Jurnalisme Sastrawi Antara Kebenaran dan

Kamis, 16 November 2017

KAJIAN SASTRA RUSABESI
Jurnalisme Sastrawi; Antara Kebenaran dan Fakta
Oleh Laras Sekar Seruni
Sejarah Jurnalisme Sastrawi
Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu bagian dari jurnalisme baru atau new
journalism yang dicetuskan oleh Tom Wolfe pada awal 1960-an. Saat itu media cetak
tengah bersaing ketat dengan popularitas siaran televisi. Sebenarnya pada tahun 1700-an
sudah mulai muncul esai-esai naratif yang ditulis oleh beberapa penulis seperti Ernest
Hemingway, A.J. Liebling dan Joseph Mitchell. Bahkan pada tahun 1946 John Harsey
menulis Hiroshima sebanyak satu majalah penuh di majalah The New Yorker , dan
berhasil meraih penghargaan Pulitzer Prize.
Baru pada tahun 1970-1980 istilah jurnalisme sastra berkembang di masyarakat
yang dipelopori oleh Guy Talase, John McPhee, Mark Singer, dan beberapa tokoh lain.
Guy Talase menyebutkan, “Kami ingin mengupayakan kegiatan reportase sebagai bentuk
seni. Saya rasa, sungguh hebat: reporter sebagai seniman. Sungguh hebat.”
Pada tahuun 1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan antologi yang berisi
narasi-narasi terkemuka pada zaman itu. Contohnya narasi dari Hunter S. Thompson,
Joan Didion, Truman Capote, Jimmy Breslin, dan Wolfe. Antologi itu mereka beri judul
The New Journalism. Wolfe dan Johnson mengatakan genre ini berbeda dari reportase

sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan ( scene by scene
construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut
pandang orang ketiga (third person point of view), dan sangat detail.
New Journalism kemudian dibagi lagi menjadi beberapa jenis oleh Fedler menjadi
Advocacy Journalism, Alternative Journalism, Precision Journalism, dan Literary
Journalism. New Journalism atau jurnalisme baru menjadi genre jurnalisme yang
memiliki rasa berbeda di tulisan-tulisannya, juga memiliki ciri dan karakter masingmasing. Dalam hal ini, jurnalisme sastrawi termasuk ke dalam bagian yang dari new
journalism tersebut.
Di Indonesia, istilah jurnalisme sastrawi merupakan terjemahan dari literary
journalism. Jurnalisme sastrawi mulai dikembangkan lewat Yayasan Pantau yang
digawangi oleh Andreas Harsono dan beberapa wartawan lainnya. Mereka membuat
majalah Pantau dan memuat laporan jurnalime sastrawi di setiap edisinya. Namun,
Pantau hanya bertahan selama tiga edisi karena pemasaran yang buruk dan investor yang
batal menanamkan modalnya. Andreas Harsono akhirnya menyatakan bahwa media
dengan genre ini (Pantau dan jurnalisme sastrawi) sulit berkembang di Indonesia.

1

Pengertian Jurnalisme Sastrawi
Jurnalisme sastrawi bukan merupakan karya fiksi. Jurnalisme sastrawi pun bukan

reportase yang ditulis dengan kata-kata puitis. Ia memiliki fakta yang dituliskan
berdasarkan data, memiliki kebenaran yang disuarakan, dengan tokoh-tokoh ‘nyata’ di
dalamnya. Pendeknya, kata Linda Christanty, ia harus panjang, dalam, dan... terasa.
Atmakusumah Astraatmadja pun turut mengutip Tom Wolfe bahwa jurnalisme sastrawi
merupakan “Sebuah bacaan yang amat langsung, dengan realitas yang terasa konkret,
serta melibatkan emosi dan mutu penulisnya.”
Jurnalisme sastrawi, sekali lagi, bukan merupakan karya fiksi. Saksi Mata yang
ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma merupakan karya sastra dan termasuk tulisan fiksi,
meskipun ditulis dengan dasar realitas yang terjadi. Namun Saksi Mata mengubah namanama dalam kisahnya. Kondisi politik saat itu membuat Ajidarma tidak bisa menuliskan
fakta. Itu juga yang kemudian membuatnya melahirkan kumpulan esai Ketika Jurnalisme
Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Sastra dalam satu waktu memiliki kelindan yang
begitu erat dengan jurnalisme sebagai sebuah produk tulisan dan karya.
Terkadang tulisan feature pun dianggap sebagai karya jurnalisme sastrawi. Bahwa
ya, tulisan feature mengangkat liputan dengan tema-tema yang biasa jurnalisme sastrawi
angkat, menggunakan bahasa yang cenderung puitis timbang hard news yang bersifat to
the point. Secara garis besar, 90% karakteristik feature memang sama dengan jurnalisme
sastrawi. Namun liputannya tidak sedalam jurnalisme sastrawi dan tidak mendapatkan
tempat yang ‘cukup penting’ dalam sebuah media massa, seperti koran misalnya. Feature
lebih mengutamakan topik yang lebih ringan dan dibalut oleh bahasa nyastra , sedangan
jurnalisme sastrawi menitikberatkan pada laporan yang lebih panjang (hingga berlembarlembar dan riset mencapai hitungan bulan), dikemas dengan rasa narasi, ceritanya pun

kebanyakan tentang orang biasa (bukan orang terkenal), dan sangat mungkin mengangkat
topik-topik yang ‘kontroversial’.
Sementara itu, beberapa waktu lampau laporan jurnalistik sempat dibumbui
dengan rasa sastra. Seno Gumira Ajidarma menulis laporan di majalah Jakarta-Jakarta
pada 17 Mei 1985 dengan tajam, berdasarkan fakta, gaya puisi, namun bukan fiksi.
Ping Acau
; Seno Gumira Ajidarma

Memandang wajah Ping,
bagaikan menyelami riwayat yang panjang.
Riwayat perjalanan suku yang mengembara.
Riwayat kaki-kai yang merambah hutan dan rawa.
Riwayat hidup matinya sejumlah manusia.
Ping dilahirkan di Long Uro, Apo Kayan, Kalimantan Timur, dekat perbatasan
Serawak Malaysia, entah beberapa tahun yang lalu
2

--di sana tanggal tak terlalu penting.
Peristiwa dikenang sebagai cerita,
dan Ping dilahirkan sebagai bagian dari legenda.

Dan legenda itu adalah gelombang perpindahan,
yang dalam bahasa Dayak Kenyah disebut Bulak:
pergi untuk tidak kembali.
Ping tak akan pernah kembali ke Long Uro.
Sejak bayi ia telah digendong dalam keranjang di
punggung
ayahnya, pergi meninggalkan Apo Kayan.
Ping dibesarkan dalam ratusan kilometer perjalanan
naik turun gunung yang mengharukan.
Dari tahun ke tahun dalam perjalanan panjang itu
sejumlah bayi meninggal, sejumlah orang sakit
atau meninggal, sejumlah wanita melahirkan
lantas selalu ada yang sakit dan meninggal.
Ping termasuk yang selamat.
Dalam deru angin dan malam-malam berhujan,
sampailah rombongannya di Lebusan.
Mereka mendirikan kampung,
lantas mencoba berladang.
Maka Ping pun punya peluang,
untuk belajar menari dan mengayunkan parang.

Tak lama. Ping digandeng lagi
untuk sebuah perjalanan ke Tabang.
Lagi-lagi perjalanan hutan dan
malam-malam berhujan.
Hari-hari penuh hisapan pacet
dan rawa-rawa tak bertuan.
Lagi-lagi cerita kematian
dan penderitaan yang panjang.
Tapi Ping dan sukunya tetap bisa menembang,
petikan kecapi mengiringi tarian burung enggang.
Toh, Tabang buka akhir perjalanan.
Sekian tahun kemudian
mereka menyusuri Sungai Tabang, menembus hutan
menuju ke hulu Sungai Atan.
Lantas dengan sisa semangat dan harapan,
sampailah suku Dayak Kenyah Umak Taw ini
di Tanjung Manis. Inilah tanah harapan
3

bagi peradaban. Inilah tanah yang dijanjikan,

hutan yang penuh tantangan
Ping segera tumbuh, jadi perawan hutan
yang akrab lingkungan.
Tapi lantas muncul kam-kam penebangan.
Tapi lantas datang kebakaran...
O, pemandangan apakah yang akan ditatapnya
di masa depan?
Itulah sebabnya, memandang wajah Ping
bagaikan menyelami riwayat yang panjang.
Gaya sastra atau lebih spesifik gaya tipografi puisi memang sempat digunakan
beberapa kali dalam reportase. Selain tulisan di atas, Kalpataru di Pasir Kadu karya
Isma Sawitri ini pun sempat dimuat di Tempo pada 16 Juli 1988, B..A..N..J..I..R karya
Yudhistira ANM Massardi di majalah mingguan Editor pada tahun 1990, dan Aku Rindu
pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja dalam Tajuk Rencana Kompas tahun 1992 yang
ternyata diambil dari puisi Taufiq Ismail.
Andreas Harsono dalam bukunya Jurnalisme Sastrawi menyebutkan,
Beberapa pemikir jurnalisme mengembangkan temuan Wolfe. Ada yang pakai
nama “narrative reporting”. Ada juga yang pakai nama “passionate journalism”.
Pulitzer Prize menyebutnya “explorative journalism”. Apapun nama yang
diberikan, genre ini menukik sangat dalam. Lebih dalam daripada apa yang

disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang
melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan
menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Ada karakter, ada drama, ada babak,
ada adegan, ada konflik. Laporannya panjang dan utuh—tidak dipecah-pecah ke
dalam beberapa laporan. (hal. viii)
Meski pada akhirnya, definisi jurnalisme sastrawi terletak pada batas kesepakatan.
Biar bagaimanapun, jurnalisme sastrawi memiliki kolamnya sendiri untuk tetap ditulis
dan dinikmati. Namun lagi-lagi, apakah keresahan beberapa jurnalis senior di Indonesia
terbukti bahwa jurnalisme sastrawi dituntut untuk mati di negeri ini?
Perkembangan Jurnalisme Sastrawi
Pada tahun 1984, jurnalisme sastrawi diperluas karakteristiknya. Jurnalisme
sastrawi tidak hanya terpaku pada empat teknik dasar, yaitu adegan, sudut pandang orang
ketiga, dialog, dan rincian satus life subjek-subjeknya. Jurnalisme sastrawi mulai
memakai reportase immersion, akurasi, suara, struktur, tanggung jawab, dan representasi
simbolik. Tambahan lainnya adalah proses pencarian akses, simbolisme fakta, strategistrategi riset, dan teknik-teknik yang juga dimiliki oleh fiksi. Selain itu, laporan para
penulis jurnalisme sastrawi kebanyakan menampilkan kisah-kisah yang tidak tersentuh
4

media massa, dengan kekuatan narasi yang sama menggugahnya dengan kisah-kisah
spektakuler di headline koran.

Sementara itu, di Indonesia dapat dikatakan Tempo merupakan salah satu media
yang menggunakan karakteristik ‘sastrawi’ dalam laporan-laporannya. Mahbub Djunaedi
menyebut laporan Tempo unik karena dapat menggabungkan kaidah pers dan sastra.
Sedangkan, Goenawan Mohamad sebagai mantan pemimpin redaksi Tempo memang
tertarik pada gaya penulisan majalah Time.
Atmakusumah Astraatmadja dalam pengantar buku Jurnalisme Sastra karya
Septiawan Santana Kurnia berkata bahwa tidak ada salahnya mencoba mengupayakan
dalam mengembangkan jurnalisme kesastraan untuk menembus kemungkinan kebosanan
di kalangan para pembaca. Meskipun pada praktiknya, jurnalisme sastra harus tetap
menjaga akurasi fakta dalam penulisannya. Sebab jurnalisme sastra akan menghasilkan
tulisan personal dan cenderung subjektif, namun harus tetap dituliskan sesuai dengan
realita peristiwa.
Meskipun pada 1980, Atmakusumah juga menegaskan bahwa dunia pers
Indonesia masih belum memungkinkan untuk membuat laporan jurnalisme sastrawi.
Alasannya karena keuangan pers Indonesia belum mampu mengongkosi wartawan untuk
tinggal bersama satu atau beberapa pelaku selama berhari-hari, berminggu-minggu atau
berbulan-bulan. Di balik itu semua, kebebasan pers pada masa orde baru terkekang.
Wartawan tidak bisa melahirkan sebuah karya jurnalistik berbasis data yang kuat dan
mengungkap beragam hal tentang peristiwa-peristiwa di pelosok negeri jika sifatnya
‘menentang pemerintah’. Jika dipaksa, pembredelan hampir pasti dilakukan.

Andreas Harsono menekankan bahwa di Indonesia genre jurnalisme sastrawi
tidak berkembang karena tidak ada media yang mau menyediakan tempat, uang, dan
waktu untuk naskah yang panjang. Beberapa media memang menyajikan tulisan panjang
namun berjenis esai. Pertanyaan kritis pun muncul, bahwa apakah jurnalisme sastrawi
tidak berkembang karena pasarnya kecil? Atau apakah mereka ‘ompong’ karena zaman
rezim Soeharto belum memungkinkan menerapkan gaya jurnalisme sastrawi?
Padahal, sastrawan dan jurnalis merupakan identitas yang kerap dianut sekaligus
bagi beberapa tokoh di Indonesia. Sebut saja nama Mochtar Lubis, Goenawan Mohamad,
Bur Rusuanto, Mahbub Djunaedi, Pramoedya Ananta Toer, Rosihan Anwar, Seno
Gumira Ajidarma, Budiman S. Hartoyo, dan Isma Sawitri. Atau jika merujuk era
kontemporer, nama-nama seperti Yusi Avianto Pareanom, Okky Madasari, Dewi Ria
Utari, Ayu Utami, Sabda Armandio, dan Putu Fajar Arcana merupakan cermin nyata
bahwa antara sastrawan dan jurnalis memang memiliki kelindan yang cukup sulit
terpisahkan. Mereka rata-rata berawal dari seorang jurnalis yang kemudian menjadi
sastrawan.
Jika membaca jurnalisme sastrawi di Indonesia, beberapa jurnalis senior tidak
sungkan-sungkan mengemukakan pendapatnya. Nirwan Dewanto berpendapat bahwa,
“Penerbitan majalah yang bisa menyelenggarakan jurnalisme sastrawi (seperti The New
5


Yorker ) memang harus diusahakan atau kita usahakan bersama. Namun, kalau berpikir
tentang pembaca dan pasar, sampeyan pasti gemetar juga untuk membuat majalah ala The
New Yorker di Negeri Melayu. Tapi soal yang lebih penting, seperti yang sudah saya
bilang, siapa wartawan dan penulis kita yang bisa dan siap untuk itu?”
Kepesimisan pun datang dari Atmakusumah Astraatmadja. Argumennya masih
sama tentang ketidakmungkinan berkembangnya jurnalisme sastrawi di Indonesia. Lagilagi perkara modal dan kesiapan dari wartawan itu sendiri. Terlebih dia menambahkan,
“Media massa kita lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas—yang memerlukan
lebih banyak waktu untuk membuatnya. Mengingat sangat kurang tenaga wartawan,
walaupun sejumlah kecil media seharusnya sudah mampu menyisihkan sebagian
wartawannya untuk lebih memusatkan perhatian pada, misalnya peliputan penyidikan
(investigative reporting), peliputan berkedalaman (in-depth reporting), dan jurnalisme
baru,”
Yayasan Pantau mencoba menjawab ‘tantangan’ dari para jurnalis senior tersebut.
Bersama Budi Setiyono, Andreas Harsono juga mengumpulkan beberapa jurnalis lainnya
untuk berkontribusi terhadap pengayaan di bidang jurnalisme sastrawi. Sebut saja Linda
Christanty, Agus Sopian, Eriyanto, Alfian Hamzah, Coen Husain Pontoh, Chik Rini, dan
lain-lain. Mereka memiliki liputan yang begitu mendalam, melibatkan banyak tokoh di
dalamnya, dan kebanyakan topik yang mereka liput bukan berasal dari ‘kalangan atas’,
meskipun di dalamnya terdapat konflik yang sangat tajam terkait problematika yang
dapat menggetarkan jika dibaca.

Contohnya, Linda Christanty mengangkat kasus Kebo—seorang pemulung yang
mati dibakar di belakang Mal Taman Anggrek. Kasus itu teredam di tengah perdebatan
masyarakat tentang penyalahgunaan kekuasaan di era pasca-Soeharto. Kebo memiliki
kisah yang tragis saat orang-orang masih berusaha menyembuhkan luka sejarah soal
penembakan dan penjarahan ketika reformasi terjadi beberapa tahun sebelumnya.
Kematiannya sempat mengundang wartawan untuk meliput, dimuat di The Jakarta Post,
contohnya, lalu lenyap. Mungkin itu salah satu alasan Christanty kembali mengusung
Kebo di tengah hiruk pikuk masyarakat. Meskipun dia sendiri mengakui, tidaklah mudah
masuk ke komunitas atawa lingkungan pemulung tempat Kebo pernah hidup.
Begitupun dengan kisah yang diangkat Chik Rini di Simpang Kraft. Kerusuhan
dan penembakan yang sempat terjadi di tempat itu bukanlah perkara yang mudah untuk
langsung dihapuskan dari ingatan warga. Dia harus berusaha menyongkel luka lama
untuk mendapatkan data dari sumber-sumber yang mengalami langsung peristiwa
tersebut. Cukup nahas saat kutipan terakhir berbunyi, “Kami sudah terlalu banyak bicara
sama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Paipai itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh.” Wartawan
seperti kehilangan fungsi dalam menyuarakan fakta, terlepas sedalam apa laporan yang
dibeberkan secara panjang lebar. Hukum yang berkuasa yang bebas seolah selalu menjadi
tameng bagi kejahatan yang terjadi di manapun.
6

Kesimpulan
Jurnalisme sastrawi pada dasarnya mengutamakan kekuatan narasi dari laporan
yang dituliskan, bukan hanya sekadar pemilihan diksi atau gaya tipografi puisi yang
ditonjolkan. Sastra bukan lagi menjadi suatu kata benda yang memiliki makna keindahan
ataupun kesenian jika digabungkan dengan jurnalisme. Sastra merujuk pada sifat-sifat
kedalaman dalam penyampaian pesan, dengan jurnalisme sebagai pasak untuk
menentukan sebuah kebenaran dan fakta berdasarkan data yang didapatkan, tanpa
menambahkan substansi yang melibatkan metafora ataupun hiperbola.[]
______________________________________________________________________________
Referensi
Buku
Harsono, Andreas. Jurnalisme Sastrawi. Jakarta: Yayasan Pantau. 2005
Kurnia, Septiawan Santana. Jurnalisme Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002
Sumadiria, Haris AS. Jurnalistik Indonesia; Menulis Berita dan Feature . Bandung:
Simbiosa Rekatama Media. 2005
Jurnal, Skripsi, dan Tesis
Alhakim, Lukman. Jurnalisme Sastra . Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. 2009
Mawarni, Venti. Exploring Literary Journalism in Tesoro’s Invisible Palace.
Yogyakarta: The Graduate Program in English Language Studies, Sanata Dharma
University. 2010
Yusuf, Shahnaz Asnawi. Konstruksi Konflik dalam Laporan Jurnalisme Sastrawi
(Analisis Framing tentang Konstruksi Konflik Aceh dalam Laporan Jurnalisme Sastrawi
“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”)
Web
https://id.wikipedia.org/wiki/Jurnalisme_sastra

7