Pemikiran dan Peradaban Islam docx

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Agama islam secara garis besar berisi ajaran tentang akidah
(keyakinan) dan tata akidah yang mengatur semua perikehidupan dan
penghidupan manusia dalam berbagai hubungan, baik vertikal maupun
horizontal. Dalam pengertian ini terkandung konsep keseimbangan antara
kehidupan dunia dan akhirat, material dan spiritual.
Tasawuf merupakan salah satu aspek esoterik islam, sekaligus
sebagai perwujudan dari ihsan yang menyadari adanya komunikasi
langsung antara seorang hamba dan tuhannya. Sufisme bertujuan
memperoleh hubungan langsung dengan tuhan. Sementara itu, intisarinya
adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniyah antara manusia dan
tuhan melalui komtemplasi. Dengan bertasawuf, seseorang akan menjadi
bersih hati dan jiwanya, berarti pula ia akan dibimbing oleh cahaya ilahi.
Dengan demikian, perlakuan seseorang akan tereflesikan dalam berbagai
tindakan dan dalam berkomunikasi secara baik dengan tuhan sebagai
perwujudan hablu minallloh (hubungan vertikal dan hubungan baik
sesama

manusia)


sebagai

perwujudan

hablu

minannas

(hubungan

horizontal).
Kajian-kajian tasawuf tidak lain adalah mementingkan kebersihan
bathin dan kesucian jiwa dan lebih mementingkan aktivitas untuk
mendekatkan diri kepada alloh. Dengan demikian, seluruh dimensi hidup
dipenuhi dengan kondisi keadaan jiwa yang selalu berdzikir, mulai dari
lisan, anggota tubuh, peredaran darah, pikiran (akal dan rasio), serta
perasaan. Inilah yang membuat seseorang selalu istiqomah, stabil, penuh
motivasi, serta optimisme.
1.2 RUMUSAN MASALAH

a) Siapa tokoh-tokoh pro dan kontra tasawuf?
b) Bagaimana argumentasi para tokoh pro dan kontra tasawuf?

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN
a) Untuk mengetahui siapa tokoh-tokoh pro dan kontra tasawuf
b) Untuk mengetahui argumentasi para tokoh pro dan kontra tasawuf

BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pro Kontra Tasawuf
Tasawuf, yang dikalangan Barat dikenal dengan mistisme islam,
merupakan salah satu aspek (esetoris) islam, sebagai perwujudan dari
ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung
seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada
sejak masa kehidupan Rasulullah SAW, namun tasawuf sebagai ilmu
keislaman merupakan hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu
keislaman lainnya, seperti fiqh dan ilmu tauhid. Oleh karena itu, tasawuf
seperti halnya ilmu-ilmu lainnya tidak terlepas dari kritikan-kritikan dari
berbagai golongan yang menentangnya.
Menurut Sayyid Nur Bin Sayyid Ali, kritik terhdap tasawuf berlatar

belakang insiden jelek yang terjadi pada permulaan abad ke-4 H, ketika
aliran-aliran kebatinan, syi’ah, qaramithah, dan kafir zindik memanfaatkan
tarekat-tarekat sufisme. Mereka menyebabkan islam berada pada `kondisi
yang sangat berbahaya, tetapi sesungguhnya tak ada kelengahan bagi
orang sufi. Kejadian itu ialah Ibnu Saba’, orang berdarah yahudi
memanfaatkan cinta ahl bait sebagai tipu daya. Dia menebarkan benih
fitnah dan perang sipil yang menyebabkan wafatnya khalifah Usman Bin
Affan r.a dan gurunya sekitar 10.000 orang sahabat dan tabi’in sebagai
syahid.
1.2 Tokoh-Tokoh dan Argumentasi Pro Tasawuf



Sayyidina Ali bin Abi thalib

Tokoh besar yang juga khlifah keempat (dari tahun 35-40 H / 656/661 M), dikenal sebagai seorang yang gagah berani serta memiliki
kehidupan kerohanian yang subur. Pekerjaan, dedikasi, serta cita-cita yang
besar menyebabkan beliau tidak mempedulikan lagi bahwa pakaian yang
di kenakan telah robek karena mumuk. Kalau pakaiannya robek, dijahitnya
sendiri. Pernah ada orang yang bertanya, “ mengapa sampai begini ya

Amir al-Mu’minin?” beliau menjawab, “ untuk mengkhusyukkan hati dan
untuk menjadi teladan bagi orang yang beriman” (Hamka, Tasawwuf
perkembangan hal.31). wajar bila disamping sebagai khalifah, beliau juga
dijadikan

sebagai

imam

(pemimpin

sepiritual)

bagi

umat,

dan

kewafatannya mengakhiri masa-masa al-Rasyidun , pemimpin yang

berdasarkan atau mendapatkan petunjuk lurus (Hugh Kennedy, 1986:7581).
Dalam tasawwuf tariqot, nama Ali menjadi otoritas dibawah nabi
saw. Dari hampir semua silsilah tarekat. Selain itu, kehidupannya yang
bersahajaa, berbasis pada sikap wira’i dan qanaah, membuat beliau
sangat

dicintai

oleh

orang-orang

sufi.

Dia

juga

terkenal


dengan

kezuhudannya, pengasih serta suka bekerja keras dalam mewujudkan
cita-citanya (1984:245-250). Demikian pula halnya dengan keluarga serta
anak-anaknya, tumbuh menjadi tokoh-tokoh sufi awal yang terkemuka.



Abu Yazid al Busthami
Lahir sekitar tahun 200 H/814 M di Bustam, bagian timur laut persia,

dengan nama lengkap Abu Yazid bin Isa Syurusan al- Bustami. Ia
meninggal dan dimakamkan pada tahun 261 H /875 M ditempat yang
sama (Farid al-Din al-Attar,1979:100). Mengenai penulisan namanya,
terdapat berbagai variasi, seperti Bayazid, Al-bustami, Al-Bistami, AlBastomi. Kuburannya berdampingan dengan sufi terkenal lainnya, yakni
Al-Hujwiri, Nashiri Khusraw, dan Al-Yaquti. Tahun 1313 didirikan kubah
megah oleh seorang sultan Mughal, Muhammad Khubandana atas nasihat
gurunya, syekh syafr al-Din salah seorang keturunan Al-Bustami.1[3]

1


Ia terkenal dengan kezuhudannya yang aksetis, dengan meletakkan
zuhud menjadi zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat, dan zuhud
kepada selai Allah sehingga menimbulkan ingatan yang manunggal, yakni
tidak mengingat apa-apa selain Allah. Disinilah kemudian paham sufinya
banyak ditentang ulama faqih. Sebab, dari asketismenya itu,kemudian
Abu Yazid dipandang sebagai pembawa paham al fana’ dan al-baqa’,
sekaligus mencetus paham al-ittihad. Arberry menyebutnya sebagai first
of the intoxited sufis (sufi yang mabuk kepayang pertama kali). Abu yazid
baru terkenal melalui Al-Attar yang banya menuliskan tentang ajaran
serta latar belakang hidupnya.
Kepribadian serta paham dan ajarannya sangat mengesankan
sekaligus membingungkan bagi orang sezaman dan sesudahnya sehingga
Al-junaid memandang bahwa dia belum sampai pada ujung pencariannya.
Nicholson berpendapat bahwa paham al-fananya mungkin dipengaruhi
paham Hindu dari gurunya, Abu Ali al-Sindi.
Schimmel meragukan analisis itu sebab justru tampaknya Abu Yazid
telah samapai di ujung pencariannya sendiri melalui pengalaman alfananya. Sebab, dengan kefanaanya itu, Abu Yazid “pergi” meniggalkan
dirinya menuju kepadanya. Kemudian muncul melalui syatahat darinya
walaupun hal ini oleh Al-taftani dipandang sebagai ungkapan yang

berlebiahn dari Abu Yazid. Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan
ketuhanan dirinya itulah yang kemudian disebut sebagai paham al-ittihad
(Nasution, hal. 84-85; Mahmud, t.t.:310). Ketika ditanya mengenai sunnah
dan fardu, Abu Yazid menjawab “ sunnah ialah meninggalkan dunia
dengan segalanya isinya, dan fardu ialah bersahabat dengan Allah”.
Namun, yang perlu dicatat bahwa Al-Sulami dalam tabaqat alshufiyah, Al-thusi dalam al-Luma’, telah membahas ungkapan-ungkapan
Abu Yazid yang ternyata sejalan dengan Al-Quran dan sunnah, serta
berpendapat bahwa tasawwuf yang diajarkannya seiring dengan kedua
sumber ajaran islam tersebut.



Abu Mansyur Al-Hallaj

Nama lengkap tokoh sufi legendaris ini adalah Abu al-Mughits alHusain bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi (Lewis, 1971:99), tetapi
kemudian lebih dikenal sebagai Al-Hallaj. Ada berbagai pendapat tentang
gelar Al-Hallaj ini. Al-Salma menyatakan bahwa gelar Al-Hallaj diperoleh
ketika Al-Mansur berada di wasit menjumpai seorang penenun.
Ia lahir pada tahun 244 H/858 M di Thur, salah satu desa sebelah
timur laut baidha’, persia, dimana Sibawai pernah dilahirkan. Kakeknya,

Muhammad adalah seorang Majusi sebelum masuk islam. Namun, riwayat
ini kurang begitu kuat. Adapun yang banyak dipegangi oleh ahli sejarah
sufi adalah yang menyatakan bahwa ia keturunan Abu Ayub, sahabat
Rasulullah.
Sejak usia dini, ia sudah bergaul dengan tokoh-tokoh sufi. Dalam
usia 16 tahun, sudah berguru kepada sahl bin Abdullah al-Tustari. Setelah
dua tahun belajar dengan latihan-latihan berat, ia pergi ke Basrah dan
selanjutnya ke Baghdad. Pada tahun 873 hingga 879, ia hidup dalam
petapaan bersama-sama dengan guru Al-Tsuri, Amr Al-Makki dan Junaid AlBaghdadi. Dari sekian banyak ulama yang dia pernah belajar itu,
kemudian membuatnya merumuskan ajaran sendiri sehingga pada usia
53 tahun telah menjadi orator yang banyak dibicarakan ulama karena
paham tasaawwufnya yang berbeda dengan yang lain.
Karena

pahamnya

itu,

ulama


Zahiri,

Abu

Daud

al-Isfahani

mengeluarkan fatwa yang mngatakan bahwa paham Al-Hallaj sesat. Fatwa
itu berpengaruh luas sehingga membuatnya terpenjara. Namun, keudian
dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang sipir yang tertrik
dengan kepribadiannya. Kemudian ia melarikan diri ke Sus, kawasan
Ahwas dan bersembunyi selama empat tahun. Pada tahun 301 H/903 M,
dia kembali ditangkap dan dipenjara selama 8 tahun namun tetap tidak
menggoyahkan pendiriannya. Tahun 921 M diadakan persidangan ulama
dibawah kerajaan Bani Abbas, masa pemerintahan Al-Muktadirbillah.
Tanggal 18 Dzulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum
mati dengan terlebih dahulu dicambuk, disalib, kemudian dipotong kedua
tangan dan kakinya, di penggal lehernya lalu potongan-potongan tubuh


itu dibiarkan beberapa hari dan baru kemudian dihanyutkan ke sungai
Dajlah.
Ibn Suraij memberikan informasi bahwa Al-Hallaj adalah tipe
sempurna

ulama

pemahamannya,

islam.

Ia

menguasai

hafal
ilmu

Al-Alquran
fiqih

dan

dan

hadits,

syarat

dengan

serta

memiliki

kemampuan tinggi dan sempurna dalam tasawwuf. Pribadinya pun dihiasi
hampir dengan semua kesalehan (Ibnu Khalikan t.t. II:44) sehingga
kepribadiannya ini mampu melahirkan karya-karya gemilang mengenai
tasawuf.
Karya yang paling terkenal dan banyak dikaji oleh ulama dan
pengamat adalah al-tawashin. Inti ajaran Al-Hallaj adalah meliputi tiga
persoalan pokok : (1) al-hulul, (2) haqiqat muhammadiyah, dan (3) wahdat
al-adyan (Nicholson,1976:29-32;A. Qdir Mahmud, 1966:337-361). Akan
tetapi dalam studi tasawwuf, Al-Hallaj dipandang sebagai peletak pertama
paham wahdat al-wujud, yang kemudian dijabarkan secara lebih rinci
beserta proses menuju ke maqam tersebut oleh Ibnu Arabi di kemudian
hari.



Ibn Athaillah as Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M),
dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta
tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaranajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat
menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah
Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai
dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri),
yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi,
dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib
Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.



Al Muhasibi

Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama "Al
Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai
kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme
muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme
dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi
adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis
sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.



Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166)
Beliau adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri
tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak. Abdul
Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah
tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros
spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al Azham (pemberi
pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk
memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang
paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh
gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang
paling pertama berdiri.
Tokoh-tokoh Tasawuf Moderat dan Ajarannya
Tasawuf Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan
Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku,
lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim
Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan
Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak
menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara
(tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf
ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka
mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh
dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka
dengan neraca Syari’ah.

Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka
adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad
keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi alBagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi
utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad
kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna,
kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah
ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali
kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf Islam
terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori
ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum
menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi
sekarang ini.



Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz alnihawandi. Dia adalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri alSaqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun
297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at
agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering
memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam
Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai
wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang
paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah);
sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh
dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh
dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya
Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh
pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya

dalam

memberikan

amanat

kepadanya

untuk

dapat

tampil

dimuka

umum.

Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas
tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitabkitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang
yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti
sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari
fana`

terhadap

semua

yang

selain

Allah.

Dalam

hal

ini

dia

menegaskan

Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari
dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah
istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali
wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid
menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada
habis-habisnya. Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para
sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.



Al-Qusyairi An-Naisabury
Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima
hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul
Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn
Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun
yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil.
Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim alYamany.
Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah
kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya,
kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena AlQusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya
pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat
menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.

Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan
berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota
inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali
an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan
kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq.



Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau
lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia
adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf
dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan
tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas
gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan
ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan
rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan
akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir
tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan
tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan
menegakkannya

di

atas

keihklasan

serta

keikutannya

terhadap

al-Sunnah”.

Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik
terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, alHarwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari
perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat
ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya.
Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang
yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan

ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu
yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini
memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang
anah.
Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari
ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan
membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas
tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati
tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi,
tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.
1.3 Tokoh-Tokoh dan Argumentasi Kontra Tasawuf
Tasawuf merupakan salah satu aspek esotoris islam sekaligus
perwujudan ihsan yang menyadari adanya komunikasi langsung dengan
tuhan. Esensi ajaran ini sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah SAW.
Meskipun demikian tasawuf merupakan hasil kebudayaan sebagaimana
ilmu keislaman lainnya seperti ilmu fiqih dan ilmu tauhid. Oleh karena itu,
tasawuf tidak lepas dari berbagai kritik.
Ada pihak yang menggap bahwa tasawuf tidak berasal dari
Rasulullah dan para sahabat. Mereka menganggap ajaran ini merupakan
ajaran sesat yang diambil dari ajaran Nasrani, Hindu, Yahudi dan Budha.
Disamping itu juga ada yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan
konspirasi yang menghancurkan islam.menurut mereka diantara tujaun
terpenting dari konspirasi tersebut yaitu :
1. Menjauhkan kaum muslim dari ajaran yang hakiki dengan kedok
islam.
2. Menyebarkan akidah Yahudi,Kristen,Hindu dan Budha
Para kritikus memiliki persepsi bahwa tasawuf bersumber dari luar
islam berikut adalah komentar mereka.

 Syaikh Abdur Rahim Al-Wakil

Berpendapat

bahwasanya

tasawuf

itu

hina.

Setan

telah

membuatnya untuk memerangi Allah dan Rasulullah serta menipu para
hambanya. Tasawuf adalah topenng kaum majusi agar terlihat seperti
orang yang ta’at kepada tuhannya bahkan juga topeng semua musuh
islam.



Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir
Ihsan Ilahi Zhahir bin Zhuhur Ilahi bin Ahmduddin bin Nizhamuddin.,
salah seorang saudara beliau lahir pada tahun 1940 di kota Siyalkut wafat
th.1407 H. Yaitu sebuah kota tua di Pakistan, di sebelah utara kota Propinsi
Punjab. Kota ini terkenal dengan kelahiran tokoh-tokoh dan ulama. Dan
lingkungan yang sangat subur dengan ulama, tentu sangat kondusif bagi
perkembangan seorang anak. Demikian juga dengan keberadaan Syaikh
Ihsan Ilahi Zhahir disana.
Jika kita memperhatikan dengan teliti tentang tasawuf

dan

pendapat para sufi, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaanya
dengan al qur’an dan sunnah. Kita juga tidak melihat adanya bibit-bibit
tasawuf di dalam perjalanan hidup nabi dan para sahabat. Mereka itu
manusia pilihan Allah. Namun kita dapat melihat bahwa tasawuf diambil
dari kependetaan nasrani, brahmana, hindu, ibadah yahudi, dan zuhud
agama budha.



Syaikh Al Fauzan
Pendaptnya jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran dari luar yang
menyusup ke dalam islam. Hal itu tampak dari kebiasaan-kebiasaan yang
dinisbahkan kepadanya. Tasawuf adalah ajaran yang asing di dalam islam
dan jauh dari Allah.



Syaikh Shabir Tha’im
Jelas bahwa tasawuf terpengaruh oleh kehidupan para pendeta
nasrani. Mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di
biara.



Ibnu ‘Ajibah

Ibnu

Ajibah

memiliki

nama

lengkap

Abul

Abbas

Ahmad

bin

Muhammad bin Al Mahdi bin Al Husain bin Muhammad bin Ajibah Al
Hajujiy Al Hasani. Lahir di tengah kabilah Hoz desa A'jabisy Anjra, Tetouan
Maroko tahun 1161 H atau 1160 H bertepatan tahun 1748 M. beliau lahir
dari keluarga sederhana, leluhurnya Muhammad bin Ajibah adalah
seorang

waliyullah

terkenal

di

kampungnya,

begitu

pula

ayahnya

Muhammad bin Al Mahdi (wafat 1196 H / 1781 M) dikenal sebagai orang
soleh di kampungnya A'jabisy.
Mengklaim bahwa peletak Tasawuf adalah Rasulullah sendiri.
Menurut Ibnu ‘Ajibah, mendapatkannya dari Allah melalui wahyu dan
ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang hal ini
dengan sekian banyak bumbu keanehan dan kedustaan, yaitu: “Jibril
pertama kali turun kepada Rasulullah dengan membawa ilmu syariat.
Ketika ilmu itu telah mantap, turunlah ia untuk kedua kalinya dengan
membawa ilmu hakikat. Beliaupun mengajarkan ilmu hakikat ini pada
orang-orang khusus saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf
adalah ‘Ali bin Abi Thalib z, dan Al-Hasan Al-Bashri menimba darinya.
Pernyataan Ibnu Ajibah dibantah oleh Asy-Syaikh Muhammad Aman
bin ‘Ali Al-Jami berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan
keji lagi lancang terhadap Rasulullah. Dengan kedustaan, ia menuduh
bahwa beliau menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang
menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang
keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam
jika ia mampu. Karena Allah telah memerintahkan Rasul-Nya untuk
menyampaikan kebenaran .

1.4 Menyikapi Pro dan Kontra Tasawuf
Menurut Ibnu Taimiyah
Taqiy ad-Din Ibn Taimmiyyah lahir pada hari senin tanggal 10 Rabi’
al-Awal tahun 661 H. Bertepatan dengan tanggal 22 Juni 1263 M. Di kota
Harran. Nama lengkapnya adalah Taqiy ad-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn

Abd al-Halim ibn al-Imam Majd ad-Din Abi al-Barakat Abd al-Salam ibn Abi
Muhammad ibn Abdullah ibn Taimiyyah al-Harrani. Nama Taimiyyah lebih
dikenal sebagai sebuah nama keluarga dari etnis kurdi meskipun ada
pendapat lain yang mengaitkannya dengan nama tempat di dekat Tabuk.
Ibn Taimiyyah berasal dari keluarga intelektual yang islami serta dihormati
dan disegani masyarakat luas pada masanya. Ayahnya bernama Syihab
ad-Din Abd al-Halim ibn Abd Al-Salam (w. 1284 M). Ayah Taimiyyah selain
seorang alim besar beliau juga guru tafsir dan guru hadis di Masjid Raya
Kota Damaskus juga sebagai Direktur madrasa Dar al-Hadis al-Sukkariyah.
Ibn Taimiyyah sejak kecil dikenal sebagai anak jenius yang
berkemauan keras dalam belajar, tekun dancermat, tegas dan teguh
pendirian, ikhlas dan rajin beramal serta rela berkorban dan selalu siap
dalam perjuangan membela kebenaran. Ia juga mempunyai daya hafalan
yang luar biasa. Ini terbukti sejak usia tujuh tahun sudah hafal seluruh
Qur’an.
Ibn Taimiyyah memperoleh pendidikan di sekolah ayahnya dan
lingkungan keluarga yang secara turun temurun merupakan tokoh
intelektual. Di samping itu dia juga belajar pada para ulama di kota
Damaskus yang pada saat itu merupakan salah satu pusat pengetahuan
dan kebudayaan serta merupakan tempat berkumpulnya (halaqah) ulamaulama besar dari berbagai madzhab. Di antara guru Ibn Taimiyyah yang
terkenal selain ayahnya adalah pamannya yakni Syamsm ad-Din Abd arRahman ibn Muhammad ibn Ahmad al-Maqdisi (w. 1282 M.), seorang faqih
ternama dan hakim agung pertama dari mazhab Hanbali di Syria. Guru
lainnya adalah Muhammad ibn Abd al-Qawiy ibn Badran al-Maqdisi alMardawi (w. 1301 M.), al-Manja’ ibn Usman ibn Sa’ad al-Tanawwukhi (w.
1297 M.), dan Abu Zahrah menginformasikan semua guru Ibn Taimiyyah
berjumlah 200 orang. Adapun ilmu-ilmu yang dia pelajari dari gurunya
antara lain Qur’an dan tafsir, hadis dan ilmu hadis. Selain belajar pada
para ulama’, Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang jenius,bahkan
keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh
berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.

Ibn Taimmiyah yang sepanjang hidupnya konon tidak pernah
menikah, telah dapat menyelesaikan studi keagamaannya secara formal
sebelum melewati usia 17 tahun dan dalam usia yang sama tela
mengarang kitab,kemudian ketika berusia 20 tahun ia menjadi mufti.
Bahkan

ketika

ayahnya

wafat

ketika

dia

berusia

21

tahun

dia

menggantikan jabatan ayahnya sebagai Direktur Madrasah Dar al-Hadis
al-Sukkariyyah. Pada masanya dia pun muncul sebagai tokoh dan
pemimpin utama mazhab Hanbali.
Ibn Taimiyah menulis banyak karya besar yang menentang kaum
Syi’ah, Ahli Tasawuf, Kalam, Filsafat, perilaku taklid dalam fiqih, dan
agama Kristen. Salah satu karyanya berupa kitab yang sebagian berisi
kritikan dan tantangan terhadap ajaran Wahdat al-Wujud Ibn Arabi (w.
1240 M), ajaran tawassul dan istigasah serta ajaran tasawuf lainnya yang
oleh

Ibn

Taimiyyah

dinilai

menyimpang

dari

ajaran

Islam

yang

sesungguhnya.
Semasa hidupnya Ibn Taimiyyah sering mendapatkan hukuman di
penjara yang salah satu sebabnya adalah fatwa-fatwanya yang dijelaskan
dalam bentuk tulisan. Walaupun begitu Ibn Taimiyyah terus mengarang
hingga akhirnya, pena, tinta, dan kertasnya diambil darinya dan dia
dilarang menulis lagi. Maka keluarlah surat perintah sultan untuk
merampas buku-buku dan perlengkapan alat tulis dengan maksud untuk
membendung kreativitas maupun pengaruh Ibn Taimiyyah. Pada tanggal 9
Jumadil al-Akhir 728 H., atas nama pemerintah, semua alat baca dan tulis
berikut buku-buku yang ada di kamar Ibn Taimiyyah dikeluarkan dan
disita.
Bagi Ibn Taimiyyah, dibandingkan dengan hukuman yang lain,
hukuman pelarangan untuk membaca dan menulis agaknya dirasakan
sebagai tekanan dan pukulan yang paling berat, oleh karena itu Ibn
Taimiyyah jatuh sakit selama tiga minggu sampai akhirnya wafat pada
malam 22 Dzu al-Qa’dah 728/26 atau 27 September 1328 M. Dalam usia
67 tahun.
Pemikiran keislaman Ibn Tasawuf khususnya pemikirab tasawuf
sangat ketat memegangi syari’at Islam yang murni (masa Salaf as-Salihin)

sehingga menamakan pandangan tasawufnya dengan istilah at-Tasawuf
al-Masyru’ (tasawuf yang disyariatkan) untuk membedakan dengan
tasawuf lain yang dipandang telah terkontaminasi oleh unsur-unsur di luar
syariat Islam.
Pandangan realis-empiris Ibn Taimiyyah dalam bidang tasawuf
tercermin pada penolakannya terhadap pemikiran tasawuf yang bersifat
spekulatif-intuitif dan usahanya untuk selalu mendekatkan tasawuf
dengan syariat serta melucutinya dari unsur-unsur ekstatik (kefanaan).
Juga pandangan positif terhadap dunia sehingga konsep sufismenya
cenderung dinamis dan empiris. Sehingga Fazlur Rahman menyebutnya
sebagai pionir neo-sufisme. Pandangan lain adalah kendati Ibn Taimiyyah
meyakini adanya pengetahuan lewat pengalaman kasyf atau ilham para
sufi tetapi secara rasional dia tidak menganggapnya sebagai standar
kebenaran yang pasti dan tidak terbantahkan. Menurutnya kebenaran
yang pasti hanya ada pada wahyu Allah yang diterima para rasul karena
secara intrinsik bersifat untestable. Ia juga menyalahkan para sufi yang
menjadikan pengalaman kasyf sebagai tujuan akhir atau ultimate goal
bagi perjalanan spiritual dan menganggapnya sebagai kriteria kebesaran
dan otoritas seorang wali. Baginya kebesaran dan otoritas seseorang lebih
ditentukan oleh sejauh mana ia sepenuhnya menjalankan seluruh aturan
syariat yang telah dicontohkan Rasul dan para sahabatnya. Dengan kata
lain Ibn Taimiyyah ingin membawa pengalaman kasyf kepada tingkat
proses intelektual yang sehat dan realistis serta menolat finalitas kasyf
karena tidak empiris dan realis.
Pandangan realis-empiris juga terlihat pada pendiriannya tentang
hakikat sufi sebagai orang yang sungguh-sungguh mendekatkan diri
kepada Allah. Karena sikap itu sesungguhnya bukan monopoli kaum sufi
tetapi juga para fuqaha, para pedagang yang jujur dan pengusaha yang
adil dan amanah. Tasawuf bukanlah jalan elite dan satu-satunya cara
mendekatkan diri kepada Allah. Pandang dan sikap praktis-empiris
tersebut adalah upaya untuk sedapat mungkin mengembalikan tasawuf
ke pangkuan ortodoksi. Artinya Ibn Taimiyah bermaksud membawa

tasawuf

untuk

disesuaikan

dengan

apa

yang

diajarkan

maupun

dipraktikkan Rasul dan para pengikutnya yang salih (al-Salaf as-Salihin).

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam aliran-aliran tasawuf, banyak orang memandang dengan
pandangan yang berbeda-beda. Diantaranya ada tokoh-tokoh yang pro
yang kontra terhadap tasawuf. Masing-masing dari para tokoh tersebut
mempunyai argumentasinya sendiri.
Adapun beberapa tokoh-tokoh pro tasawuf, yaitu :
1. Sayyidina Ali Bin Abi Thalib

2. Abu Yazid Al-Busthami
3. Abu Mansyur Al-Hallaj
4. Ibn Athaillah as Sakandary
5. Al Muhasibi
6. Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166)
7. Junaid Al-Baghdadi
8. Al-Qusyairi An-Naisabury
9. Al-Harawi
Disamping itu, ada pula para tokoh yang kontra terhadap tasawuf,
diantaranya :
1. Abdur Rahim Al-Wakil
2. Ihsan Ilahi Dhahir
3. Ibnu ‘Ajibah
4. Al Fauzan
5. Shabir Tha’im