Menalar Problem Atribusi dan Eksistensi

Menalar Problem Atribusi dan Eksistensi pada Struktur Logika Proposisi
Hisyam Ikhtiar Mulia
Program Studi Ilmu Filsafat
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia

Abstrak:
Proposisi adalah ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan
kebenarannya. Proposisi dibangun atas terma-terma tertentu yang setidaknya memiliki dua
macam struktur. Struktur yang membangun proposisi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
struktur gramatikal dan struktur logika. Struktur gramatikal mengandung persoalan tata bahasa
sedangkan struktur logika mempersoalkan sahih/tidak sahih serta benar/salah dari suatu
proposisi. kendati dua macam struktur tersebutlah yang membangun proposisi, keduanya
memiliki perbedaan. Dua proposisi dengan struktur gramatikal yang sama dapat menunjukkan
struktur logika yang berbeda. Bertrand Russell adalah filsuf yang mengangkat problem
perbedaan struktur gramatikal dan struktur logika proposisi yang mana diteruskan dan dijawab
oleh AJ Ayer. Keduanya akan menunjukkan bagaimana problematika struktur logis proposisi
yang secara gramatikal tak bermasalah. Makalah ini secara spesifik akan menunjukkan
bagaimana problem atribusi dan eksistensi pada struktur logika suatu proposisi. pada kasus
tersebut, yang dipermasalahkan adalah problem bermakna atau tidaknya suatu proposisi pada
struktur logis tertentu.


Kata Kunci: eksistensi, atribusi, struktur gramatikal, struktur logika, konten faktual, special non-empirical
sense, truth value, literal significance, emotional significance, work of art.

Pendahuluan

Pada awal abad ke-20 kelompok positivisme logis yang berasal dari lingkaran wina banyak
melayangkan kritik terhadap metafisika. Secara umum, bagi kalangan penganut positivism logis,
metafisika hanyalah omong kosong belaka. Kalangan positivis memiliki kecenderungan kuat
untuk pada sains, maka dari itu, mereka secara umum menganggap proposisi harus memenuhi
kriteria saintifik untuk dapat diuji kebenarannya.
Secara garis besar, bagi positivis, kebenaran harus dapat diobservasi sehingga dapat diverifikasi.
Dengan demikian, pernyataan metafisika yang secara umum ingin mengajukan kebenaran yang
bersifat beyond sensible object ditolak mentah-mentah oleh kalangan positivis. Adapun filosof
dari kalangan positifis yang mengangkat isu kegagalan metafisika secara mendetail adalah
Bertrand Russell, kemudian diteruskan oleh A J Ayer.

Bertrand Arthur William Russell adalah seorang filsuf positifis yang lahir dalam keluarga
aristokrat dan dibesarkan oleh neneknya yang konservatif dan religius. Ia memiliki ketertarikan
pada matematika hingga menjadi mahasiswa matematika di Trinity Collage, Cambridge, pada

tahun 1890. Pada tahun 1893, Ia mulai tertarik pada diskursus fondasi filosofis pada matematika
dan menjadi advokat serta praktisi filsafat analitik Ia menulis beberapa karya, yang mana
berjudul Description. Dalam karyanya yang bertajuk Description, Russell mengangkat problem
dari struktur logika proposisi. Ia menunjukkan bahwa dalam struktur gramatikal [subjek +
predikat] terdapat struktur logika dimana predikat adalah atribut terhadap subjek. Pada hal ini,
Russell mengangkat persoalan bahwa atribusi dari predikat terhadap subjek sekaligus
menyatakan eksistensi subjek tersebut. Dengan kata lain, dalam suatu proposisi, subjek harus
terlebih dahulu eksis sebelum dapat teratribusi oleh predikat. Demikian, Russell menganggap
proposisi dimana subjek tidak memiliki nilai eksistensial membuat keseluruhan proposisi
menjadi tidak memiliki makna atau omong kosong.
Problem kelogisan proposisi ini juga diangkat oleh Alfred Jules Ayer, seorang filsuf positivisme
logis yang lahir pada tahun 1910 di London. Ia menjalani pendidikannya di Eton dan Gereja
Kristiani di Oxford hingga lulus pada tahun 1936. Pada salah satu tulisannya berjudul Language,
Truth, and Logic, Ia menggagas kriteria verifiabilitas yang digunakan untuk menguji signifikansi
literal dari proposisi. Dengan semangat positivismenya, Ayer juga berperan dalam kematian
metafisika dengan menunjukkan bahwa metafisika hanyalah omong kosong, serta dengan
menunjukkan bagaimana proposisi-proposisi metafisika dibentuk beserta kesalahannya.
Melanjutkan dari Russell, Ayer juga menunjukkan bagaimana bisa terjadi ketidaklogisan dalam
proposisi seperti yang dinyatakan Russell. Pertanyaan yang mencuat dari kedua filsuf tersebut
adalah apakah predikat dalam struktur gramatikal proposisi yang merupakan atribut dari subjek

selalu secara sekaligus menunjukkan eksistensi dari subjek? Solusi yang akan ditekankan di sini
adalah predikat yang merupakan atribut dari subjek, tidak serta merta menyatakan bahwa subjek
yang diatribusi olehnya eksis.

Dasar Teori

Dalam teori filsafat analitiknya yang bertajuk “Description” Russell mengembangkan teorinya
mengenai deskripsi definite dan indefinite. Deskripsi definite mengacu pada makna yang benarbenar spesifik dengan bentuk formal “the so-and-so”, sedangkan sebaliknya, deskripsi indefinite
tidak memiliki acuan yang begitu jelas, general, atau ambigu dengan bentuk formal “a so-andso”.1
Dengan pernyataan demikian, Russell ingin menjelaskan ada dua jenis deskripsi, yaitu yang
sifatnya indefinite yang maknanya general dan kabur, seperti proposisi “I met a man” yang tidak
mengacu pada hal spesifik, makna dari “a man” di sini tidak mengacu pada sesuatu yang spesifik
(mengacu pada all), kendati merujuk pada “a man” atau manusia secara general, namun tidak
jelas siapa yang sebenarnya dirujuk proposisi tersebut. Sebaliknya, proposisi definite seperti “I
met Jones” merujuk pada makna yang sangat spesifik, yaitu “jones”. Russel ingin menjelaskan
bahwa ada perbedaan antara struktur gramatikal dengan struktur logis suatu proposisi, kendati
proposisi “I met a man” dengan “I met Jones” secara gramatikal memiliki struktur yang sama
yaitu S-P, namun pada tataran logis, keduanya memiliki perbedaan dalam formasi S-P, yang
mana hal tersebut tidak banyak yang menyadari, bahkan di kalangan logikawan masa itu, yang
menganggap bentuk gramatikal bisa menjelaskan bentuk logis proposisi. Permasalahan pada

struktur logis yang didapati adalah kedudukan predikat “met a man” dengan “met Jones”
tidaklah berada pada kelas yang sama, dimana proposisi “I met Jones” merujuk pada actual
person bernama Jones, sedangkan proposisi lainnya yaitu “I met a man” adalah termasuk
propositional function yang jika dieksplisitkan menjadi “I met X and X is a human” yang mana
benar pada saat tertentu.2
1 J. J. Lindberg. (2001). Analytical Philosophy. California: Mayfield Publishing Company. Hal.
76
2 Ibid. hal. 77

Russell juga menyebutkan adanya “the concept that enters into propotition” dimana yang
dimaksudkan adalah adanya konsep-konsep yang tidak memiliki “constituent” atau mudahnya
hanya berupa konsep semata seperti “a unicorn” yang hanya berada pada pikiran kita sebagai
konsep tanpa ada pada realita yang sesungguhnya. Dengan ini, Russell dengan ini membedakan
antara “real object” dan “unreal object” dimana real objek, secara objektif ada di luar sana
kendati tidak ada orang yang memikirkannya, sebaliknya, “unreal object” yang kendati dapat
secara objektif berada di pikiran orang-orang, namun akan sirna tanpa ada yang memikirkannya. 3
Pada tataran logis, proposisi “I met a unicorn” mengandung term “a unicorn” adalah deskripsi
indefinite yang tidak menjelaskan apapun. Tetapi, jika a unicorn diubah dalam bentuk formal
menjadi X dan dimasukkan dari proposisi “X is unreal”, tetap memiliki signifikansi dan kadang
benar.4

Selanjutnya, Russel menjelaskan hubungan proposisi yang equivalen tetapi tidak sama. Contoh
yang diambil adalah equivalensi antara proposisi “Socrates is a man” dan “Socrates is human”.
Pada proposisi pertama, “a man” adalah suatu ekspresi indentitas terhadap subjek Socrates. Pada
proposisi kedua, “human” adalah adalah sebuah predikat yang mengatribusi subjek Socrates,
atau dengan kata lain, hubungannya dengan subjek adalah S-P dimana predikat
menerangkan/mendeskripsikan subjek. Pada proposisi “Socrates is a man” kita telah singgung
bahwa term “a man” di sini adalah ekspresi identitas yang secara ambigu teratribusi pada
“Socrates” (sebagai suatu yang dijelaskannya). Relasi yang akan terjadi adalah Socrates



a

man dalam arti, “a man” mempunyai cakupan yang general dan luas, tetapi di samping itu juga
ambigu karena tetap bisa mengatribusi ke dalam subjek, kendati subjeknya diganti. Hal ini
berarti “a man” tersebut adalah indefinite man yang tidak ada bentuk partikularnya.5
Pada proposisi “Socrates is human” kita tahu bahwa proposisi semacam itu mengandung definite
description yang mana human sebagai definite description mengatribusi atau menjelaskan
Socrates yang merupakan sebuah nama. Pada contoh lain dalam proposisi “Scott is the author of
Waverley” terlihat jelas antara “Scott” sebagai nama, yaitu a simple symbol whose meaning is

something that can only occur as subject dan “the author of Waverley” sebagai definite
description yang bukan simple symbol karena merupakan frasa yang tersusun dari kata-kata yang
3 Ibid. hal. 77
4 Ibid. hal. 78
5 Ibid. hal. 78

merupakan simbol.6 Tetapi, yang menjadi masalah adalah ketika subjek atau nama yang
dideskripsikan dalam proposisi diganti dengan sesuatu yang lain. Hal tersebut dapat
menimbulkan perbedaan makna dari proposisi kendati subtitusi atas nama yang digunakan
merujuk pada objek yang sama. Contohnya adalah ketika “air” sebagai subjek diganti dengan
H2O, atau ketika “matahari” diganti dengan “bintang pusat tata surya” maka sebagian orang
akan memahami keduanya sebagai hal yang berbeda. Hal ini terjelaskan dalam kutipan “a
proposition containing a description is not identical with what that proposition becomes when a
name is substituted, even if the name names the same object as the description it describe”7. Dari
teori deskripsi ini secara general Russell membahas mengenai bagaimana proposisi yang secara
struktur gramatikal memiliki unsur subjek dan unsur predikat, ditelaah pada level struktur
logikanya, yaitu bagaimana suatu predikat mengatribusi subjeknya. Hal ini diteruskan dan
dikembangkan oleh Alfred Jules Ayer.
Ayer mempertanyakan mengenai tujuan dan metode penelitian filosofis. Bagi Ayer, penelitian
filosofis seharusnya menunjang sains, atau dengan kata lain, penelitian filosofis akan pertanyaan

yang tersisa dari jawaban yang telah disediakan sains, seharusnya menunjang penemuan sains di
masa mendatang. Dengan ini, Ia mengritik metafisika yang menyatakan bahwa pengetahuan
tentang realitas bertransendensi dari dunia sains dan common sense atau dapat juga disebut dunia
fenomena jika menggunakan diksi dari Kant. Ayer mempertanyakan bagaimana ahli metafisika
mendapatkan deduksi atas klaimnya tentang pengetahuan yang bertransendensi atas dunia
fenomena itu.8 Bagi Ayer, premis empirical tidak dapat menghasilkan hal-hal seperti properti atau
eksistensi dari yang sifatnya super-empirikal atau bisa dibilang what lies beyond the sensible
seperti ungkapannya “Surely from empirical premises nothing whatsoever concerning the
properties, or even the existence, of anything super-empirical can legitimately be inferred.”9
Menghasilkan deduksi atas super-empirical existence dari premis-premis empirikal merupakan
sesuatu yang tidak terjustifikasi secara logis, namun demikian, bagi Ayer, kritik terhadap
metafisika tidak cukup didasarkan pada hal tersebut.
Bagi Ayer, kritik terhadap metafisika lebih tepat ditujukan pada statement yang membentuknya.
Dalam ungkapan “no statement which refers to a “reality” transcending the limits of all possible
6
7
8
9

Ibid.

Ibid.
Ibid.
Ibid.

hal.
hal.
hal.
hal.

79
79
159
160

sense-experience can possibly have any literal significance”10 terlihat bahwa bagi Ayer,
proposisi-proposisi metafisik adalah omong kosong yang tidak memiliki signifikansi literal, atau
lebih tepatnya, signifikansi literal secara kebahasaan. Dalam menanggapi hal ini, bagi Ayer
terdapat kriteria tertentu yang digunakan untuk membedakan mana proposisi yang bermakna dan
tidak bermakna, yaitu proposisi yang mengekspresikan/mengandung fakta (yang berbasis
empiris) dan mana yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi bermakna. Kriteria ini dinamai

Ayer sebagai the criterion of verifiability. Dalam kriteria ini, yang dimaksud Ayer adalah
proposisi dapat dikatakan veriviable jika kita dapat mengetahui bagaimana melakukan observasi
untuk mengujinya sehingga pertanyaan-pertanyaan dibaliknya dapat terjawab, atau dengan kata
lain, proposisi yang diajukan dapat diuji.
Ayer sendiri membedakan antara verifiabilitas praktikal dengan verifiabilitas prinsipil. Dengan
dikotomi ini, maka proposisi yang memenuhi syarat verifiabilitas pun dibedakan dua, yaitu
proposisi yang memiliki “strong sense” yang termasuk kategori proposisi yang memiliki
verifiabilitas praktikal (dan juga tentunya memenuhi prinsip verifiabilitas), yaitu proposisi yang
kebenarannya bisa disimpulkan secara langsung lewat pengalaman. Kategori kedua yaitu
proposisi yang hanya memenuhi prinsip-prinsip verifiabilitas pada level probabilitasnya untuk
diuji, tetapi belum ada kemampuan untuk mengujinya, contohnya proposisi “bakteri steptococus
berbentuk spiral” yang mana kita tahu bagaimana cara mengujinya yaitu dengan melihatnya
melalui alat bantu yang dapat mengamati benda mikro seperti mikroskop, tetapi jika kita tak
memiliki alatnya, proposisi itu tetap memenuhi kriteria verifiabilitas. 11 Dengan demikian, kriteria
verifiabilitas sekaligus menjadi kriteria signifikansi proposisi.
Dengan prinsip tersebut, maka kita tahu bahwa proposisi-proposisi general seperti hukum alam
yang tidak dapat disimpulkan kebenarannya dengan beberapa kali pengujian atau dengan kata
lain memerlukan kasus yang tak terbatas untuk membuktikan kebenarannya, maka dari itu
prinsip verifiabilitas ini menjadikan proposisi diluar proposisi tautologis sebagai probable
hypothesis. Demikian hipotesis punya kemungkinan salah, tetapi bagi Ayer kendati hipotesis

terbukti salah, tetapi tidak sepenuhnya salah karena proposisi tersebut berada di bawah situasi
dan kondisi tertentu. Ayer menambahkan, pengindraan kita juga mungkin saja memiliki
kesalahan ketika melakukan observasi tetapi itu juga tidak menunjukkan bahwa observasi
10 Ibid. hal. 160
11 Ibid. hal. 161

terhadap dunia yang dipersepsi indra mengarahkan kepada konklusi bahwa dunia ini tidak
nyata.12 Bagi Ayer, adalah omong kosong untuk berkata bahwa realitas berbeda dari apa yang
nampak, hal ini karena kita selalu membuat premis-premis dari apa yang dapat dipersepsi indra
secara empiris. Maka dari itu, bagi Ayer, filsafat harus membuang metafisika yang berupa omong
kosong dan hanya menyisakan proposisi berupa hipotesa empirical yang mengandung konten
faktual.13
Seperti yang telah disinggung, proposisi yang punya signifikansi literal atau bermakna hanya
terdapat dua, yaitu proposisi tautologis yang sifatnya a priori, atau proposisi berupa probable
hypostheses yang memenuhi syarat verifiabilitas yaitu dapat diobservasi pada dunia empiris.
Kriteria-kriteria tersebut tidak dimiliki proposisi metafisik, demikian proposisi metafisik tidak
termasuk proposisi bermakna. Ayer juga menunjukkan dimana letak kesalahan pada
pembangunan proposisi metafisis dimana para ahli metafisika melakukan kesalahan dengan
menyamakan proposisi eksistensial seperti “martyrs exist” dengan proposisi atributif seperti
“martyrs suffer” yang secara gramatikal terlihat sama. 14 Nyatanya, kedua proposisi tersebut tidak

sama karena “exist” di sana bukanlah atribut seperti “suffer” karena jika keduanya disamakan,
artinya pemberian atribut sama dengan pemberian eksistensi. Demikian, bagi Ayer terdapat
proposisi yang secara khusus eksis pada realitas non-empirikal seperti “unicorn is fictitious”.
Demikian, maka mudah saja membuat proposisi tak bermakna yang terlihat bermakna seperti
metafisika yang sudah selayaknya dibuang. Namun, Ayer tetap mengakui proposisi lain seperti
proposisi sastra yang disebutnya sebagai proposisi yang berhubungan dengan the work of art
selain proposisi yang berurusan dengan kebenaran.15 Dengan kata lain pengelompokan yang
dilakukan Ayer terhadap proposisi sedikit berbeda dengan Russell, bagi Ayer, suatu proposisi
dengan subjek yang tidak eksis di dunia nyata atau tidak memenuhi kriteria verifiabilitas, tetap
dapat bermakna sebagai karya seni atau hal lain yang memiliki emotional significance.

Pembahasan

12
13
14
15

Ibid.
Ibid.
Ibid.
Ibid.

hal.
hal.
hal.
hal.

162
163
164
165

Dalam kasus atribusi dan eksistensi pada proposisi, secara kategoris membagi proposisi menjadi
dua, yaitu yang pertama adalah proposisi dapat diterima secara logis ketika subjek pada proposisi
dapat terverifikasi, baik yang independen, maupun dependen terhadap mind manusia. Proposisi
jenis kedua adalah yang tidak dapat diterima secara logis karena subjeknya tidak eksis atau
dalam taraf ini tidak bisa diverifikasi atau dengan kata lain, proposisi tersebut gagal sebagai
proposisi dan menjadi non-sense. Dengan begini, secara implisit menyatakan suatu proposisi
yang tidak terverifikasi kendati dia dapat terbayangkan, maka tetap tidak logis. Dengan
demikian, bagi Russell, suatu proposisi adalah nonsense ketika subjek tidak eksis dan sekaligus
membatalkan atribusi dari predikat yang mengikuti subjek tersebut. Hal ini seperti mengatakan
bahwa proposisi seperti “hantu itu seram” seolah omong kosong yang tidak memiliki signifikansi
apapun.
Meminjam pemikiran Ayer, anggapan bahwa proposisi dengan subjek yang tidak eksis
(unverifiable) adalah omong kosong tanpa signifikansi dapat ditolak. Bagi Ayer, problem atribusi
predikat terhadap subjek yang dianggap oleh Russell bahwa subjek yang diatribusi oleh predikat
hanyalah subjek yang eksis seharusnya tidak demikian. Ayer, seperti yang telah dijabarkan secara
teoretis, membedakan antara atribusi dan eksistensi.
Dengan meminjam pemikiran Ayer, proposisi “hantu itu seram” tidak sekaligus menyatakan
“hantu itu ada”. Maka dari itu, jika dijabarkan secara eksplisit tidaklah menjadi “hantu itu ada
dan seram”. Keduanya dibedakan karena yang pertama, yaitu “hantu itu seram, hanya
menyatakan “seram” sebagai predikat yang merupakan atribut dari subjek, yaitu “hantu”
sedangkan proposisi kedua adalah pernyataan eksistensi dari hantu kendati secara gramatikal,
“hantu” dan “ada” menempati posisi yang sama, yaitu sebagai predikat.
Dengan demikian didapati bahwa proposisi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu proposisi yang
menyatakan atribusi predikat serta eksistensi subjek dan proposisi yang hanya menyatakan
atribusi semata. Dengan ini maka secara kategoris keduanya berbeda, namun secara gramatikal
keduanya memiliki struktur yang sama, yaitu subjek [S] + predikat [P]. Demikian, perbedaan
kategoris ini hanya berlaku pada struktur logis proposisi.
Telah diketahui bahwa jika meminjam pemikiran dari Ayer kita akan menemukan bahwa
proposisi akan terbagi menjadi dua kategori pada struktur logisnya. Kita tahu bahwa proposisi

yang termasuk kelompok dimana subjek eksis sehingga predikat mengatribusi sekaligus
menyatakan eksistensi dari subjeknya, maka proposisi tersebut termasuk kategori proposisi yang
memenuhi kriteria verifiabilitas, atau dalam terminasi Ayer disebut sebagai proposisi yang
memiliki literal significance yang mana dengan kriteria ini, proposisi ditujukan sebagai seeking
for truth. Sebaliknya, kategori lainnya berisi proposisi dimana predikat hanya menyatakan atribut
atau dengan kata lain, hanya mengatribusi subjek tanpa pernyataan eksistensi. Proposisi jenis ini
tentu tidak masuk kategori proposisi yang memenuhi kriteria verifiabilitas (unverifiable)
sehingga proposisi pada kategori ini tidak memiliki literal significance, namun demikian bukan
berarti tidak bernilai sama sekali. Bagi Ayer, proposisi jenis ini memiliki signifikansi lain yaitu
signifikansi emosional. Hal ini sekaligus kritik terhadap Russell yang menyatakan bahwa subjek
yang bereksistensi atau dengan kata lain punya kapasitas untuk terverifikasi, dapat berupa subjek
yang eksistensinya berasal dari buah pikiran seperti tokoh di suatu novel hanya karena dia
dipikirkan orang-orang.
Mengacu pada penjabaran di atas, Ayer proposisi dengan signifikansi emosional adalah
proposisi-proposisi yang non-verifiable seperti metafisika, etika, estetika, sastra, seni, dan
proposisi-proposisi yang dihasilkan oleh daya imajinatif. Dengan demikian, proposisi yang
tergolong dalam kelompok ini tetap memiliki signifikansi, tidak seperti yang dikatakan Russell
sebagai omong kosong dan tak bermakna. Dalam proposisi yang tergolong kelompok ini, tetap
terdapat makna, kendati makna yang dihasilkan tidaklah makna literal. Dengan mengacu pada
penjabaran sebelumnya, maka pengertian atas makna menjadi lebih terbuka, makna tidak hanya
terbatas pada yang sahih secara logis sebagai makna dengan signifikansi literal. Demikian,
terdapat pula proposisi bermakna dengan signifikansi emosional. Proposisi pada kategori dimana
makna memberi signifikansi secara emosional ini juga memiliki keunggulan dimana dapat
membangkitkan daya imajinatif dan memperkaya kemungkinan spekulasi terhadap hal-hal
empirikal yang sifatnya dapat terverifikasi. Dengan demikian, menyatakan bahwa proposisi
dengan subjek yang tidak eksis (unverified) sebagai omong kosong adalah hal yang naif dan juga
menutup kemungkinan-kemungkinan yang seharusnya bisa dicapai.

Kesimpulan
Dengan penjabaran di atas, maka didapati bahwa terdapat problem dalam struktur logis proposisi
kendati memiliki struktur gramatikal yang sama. Secara spesifik, problem tersebut terletak pada
permasalahan atribusi predikat terhadap subjek. Pada logika konvensional seperti yang diusung
Russell, proposisi dimana subjek tidak eksis membuat predikat gagal mengatribusi subjek dan
sekaligus menjadikan proposisi tersebut tidak bermakna. Hal yang demikian diangkat oleh Ayer
dimana pada gagasannya, proposisi tetap dapat bermakna kendati subjek tidak eksis (nonverifiable) sehingga predikat dalam mengatribusi subjek tidak dapat menyatakan eksistensi
subjek, tetapi proposisinya tetap bermakna. Beranjak dari hal tersebut, secara kategoris, proposisi
dibedakan menjadi dua, yaitu proposisi yang memiliki signifikansi literal, dan proposisi yang
memiliki signifikansi emosional. Kategori pertama merujuk pada proposisi-proposisi yang
memenuhi kriteria verifiabilitas, sedangkan kategori kedua adalah proposisi yang tidak
memenuhi kriteria verifiabilitas. Demikian maka, kendati suatu proposisi tidak memenuhi
kriteria verifiabilitas, bukan berarti ia tidak memiliki makna, melainkan hanya tidak
bersignifikansi secara literal, tetapi lebih kepada makna yang memiliki signifikansi secara
emosional. Hal ini sekaligus sebagai bantahan bahwa proposisi yang gagal secara logis –dalam
arti tidak memenuhi kriteria untuk menjadi proposisi dengan signifikansi literal –adalah
proposisi yang tidak bermakna.

Daftar Pustaka
Lindberg, J. J. (2001). Analitical Philosophy. California: Mayfield Publishing Company.