T4 Penulisan Artikel dan Tajuk Rencana (1)
1
T4/PA-TR/A/2015
Jusuf
Yulindo
210110130094
Apresiasi Artikel Opini
Artikel 1 Judul: “Wartawan, Pekerja atau Profesi?”
Penulis: S. Sahala Tua Saragih (Dosen Jurusan Jurnalistik, Fikom
Universitas Padjadjaran, Jatinangor)
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 14 Februari 2008
I.
Rangkuman
Beberapa jam setelah kematian Presiden kedua Indonesia, Soeharto,
sebuah stasiun televisi swasta menyiarkan sebuah wawancara bersama
seorang mantan wartawati majalah berita mingguan.. Mantan wartawati
itu mengutarakan kesan-kesannya selama meliput di Bina Graha dan
Istana Presiden dan mengatakan bahwa Soeharto sangat menjaga
kewibawaan dengan cara menjaga jarak dengan para wartawan. Sikap
itu pun ditiru para bawahannya.
Ada beberapa contoh betapa para wartawan kurang dihargai
keberadaannya. Pertama, ketika para wartawan meliput di Bina Graha.
Kala itu, mereka disuguhi menu makan siang berupa nasi kotak yang
telah dikerubuti semut-semut.
Kedua, ketika para wartawan meliput sebuah seminar nasional
yang dibuka Menteri Kehakiman di Bandung pada 1990-an. Usai
membuka seminar, menteri dan rombongannya ngopi dan ngeteh di
lantai dua hotel. Para wartawan mengikuti sang menteri. Seorang
panitia membentak para wartawan dan berkata bahwa minuman untuk
para peserta seminar dan wartawan disediakan di lantai satu. Seorang
wartawan berucap tegas bahwa mereka “mencari makan” (bekerja),
bukan “mencari makanan”. Kemudian para wartawan menerobos
barisan panitia dan berhasil mewawancarai Menteri Kehakiman.
Ketiga, masih ketika para wartawan meliput acara seminar.
Seminar itu diadakan sebuah himpunan mahasiswa universitas swasta
ternama di Bandung dan berlokasi di wilayah utara Kota Kembang. Para
wartawan mengantre bersama para peserta seminar ketika masuk sesi
2
makan siang. Lalu, seorang panitia menghadang antrean wartawan
sambil berkata bahwa telah disediakan makanan khusus wartawan. Lalu
dikeluarkan nasi bungkus dari sebuah plastik. Kontan seorang wartawan
berkata bahwa mereka bukan pengemis yang mengharapkan nasi kotak.
Mereka datang ke tempat itu dengan tujuan mencari nafkah dari
kegiatan jurnalistiknya.
Bila wartawan dipandang sebagai pekerjaan, motif dan tujuannya
hanyalah
uang.
Terlebih
pascareformasi.
Namun,
bila
wartawan
dipahami sebagai profesi, tidak banyak orang yang terjun dan bertahan
dalam dunia jurnalisme.
Sebuah pekerjaan layak disebut profesi bila memiliki ciri-ciri:
keterampilan
berdasarkan
teoretis;
organisasi
profesi;
kode
etik;
diabdikan untuk kepentingan banyak orang, dan sebagainya. Suatu
profesi menuntut bidang ilmu tertentu yang dipelajari dalam waktu
relatif lama dan dibaktikan kepada masyarakat.
Untuk
menjaga
profesionalismenya,
wartawan
harus
menggunakan prosedur yang benar dalam kegiatan jurnalistiknya. Bila
didasarkan
pada
hal
itu,
sebagian
besar
wartawan
memahami
profesinya sebagai pekerjaan belaka. Agar citra wartawan pulih (sebagai
profesi), presiden dan DPR harus membuat undang-undang khusus
wartawan.
II.
Apresiasi
Dalam artikel opini ini, penulis mempertanyakan status wartawan,
apakah sebagai pekerjaan atau profesi. Dalam bagian pembukaan
artikel, penulis memberi contoh-contoh berupa kesan seorang mantan
wartawati majalah berita mingguan yang pernah meliput kegiatan
Presiden Soeharto selama tujuh tahun di Bina Graha. Lalu, kesan
wartawati terhadap Soeharto tadi, dikaitkan dengan tiga contoh kasus
bagaimana wartawan diperlakukan semena-mena oleh pihak-pihak
tertentu.
Berangkat
dari
contoh-contoh
kasus
tadi,
penulis
mengutarakan seperti apa kriteria sebuah pekerjaan layak disebut
profesi, serta kontekstualisasinya dengan dunia jurnalisme.
Penulis mengutip pendapat dari beberapa tokoh seperti Terence J.
Johnson, B. Barber, dan Brandeis mengenai kriteria sebuah pekerjaan
yang layak disebut profesi. Selain itu, penulis juga mengutip pendapat
3
mantan Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film, Ishadi S.K. Pendapat
Ishadi berisi hal-hal yang dilakukan seorang wartawan profesional.
Pada bagian akhir artikel, penulis (S. Sahala Tua Saragih, Dosen
Jurusan
Jurnalistik
membuat
Fikom
Unpad)
mengimbau
undang-undang
khusus
wartawan
pemerintah
demi
pulihnya
untuk
citra
wartawan di mata publik.
Saya
menyukai
pemaparan
berbagai
contoh
kasus
yang
dipaparkan penulis pada bagian awal artikel. Dengan memberikan
beberapa contoh konkret, pembaca dapat memiliki bingkai pengetahuan
yang berkaitan dengan topik atau permasalahan yang diketengahkan
oleh penulis. Pengutipan beberapa pendapat pakar di bagian isi artikel
juga merupakan usaha penulis dalam mempertahankan kredibilitasnya
sebagai akademisi bidang jurnalisme yang mempertanyakan status
seorang
wartawan
sebagai
pekerjaan
atau
profesi.
Penulis
juga
memberikan informasi secara seimbang bagaimana status wartawan
dipandang sebagai pekerjaan yang ujung-ujungnya hanya bermotif
materi, serta wartawan sebagai profesi yang dilandasi kode etik, ilmu
pengetahuan tertentu, dan pengamalan pekerjaannya bagi masyarakat.
Namun, ada hal yang mengganjal saya ketika melihat judul artikel
ini. Kata “pekerja” tidak tepat dipilih karena hal yang disinggung pada
artikel ini ialah “pekerjaan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa (2008), pekerja berarti (1) orang yang bekerja, (2) orang
yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan. Pekerjaan
berarti (1) barang apa yang dilakukan (diperbuat, dikerjakan, dan
sebagainya);
tugas
pencaharian;
yang
kewajiban;
dijadikan
hasil
pokok
bekerja;
perbuatan,
penghidupan;
sesuatu
(2)
yang
dilakukan untuk mendapat nafkah, (3) hal bekerjanya sesuatu. Lalu,
profesi berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian
(keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Jadi, perbaikan kata
yang tepat pada judul artikel ini ialah “Wartawan, Pekerjaan atau
Profesi?”.
Ada juga kesalahan penulisan nama yang disingkat, “Ishadi SK”.
Perbaikan yang seharusnya adalah “Ishadi S.K”.
Berdasarkan buku Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Panduan
Praktis Penulis & Jurnalis Profesional karya A.S. Haris Sumadiria, penulis
menggunakan jenis intro menghubungkan dengan peristiwa mutkahir
4
atau kejadian yang sedang menjadi pusat perhatian masyarakat. Hal itu
dibuktikan
dengan
paragraf
pertama
soal
waktu
meninggalnya
Soeharto. Lalu pada bagian isi artikel, penulis mengembangkan bahasan
artikel dengan menggunakan teknik kutipan. Hal ini dapat dilihat dengan
dicantumkannya pendapat Terence J. Johnson, B. Barber, dan Brandeis
tentang
kriteria
profesi.
Penjelasan
hal-hal
yang
dilakukan
oleh
wartawan profesional yang dikemukakan Ishadi S.K. pun merupakan
teknik pengembangan menggunakan kutipan. Kemudian, pada bagian
penutup artikel, penulis menggunakan teknik mengajak khalayak untuk
melakukan suatu tindakan tertentu yang dianggap relevan dan sifatnya
mendesak. Hal ini juga dibuktikan dengan imbauan kepada pemerintah
agar membuat UU Wartawan.
III.
Simpulan
1. Dengan
memberikan
contoh-contoh
konkret
pada
bagian
pembukaan, pembaca dapat memiliki landasan pengetahuan atas
permasalahan yang dibahas pada artikel.
2. Pengutipan pendapat dari sebuah buku atau seorang tokoh dapat
memperkuat kredibilitas penulis artikel.
Artikel 2 Judul: “Mengenang Pak Rosihan”
Penulis: S. Sahala Tua Saragih (Dosen Jurusan Jurnalistik Fikom
Unpad)
Sumber: Pikiran Rakyat, Jumat, 15 April 2011
I.
Rangkuman
Dari banyak tokok pers nasional, salah satu yang paling banyak disebut
ialah Rosihan Anwar. Ia bukan sarjana bahasa, namun buku-buku
jurnalistiknya banyak dijadikan rujukan oleh dosen dan mahasiswa
jurusan jurnalistik/fikom di berbagai kampus. Salah satunya adalah
Bahasa Jurnalistik dan Komposisi (1979) yang telah dicetak ulang
sebanyak sepuluh kali.
Rosihan telah mengajarkan banyak orang mengenai kiat jitu
menulis
dalam
bidang
jurnalisme,
sastra,
maupun
sejarah.
Dari
banyaknya penulis artikel opini, Rosihan selalu dijadikan panutan bagi
calon penulis atau penulis muda. Rosihan masih aktif menulis artikel
opini di berbagai media massa cetak di berbagai kota besar. Dalam
setiap artikelnya, ia selalu mencantumkan statusnya sebagai wartawan
5
senior. Dengan begitu, ia menanamkan bahwa wartawan harus selalu
berkarya kendati telah pensiun secara institusi.
Pascakematian
istrinya,
Rosihan
masih
berkarya.
Hingga
kematian menghampirinya pada 14 April 2011. Berita kematiannya
tersiar hingga ke seantero dunia.
II.
Apresiasi
Dalam artikel ini, penulis mencoba memopulerkan kata “munsyi” yang
masih banyak orang merasa awam terhadap kata tersebut. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008), munsyi berarti
guru bahasa; ahli bahasa; pujangga.
Berdasarkan Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Panduan Praktis
Penulis & Jurnalis Profesional (2004), jenis intro atau pembukaan yang
digunakan penulis ialah menghubungkan dengan peristiwa mutakhir. Hal
ini dapat dilihat ketika artikel ini diterbitkan di Pikirian Rakyat edisi 15
April 2011. Selain itu, dalam bagian pembukaan juga disebutkan tanggal
kematian Rosihan Anwar, 14 April 2011.
Teknik intro yang digunakan pada artikel ini juga berjenis
memberikan pujian pada khalayak atas prestasi mereka. Hal ini
dibuktikan dengan Rosihan Anwar sebagai tokoh pers nasional yang
paling sering disebut dan dijadikan panutan dalam membuat berbagai
karya jurnalisme.
III.
Simpulan
1. Dalam bagian pembukaan sebuah artikel dapat ditemukan berbagai
jenis intro atau pembukaan.
2. Salah satu ide dalam menulis artikel opini ialah mengenang seorang
tokoh besar yang meninggal dunia.
Artikel 3 Judul: “Pejabat Pengikut Rasul”
Penulis: Asep Sumaryana (Kepala LP3AN, Lektor Kepala Jurusan
Administrasi Negara FISIP Unpad)
Sumber: Pikiran Rakyat, Rabu, 15 Januari 2014
I.
Rangkuman
Selama
Islam
masih
belum
melekat
dengan
jiwa
pejabat,
pemberantasan korupsi akan memakan waktu lama karena para
tersangka menyangkal dan berlindung di balik para pemuka agama.
6
Seakan lebih mudah meminta maaf kepada Tuhan daripada sesama
manusia.
Pemikiran pejabat bisa saja melenceng dari sifat amanah.
Rasulullah SAW menunjukkan kesederhanaannya sebagai pejabat,
bahkan saat menggunakan fasilitas negara.
Saat fasilitas negara hanya boleh dipakai untuk kepentingan
dinas, saat itu pula kebanyakan meluas sampai kegiatan keluarga,
kerabat, dan organisasi politik. Keberhasilan suatu parpol bisa jadi
terletak
pada
kemampuan
menjadikan
sebagian
besar
kadernya
menjadi pejabat dan keseluruhannya dilihat dari penggunaan fasilitas
negara untuk kegiatan parpol.
Kesederhanaan menjadi barang langka dalam kehidupan pejabat
publik. Tekad sejumlah pejabat publik berubah dari kepentingan publik
yang digembar-gemborkan saat kampanye menjadi berubah untuk
memperkaya diri. Dana apa pun dilibas. Jika karier ingin menanjak,
harus
menyetorkan
sejumlah
uang
yang
disepakati
agar
dapat
menduduki posisi penting.
Agama bisa saja menjadi alat untuk menceramahi orang lain.
Untuk diri sendiri, jabatan dimanfaatkan untuk memuaskan hawa nafsu.
II.
Apresiasi
Sebagai pembaca, saya kurang memahami isi artikel ini karena
banyaknya kata-kata dalam bahasa Sunda maupun bahasa lainnya yang
digunakan. Seperti “lampah”, “samakbrek”, “kekedemes”, “kayungyun”,
“notorogan”, “herang caina, beunang laukna”. Kendati artikel ini dimuat
di Pikiran Rakyat dengan segmentasi pembaca kebanyakan berasal dari
suku Sunda, bukan berarti artikel ini tidak dibaca oleh orang lain yang
bukan berasal dari suku Sunda dan tidak bisa berbahasa Sunda.
Seharusnya, penulis menjabarkan dalam tanda kurung arti-arti dari katakata di atas agar pembaca tidak kesulitan saat memahami isi artikel ini.
Dari segi teknik pengembangan bahasan artikel berdasarkan
Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Panduan Praktis Penulis & Jurnalis
Profesional,
penulis
menggunakan
teknik
perbandingan.
Hal
ini
dibuktikan dengan dibandingkannya sifat dan keadaan pejabat publik
masa kini dengan kesederhanaan dan keteladanan yang dicontohkan
Rasulullah SAW.
7
Pada paragraf ke delapan, penulis hanya menyebutkan sumber
kutipan berupa “Bowman (2010)”. Masih berdasarkan Menulis Artikel
dan Tajuk Rencana, Panduan Praktis Penulis & Jurnalis Profesional,
kutipan ini hanya menyebutkan nama belakang penulis dan tahun. Tidak
disertakan sama sekali halaman, nama buku atau sumber lainnya.
Kutipan ini tidak memberikan informasi sama sekali dan pembaca tidak
menyukai cara pengutipan seperti ini. Hal ini akan memengaruhi
kredibilitas penulis artikel.
Berdasarkan sumber ide menulis artikel, penulis memanfaatkan
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai cantelannya.
III.
Simpulan
1. Artikel yang baik adalah disajikan dengan bahasa yang umum. Bukan
berarti pembaca di luar segmentasi surat kabar yang bersangkutan
tidak membaca artikel tersebut.
2. Pengutipan sumber dengan mencantumkan nama belakang penulis
dan judul (buku, jurnal, artikel, dan lain-lain), serta tahun terbit dan
halaman yang dikutip bertujuan agar kredibilitas penulis artikel
terjaga.
Artikel 4 Judul: “2014: Petruk (Harus) Jadi Raja!”
Penulis: Yudhistira A.N.M. Massardi (Pengamat Pendidikan)
Sumber: Kompas, Selasa, 24 Desember 2013
I.
Rangkuman
Sebagai rakyat kecil pemilik suara rakyat yang merupakan penerapan
dari suara Tuhan, dalam demokrasi rakyatlah yang berkuasa. Rakyat
yang menentukan siapa yang akan menjadi penguasa. Rakyat pula yang
akan
mengoreksi
dan
mengevaluasi
kelemahan,
kekacauan,
dan
kebusukan suatu rezim.
Fenomena Jokowi-Ahok yang terpilih menjadi pemimpin DKI dan
memperoleh peringkat tinggi di semua jajak pendapat untuk calon
presiden, mirip fenomena Petruk jadi raja. Para calon pemimpin di negei
ini seharusnya melihat seluruh paradigma, tidak hanya belajar meniru
langkah blusukan-nya. Terpilih dan teridolakannya Jokowi dan Ahok
pertanda ekspresi dari perasaan rakyat yang secara fundamental telah
terzalimi oleh rezim yang begitu bobrok.
II.
Apresiasi
8
Berbeda
dengan
artikel
“Pejabat
Pengikut
Rasul”,
artikel
ini
menyertakan arti lain dari vox populi dan vox Dei sehingga pembaca
tidak
kebingungan
atas
arti
dari
istilah
tersebut.
Namun,
kata
“pengejawantahan” lebih baik diganti dengan “penerapan” karena
istilah tadi tidak umum diketahui masyarakat. Ditambah lagi dengan
wilayah sebaran Kompas secara nasional.
III.
Simpulan
1. Penulis harus menggunakan kata atau istilah yang lebih umum agar
pembaca dapat memahami isi artikel.
2. Cerita faktual atau fiktif dapat dijadikan sebagai teknik dalam
pembukaan artikel.
IV.
Pertanyaan
1. Apa
saran
dari
media
massa
bagi
penulis
yang
“kekeuh”
menggunakan istilah-istilah yang sukar dimengerti orang banyak
dalam artikelnya?
2. Bagaimana cara mengisahkan contoh konkret dengan tepat agar
bagian pendahuluan sebuah artikel tidak mendominasi bagian
lainnya?
3. Apakah penegasan permasalahan harus dilakukan dua kali, di bagian
pembuka dan penutup artikel?
4. Bagaimana sikap redaksi menyikapi penggunaan kata atau istilah
berbahasa tertentu agar artikel yang dikirimkan penulis dapat
dipahami para pembacanya?
5. Apa dampak yang ditimbulkan bila dalam artikel mengenang seorang
tokoh yang meninggal dunia, dicantumkan berbagai keburukan atau
kekurangan tokoh tersebut?
Daftar Pustaka
A.S. Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Panduan Penulis &
Jurnalis Profesional, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2004.
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan
Nasional, Jakarta, 2008.
9
S. Sahala Tua Saragih, Pengantar Penulisan Artikel, Diktat Kuliah, Fikom Unpad,
Jatinangor.
T4/PA-TR/A/2015
Jusuf
Yulindo
210110130094
Apresiasi Artikel Opini
Artikel 1 Judul: “Wartawan, Pekerja atau Profesi?”
Penulis: S. Sahala Tua Saragih (Dosen Jurusan Jurnalistik, Fikom
Universitas Padjadjaran, Jatinangor)
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 14 Februari 2008
I.
Rangkuman
Beberapa jam setelah kematian Presiden kedua Indonesia, Soeharto,
sebuah stasiun televisi swasta menyiarkan sebuah wawancara bersama
seorang mantan wartawati majalah berita mingguan.. Mantan wartawati
itu mengutarakan kesan-kesannya selama meliput di Bina Graha dan
Istana Presiden dan mengatakan bahwa Soeharto sangat menjaga
kewibawaan dengan cara menjaga jarak dengan para wartawan. Sikap
itu pun ditiru para bawahannya.
Ada beberapa contoh betapa para wartawan kurang dihargai
keberadaannya. Pertama, ketika para wartawan meliput di Bina Graha.
Kala itu, mereka disuguhi menu makan siang berupa nasi kotak yang
telah dikerubuti semut-semut.
Kedua, ketika para wartawan meliput sebuah seminar nasional
yang dibuka Menteri Kehakiman di Bandung pada 1990-an. Usai
membuka seminar, menteri dan rombongannya ngopi dan ngeteh di
lantai dua hotel. Para wartawan mengikuti sang menteri. Seorang
panitia membentak para wartawan dan berkata bahwa minuman untuk
para peserta seminar dan wartawan disediakan di lantai satu. Seorang
wartawan berucap tegas bahwa mereka “mencari makan” (bekerja),
bukan “mencari makanan”. Kemudian para wartawan menerobos
barisan panitia dan berhasil mewawancarai Menteri Kehakiman.
Ketiga, masih ketika para wartawan meliput acara seminar.
Seminar itu diadakan sebuah himpunan mahasiswa universitas swasta
ternama di Bandung dan berlokasi di wilayah utara Kota Kembang. Para
wartawan mengantre bersama para peserta seminar ketika masuk sesi
2
makan siang. Lalu, seorang panitia menghadang antrean wartawan
sambil berkata bahwa telah disediakan makanan khusus wartawan. Lalu
dikeluarkan nasi bungkus dari sebuah plastik. Kontan seorang wartawan
berkata bahwa mereka bukan pengemis yang mengharapkan nasi kotak.
Mereka datang ke tempat itu dengan tujuan mencari nafkah dari
kegiatan jurnalistiknya.
Bila wartawan dipandang sebagai pekerjaan, motif dan tujuannya
hanyalah
uang.
Terlebih
pascareformasi.
Namun,
bila
wartawan
dipahami sebagai profesi, tidak banyak orang yang terjun dan bertahan
dalam dunia jurnalisme.
Sebuah pekerjaan layak disebut profesi bila memiliki ciri-ciri:
keterampilan
berdasarkan
teoretis;
organisasi
profesi;
kode
etik;
diabdikan untuk kepentingan banyak orang, dan sebagainya. Suatu
profesi menuntut bidang ilmu tertentu yang dipelajari dalam waktu
relatif lama dan dibaktikan kepada masyarakat.
Untuk
menjaga
profesionalismenya,
wartawan
harus
menggunakan prosedur yang benar dalam kegiatan jurnalistiknya. Bila
didasarkan
pada
hal
itu,
sebagian
besar
wartawan
memahami
profesinya sebagai pekerjaan belaka. Agar citra wartawan pulih (sebagai
profesi), presiden dan DPR harus membuat undang-undang khusus
wartawan.
II.
Apresiasi
Dalam artikel opini ini, penulis mempertanyakan status wartawan,
apakah sebagai pekerjaan atau profesi. Dalam bagian pembukaan
artikel, penulis memberi contoh-contoh berupa kesan seorang mantan
wartawati majalah berita mingguan yang pernah meliput kegiatan
Presiden Soeharto selama tujuh tahun di Bina Graha. Lalu, kesan
wartawati terhadap Soeharto tadi, dikaitkan dengan tiga contoh kasus
bagaimana wartawan diperlakukan semena-mena oleh pihak-pihak
tertentu.
Berangkat
dari
contoh-contoh
kasus
tadi,
penulis
mengutarakan seperti apa kriteria sebuah pekerjaan layak disebut
profesi, serta kontekstualisasinya dengan dunia jurnalisme.
Penulis mengutip pendapat dari beberapa tokoh seperti Terence J.
Johnson, B. Barber, dan Brandeis mengenai kriteria sebuah pekerjaan
yang layak disebut profesi. Selain itu, penulis juga mengutip pendapat
3
mantan Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film, Ishadi S.K. Pendapat
Ishadi berisi hal-hal yang dilakukan seorang wartawan profesional.
Pada bagian akhir artikel, penulis (S. Sahala Tua Saragih, Dosen
Jurusan
Jurnalistik
membuat
Fikom
Unpad)
mengimbau
undang-undang
khusus
wartawan
pemerintah
demi
pulihnya
untuk
citra
wartawan di mata publik.
Saya
menyukai
pemaparan
berbagai
contoh
kasus
yang
dipaparkan penulis pada bagian awal artikel. Dengan memberikan
beberapa contoh konkret, pembaca dapat memiliki bingkai pengetahuan
yang berkaitan dengan topik atau permasalahan yang diketengahkan
oleh penulis. Pengutipan beberapa pendapat pakar di bagian isi artikel
juga merupakan usaha penulis dalam mempertahankan kredibilitasnya
sebagai akademisi bidang jurnalisme yang mempertanyakan status
seorang
wartawan
sebagai
pekerjaan
atau
profesi.
Penulis
juga
memberikan informasi secara seimbang bagaimana status wartawan
dipandang sebagai pekerjaan yang ujung-ujungnya hanya bermotif
materi, serta wartawan sebagai profesi yang dilandasi kode etik, ilmu
pengetahuan tertentu, dan pengamalan pekerjaannya bagi masyarakat.
Namun, ada hal yang mengganjal saya ketika melihat judul artikel
ini. Kata “pekerja” tidak tepat dipilih karena hal yang disinggung pada
artikel ini ialah “pekerjaan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa (2008), pekerja berarti (1) orang yang bekerja, (2) orang
yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan. Pekerjaan
berarti (1) barang apa yang dilakukan (diperbuat, dikerjakan, dan
sebagainya);
tugas
pencaharian;
yang
kewajiban;
dijadikan
hasil
pokok
bekerja;
perbuatan,
penghidupan;
sesuatu
(2)
yang
dilakukan untuk mendapat nafkah, (3) hal bekerjanya sesuatu. Lalu,
profesi berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian
(keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Jadi, perbaikan kata
yang tepat pada judul artikel ini ialah “Wartawan, Pekerjaan atau
Profesi?”.
Ada juga kesalahan penulisan nama yang disingkat, “Ishadi SK”.
Perbaikan yang seharusnya adalah “Ishadi S.K”.
Berdasarkan buku Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Panduan
Praktis Penulis & Jurnalis Profesional karya A.S. Haris Sumadiria, penulis
menggunakan jenis intro menghubungkan dengan peristiwa mutkahir
4
atau kejadian yang sedang menjadi pusat perhatian masyarakat. Hal itu
dibuktikan
dengan
paragraf
pertama
soal
waktu
meninggalnya
Soeharto. Lalu pada bagian isi artikel, penulis mengembangkan bahasan
artikel dengan menggunakan teknik kutipan. Hal ini dapat dilihat dengan
dicantumkannya pendapat Terence J. Johnson, B. Barber, dan Brandeis
tentang
kriteria
profesi.
Penjelasan
hal-hal
yang
dilakukan
oleh
wartawan profesional yang dikemukakan Ishadi S.K. pun merupakan
teknik pengembangan menggunakan kutipan. Kemudian, pada bagian
penutup artikel, penulis menggunakan teknik mengajak khalayak untuk
melakukan suatu tindakan tertentu yang dianggap relevan dan sifatnya
mendesak. Hal ini juga dibuktikan dengan imbauan kepada pemerintah
agar membuat UU Wartawan.
III.
Simpulan
1. Dengan
memberikan
contoh-contoh
konkret
pada
bagian
pembukaan, pembaca dapat memiliki landasan pengetahuan atas
permasalahan yang dibahas pada artikel.
2. Pengutipan pendapat dari sebuah buku atau seorang tokoh dapat
memperkuat kredibilitas penulis artikel.
Artikel 2 Judul: “Mengenang Pak Rosihan”
Penulis: S. Sahala Tua Saragih (Dosen Jurusan Jurnalistik Fikom
Unpad)
Sumber: Pikiran Rakyat, Jumat, 15 April 2011
I.
Rangkuman
Dari banyak tokok pers nasional, salah satu yang paling banyak disebut
ialah Rosihan Anwar. Ia bukan sarjana bahasa, namun buku-buku
jurnalistiknya banyak dijadikan rujukan oleh dosen dan mahasiswa
jurusan jurnalistik/fikom di berbagai kampus. Salah satunya adalah
Bahasa Jurnalistik dan Komposisi (1979) yang telah dicetak ulang
sebanyak sepuluh kali.
Rosihan telah mengajarkan banyak orang mengenai kiat jitu
menulis
dalam
bidang
jurnalisme,
sastra,
maupun
sejarah.
Dari
banyaknya penulis artikel opini, Rosihan selalu dijadikan panutan bagi
calon penulis atau penulis muda. Rosihan masih aktif menulis artikel
opini di berbagai media massa cetak di berbagai kota besar. Dalam
setiap artikelnya, ia selalu mencantumkan statusnya sebagai wartawan
5
senior. Dengan begitu, ia menanamkan bahwa wartawan harus selalu
berkarya kendati telah pensiun secara institusi.
Pascakematian
istrinya,
Rosihan
masih
berkarya.
Hingga
kematian menghampirinya pada 14 April 2011. Berita kematiannya
tersiar hingga ke seantero dunia.
II.
Apresiasi
Dalam artikel ini, penulis mencoba memopulerkan kata “munsyi” yang
masih banyak orang merasa awam terhadap kata tersebut. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (2008), munsyi berarti
guru bahasa; ahli bahasa; pujangga.
Berdasarkan Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Panduan Praktis
Penulis & Jurnalis Profesional (2004), jenis intro atau pembukaan yang
digunakan penulis ialah menghubungkan dengan peristiwa mutakhir. Hal
ini dapat dilihat ketika artikel ini diterbitkan di Pikirian Rakyat edisi 15
April 2011. Selain itu, dalam bagian pembukaan juga disebutkan tanggal
kematian Rosihan Anwar, 14 April 2011.
Teknik intro yang digunakan pada artikel ini juga berjenis
memberikan pujian pada khalayak atas prestasi mereka. Hal ini
dibuktikan dengan Rosihan Anwar sebagai tokoh pers nasional yang
paling sering disebut dan dijadikan panutan dalam membuat berbagai
karya jurnalisme.
III.
Simpulan
1. Dalam bagian pembukaan sebuah artikel dapat ditemukan berbagai
jenis intro atau pembukaan.
2. Salah satu ide dalam menulis artikel opini ialah mengenang seorang
tokoh besar yang meninggal dunia.
Artikel 3 Judul: “Pejabat Pengikut Rasul”
Penulis: Asep Sumaryana (Kepala LP3AN, Lektor Kepala Jurusan
Administrasi Negara FISIP Unpad)
Sumber: Pikiran Rakyat, Rabu, 15 Januari 2014
I.
Rangkuman
Selama
Islam
masih
belum
melekat
dengan
jiwa
pejabat,
pemberantasan korupsi akan memakan waktu lama karena para
tersangka menyangkal dan berlindung di balik para pemuka agama.
6
Seakan lebih mudah meminta maaf kepada Tuhan daripada sesama
manusia.
Pemikiran pejabat bisa saja melenceng dari sifat amanah.
Rasulullah SAW menunjukkan kesederhanaannya sebagai pejabat,
bahkan saat menggunakan fasilitas negara.
Saat fasilitas negara hanya boleh dipakai untuk kepentingan
dinas, saat itu pula kebanyakan meluas sampai kegiatan keluarga,
kerabat, dan organisasi politik. Keberhasilan suatu parpol bisa jadi
terletak
pada
kemampuan
menjadikan
sebagian
besar
kadernya
menjadi pejabat dan keseluruhannya dilihat dari penggunaan fasilitas
negara untuk kegiatan parpol.
Kesederhanaan menjadi barang langka dalam kehidupan pejabat
publik. Tekad sejumlah pejabat publik berubah dari kepentingan publik
yang digembar-gemborkan saat kampanye menjadi berubah untuk
memperkaya diri. Dana apa pun dilibas. Jika karier ingin menanjak,
harus
menyetorkan
sejumlah
uang
yang
disepakati
agar
dapat
menduduki posisi penting.
Agama bisa saja menjadi alat untuk menceramahi orang lain.
Untuk diri sendiri, jabatan dimanfaatkan untuk memuaskan hawa nafsu.
II.
Apresiasi
Sebagai pembaca, saya kurang memahami isi artikel ini karena
banyaknya kata-kata dalam bahasa Sunda maupun bahasa lainnya yang
digunakan. Seperti “lampah”, “samakbrek”, “kekedemes”, “kayungyun”,
“notorogan”, “herang caina, beunang laukna”. Kendati artikel ini dimuat
di Pikiran Rakyat dengan segmentasi pembaca kebanyakan berasal dari
suku Sunda, bukan berarti artikel ini tidak dibaca oleh orang lain yang
bukan berasal dari suku Sunda dan tidak bisa berbahasa Sunda.
Seharusnya, penulis menjabarkan dalam tanda kurung arti-arti dari katakata di atas agar pembaca tidak kesulitan saat memahami isi artikel ini.
Dari segi teknik pengembangan bahasan artikel berdasarkan
Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Panduan Praktis Penulis & Jurnalis
Profesional,
penulis
menggunakan
teknik
perbandingan.
Hal
ini
dibuktikan dengan dibandingkannya sifat dan keadaan pejabat publik
masa kini dengan kesederhanaan dan keteladanan yang dicontohkan
Rasulullah SAW.
7
Pada paragraf ke delapan, penulis hanya menyebutkan sumber
kutipan berupa “Bowman (2010)”. Masih berdasarkan Menulis Artikel
dan Tajuk Rencana, Panduan Praktis Penulis & Jurnalis Profesional,
kutipan ini hanya menyebutkan nama belakang penulis dan tahun. Tidak
disertakan sama sekali halaman, nama buku atau sumber lainnya.
Kutipan ini tidak memberikan informasi sama sekali dan pembaca tidak
menyukai cara pengutipan seperti ini. Hal ini akan memengaruhi
kredibilitas penulis artikel.
Berdasarkan sumber ide menulis artikel, penulis memanfaatkan
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai cantelannya.
III.
Simpulan
1. Artikel yang baik adalah disajikan dengan bahasa yang umum. Bukan
berarti pembaca di luar segmentasi surat kabar yang bersangkutan
tidak membaca artikel tersebut.
2. Pengutipan sumber dengan mencantumkan nama belakang penulis
dan judul (buku, jurnal, artikel, dan lain-lain), serta tahun terbit dan
halaman yang dikutip bertujuan agar kredibilitas penulis artikel
terjaga.
Artikel 4 Judul: “2014: Petruk (Harus) Jadi Raja!”
Penulis: Yudhistira A.N.M. Massardi (Pengamat Pendidikan)
Sumber: Kompas, Selasa, 24 Desember 2013
I.
Rangkuman
Sebagai rakyat kecil pemilik suara rakyat yang merupakan penerapan
dari suara Tuhan, dalam demokrasi rakyatlah yang berkuasa. Rakyat
yang menentukan siapa yang akan menjadi penguasa. Rakyat pula yang
akan
mengoreksi
dan
mengevaluasi
kelemahan,
kekacauan,
dan
kebusukan suatu rezim.
Fenomena Jokowi-Ahok yang terpilih menjadi pemimpin DKI dan
memperoleh peringkat tinggi di semua jajak pendapat untuk calon
presiden, mirip fenomena Petruk jadi raja. Para calon pemimpin di negei
ini seharusnya melihat seluruh paradigma, tidak hanya belajar meniru
langkah blusukan-nya. Terpilih dan teridolakannya Jokowi dan Ahok
pertanda ekspresi dari perasaan rakyat yang secara fundamental telah
terzalimi oleh rezim yang begitu bobrok.
II.
Apresiasi
8
Berbeda
dengan
artikel
“Pejabat
Pengikut
Rasul”,
artikel
ini
menyertakan arti lain dari vox populi dan vox Dei sehingga pembaca
tidak
kebingungan
atas
arti
dari
istilah
tersebut.
Namun,
kata
“pengejawantahan” lebih baik diganti dengan “penerapan” karena
istilah tadi tidak umum diketahui masyarakat. Ditambah lagi dengan
wilayah sebaran Kompas secara nasional.
III.
Simpulan
1. Penulis harus menggunakan kata atau istilah yang lebih umum agar
pembaca dapat memahami isi artikel.
2. Cerita faktual atau fiktif dapat dijadikan sebagai teknik dalam
pembukaan artikel.
IV.
Pertanyaan
1. Apa
saran
dari
media
massa
bagi
penulis
yang
“kekeuh”
menggunakan istilah-istilah yang sukar dimengerti orang banyak
dalam artikelnya?
2. Bagaimana cara mengisahkan contoh konkret dengan tepat agar
bagian pendahuluan sebuah artikel tidak mendominasi bagian
lainnya?
3. Apakah penegasan permasalahan harus dilakukan dua kali, di bagian
pembuka dan penutup artikel?
4. Bagaimana sikap redaksi menyikapi penggunaan kata atau istilah
berbahasa tertentu agar artikel yang dikirimkan penulis dapat
dipahami para pembacanya?
5. Apa dampak yang ditimbulkan bila dalam artikel mengenang seorang
tokoh yang meninggal dunia, dicantumkan berbagai keburukan atau
kekurangan tokoh tersebut?
Daftar Pustaka
A.S. Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, Panduan Penulis &
Jurnalis Profesional, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2004.
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan
Nasional, Jakarta, 2008.
9
S. Sahala Tua Saragih, Pengantar Penulisan Artikel, Diktat Kuliah, Fikom Unpad,
Jatinangor.