkait. Selain
itu, yang terpenting makalah ini bertujuan untuk mengetahui unsur instrinsik yang
terbangun dalam novel Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa
serta analisis mengenai lingkup problematika yang dihadapi Pariyem selaku tokoh
utama dalam tataran hakikat wanita juga prespektif budaya kejawen yang mistik.

BAB II
3

PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Pengarang
Linus Suryadi Agustinus, lahir di desa Kalisodo, kelurahan Trimulyo, Kecamatan
Sleman , Yogyakarta. Pada 3 Maret 1951 silam.
Setelah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar, kemudian ia melanjutkan ke

Sekolah Menengah Pertama di Sleman dan dilanjutkan meneruskan ke Sekolah Menengah
Atas di BOPKRI 1 Yogyakarta tamat pada tahun 1970. Setelah itu ia melanjutkan studinya
di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta jurusan Bahasa Inggris, namun tidak sampai tamat.
Kemudian ia pindah kuliah di Akademi Bahasa Asing jurusan Bahasa Inggris, di situ pula ia
tidak menamatkan studinya. Hingga akhirnya ia berkeliaran di sepanjang jalan Malioboro
Yogja untuk menekuni sastra, sampai akhirnya ia di juluki “Presiden Malioboro” oleh
Ashadi Siregar kawan Linus. Sebelumnya julukan itu disandang oleh penyair yang berasal
dari tanah Sumba Landu Parangi.
Kemudian nama Linus semakin mencuat ketika ia berhasil menerbitkan novel
Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, yang mana proses kreatif yang ia
lakukan bukan main. Pengamatan yang mendalam mengenai kehidupan priyayi Jawa.
Karena Linus melihat dalam priyayi jawa ada beberapa hal yang menarik, diantaranya
wanodya, turangga, dan curiga. Wanodya berarti wanita, turangga berarti kuda dan curiga
berarti keris. Karena ksatria Jawa memang sangat menghormati wanita, kuda sebagai
kendaraaannya dan keris sebagai senjata tradisional yang memiliki tenaga magis atau
kesaktian.3 Hal tersebut yang menggugah Linus untuk membuat karya sastra.
Sebagai seorang sastrawan dan peneliti sekaligus, Linus memang cukup unik. Selain
itu, dalam kesehariannya Linus bergaul dengan para sastrawan, budayawan serta kaum
cendikiawan, semisal Prof. Umar Kayam, intelektual yang juga sosiolog terkemuka. Hingga
akhirnya Linus menciptakan Prosa lirik Pengakuan Pariyem yang terinspirasi dari Umar

Kayam sebagai mentornya.
Selain itu, Linus yang kini tinggal di pinggiran kota Yogyakarta telah banyak
menghasilkan karya. Kumpulan puisi Langit Kelabu pada tahun 1975, kemudian cerita anak
yang berjudul Perang Troya pada tahun 1977. Selain itu, ada kumpulan sajaknya yang
berjudul Syair-Syair dari Yogya diterbitkan pada tahun 1977.
Serangkaian karya-karya Linus memang layak untuk mengantarkan dirinya
ditasbihkan sebagai “Presiden Malioboro”, tidak berlebihan menyebutkan seperti itu.
Karena yang banyak kita ketahui Linus merupakan sastrawan yang berasal asli Yogya,
selain itu juga aliran nafas yang ia kembangkan dalam setiap karyanya tak bias terlepas dari
nuansa kejawen dan semua kultur Jawa yang melingkupinya,

3 Anonym, Linus Suryadi AG – Novelis yang Meneliti Keris, Media Indoneisia: Jakarta, 19
September 1990, hlm 11

4

2.2 Sinopsis
Pariyem adalah seorang wanita Jawa yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul,
Yogyakarta. Nama lengkapnya Maria Magdalena Pariyem, nama tersebut pemberian dari
setelah ia dibaptis menjadi Katolik, namun ia tidak kerasan dengan nama tersebut akhirnya

ia tetap menggunakan nama masa kecilnya yakni Pariyem yang dipanggil Iyem.
Pariyem bekerja kepada keluarga keraton dalem Ngayogyakarta sebagai babu, di
rumah Ndoro Kanjeng Cokro Sentono pariyem hidup sebagaimana layaknya babu di
kalangan bangsawan yang harus meladeni semua kehendak ndoronya, antara lain isteri dan
kedua anak Ndoro Kanjeng Cokro Sentono, yaitu Raden Ayu Wulaningsih, Raden Bagus
Ario Atmojo dan Raden Putri Wiwit Setyowati. Kehidupan Pariyem sejahtera tanpa suatu
mengeluh apapun, sebab para majikanya tidak memandang Pariyem begitu berada pada
kasta yang tertutup layaknyanya kasta social. Tetapi mereka menempatkan Pariyem sebagai
manusia seutuhnya dengan tugas dan kewajibannya sebagai pembantu atau babu.
Kemudia pada suatu ketika, ternyata Pariyem telah mengakui bahwa dirinya telah
melakukan hubungan gelap atau tidak senonoh dengan anak sulung Ndoro Cokro Sentono,
yaitu Raden Bagus Ario Atmojo sehingga membuahkan benih dalam rahim Pariyem.
Kemudian konflik batin yang semula dibayangkan Pariyem mengenai benih yang telah
menjadi akibat hubungan gelapnya dengan Ario Atmojo menjadi hambar. Ketika Ndoro
Kanjeng Cokro Sentono memutuskan untuk tetap mengakui jabang bayi dalam rahim
Pariyem sebagai cucunya tanpa suatu kurang apapun. Hal tersebut yang sontak menjadi
kegembiraan tersendiri Pariyem yang sudah memimpikan untuk memiliki anak. Setelah itu
berlangsunglah pernikahan Pariyem dengan Ario Atmojo sebagai bentuk pertanggung
jawaban Ario Atmojo atas benih yang ditanamnya di rahim Pariyem.


2.3 Unsur Intrinsik
2.3.1 Tema
Berangkat dari pengertian tema yang berarti idea tau gagasan yang menjadi
kerangka dari sebuah cerita. Tema berperan sebagai pangkal pengarang dalam
memaparkan karya rekaan yang diciptakan.4
Tema tidak selalu berbentuk moral atau ajaran moral. Tema bisa hanya berwujud
pengamatan pengarang terhadap kehidupan , atau bahkan hanya berbentuk bahan
mentah pengamatannya saja.5 Hal tersebut juga yang tergambar pada prosa lirik karya
Linus Suryadi AG yang berjudul Pengakuan Pariyem, tema besar yang melingkupi
karya tersebut adalah bagaimana proses kehidupan manusia, terlebih lagi bagaimana
dunia batin seorang wanita Jawa di tengah kehidupan priyayi Jawa. Selain itu, yang
menjadi ide cerita ialah bagaimana sikap Pariyem senantiasa menyikapi segala problema
4 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, PT. Grasindo: Jakarta, 2008, hlm 161.
5 Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusasteraan, Gramedia: Jakarta , 1991,
hlm 56

5

yang melingkupi kehidupannya. Jadi tepat sekali bila tema dalam prosa lirik Pengakuan
Pariyem bukan berbentuk moral atau ajaran moral.


2.3.2 Latar atau Setting
Tema itu sendiri memiliki pengertian yang merupakan suatu gambaran dari sebuah
cerita yang meliputi tempat, waktu, dan beserta pertiwa yang bersifat fisikal dan
psikologis.6
Dalam sebuah karya fiksi latar atau seting bukan hanya sekedar background yang
artinya bukan hanya menjadi latar belakang terjadinya suatu peristiwa dan kapan
terjadinya. Karena latar atau seting harus menjadi satu kesatuan dalam novel dan cerpen
modern, tidak bisa keberadaanya berada dalam koridor tersendiri di luar dari tema,
karakter, dan alur.7 Karena itu sangat urgent sekali keberadaan latar atau setting dalam
sebuah cerita. Sehingga, mengandung kronologi kebermaknaan yang menjadi satu
kesatuan yang harmonis antar unsur-unsur pembangun karya sastra. Artinya, latar adalah
landas tumpu yang menunjukkan tempat atau peristiwa yang terjadi di dalam sebuah
cerita.
Latar tempat yang diciptakan oleh Linus Suryadi Ag dalam Pengakuan Pariyem,
yaitu tak jauh berkutat pada kota Yogyakarta, semisal Malioboro (Pengakuan Pariyem,
hlm 39), nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta atau disebut juga Kraton Mataram
Yogyakarta (Pengakuan Pariyem, hlm 43), Wonosari, Gunung Kidul (Pengakuan
Pariyem, hlm 78), Alun-Alun Lor (Pengakuan Pariyem, hlm 109), pasar Bringharjo
(Pengakuan Pariyem, hlm128). Khas sekali Linus menghadirkan latar tempat di Yogya

yang begitu detail, sehingga dengan mudah imaji pembaca mampu beranjak dari alam
fiksi kepada alam bawah sadar yang fakta.
Kemudian, pada latar waktu yang tercipta pada novel (prosa lirik) Pengakuan
Pariyem tidak begitu spesifik ditunjukan oleh Linus. Namun, dengan cerdas Linus
menggunakan kombinasi waktu yang begitu tersirat sehingga perhatian pembaca bukan
dimaksudkan diarahkan pada waktu kejadian melainkan lebih kepada cerita atau
pengakuan dari tokoh utama, yakni Pariyem itu sendiri.
Latar waktu yang mungkin memberikan kompas dalam penceritaan, yaitu ketika
Pariyem mengawali cerita yang ia sendiri telah berusia 25 tahun (Pengakuan Pariyem,
hlm 13), kemudian pada halaman 115 Pengakuan Pariyem dijelaskan sekali dengan
gamblang penunjukan waktu “Bulan ini bulan April 1979 …”8. Selebihnya seting waktu
yang berperan penjelas keadaan atau sebagai penegasan, misalnya aroma Sabun
Lifebouy (Pengakuan Pariyem, hlm 37), gesper James Bond 007 (Pengakuan Pariyem,
hlm 88) dan Djarum 76 (Pengakuan Pariyem, hlm 175). Bukti-bukti tersebut juga
menguatkan sikap Pariyem selaku tokoh utama yang selalu update terhadap lingkungan
6 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, PT. Grasindo: Jakarta, 2008, hlm 149
7 Ibid, hlm 75
8 Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 115.


6

sekitar ketika itu, sikap yang ditunjukan Pariyem juga tidak apatis melainkan lebih pro
kemajuan yang mana bertolak belakang dengan hakikat beradaaannya yang konservatif.
2.3.3 Alur
Alur atau Plot, merupakan intisari segala kejadian yang berada dalam lingkup karya
sastra. Plot menggerakan atau menjalankan cerita sebagaimana dengan proses-proses
yang sistematik hingga memunculkan konflik dalam cerita tersebut.
Dalam plot juga terdapat unsure-unsur untuka merangkai konflik sehingga dapat
dinikmati dan mampu menunjukan yang berkaitannya dengan tokoh antagonis,
protagonist, dan tirtagonis. Unsur-unsur tersebut harus mampu memberikan suspense
dalam cerita, yang terdiri dari: pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak,
klimaks, pemecahan atau peleraian atau selesaian.9 Namun, secara keseluruhan alur
cerita yang dibawakan oleh Pariyem yaitu alur mundur. Karena sejak awal Pariyem
menceritakan dirinya telah berusia 25 tahun, apabila kita tengok adapun gadis desa
ketika itu menikah ketika usia mereka beranjak belasan tahun (14, 15, atau 16 tahun).
Terlebih lagi kondisi fisik yang dimiliki Pariyem, yang mendekati sempurna idaman
para lelaki.
Kemudian gambaran alur atau plot cerita dalam Pengakuan Pariyem diawali oleh
ungkapan dirinya pada kutipan:
Ya, ya, Pariyem saya
“Iyem” panggilan sehari-harinya
Saya pun tumbuh subur
Badan saya berkembang sesuai keinginan bapak
Badan saya berkembang sesuai naluri alam
Saya pun tambah besar
Sampai anak-anak muda Yogya menggoda
Dan sering rerasan,
Saya bertubuh sintal
Saya bertubuh tebal
Tapi saya biarkan sajalah
Saya taka apa-apa kok,
Saya lega lila

Menunjukan dirinya (Pariyem) merasa nyaman dengan kemolekan tubuhnya, sesuai apa
yang diingikannya meskipun kadang mengundang resiko sebagai wanita, namun dirinya
tetap lega lila.
Selanjutnya tahapan alur dilanjutkan kepada mulai timbulnya konflik ketika Pariyem
mengatakan keadaan dirinya kepada orang yang ia sayangi, yaitu mas Paiman mengenai
keberadaan dirinya di dalam keluarga Suryamentaraman. Pariyem memberikan definisi
dirinya dalam keluarga Cokro Sentono kepada mas Paiman sebagai babu itu harus 3M
(Madeg, Manthep, dan Madhep), 3A (Asah, Asih, dan Asuh), 3K (Kersa, Kerja, dan Karya),
dan 3L (Lirih, Larah, dan Lurus). 10 Juga pariyem menceritakan tabiat anak majikannya
Bagus Ario Atmojo sebagai pemuda yang 3T (Titis, Tatas, dan Tetes) sebagai presentasi
9 Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusasteraan, Gramedia: Jakarta , 1991, hlm
49
10 Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 34-39

7

pemuda kebanyakan kepada mas Paiman.11 Serangkaian pengakuan tersebut yang menjadi
sumbu konfik yang nantinya muncul dalam Pengakuan Pariyem.
Tahapan alur selanjutnya pada konflik memuncak yang terjadi yang dialami oleh
tokoh protagonis, yaitu Pariyem. Puncak konflik terjadi justru di dalam lingkungan nDalem
Suryamentaraman Ngayogyakarta atau di kediaman Cokro Sentono majikan Pariyem, hal
tersebut tergambar pada kutipan:
… sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta
kini memerawani putra sulungnya
Raden Bagus Ario Atmojo namanya
Saya ajar bermain asmara
O, beginilah pokal anak muda
Baru kini jagad direngguknya12

Selanjutnya hal yang sama terus dilakukan Pariyem dan Ario Atmojo, hingga
mereka tanpa sadar melakukan hubungan badan intim yang tidak semestinya dilakukan
layaknya suami-istri, seperti pada halaman 50-51, 80, 155 Pengakuan Pariyem . Karena
mengingat kedudukan Ario Atmojo sebagai majikan dan Pariyem sebagai babu, selain itu
hubungan tersebut juga diyakini dilarang oleh semua agama tanpa ikatan yang sah. Lain,
daripada itu Pariyem juga sebernya tahu dan mengerti bahwa perbuatannya itu ada
konsekuensi dasa yang tidak bisa terelakan, pada kutipan halaman 54 Pengakuan Pariyem.
Serangkaian peristiwa tersebut menjadi puncak konflik yang terjadi dalam Pengakuan
Pariyem.
Kemudian, tahapan alur menuju klimaks atau tahapan puncak alur telah mengalami
turunan. Dalam konflik batin yang dialami pariyem mulai memuncak ketika dirinya di
ketahui telah mengandung benih atas hubungan intimnya dengan Ario Atmojo, tergambar
pada kutipan:
… sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta
Tapi dengan putra sulungnya main asmara
dan kini meteng sebagai buahnya
Sebentar waktu dinikah atau tidak
O, saya tak menaruh keberatan
Pernikahan bukan dambaan saya

11 Ibid, hlm 46
12 Ibid, hlm 43-44

8

yang saya damba adalah anak
Benang hidup terajut dalam keturunan
mata rantai keluarga tambah panjang13

hal tersebut yang lama diidamkan oleh Pariyem, yakni memiliki keturunan (anak).
Sedangkan ia tak peduli ada pertanggunggjawaban atau tidak dari Ario Atmojo. Sikap
Pariyem tersebut juga terlepas dari konsekuensi dirinya sebagai babu di keluarga Cokro
Sentono priyayi Jawa, karena sikap lega lila yang menjadi trademark Pariyem sebagai
tokoh utama.
Tahapan terakhir pada alur ialah selesaian, dimana serangkaian konflik yang terjadi
telah bermuara pada titik penyelesaian. Dalam Pengakuan Pariyem tahap penyelesaian
konflik terletak pada pemutusan kebijakan oleh Cokro Sentono selaku pemiliki otoritas
tertinggi dalam keluarga, siding tersebut disaksikan istri, kedua anaknya, dan juga Pariyem.
Tergambar pada kutipan yang panjang lebar menengangkan:
…Pengadilan Keluarga Kanjeng Cokro Sentono
di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta
Malam ini mengadili Ario Atmojo
Dan Maria Magdalena Pariyem …

Kemudian dilanjutkan kutipan,
… Maka sebagai Hakim merangkap Jaksa
Sudah jamaknya saya berlaku bijaksana
Dan menjatuhkan vonis hukuman segera:
“Ringan sama dijinjing
Berat sama dipikul”14

Tuntas sudah serangkaian konflik yang mendera batin Pariyem, ternyata Cokro Sentono
dengan bijaksana dan tanpa rasa malu, mau mengakui anaknya bersalah dan harus
bertanggung jawab atas benih yang di kandung Pariyem. Cokro Sentono lakukan terlepas
dari adat priyayi Jawa yang begitu konservatif, dan kaku terhadap kasta. Sangat Luar biasa
sekali penyelesaian konflik yang dilakukan Linus melalui tokoh Cokro Sentono yang
merupakan priyayi Jawa. Lebih dari itu, Cokro Sentono juga mengasihi cucunya yang
meskipun hasil dari hubungan gelap anak sulungnya dan babunya sebagaimana putra
mahkota kerajaan, pada kutipan halaman 186. Sangat menarik memang rentetan konflik
yang mewarnai Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag.

13 Ibid, hlm154
14 Ibid, hlm 161

9

2.3.4 Tokoh dan Penokohan
Tokoh menurut Abrams, adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif
yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral, dan kecenderungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam ucapan serta apa yang dilakukan dalam tindakan. 15Jadi, tokoh
merupakan subjek yang dijadikan pengarang sebagai penyampai amanat dalam sebuah
cerita yang diciptakan.
Sedangkan, penokohan merupakan karakter yang menunjukkan pada penempatan
pada tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu pula dalam sebuah cerita. 16Penokohan bisa
juga disebut sebagai perwatakan yang dimiliki tokoh untuk menguatkan peranan tokoh
tersebut di dalam sebuah cerita.Artinya, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Baik tokoh dan penokohan, harus senantiasa berintegrasi dengan adanya tema, latar,
dan plot yang telah dibahas sebelumnya, pada novel Pengakuan Pariyem penulis melihat
hanya ada tokoh sentral dalam cerita yaitu Pariyem seorang. Hal tersebut yang nantinya
berkaitan dengan sudut pandang penceritaan, bukan maksudnya menafikan andil
keberadaan tokoh lain. Karena sejak awal cerita pun Pariyem menempatkan dirinya dimuka
sebagai pencerita tunggal yang hendak menjelewantahkan dunia atau konflik batin yang
mendera dirinya. Kutipannya sudah disajikan sebelumnya bagaimana penokohan Pariyem
sendiri yang modern, up to date, tapi juga njawani. Selain itu, yang terpenting Pariyem
merupakan sosok wanita yang disampaikan Linus sebagai moda pendrobrak kemapanan
peranan wanita sendiri yang ketika itu wanita kerap berlindung dengan semboyan
“kesetaraan gender”,17 namun nyatanya tetap saja tak mampu berbuat banyak tanpa adanya
orang lain. Begitu juga Pariyem sebagai sosok yang lega lila selalu kerap mengambil jalan
dengan curhat kepada mas Paiman agar bisa menengkan dirinya.
Penulis pikir cara Linus mengkultuskan Pariyem sebagai wanita Jawa yang tak
berdaya, polos, kurang tanggap, serta pemalu dihabisi melalui pengakuannya kepada mas
Paiman. Meskipun, mas Paiman sendiri entah berada dimana rimbanya.
Kemudian tokoh Cokro Sentono, sebagai priyayi kebanyakan beliau tidak banyak
bicara apalagi untuk mensoalkan hal-hal yang dianggapnya sebagai picisan. Namun beliau
begitu bijaksana dan konsekuen terhadap pendiriannya dan keyakinannya. Satu hal yang
perlu diperhatikan ialah sikap Cokro Sentono tidak begitu memusingkan kelakuan anak
sulungnya, beliau dengan tegas memutuskan semua perbuatan ada konsekuaensinya pada
kutipan halaman 161
… Berdasar bukti yang cetha wela-wela
Sudah pula diakui kedua tersangka
15 M.H.Abrams, A Glossary of Literary Terms,New York : Holt, Rinehart dan
Winston,1981, hlm 20
16Burhan Nugiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi,Yogyakarta:Gajah Mada UP, 2010, hlm 165
17 syn, Wanita di mata Linus- kebijaksanaan KB = Kebijaksanaan Kolomenjing,
Eksponen: Yogyakarta, 10 Mei 1986, hlm 4

10

Tidak ada pelanggaran tata susila
Tapi permainan asmara ada buahnya … 18

Dan hal tersebut yang begitu khas, pada pengamatan Linus kepada keseharian priayi Jawa
yang tak tega, bijaksana, serta penuh pertimbangan dalam semua keputusannya, dan tak
mementingkan dirinya sendiri (meskipun pembesar keraton Yogja).
Kemudian tokoh dan penokohan istri dan putri Cokro Sentono, yakni nDoro Ayu
Wulaningsih dan nDoro Putri Wiwit Setyowati. Porsi pemunculan keduanya sama, artinya
tidak ada intensitas yang begitu berbeda. Hal tersebut bisa dipahami karena titik tolak Linus
ialah hanya menyoroti porsi Pariyem sebagai babu di nDalem Keraton Suryamentaraman.
Baik nDoro Ayu dan nDoro putri memiliki kencenderungan bersikap sewajarnya kepada
Pariyem yang merupakan babu di kediaman mereka, justru mereka bersikap dengan berbeda
dengan apa yang Pariyem bayangkan sebelumnya. Baik, sayang, dan tidak membedabedakan yang selalu muncul mengiringi pemunculan keduanya dalam kontribusi cerita.
Bahkan keduanya menyambut dengan gembira sikap Cokro Sentono yang memutuskan
untuk mengakui Pariyem sebagai menantunya dan mengakui anak yang dikandung Pariyem
merupakan cucu biologisnya yang sah tanpa suatu kurang. Malah justru keduanya
menyesali perilaku yang dilakukan oleh Cokro Sentono dan Ario Atmojo itu sendiri, yang
tergambar pada kutipan:
“Kacang mangsa ninggal lanjaran
Ario, bapakmu dulu juga demikian
Suka ugal-ugalan, goda perempuan
Lihatlah, selirnya banyak di papan”

Kemudian disambung oleh Wiwit Setyowati yang menghardik kakaknya, Ario Atmojo:
“Kowe mas Ario, lelaki kok blo on lho
Pake pil apem atau kondom bisa, ta
Yang dauber filsafat terus terusan
Tak sempat mikir paha berkelojotan
Tahunya rampung sekali tikam, huh!”19
Dasar lelaki, keremnya ngawur!”

Memang bisa dikatakan dari awal latar belakang makalah ini, yakni penulis ingin
menunjukan sikap memanusiakan manusia tanpa adanya perbedaan kasta. Hal tersebut yang
begitu tajam disampaikan oleh Linus dalam mengomentari sikap manusia dewasa ini yang
selalu membeda-bedakan manusia berdasarkan penilaiannya masing-masing, meskipun
18 Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 161
19 Ibid, 162

11

bukan novel rohani namun penulis menilai sikap Linus yang ingin disampaikannya melalui
tokoh nDoro Ayu dan nDoro Putri sangat esensial hakikat manusia yang di harapkan Tuhan.
Kemudian yang terakhir ialah penokohan Ario Atmojo dan Kang Kliwon, penulis
melihat adanya kesamaan motif yang kedua tokoh tersebut lakukan baik tindakan serta
pemikiran. Layaknya kedua tokoh yang disebutkan sebulumnya Ario Atmojo dan Kang
Kliwon hanya diberikan porsi yang terbatas dalam sumbangsih pemikirannya terhadap
cerita. Namun, keduanya bisa dikatakan sebagai tokoh antagonis dalam novel Pengakuan
Pariyem. Sebab, melalui kedua tokoh tersebutlah mampu mempengaruhi pemikiran
Pariyem selaku tokoh utama dalam menyikapi kehidupannya.
Tokoh kang Kliwon, ialah orang pertama yang memberikan kenikmatan biologis
tiada tara yang Pariyem rasakan (lihat Pengakuan Pariyem, hlm 80) hingga Pariyem tak lagi
perawan, sehingga akhirnya hal tersebut yang membuat Pariyem (hypersex) Karena
kebutuhan dirinya secara biologis. Memang karena perlakuan kang Kliwon kepada Pariyem
lah yang mengantarkan keberanian dirinya untuk bermain-main asmara dengan Ario
Atmojo.
Sedangkan, penokohan Ario Atmojo memberikan warna yang berbeda dalam batin
Pariyem. Meskipun dalam struktur sama sebagai antagonis dalam cerita, namun warna
tersebut membuat implikasi positif terhadap Pariyem sendiri khusunya memberikan
kebahagiaan yang hakiki yang diingini Pariyem sejak awalnya (lhat Pengakuan Pariyem,
hlm 190). Kebaahagian untuk memiliki keturunan, dan Ario Atmojo adalah orang yang
meneteskan darahnya kepada keturunan Pariyem.

2.3.5 Sudut Pandang
Sudut pandang adalah sesuatu yang merujuk pada masalah teknis, sarana untuk
menyampaikan maksud pengarang melalui karya sastranya.20 Selain itu,merupakan
penempatan posisi pengarang pada cerita yang disajikannya, sudut pandang biasanya
sebagai wahana penulis dalam meuangkan gagasan, ide, atau amanat yang hendak penulis
sampaikan melalui karya sastra. Porsi sudut pandang begitu dominan dalam penjiwaan serta
penggambaran segala macam aspek yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Sudut
pandang yang digunakan dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem, ialah sudut pandang orang
pertama pelaku utama yang berposisi sebagai narator atau pencerita tunggal. Hal tersebut
yang dipilih oleh Linus, sebab ia ingin menciptakan efek psikologis sendiri dari seorang
Pariyem (wanita Jawa) kepada para pembaca meluas untuk lebih mudah terhanyut dalam
cerita.
Pencerita tunggal atau narator, terkadang juga membosankan karena pencerita seolah
mengkhotbahi para pembaca dengan ide cerita ataupun jalan pemikiran pengarang. Tidak
adanya feedback lain dari posisi tokoh lain secara pemikiran cenderung yang membuat para
20 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, Malang:IKIP Malang,1987, hlm 105

12

pembaca digurui. Tetapi, sudut pandang Pariyem tersebut dihadirkan Linus dengan bentuk
syair atau Prosa lirik yang berbeda. Setiap bait yang tertulis terjalin dengan harmonis dan
serasi, itulah yang mengurangi stigma bahwa sudut pandang tunggal cenderung
membosankan pembaca.

2.3.6 Gaya Bahasa
Merupakan cara penggunaan bahasa dalam kekuatan daya ungkap atau daya tarik
atau bahkan keduanya sekaligus. 21 Sedangkan gaya yang digunakan dalam Pengakuan
Pariyem sebenarnya begitu sederhana sesuai keseharian, kadang juga mencampurkodekan
antara bahasa Indonesia denga bahasa Jawa, pada kutipan:
“Dan saya pun tanggap ing sasmita
Berperan putri yang sedang lelewa …”22

Namun, juga gaya bahasa yang digunakan Pariyem yang penokohannya sebagai wanita
yang lugu sebagai babu tidak sedikit juga gaya bahasanya diintervensi oleh Linus sendiri
sebagai penyair, seperti penggunaan majas satire, metafora, dan metonimia. Seperti pada
kutipan,
Bintang – bintang di langit malam
Terpacak abyor menghias kegelapan
Ialah samodra hidup yang dalam
Tak terjajagi dan tak terarungi23

Ungkapan tersebut bahasa yang begitu tinggi, jarang sekali digunakan oleh orang umum
terlebih lagi orang tersebut jauh dari dunia kesusasteraan. Memang patut disayangkan, tapi
bila disnangkutkan dengan nilai estetika tidak menjadi permasalahan mengenai gaya bahas
yang digunakan Linus untuk Pariyem.
2.3.7 Amanat
Merupakan pesan yang disampaikan untuk pembaca karya, baik secara tersirat
maupun tersurat. Sebab kembali lagi kita meninjau tujuan karya sastra tidak lain untuk
menghibur dan mendidik para pembacanya. Amanat juga bersifat subyektif, sehingga dapat
saja setiap orang menilai suatu masalah dengan motif serta sudut pandang yang berbeda.
Penentuan amanat biasanya ditinjau dari pertikaian antar tokoh dalam cerita, dari kutipan
dialog tokoh, bahkan dapat berasal seting peristiwa berlangsung. Oleh karena itu amanat
yang didapatkan bersifat subyektif.

21 Jakob Soemardjo, Op.Cit, h.127
22 Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 40.
23 Ibid, hlm 113

13

Dalam Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, penulis
mendapatkan amanat secara tersurat yang dinyatakan oleh Pariyem (sebagai tokoh utama)
yaitu mengenai konsep kebahagiaan, apalagi yang dicari di dunia ini selain kebahagiaan.
Juga selain itu penulis juga memaknai Pengakuan Pariyem karya Linus mengenai keadaan
manusia yang hakiki, sebab manusia tidak mengenai perbedaan di mata Tuhan, sedangkan
yang membedakan hanyalah amalan ibadahnya, sehingga jangan cepat menuduh orang
seakan diri kita selalu benar. Sebenarnya banyak hal yang amanat ingin disampaikan oleh
Linus melalui Pengakuan Pariyem, namun kedua hal yang disampaikan penulis tersebutlah
yang sekiranya berkaitan dengan analisis yang selanjutnya dibahas.

2.4 Analisis
Pada analisis novel Pengakuan Pariyem, penulis akan mengupas mengenai
prespektif wanita dengan menggunakan pendekatan ekspresif. Sebab, pendekatan ekspresif
memungkinkan untuk penulis mengetahui pula kehendak atau motif yang mendorong
pengarang novel Pengakuan Pariyem dalam menumpahkan ide dan gagasannya dalam
karya tersebut.
Pariyem merupakan sosok wanita Jawa yang dijadikan media untuk menumpahkan
gagasan Linus dalam memahami representasi “wong cilik” yang berada di lingkungan
priyayi yang penuh dengan segala peraturan dan ketentuan layaknya sistem feodal. Namun,
semua itu ia jalani dengan sikap narima khas masyarakat Jawa, sebab menurut presektif
Jawa atau dalam kepercayaan kejawen hidup manusia itu sudah ada yang mengatur hanya
manusia itu yang menjalani dan menyikapi, seperti pada kutipan.
“Saya rasa-rasa
Saya piker-pikir
Hidup tak perlu dirasa
hidup tak perlu dipikir
Dari awal sampai akhir
Hidup itu pun mengalir24

Kemudian dilanjutkan pada kutipan,
Kalau memang sudah nasib saya
Sebagai babu, apa ta repotnya ?
Gusti Allah Mahaadil, kok
Saya nrima ing pandum25
24 Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 8-9
25 Ibid, hlm 23

14

Kutipan tersebut menjelaskan kedudukan Pariyem sebagai wanita yang tidak mampu
apa-apa dalam menentang nasib pada dirinya, atau dengan kata lain nrima ing pandum. Dan
hal tersebut lah mengenai sikap wanita (Pariyem) yang musti nrima ing pandum dalam
menyikapi masalah disekililingnya, justru tidak dengan berontak di bawah semboyan
emansipasi wanita.26 Karena menurut Linus, emansipasi wanita hanya berlaku bagi
(mereka) wanita modern yang memiliki soft skill serta pendidikan yang cukup dalam
mengarungi dunia kerja, apabila dua hal tersebut tidak dapat terpenuhi niscaya wanita hanya
akan sebagai objek (pemuas) kaum adam. Untuk itu nrima ing pandum selalu hadir dalam
sikap Pariyem.
Pariyem berdiri sebagai wanita yang hakiki hanya menginginkan kebahagiaannya
sebagai wanita, yakni memiliki keturunannnya. Karena dengan memiliki melahirkan
seorang anak, sosok wanita menjadi kebahagiaan yang tiada banding atau dengan kata lain
tak terbantahkan dirinya sebagai wanita sempurna seutuhnya.
Selanjutnya, bila kita tinjau dari prespektif kejawen. Linus selaku pengarang adalah
penganut aliran mistikus kejawen yang kental, hal tersebut ia akui terlebih lagi dengan
keris.27 Hal tersebut juga tergambar dari pengakuan Pariyem terhadap mas Paiman,
mengenai dirinya menyikapi konsep agama.
Bukankah agama, begitu kata orang-orang tua kita
yang arif dan bijaksana, adalah ibarat pakaian ?28

Memang khas sekali ungkapan yang disamapaikan Linus melalui penokohan pariyem,
dalam masyarakat luas agama merupakan dogma yang memiliki konsekuensi yang tegas
dan mengikat para pemeluknya, tak terkecuali. Karena Linus sebagai penganut mistik, hal
tersebut yang menjadi gagasannya Linus coba ungkapkan melalui pengakuan pariyem.
Selanjutnya banyak ungakapan Pariyem menggunakan Hyang.29 Hal tersebut menjadi
penguatan yang menyatakan Pariyem bukan penganut Khatolik yang taat, tetapi justru yang
menjadi junjungannya ialah kejawen atau mistik. Karena pemikiran tersebut menjadi
sederhana dalam konsep kejawen, setiap manusia hanya berserah diri kepada Sang Hyang
Mahakuasa sambil membersihkan diri, dan membebaskan diri dari segala dorongan diri
terhadap nafsu yang dapat mencelakakannya. Apabila hal tersebut sudah terbina dengan
baik, niscaya manusia dapat bersatu dengan penciptanya, atau manungaling kawula gusti
dalam konsep kejawen.

26 syn, Wanita di mata Linus- kebijaksanaan KB = Kebijaksanaan Kolomenjing,
Eksponen: Yogyakarta, 10 Mei 1986, hlm 4
27 Anonym, Linus Suryadi AG – Novelis yang Meneliti Keris, Media Indoneisia: Jakarta,
19 September 1990, hlm 11
28 Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 27
29 Hyang yang berarti dewa, kanjeng sinuwun atau junjungan kehadirat. Konsep
kutuhanan pada Hindu.

15

Selain itu Linus juga menegaskan dalam pengakuan Pariyem mengenai pentingnya “olah
rasa” dan “olah jiwa” yang mestinya dijalani manusia agar lebih sempurna dalam kehidupan
dan tidak lagi pincang. Hal tersebut pada kutipan
Dan ruang Sepen nDoro Kanjeng mulang
kebatinan : olah rasa dan olah jiwa
Yang menyigi hidup manusia menjadi sentosa30

Karena dengan olah rasa, dapat membentuk kepekaan yang mantap dalam prinsip kejawen
yang mistik. Namun, hal tersebut juga baik dilakukan oleh setiap manusia tidak terkecuali.
Sangat kompleks permasalahan yang ingin diangkat Linus dalam Pengakuan
Pariyem, karena tinjauan Linus untuk pengakuan Pariyem memang tidak sebentar dalam
kurun waktu tiga tahun. Berbagai macam studi serta observasi ia lakukan hanya untuk
mendapatkan data yang otentik mengenai kebiasaan-kebiasaan priyayi Jawa dalam
lingkungan keraton.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dalam suatu karya sastra dapat mencerminkan tata nilai kehidupan yang eksistensial
serta substansial, sehingga begitu penting sekali pembacaan karya sastra itu sendiri. Terlebih
lagi untuk diimplikasikan dalam kehidupan sosial masyarakat, seperti nilai kemanusiaan,
ketuhanan, persatuaan, dll. Sedangkan di dalam novel Pengakuan Pariyem yang benrbentuk

30 Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta, 1994, hlm 84

16

prosa lirik karya Linus Suryadi Ag begitu kental sekali dengan tata nilai kemanusiaan juga
nilai ketuhanan yang hakiki.

3.2 Daftar Pustaka
Abrams,M.H.1981. A Glossary of Literary Terms. New York : Holt, Rinehart dan Winston.
Anonym. 19 September 1990. Linus Suryadi AG – Novelis yang Meneliti Keris. Media
Indoneisia : Jakarta.
Aminuddin.1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Malang : IKIP Malang.
Nugiyantoro, Burhan.2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada UP.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Grasindo.
Suryadi AG, Linus. 1994, Pengakuan Pariyem – Dunia Batin Seorang Wanita Jawa.
Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Suyitno, Drs,. 1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. PT. Hanindita : Yogjakarta
Syn. 10 Mei 1986. Wanita di mata Linus - kebijaksanaan KB = Kebijaksanaan
Kolomenjing. Eksponen : Yogyakarta.

17