Mahzab dan Pemikiran Islam talfiq dll
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MAZHAB DAN PEMIKIRAN ISLAM
Disusun Oleh
1.
2.
3.
4.
Alfian Heru Prastianto
Riska Nur Fidiastuti
Siti Barokah
Areni Yulitawati S.
:
(5302410029)
(4112310006)
(4311410005)
(2101410138)
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN AJARAN 2010-2011
BAB I
PENDAHULUAN
Mahasiswa merupakan generasi yang dianggap penting peranannya dalam
membangun sebuah kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam hal ini,
mahasiswa sebagai golongan terpelajar diharapkan sanggup membawa perubahan
dalam lingkungannya, sehingga peradaban dalam masyarakat akan lebih maju.
Perubahan dan perkembangan tidak hanya pada bidang politik, budaya,
pendidikan. Namun juga perubahan-perubahan yang sanggup mendasari sebuah
insan untuk bisa bertindak dan berfikir lebih maju dan rasional. Dalam hal tersebut,
yang mendasarinya tak lain adalah ilmu agama.
Sangatlah penting ilmu agama bagi para setiap insan. Ilmu agama yang
mendasari sikap dan perilaku seseorang. Namun, apa jadinya bila seseorang tidak
memiliki cukup ilmu agama yang bisa mendasari sikap dan perbuatannya.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian mazhab menurut hukum Islam?
2. Apakah yang dimaksud dengan Taqlid?
3. Siapa saja orang-orang yang diharuskan Taqlid?
4. Apakah pengertian Talfiq?
5. Apa saja contoh-contoh Talfiq yang dilarang oleh agama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masalah Mazhab
Mazhab artinya jalan. Dalam masalah agama sering disebut aliran.
Sebenarnya banyak sekali aliran dan mazhab yang dikenal dalam sejarah Islam.
Sejak masa sahabat dan munculnya perbedaan pendapat dalam masalah cabang
agama, setiap pendapat lalu disebut dengan istilah mazhab.
Sampai sekitar pertengahan abad keempat, ada sekitar 13 mazhab
terkenal yang pendapat mereka dikodifikasikan oleh para pengikut mereka,
termasuk di dalamnya mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.
Selanjutnya mazhab empat tersebut yang paling populer di kalangan
umat Islam sunni, serta mendapatkan perhatian intelektual yang sangat besar dari
para pengikutnya.
Mazhab selain mazhab empat yang juga cukup populer dan benyak
pengikutnya adalah Dawud al-Zahiri, Zainul Abidin (dari syiah), Ja'far Shadiq dan
Jabir bin Zaid (Ibadliyah).
Sebenarnya tidak ada keharusan bermazhab dalam agama, demikian juga
tidak ada keharusan mengikuti mazhab empat. Yang menjadi kewajiban adalah
mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah dan dalil-dalil lainnya secara benar.
Bagi orang awam bermazhab adalah semata untuk memudahkan mereka
mengikuti ajaran agama, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap
permasalahan dari sumber aslinya yaitu Al-Qur'an, hadist, ijma', dll., namun
mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab
tersebut.
Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus
mempelajari semua ajaran agamanya melalui Al-Qur'an dan Hadist. Betapa
beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad.
Pada zaman sekarang ini, pengaruh mazhab ini sedemikian populer dan kuat
di kalangan umat Islam, sehingga tidak satu komunitas pun yang sebenarnya bebas
mazhab. Ini karena agama yang dianut oleh komunitas tertentu sudah pasti diambil
atau dipengaruhi oleh salah satu mazhab yang ada.
Contohnya dalam masyarakat kita Indonesia, meskipun ada yang mengklaim
tidak menggunakan mazhab, namun dalam praktiknya tetap saja secara ritual dan
tata cara beribadah masyarakat kita cenderung mengikuti mazhab syafi'i, karena
melalui mazhab inilah masyarakat Indonesia mengenal Islam. Masyarakat Saudi
Arabia juga demikian, meskipun diklaim tidak bermazhab, namun praktiknya
mereka menerapkan mazhab Hanbali, karena masyarakatnya mengenal Islam
melalui mazhab Hanbali.
Dalam ilmu usuhul fiqh, terdapat istilah penting yang berkaitan dengan
masalah bermadzhab, yaitu taqlid dan talfiq.
B. Taqlid
Taqlid adalah mengambil pendapat ulama dengan tanpa mengetahui
dalilnya. Mengambil satu hukum dengan referensi empat madzhab atau lainnya
dengan tanpa mempelajari dalilnya, termasuk taqlid.
Taqlid boleh dilakukan oleh orang yang pengetahuan agamanya terbatas,
sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk bisa mengakses dalil-dalil yang ada.
Taqlid boleh dilakukan hanya kepada ulama-ulama yang benar-benar mengetahui
ilmu-ilmu agama, dan taqlid yang terbaik adalah dengan disertai memperlajari
dalil-dalil dari pendapat yang diikutinya. Taqlid buta, meskipun ia tahu itu
bertentangan dengan dalil yang ia ketahui, atau taqlid dengan fanatik, sehingga
merasa benar sendiri, sangat dicela dalam agama.
Bidang yang diperbolehkan taqlid, menurut sebagian besar ulama, secara
teoritis, adalah furu' (cabang-cabang fiqh), sedangkah masalah tauhid (keyakinan)
tidak boleh taqlid. Namun kalau dikaji secara empiris, tentu sulit untuk
menerapkan ketentuan seperti itu. Masyarakat yang pengetahuannya terbatas dalam
bidang apapun, pasti akan cenderung melakukan taqlid.
Bertaqlid kepada salah satu dari empat madzhab fiqh merupakan tindakan
terpuji, karena muqallid (orang yang melakukan taqlid) tentu telah berkeyakinan
bahwa madzhab yang dianutnya adalah yang terbaik bagi dirinya, artinya dari
pertimbangan memperkecil keraguannya. Namun fanatik dengan madzhab yang
dianutnya merupakan perbuatan tercela, karena ini berarti menganggap madzhab
lain salah.
Muqallid harus tetap berkeyakinan bahwa di sana ada pendapat lain yang
mungkin layak juga untuk dipakai.
Keuntungan dari menggunakan satu madzhab adalah dari aspek simplifikasi
pengajaran. Orang awam tentu akan lebih mudah belajar dan diajari dengan
pendekatan satu madzhab, karena ini tidak membingungkan.
Kerugiannya, antara lain: terkadang taqlid dengan satu madzhab bisa
merangsang fanatisme madzhab, apalagi pada kalangan awam yang tidak diberi
wawasan agama yang baik.
Terkadang taqlid kepada satu madzhab juga memperberat penerapan hukum,
apalagi bila kondisi tidak memungkinkan.
Sebagian besar ulama berpendapat tidak ada ketentuan yang mewajibkan
bertaqlid kepada satu imam saja, namun boleh kepada imam lain yang diyakininya
benar. Pendapat ini juga dipakai oleh para ulama terkemuka saat ini, karena
menghembuskan nafas keterbukaan dalam menerapkan hukum agama.
Adapun dalam pengertian istilah Taqlid ialah mengikuti pendapat orang lain
yang merupakan hasil ijtihad karena tidak mengerti dalil-dalil atas sebuah
persoalan. Pengertian ini terjadi;
Pertama, Taqlid ialah mengambil pendapat orang lain atas dasar ijtihad.
Adapun mengambil dalil dari Al-Quran, Hadits, dan ijma tidak dikatakan Taqlid,
tetapi Ittiba namanya. Sedangkan yang dimakud dengan pendapat lain adalah hasil
ijtihad dari seorang imam mujtahid.
Kedua, taqlid itu terjadi karena tidak mengerti dasar atau dalil dari suatu
peristiwa atau kejadian. Sebab secara umum muqallid (orang yang bertaqlid) ialah
orang bodoh yang tidak mampu dan tidak mempunyai pandangan dalam suatu
dalil. Bila seseorang mampu memberikan pandangan yang dapat menunjukkan
dasar-dasarnya dengan cara mengambil pendapat orang lain, serta mampu
menjelasakan dengan benar, ini tidak disebut taqlid, tetapi disebut tarjih dan
ikhtiar. Sebaliknya, bila seseorang mengambil pendapat oranglain tanpa
mendasarinya dengan dalil, meskipun ia mampu mengeluarkan pendapatnya yang
demikian disebut taqlid juga, sebab tidak ada alasan atas kemampuan hujjahnya
itu.
Ketiga, taqlid itu terbatas pada soal ijtihad, artinya sesuatu yang mubah
dalam ijtihad dari berbagai masalah, maka yang demikian dibolehkan taqlid,
namun sesuatu yang haram dalam ijtihad haram pula ada taqlid didalamnya.
Keempat, orang yang bertaqlid hendaknya mengikuti imam mujtahid dalam
hasil ijtihadnya, bukan untuk menguatkan, membenarkan atau menyalahkan.
Karena yang namanya Mukhalid itu tidak mampu atas hal itu. Yang demikian
boleh disebut taqlid yang mengikutkan, seolah-olah mukhalid meletakkan
persoalannya kepada seorang mujtahid, sama halnya sebuah kalung yang
dikalungkan perempuan di atas lehernya.
Taqlid dapat terjadi dalam dua tempat :
Pertama : seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang awam yang tidak
mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidlal) dengan
kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid.
Kedua : terjadi pada seorang mujtahid suatu kejadian yang ia harus segera
memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan penelitian maka
ketika itu ia boleh taqlid. Sebagian ‘ulama mensyaratkan untuk bolehnya taqlid:
hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam ushuluddin (pokok
agama/aqidah, penting) yang wajib bagi seseorang untuk meyakininya; karena
masalah aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan taqlid hanya memberi
faidah dzonn (persangkaan).
Taqlid yang diperbolehkan harus memenuhi beberapa syarat :
1. Orang yang bertaqlid benar-benar bodoh tidak mampu memahami hukumhukum Allah dan Rasul-Nya
2. Bertaqlid kepada orang yang diketahui memiliki ilmu ijtihad dan mujtahid
dari ahli agama dan ahli kebajikan.
3. Bagi mukhalid tidak perlu dijelaskan dan ditampakkan dalil atau pendapat
lain yang lebih kuat diluar yang diikutinya.
4. Materi taqlid tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syar’i atau
bertentangan dengan kepentingan umat.
5. Seorang mukhalid tidak boleh menekankan pada mazhab tertentu dalam
berbagai masalah tetapi berjalan diatas kebenaran.
Adapun taqlid yang dilarang diantaranya :
1. Bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits
2. Bertaqlid kepada orang yang tidak mengerti kondisi orang yang bertaqlid
3. Taqlid terhadap pendapat yang bertentangan dengan firman dan sabda RasulNya
4. Taqlid tidak boleh setelah ada ketegasan yang benar dan mengetahui dalildalilnya
5. Taqlidnya seorang mujtahid yang mampu melakukan ijtihad dan keleluasaan
waktu, meskipun tidak ada kebutuhan
6. Taqlidnya seorang mujtahid yang nyata kebenaran semua hasil ijtihadnya
Taqlid dibagi menjadi dua :
1. Taqlid A’ma (buta), yaitu menerima pendapat mentah-mentah.
2. Taqlid ’Alim Ghairu Mujtahidin, yaitu orang pandai yang belum sampai
pada tingkatan mujtahid.
C. Talfiq
Permasalahan taqlid yang telah mengundang polemik ulama dari
rentang waktu yang cukup panjang, pada sekitar abad ke-10 hijriyah
telah mengantarkan kepada gagasan pembatasan taqlid, yaitu dengan
konsep talfiq.
Mereka mengatakan bahwa taqlid sah apabila tidak mengantarkan
kepada talfiq. Talfiq didefinisikan: mencetuskan hukum dengan
mengkombinasikan berbagai madzhab, sehingga hukum tersebut
menjadi sama sekali baru, tidak ada seorang ulama pun yang
mengatakannya.
Mencampur-campur madzhab dengan sengaja dan mencetuskan
hukum baru yang sama sekali tidak ada dalilnya, itulah yang lebih tepat
disebut talfiq yang dicela agama. Adapun berpindah madzhab dalam satu
masalah agama dengan berlandasan kepada dalil atau karena kondisi
tertentu, tidak lah termasuk talfiq.
Dalam menggunakan pendapat madzhab yang berbeda-beda yang
perlu diperhatikan adalah sbb:
1. Tidak dengan sengaja mencari-cari yang mudah (sengaja mencari
enaknya) dengan tujuan mempermainkan agama, apalagi yang
mengantarkan kapada hukum baru yang sama sekali tidak
dikatakan oleh salah seorang ulama. Misalnya mengambil
pendapat yang mengatakan boleh nikah tanpa wali, kemudian
mengambil pendapat kedua yang mengatakan boleh nikah tanpa
saksi, kemudian mengambil pendapat ketiga yang mengatakan sah
nikah tanpa mahar, lalu mencetuskan pendapat "boleh nikah tanpa
wali, saksi dan mahar". Pendapat ini tidak ada seorang pun ulama
yang mengatakannya.
2. Tidak mengantarkan kepada pendapat baru yang sama sekali
bertentangan dengan dalil.
3. Tidak memaksakan diri menggunakan pendapat yang telah
diketahui atau diyakini kelemahnya.
4. Tidak boleh dalam satu ibadah, misalnya dalam wudlu mengambil
mazhab Syafi'i dalam mengusap sebagain kepala, kemudian
mengikuti mazhab Hanafi dalam masalah tidak batal memegang
kemaluan, padahal tanpa mengetahui dalil masing-masing dan
hanya bermazhab buta atau taqlid.
Talfiq seperti yang dijelaskan diatas dilarang oleh agama karena
dimungkinkan terjadinya plinplannya hukum atau yang disebut
Tatabbu Al-Rukhshah (mencari yang gampang-gampang) tidak
memanjakan umat Islam, untuk mengambil yang ringan-ringan saja.
Sehingga terhindar dari tala’ub (main-main) dalam hukum agama.
Talfiq ini sangat berbeda dengan tanaqul (berpindah-pindah
mazhab) atas dasar mudarat atau musyaqqah syar’i, misalnya karena
sangat susah untuk menjaga kesucian wudlu ketika melakukan thawaf
di Masjidil Haram yang menurut imam Syafi’i, menyentuh kulit
perempuan membatalkan wudlu, maka seseorang dibolehkan tanaqul
menggunakan mazhab Hanafi menyentuh kulit perempuan tidak
membatalkan wudlu. Dan hukum itu tetap orientasinya menjaga
agama, menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga
harta, dan menjaga kehormatan.
ANALISIS
Masalah Mazhab; menurut kelompok kami Mazhab itu merupakan tuntunan
dari berbagai Imam Mujtahid. Mazhab-mazhab yang kita ketahui yaitu Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Kita juga diharapkan menuruti satu Mazhab,
tapi dalam keadaan terdesak kita boleh menggunakan mazhab lain yang kita anut
sebelumnya.
Taqlid; menurut kelompok kami Taqlid adalah orang yang mengambil
pendapat ulama dengan tanpa mengetahui dalilnya dengan referensi empat
mazhab. Bertaqlid itu juga tidak terpaku pada satu imam saja, tetapi boleh brtaqlid
pada imam lain yang menurut kita benar. Bertaqlid juga mengambil dalil pada AlQur’an, dan Hadits.
Talfiq; talfiq yaitu mengambil hukum dengan mengkombinasikan berbagai
hukum-hukum mazhab sehingga akan tercipta hukum baru. Tepatnya adalah
mencampur-campur mazhab dengan sengaja dan mencetuskan hukum baru yang
sama sekali tidak ada dalilnya. Dalam mencetuskan/membuat hukum baru, kita
tidak boleh menyimpang dari ajaran agama Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Mazhab adalah hukum-hukum dalam berbagai masalah yang diambil diyakini
dan dipilih oleh para imam mujtahid.
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain yang diyakini kebenarannya sesuai
dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Taqlid merupakan sunatullah atau hukum alam yang tidak dapat dipungkiri
keberadaanya, namun demikian bukan berarti umat Islam harus terperangkap
pada taqlid buta karena hal ini menggambarkan keterbelakangan dan rendahnya
kualitas individu umat Islam.
Talfiq adalah mencampur adukkan pendapat seorang imam mujtahid atau ulama
dengan pendapat imam mujtahid atau ulama lain dalam satu qadiah (masalah)
baik sebagian maupun keseluruhan, tetapi tidak menyimpang dari ajaran agama.
SARAN :
Seseorang yang awam seharusnya bertaqlid untuk menghindari diri dari
kesalahan, kesesatan dalam beribadah dan bermuamalah.
Bertaqlid sebaiknya kepada imam mujtahid atau para ulama yang mumpuni
keilmuannya minimal kepada seorang Kyai yang tidak diragukan kealimannya
ditengah masyarakat.
Kita harus berusaha untuk mengetahui dalil dan petunjuk dari sebuah kelakuan
atau perbuatan ibadah yang dilakukan sehari-hari.
Dalam menentukan hukum Islam sebaiknya dilakukan secara hati-hati.
Kita harus membiasakan bertanya atau berdialog bersama orang yang ahli
agama manakala ada musykilat hukum yang menimpa kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Busyairi, KH. 2010. Islam NU. Surabaya: Khalista.
http://www.forumbebas.com
MAZHAB DAN PEMIKIRAN ISLAM
Disusun Oleh
1.
2.
3.
4.
Alfian Heru Prastianto
Riska Nur Fidiastuti
Siti Barokah
Areni Yulitawati S.
:
(5302410029)
(4112310006)
(4311410005)
(2101410138)
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN AJARAN 2010-2011
BAB I
PENDAHULUAN
Mahasiswa merupakan generasi yang dianggap penting peranannya dalam
membangun sebuah kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam hal ini,
mahasiswa sebagai golongan terpelajar diharapkan sanggup membawa perubahan
dalam lingkungannya, sehingga peradaban dalam masyarakat akan lebih maju.
Perubahan dan perkembangan tidak hanya pada bidang politik, budaya,
pendidikan. Namun juga perubahan-perubahan yang sanggup mendasari sebuah
insan untuk bisa bertindak dan berfikir lebih maju dan rasional. Dalam hal tersebut,
yang mendasarinya tak lain adalah ilmu agama.
Sangatlah penting ilmu agama bagi para setiap insan. Ilmu agama yang
mendasari sikap dan perilaku seseorang. Namun, apa jadinya bila seseorang tidak
memiliki cukup ilmu agama yang bisa mendasari sikap dan perbuatannya.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian mazhab menurut hukum Islam?
2. Apakah yang dimaksud dengan Taqlid?
3. Siapa saja orang-orang yang diharuskan Taqlid?
4. Apakah pengertian Talfiq?
5. Apa saja contoh-contoh Talfiq yang dilarang oleh agama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masalah Mazhab
Mazhab artinya jalan. Dalam masalah agama sering disebut aliran.
Sebenarnya banyak sekali aliran dan mazhab yang dikenal dalam sejarah Islam.
Sejak masa sahabat dan munculnya perbedaan pendapat dalam masalah cabang
agama, setiap pendapat lalu disebut dengan istilah mazhab.
Sampai sekitar pertengahan abad keempat, ada sekitar 13 mazhab
terkenal yang pendapat mereka dikodifikasikan oleh para pengikut mereka,
termasuk di dalamnya mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali.
Selanjutnya mazhab empat tersebut yang paling populer di kalangan
umat Islam sunni, serta mendapatkan perhatian intelektual yang sangat besar dari
para pengikutnya.
Mazhab selain mazhab empat yang juga cukup populer dan benyak
pengikutnya adalah Dawud al-Zahiri, Zainul Abidin (dari syiah), Ja'far Shadiq dan
Jabir bin Zaid (Ibadliyah).
Sebenarnya tidak ada keharusan bermazhab dalam agama, demikian juga
tidak ada keharusan mengikuti mazhab empat. Yang menjadi kewajiban adalah
mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah dan dalil-dalil lainnya secara benar.
Bagi orang awam bermazhab adalah semata untuk memudahkan mereka
mengikuti ajaran agama, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap
permasalahan dari sumber aslinya yaitu Al-Qur'an, hadist, ijma', dll., namun
mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab
tersebut.
Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus
mempelajari semua ajaran agamanya melalui Al-Qur'an dan Hadist. Betapa
beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad.
Pada zaman sekarang ini, pengaruh mazhab ini sedemikian populer dan kuat
di kalangan umat Islam, sehingga tidak satu komunitas pun yang sebenarnya bebas
mazhab. Ini karena agama yang dianut oleh komunitas tertentu sudah pasti diambil
atau dipengaruhi oleh salah satu mazhab yang ada.
Contohnya dalam masyarakat kita Indonesia, meskipun ada yang mengklaim
tidak menggunakan mazhab, namun dalam praktiknya tetap saja secara ritual dan
tata cara beribadah masyarakat kita cenderung mengikuti mazhab syafi'i, karena
melalui mazhab inilah masyarakat Indonesia mengenal Islam. Masyarakat Saudi
Arabia juga demikian, meskipun diklaim tidak bermazhab, namun praktiknya
mereka menerapkan mazhab Hanbali, karena masyarakatnya mengenal Islam
melalui mazhab Hanbali.
Dalam ilmu usuhul fiqh, terdapat istilah penting yang berkaitan dengan
masalah bermadzhab, yaitu taqlid dan talfiq.
B. Taqlid
Taqlid adalah mengambil pendapat ulama dengan tanpa mengetahui
dalilnya. Mengambil satu hukum dengan referensi empat madzhab atau lainnya
dengan tanpa mempelajari dalilnya, termasuk taqlid.
Taqlid boleh dilakukan oleh orang yang pengetahuan agamanya terbatas,
sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk bisa mengakses dalil-dalil yang ada.
Taqlid boleh dilakukan hanya kepada ulama-ulama yang benar-benar mengetahui
ilmu-ilmu agama, dan taqlid yang terbaik adalah dengan disertai memperlajari
dalil-dalil dari pendapat yang diikutinya. Taqlid buta, meskipun ia tahu itu
bertentangan dengan dalil yang ia ketahui, atau taqlid dengan fanatik, sehingga
merasa benar sendiri, sangat dicela dalam agama.
Bidang yang diperbolehkan taqlid, menurut sebagian besar ulama, secara
teoritis, adalah furu' (cabang-cabang fiqh), sedangkah masalah tauhid (keyakinan)
tidak boleh taqlid. Namun kalau dikaji secara empiris, tentu sulit untuk
menerapkan ketentuan seperti itu. Masyarakat yang pengetahuannya terbatas dalam
bidang apapun, pasti akan cenderung melakukan taqlid.
Bertaqlid kepada salah satu dari empat madzhab fiqh merupakan tindakan
terpuji, karena muqallid (orang yang melakukan taqlid) tentu telah berkeyakinan
bahwa madzhab yang dianutnya adalah yang terbaik bagi dirinya, artinya dari
pertimbangan memperkecil keraguannya. Namun fanatik dengan madzhab yang
dianutnya merupakan perbuatan tercela, karena ini berarti menganggap madzhab
lain salah.
Muqallid harus tetap berkeyakinan bahwa di sana ada pendapat lain yang
mungkin layak juga untuk dipakai.
Keuntungan dari menggunakan satu madzhab adalah dari aspek simplifikasi
pengajaran. Orang awam tentu akan lebih mudah belajar dan diajari dengan
pendekatan satu madzhab, karena ini tidak membingungkan.
Kerugiannya, antara lain: terkadang taqlid dengan satu madzhab bisa
merangsang fanatisme madzhab, apalagi pada kalangan awam yang tidak diberi
wawasan agama yang baik.
Terkadang taqlid kepada satu madzhab juga memperberat penerapan hukum,
apalagi bila kondisi tidak memungkinkan.
Sebagian besar ulama berpendapat tidak ada ketentuan yang mewajibkan
bertaqlid kepada satu imam saja, namun boleh kepada imam lain yang diyakininya
benar. Pendapat ini juga dipakai oleh para ulama terkemuka saat ini, karena
menghembuskan nafas keterbukaan dalam menerapkan hukum agama.
Adapun dalam pengertian istilah Taqlid ialah mengikuti pendapat orang lain
yang merupakan hasil ijtihad karena tidak mengerti dalil-dalil atas sebuah
persoalan. Pengertian ini terjadi;
Pertama, Taqlid ialah mengambil pendapat orang lain atas dasar ijtihad.
Adapun mengambil dalil dari Al-Quran, Hadits, dan ijma tidak dikatakan Taqlid,
tetapi Ittiba namanya. Sedangkan yang dimakud dengan pendapat lain adalah hasil
ijtihad dari seorang imam mujtahid.
Kedua, taqlid itu terjadi karena tidak mengerti dasar atau dalil dari suatu
peristiwa atau kejadian. Sebab secara umum muqallid (orang yang bertaqlid) ialah
orang bodoh yang tidak mampu dan tidak mempunyai pandangan dalam suatu
dalil. Bila seseorang mampu memberikan pandangan yang dapat menunjukkan
dasar-dasarnya dengan cara mengambil pendapat orang lain, serta mampu
menjelasakan dengan benar, ini tidak disebut taqlid, tetapi disebut tarjih dan
ikhtiar. Sebaliknya, bila seseorang mengambil pendapat oranglain tanpa
mendasarinya dengan dalil, meskipun ia mampu mengeluarkan pendapatnya yang
demikian disebut taqlid juga, sebab tidak ada alasan atas kemampuan hujjahnya
itu.
Ketiga, taqlid itu terbatas pada soal ijtihad, artinya sesuatu yang mubah
dalam ijtihad dari berbagai masalah, maka yang demikian dibolehkan taqlid,
namun sesuatu yang haram dalam ijtihad haram pula ada taqlid didalamnya.
Keempat, orang yang bertaqlid hendaknya mengikuti imam mujtahid dalam
hasil ijtihadnya, bukan untuk menguatkan, membenarkan atau menyalahkan.
Karena yang namanya Mukhalid itu tidak mampu atas hal itu. Yang demikian
boleh disebut taqlid yang mengikutkan, seolah-olah mukhalid meletakkan
persoalannya kepada seorang mujtahid, sama halnya sebuah kalung yang
dikalungkan perempuan di atas lehernya.
Taqlid dapat terjadi dalam dua tempat :
Pertama : seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang awam yang tidak
mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidlal) dengan
kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid.
Kedua : terjadi pada seorang mujtahid suatu kejadian yang ia harus segera
memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan penelitian maka
ketika itu ia boleh taqlid. Sebagian ‘ulama mensyaratkan untuk bolehnya taqlid:
hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam ushuluddin (pokok
agama/aqidah, penting) yang wajib bagi seseorang untuk meyakininya; karena
masalah aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan taqlid hanya memberi
faidah dzonn (persangkaan).
Taqlid yang diperbolehkan harus memenuhi beberapa syarat :
1. Orang yang bertaqlid benar-benar bodoh tidak mampu memahami hukumhukum Allah dan Rasul-Nya
2. Bertaqlid kepada orang yang diketahui memiliki ilmu ijtihad dan mujtahid
dari ahli agama dan ahli kebajikan.
3. Bagi mukhalid tidak perlu dijelaskan dan ditampakkan dalil atau pendapat
lain yang lebih kuat diluar yang diikutinya.
4. Materi taqlid tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syar’i atau
bertentangan dengan kepentingan umat.
5. Seorang mukhalid tidak boleh menekankan pada mazhab tertentu dalam
berbagai masalah tetapi berjalan diatas kebenaran.
Adapun taqlid yang dilarang diantaranya :
1. Bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits
2. Bertaqlid kepada orang yang tidak mengerti kondisi orang yang bertaqlid
3. Taqlid terhadap pendapat yang bertentangan dengan firman dan sabda RasulNya
4. Taqlid tidak boleh setelah ada ketegasan yang benar dan mengetahui dalildalilnya
5. Taqlidnya seorang mujtahid yang mampu melakukan ijtihad dan keleluasaan
waktu, meskipun tidak ada kebutuhan
6. Taqlidnya seorang mujtahid yang nyata kebenaran semua hasil ijtihadnya
Taqlid dibagi menjadi dua :
1. Taqlid A’ma (buta), yaitu menerima pendapat mentah-mentah.
2. Taqlid ’Alim Ghairu Mujtahidin, yaitu orang pandai yang belum sampai
pada tingkatan mujtahid.
C. Talfiq
Permasalahan taqlid yang telah mengundang polemik ulama dari
rentang waktu yang cukup panjang, pada sekitar abad ke-10 hijriyah
telah mengantarkan kepada gagasan pembatasan taqlid, yaitu dengan
konsep talfiq.
Mereka mengatakan bahwa taqlid sah apabila tidak mengantarkan
kepada talfiq. Talfiq didefinisikan: mencetuskan hukum dengan
mengkombinasikan berbagai madzhab, sehingga hukum tersebut
menjadi sama sekali baru, tidak ada seorang ulama pun yang
mengatakannya.
Mencampur-campur madzhab dengan sengaja dan mencetuskan
hukum baru yang sama sekali tidak ada dalilnya, itulah yang lebih tepat
disebut talfiq yang dicela agama. Adapun berpindah madzhab dalam satu
masalah agama dengan berlandasan kepada dalil atau karena kondisi
tertentu, tidak lah termasuk talfiq.
Dalam menggunakan pendapat madzhab yang berbeda-beda yang
perlu diperhatikan adalah sbb:
1. Tidak dengan sengaja mencari-cari yang mudah (sengaja mencari
enaknya) dengan tujuan mempermainkan agama, apalagi yang
mengantarkan kapada hukum baru yang sama sekali tidak
dikatakan oleh salah seorang ulama. Misalnya mengambil
pendapat yang mengatakan boleh nikah tanpa wali, kemudian
mengambil pendapat kedua yang mengatakan boleh nikah tanpa
saksi, kemudian mengambil pendapat ketiga yang mengatakan sah
nikah tanpa mahar, lalu mencetuskan pendapat "boleh nikah tanpa
wali, saksi dan mahar". Pendapat ini tidak ada seorang pun ulama
yang mengatakannya.
2. Tidak mengantarkan kepada pendapat baru yang sama sekali
bertentangan dengan dalil.
3. Tidak memaksakan diri menggunakan pendapat yang telah
diketahui atau diyakini kelemahnya.
4. Tidak boleh dalam satu ibadah, misalnya dalam wudlu mengambil
mazhab Syafi'i dalam mengusap sebagain kepala, kemudian
mengikuti mazhab Hanafi dalam masalah tidak batal memegang
kemaluan, padahal tanpa mengetahui dalil masing-masing dan
hanya bermazhab buta atau taqlid.
Talfiq seperti yang dijelaskan diatas dilarang oleh agama karena
dimungkinkan terjadinya plinplannya hukum atau yang disebut
Tatabbu Al-Rukhshah (mencari yang gampang-gampang) tidak
memanjakan umat Islam, untuk mengambil yang ringan-ringan saja.
Sehingga terhindar dari tala’ub (main-main) dalam hukum agama.
Talfiq ini sangat berbeda dengan tanaqul (berpindah-pindah
mazhab) atas dasar mudarat atau musyaqqah syar’i, misalnya karena
sangat susah untuk menjaga kesucian wudlu ketika melakukan thawaf
di Masjidil Haram yang menurut imam Syafi’i, menyentuh kulit
perempuan membatalkan wudlu, maka seseorang dibolehkan tanaqul
menggunakan mazhab Hanafi menyentuh kulit perempuan tidak
membatalkan wudlu. Dan hukum itu tetap orientasinya menjaga
agama, menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga
harta, dan menjaga kehormatan.
ANALISIS
Masalah Mazhab; menurut kelompok kami Mazhab itu merupakan tuntunan
dari berbagai Imam Mujtahid. Mazhab-mazhab yang kita ketahui yaitu Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Kita juga diharapkan menuruti satu Mazhab,
tapi dalam keadaan terdesak kita boleh menggunakan mazhab lain yang kita anut
sebelumnya.
Taqlid; menurut kelompok kami Taqlid adalah orang yang mengambil
pendapat ulama dengan tanpa mengetahui dalilnya dengan referensi empat
mazhab. Bertaqlid itu juga tidak terpaku pada satu imam saja, tetapi boleh brtaqlid
pada imam lain yang menurut kita benar. Bertaqlid juga mengambil dalil pada AlQur’an, dan Hadits.
Talfiq; talfiq yaitu mengambil hukum dengan mengkombinasikan berbagai
hukum-hukum mazhab sehingga akan tercipta hukum baru. Tepatnya adalah
mencampur-campur mazhab dengan sengaja dan mencetuskan hukum baru yang
sama sekali tidak ada dalilnya. Dalam mencetuskan/membuat hukum baru, kita
tidak boleh menyimpang dari ajaran agama Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Mazhab adalah hukum-hukum dalam berbagai masalah yang diambil diyakini
dan dipilih oleh para imam mujtahid.
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain yang diyakini kebenarannya sesuai
dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Taqlid merupakan sunatullah atau hukum alam yang tidak dapat dipungkiri
keberadaanya, namun demikian bukan berarti umat Islam harus terperangkap
pada taqlid buta karena hal ini menggambarkan keterbelakangan dan rendahnya
kualitas individu umat Islam.
Talfiq adalah mencampur adukkan pendapat seorang imam mujtahid atau ulama
dengan pendapat imam mujtahid atau ulama lain dalam satu qadiah (masalah)
baik sebagian maupun keseluruhan, tetapi tidak menyimpang dari ajaran agama.
SARAN :
Seseorang yang awam seharusnya bertaqlid untuk menghindari diri dari
kesalahan, kesesatan dalam beribadah dan bermuamalah.
Bertaqlid sebaiknya kepada imam mujtahid atau para ulama yang mumpuni
keilmuannya minimal kepada seorang Kyai yang tidak diragukan kealimannya
ditengah masyarakat.
Kita harus berusaha untuk mengetahui dalil dan petunjuk dari sebuah kelakuan
atau perbuatan ibadah yang dilakukan sehari-hari.
Dalam menentukan hukum Islam sebaiknya dilakukan secara hati-hati.
Kita harus membiasakan bertanya atau berdialog bersama orang yang ahli
agama manakala ada musykilat hukum yang menimpa kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Busyairi, KH. 2010. Islam NU. Surabaya: Khalista.
http://www.forumbebas.com