Contextual Teaching and Learning dan Pem (1)

Contextual Teaching and Learning dan Pengajaran Bahasa Asing
Oleh : Iman Santoso
A. Pendahuluan
Perkembangan aliran dalam psikologi baik langsung ataupun tidak
mempengaruhi bentuk proses belajar mengajar yang terjadi selama ini. Ketika pada
awal abad 20 berkembang aliran behaviourisme dalam psikologi, maka pemahaman
orang terhadap proses belajar yang seharusnya dilakukanpun mengikuti aliran ini.
Para penganut behaviourisme percaya bahwa belajar merupakan perubahan tingkah
laku yang muncul pada diri seseorang sebagai hasil dari responnya terhadap stimulus
dari luar. (www.my-ecoach.com). Peran lingkungan dalam hal ini sangatlah penting
yaitu menyediakan stimulus dan lingkungan yang mendukung proses belajar, sedang
aspek individual cenderung diabaikan. Anak atau mahasiswa dianggap sebagai kertas
putih (Tabula rasa) yang siap diwarnai. Pengaruh behaviourisme dalam pengajaran
bahasa tampak pada pendekatan Audio lingual yang mempunyai beberapa
karakteristik, seperti mengutamakan penguasaan ujaran terlebih dahulu daripada
menulis, menyediakan model stimulus-respon-penguatan, serta pembentukan
kebiasaan melalui pengulangan yang rutin ( Johnson, 2001, 172 -173)
Pada tahap berikutnya muncul paham kognitivisme yang boleh dikatakan
merupakan reaksi terhadap behaviourisme. Aliran ini muncul terutama karena banyak
fenomena dalam ‘belajar’ yang tidak dapat dijelaskan oleh behaviourisme, misal anak
tidak selalu menirukan semua perilaku yang telah diberi penguatan (reinforcement).

Kognitivisme menekankan bahwa belajar meliputi proses pembentukan atau
reorganisasi dari struktur kognitif yang dengan cara tersebut manusia mengolah dan
menyimpan informasi (Good & Brophy via Mergel, 1998: 7) Paham ini menekankan
bahawa belajar lebih banyak diatur oleh proses internal daripada oleh lingkungan
eksternal seperti pada behavorisme.
Pada tahap berikutnya muncul paham konstruktivisme yang beranggapan
bahwa mahasiswa mengkonstruksi pengetahuanya sendiri melalui pengujian ide-ide
mengacu pada pengetahuan awal dan pengalamannya, menerapkan ide-ide tersebut ke
dalam situasi baru, dan mengintegrasikan pengetahuan baru tersebut dengan konstruk
intelektual yang telah ada. (Berns dan Erikson, 2001:1) Beberapa prinsip yang ada

antara lain: (1) setiap individu mengkonstruksi pengetahuan dengan cara
memecahkan problem yang realistis biasanya melalui kolaborasi dengan yang lain,
(2) belajar merupakan proses perubahan makna yang dikonstruksi melalui
pengalaman, dan (3) setiap individu menginterpretasi sendiri pengalamannya
(www.my-ecoach.com) Salah satu perwujudan dari paham konstruktuvisme adalah
sebuah bentuk pembelajaran yang dikenal dengan nama Contextual Teaching and
Learning (CTL).
CTL bagi kita relatif merupakan sebuah pendekatan baru yang masih perlu
untuk dikaji lebih jauh apakah bisa diterapkan di Indonesia. CTL saat ini dianjurkan

untuk diterapkan berkaitan dengan penerapan kurikulum berbasis kompetensi
terutama di perguruan tinggi. Pertanyaan selanjutnya tentu apakah CTL dapat
diterapkan dalam pengajaran bahasa Asing dalam rangka mengembangkan
kompetensi berbahasa Asing mahasiswa.
B. Hakikat Contextual Teaching and Learning
Contextual Teaching and Learning (CTL), yang berakar dari paham
konstruktivisme, menurut Smith (via Owens dan Smith, 2000) dapat didefinisikan:
.... teaching that enables students to reinforce, expand, and aplly their academic
knowledge and skills in a variety of in-school and out-of school settings in order
to solve stimulated or real world problems. Contextual learning occurs when
students apply and experience what is being taught by referencing real problems
and need associated with their roles and responsibilities as family members,
citizens, students, and workers. Contextual teaching and Learning (CTL)
emphasizez higher-level thinking, knowledge transfer accros academic
disciplines, and collecting, analyzing and synthesizing information and data from
mutilple Sources and viewpoints.
Berdasarkan definisi tersebut terdapat beberapa hal pokok yang dapat
disimpulkan, bahwa: (1) CTL merupakan bentuk pembelajaran yang diterapkan di dalam
dan di luar kelas untuk memecahkan masalah baik yang riil ataupun tidak, (2) melalui
CTL pembelajar dapat menerapkan dan mengalami sendiri secara langsung apa yang

telah dipelajari untuk memecahkan suatu masalah dengan mengkaitkan perannya sebagai
anggota masyarakat, (3) CTL menuntut adanya proses berpikir tingkat tinggi (High-level
thinking), mengkaitkan satu mata pelajaran dengan yang lainnya, serta proses

mengumpulkan, menganalisa, mensintesa informasi dan data dari berbagai sumber serta
sudut pandang.
CTL merupakan bentuk pembelajaran yang mengkaitkan apa yang telah
dipelajari di kelas dengan situasi riil di luar kelas dalam rangka memecahkan suatu
masalah secara bersama-sama oleh mahasiswa. Dengan cara seperti ini mahasiswa akan
menemukan relevansi pengetahuan yang dimilikinya dengan situasi nyata baik untuk
kepentingan sekarang ataupun dimasa datang. Selain itu mahasiswa juga akan termotivasi
untuk terus mengembangkan pengetahuannya secara mandiri, karena mereka mengalami
sendiri bahwa pengetahuan yang dimilikinya dapat dimanfaatkan dalam dunia nyata.
Dalam CTL, sebuah mata pelajaran atau mata kuliah tidak berdiri sendiri seperti yang
terjadi selama ini, melainkan mahasiswa yang tergabung dalam beberapa kelompok
berada di bawah bimbingan beberapa pengajar yang mata kuliahnya diperlukan untuk
memecahkan suatu masalah secara komprehensif.
Menurut Berns dan Erricson (2001 : 4 - 5) dalam mengaplikasikan CTL ada
beberapa pendekatan yang dapat dipakai antara lain:
(1) Belajar berdasarkan pemecahan masalah (Problem-based learning) . Pendekatan ini

mendorong mahasiswa dalam situasi di mana sebuah masalah harus diinvestigasi dan
dipecahkan. Cara seperti ini akan mengintegrasikan banyak ketrampilan dan konsepkonsep dari

berbagai disiplin ilmu. Pendekatan ini mencakup kegiatan

mengumpulkan data, melakukan sintesa dan mempresentasikan hasilnya di hadapan
mahasiswa lain.
(2) Belajar secara kooperativ (Cooperative learning)., yaitu pendekatan yang memberi
kesempatan pada mahasiswa untuk belajar secara berkelompok dan bekerja sama
untuk mencapai tujuan pembelajaran.
(3) Belajar dengan membuat projek (Project based learning). Pendekatan ini
menekankan konsep penting pada sebuah disiplin ilmu, kemudian melibatkan
mahasiswa untuk melakukan investigasi guna memecahkan masalah, serta memberi
kesampatan pada mahasiswa untuk bekerja secara mandiri dan puncaknya adalah
mereka dapat menghasilkan sebuah produk yang nyata.
Lebih jauh Owens dan Smith (2000 : 2) menyebutkan bahwa dalam CTL
terdapat beberapa elemen penting, yaitu:

(1) Belajar bermakna (Meaningful Learning), melalui CTL mahasiswa akan melihat dan
mengalami bahwa pengetahuan yang telah dipelajarinya relevan dengan kehidupan

mereka.
(2) Penerapan pengetahuan (Application of Knowledge), dengan adanya kesempatan
untuk menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, mahasiswa akan mengetahui
bahwa apa yang dipelajarinya bermanfaat untuk dunia nyata.
(3) Berpikir tingkat tinggi (High order thinking), dalam CTL mahasiswa dituntut untuk
menggunakan pola pikir yang kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data,
memahami isu-isu aktual, serta untuk memecahkan masalah.
(4) Kurikulum yang relevan dengan standar tertentu (standards-related curricula), CTL
juga menuntut adanya bentuk pengajaran yang isinya sesuai dengan standar yang
berlaku di daerah dimana PBM berlangsung atau juga sesuai dengan standar yang
berlaku di dunia kerja / industri.
(5) Keikutsertaan

secara kultural (cultural Responsiveness), pengajar harus mampu

menghargai latar belakang yang dimiliki mahasiswa baik secara kultural, sosial
maupun latar belakang agama dan pandangan hidup yang dimiliki mahasiswa.
(6) Penilaian yang otentik (Authentic assessment), untuk melihat keberhasilan
pelaksanaan PBM dengan model CTL pengajar hendaknya menggunakan penilaian
yang otentik dengan menggunakan berbagai strategi penilaian, seperti portofolio,

checklist, observasi, dll. Dalam penilaian ini, setiap tahap perkembangan yang dilalui
mahasiswa hendaknya dievaluasi.
Terkait dengan penerapan CTL peran guru tidak lagi menjadi aktor utama,
melainkan lebih sebagai fasilitator. Berns dan Erricson (2001: 6) menyatakan bahwa
peran pengajar dituntut untuk mampu :
(1) mengembangkan PBM yang sesuai dengan perkembangan mahasiswanya secara
intelektual, sosial dan emosional.
(2) membentuk kelompok yang interdependen. Melalui belajar kelompok mahasiswa
akan belajar bekerja sama dalam sebuah tim dan saling belajar antara satu dengan
yang lainnya.
(3) menyediakan lingkungan yang mendukung adanya proses belajar yang mandiri (selfregulated learning). Dalam CTL mahasiswa akan belajar memahami kelemahan dan

kelebihan masing-masing yang akan bermanfaat untuk menentukan tujuan dan
menentukan langkah-langkah mencapai tujuan tersebut. Pengajar membantu
mahasiswanya agar dapat melakukan refleksi terhadap bagaimana mereka belajar,
cara mereka mengerjakan tugas sekolah, cara mereka mengatasi halangan dan cara
mereka berkolaborasi dengan baik dalam kelompoknya
(4) mengakomodasi adanya perbedaan pada diri mahasiswa, baik secara intelektual,
sosial ekonomi dan budaya, serta kelebihan dan kelemahan yang dimiliki
mahasiswanya.

(5) memahami adanya intelejensia ganda pada mahasiswanya.
(6) mampu menyusun pertanyaan / masalah yang merangsang mahasiswa aktif belajar
dan menuntut adanya proses berpikir tingkat tinggi.
(7) mampu melaksanakan penilaian yang otentik. Salah satu ciri CTL adalah bentuknya
yang interdispliner, sehingga menuntut adanya penilaian yang menyeluruh terhadap
pengetahuan dan ketrampilan yang muncul dalam pelaksanaannya
C. Implementasi Contextual Teaching and Learning dalam Pengajaran Bahasa
Asing
CTL diakui merupakan sebuah bentuk pengajaran yang ideal, karena
merangsang mahasiswa untuk menggunakan kemampuan berpikirnya pada tingkat tinggi
dan adanya keterkaitan dengan konteks di mana PBM tersebut berlangsung. Mengacu
pada pertanyaan di bagian pendahuluan, apakah mungkin CTL diterapkan dalam
pengajaran bahasa Asing (misal Bahasa Jerman) ?
Seperti telah diketahui bersama, bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat
untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Agar seorang bisa berkomunikasi
dalam bahasa yang dipelajarnya harus didukung dengan penguasaan ketrampilan
berbahasa yaitu mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Dalam konteks itulah
seorang yang mempelajari bahasa asing memerlukan wahana untuk mengembangkan
empat ketrampilan berbahasa tersebut. Dan menurut hemat penulis, CTL dapat
dimanfaatkan dengan menggunakan tiga pendekatan yang telah disebutkan sebelumnya

yaitu: problem based learning, cooperative learning dan project based learning.
Berikut ini akan dipaparkan langkah-langkah yang perlu diambil dalam
penerapan CTL beserta contohnya:

(1) Analisa muatan kurikulum yang ada di Program Studi. Langkah ini diperlukan
sebagai tahap awal untuk melihat keterkaitan antara berbagai disiplin ilmu yang ada,
serta untuk melihat relevansi dengan kondisi di lingkungan sekitar, termasuk
lingkungan sosial di sekitar tempat tinggal mahasiswa. Sebagai contoh di Program
Studi Pendidikan Bahasa Jerman terdapat mata kuliah pendukung yang berwawasan
pariwisata, seperti Freier Vortrag (FV), Deutsch fuer spezielle Verwendung (DSV);
serta mata kuliah ketrampilan berbahasa, seperti schriftlicher Ausdruck (SA),
Sprachfertigkeiten; dan mata kuliah berwawasan budaya, seperti Apresiasi Budaya
dan Kontrastive Kulturkunde. Terkait dengan penerapan CTL, dapat dipilih masalah
yang berkaitan dengan pariwisata di DIY.
(2) Penentuan permasalahan yang akan dipecahkan dengan melihat relevansinya antara
muatan kurikulum dengan konteks lingkungan sosial yang ada. Hal-hal yang per;u
dipertimbangkan dalam penentuan masalah yang diwujudkan dalam kalimat tanya
adalah: (a) pertanyaan mengarah pada inti permasalahan, (b) tidak memiliki jawaban
benar yang tunggal, (c) menuntut mahasiswa untuk menggunakan pola pikir tingkat
tinggi, (d) dapat direvisi secara kontinyu, (e) menarik dan provokatif, (f) terkait

dengan masalah lain (g) dinyatakan secara sederhana (Clifford dan Wilson, 2000: 3).
DIY dikenal sebagai daerah tujuan wisata yang saat ini perkembangan industri
pariwisatanya tidak begitu menggembirakan. Di sisi lain banyak potensi wisata yang
ada di DIY yang belum dikembangkan secara maksimal, seperti wisata budaya dan
agrowisata. Terkait dengan itu melalui mata kuliah DSV dapat diajukan sebuah
permasalahan yang perlu dipecahkan bersama, misal: bagaimana mengembangkan
potensi wisata

yang ada di daerah tempat tinggal mahasiswa yang berasal dari

kabupaten di DIY?
(3) Penentuan bentuk pendekatan yang dipakai. Ketiga pendekatan yang diajukan
sebelumnya dapat dipakai untuk memecahkan permasalahan tersebut. Peserta kuliah
DSV akan membuat proyek yaitu pengembangan potensi wisata di daerah. Proyek ini
akan dikerjakan secara kolaboratif dalam kelompok kecil yang terdiri atas 4 – 5
mahasiswa. Daerah yang akan dikembangkan potensi wisatanya ditentukan oleh
kelompok masing-masing.

(4) Pembentukan beberapa kelompok kecil. Kelompok-kelompok ini dapat diibaratkan
sebagai konsultan yang menerima tugas untuk menginvestigasi potensi wisata,

mengembangkan potensi yang ada, memasarkannya serta menganalisa dampak yang
mungkin timbul dari pengembangan potensi wisata tersebut bagi kehidupan
masyarakat sekitar secara ekonomi, budaya dan dampak sosiologis.
(5) Memberi tugas pada mahasiswa untuk melakukan investigasi dengan cara
mengumpulkan data langsung dari lapangan. Pengetahuan mahasiswa yang diperoleh
dari mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan dapat diterapkan pada tahap ini.
Mahasiswa akan terjun ke daerah yang telah mereka tetapkan sebagai sasaran
pengembangan potensi wisata. Mereka dapat mewawancarai tokoh masyarakat,
mengunjungi instansi pemerintah yang terkait, melakukan observasi untuk melihat
langsung potensi yang ada, dan mendokumentasikan data dan informasi yang
diperoleh. Pada saat itu pengetahuan yang telah diperoleh dari mata kuliah Apresiasi
Budaya dapat diterapkan. Rangkuman dari hasil pengumpulan data tersebut dapat
dituangkan dalam sebuah laporan kecil yang ditulis dalam bahasa Jerman. Dalam hal
ini mahasiswa dapat meminta bimbingan dari dosen pengampu mata kuliah SA.
(6) Membuat jadwal khusus yang mengatur kapan setiap kelompok berdiskusi membahas
hasil temuan mereka di lapangan dan menentukan langkah-langkah strategis
berikutnya. Dalam setiap pertemuan harus dibuat semacam jurnal

untuk


mengembangkan ketrampilan menulis dalam bahasa Jerman, dan diskusi hendaknya
dilakukan dalam bahasa Jerman. Dalam diskusi tersebut juga harus ditentukan
langkah berikutnya, yaitu jika potensi wisata berhasil ditemukan, bagaimana cara
melakukan promosi wisata agar potensi tersebut dikenal oleh wisatawan? Beberapa
bentuk promosi yang bisa dikerjakan antara lain adalah dalam wujud brosur wisata
berbahasa Jerman dan Indonesia, mengikuti pameran wisata, dan melakukan promosi
lewat Internet dalam bahasa Jerman. Semua peserta diminta untuk menyepakati
bentuk promosi yang akan dikerjakan. Saat ini barangkali yang mungkin dilakukan
adalah menyusun brosur wisata dan membuat simulasi pameran wisata yang
menampilkan potensi wisata masing-masing daerah.
(7) Meminta setiap kelompok untuk membuat laporan secara tertulis yang memaparkan
adanya sebuah penyelesaian atas masalah yang telah disepakati akan dipecahkan

bersama. Laporan ini berisi hasil identifikasi potensi wisata yang ada, pemilihan
potensi-potensi wisata yang paling potensial untuk dikembangkan, tindakan yang
perlu diambil oleh Pemda dan bentuk pemberdayaan bagi masyarakat sekitar (seperti
Pelatihan bahasa Asing) dan bentuk pemasarannya. Laporan ini dapat ditulis dalam
bahasa Indonesia, dan khusus wujud konkrit dari pemasaran potensi wisata tersebut
ditulis dalam bahasa Jerman, seperti bahan presentasi, brosur, perlengkapan saat
mengikuti pameran wisata, termasuk kemampuan berbahasa Jerman untuk
menerangkan obyek wisata yang ada pada wisatwan mancanegara. Laporan ini dapata
diserahkan pada dinas terkait sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
kebijakan di bidang pariwisata.
(8) Presentasi karya dalam sebuah forum. Forum yang dipilih dalam hal ini adalah
simulasi pameran wisata. Setiap kelompok mendapatkan sebuah stand untuk
memerkan potensi wisata dari daerahnya, dan memperoleh kesempatan untuk
mempresentasikannya dalam bahasa Jerman.
(9) Evaluasi yang komprehensif. Dalam hal ini pengajar mata kuliah yang terkait
mengamati setiap kegiatan yang dilakukan mahasiswa dengan menggunakan berbagai
instrumen, antara lain lembar observasi saat diskusi berlangsung, penilaian terhadap
jurnal dan laporan tertulis, penilaian pada setiap stand di pameran wisata, dan saat
setiap kelompok mempresentasikan potensi wisata di daerahnya.
Dari ilustrasi yang dipaparkan sebelumnya, terlihat bahwa berbagai
pengetahuan dan ketrampilan berbahasa diaplikasikan dalam penerapan CTL, sehingga
dapat disimpulkan bahwa CTL bukan tidak mungkin diterapkan untuk mengembangkan
kompetensi berbahasa Asing pada diri mahasiswa.
D. Penutup
CTL merupakan sebuah bentuk pengajaran yang berusaha mengkaitkan
pengetahuan yang dimiliki mahasiswa dengan lingkungan sekitar dengan jalan
pemecahan masalah. Bentuk pembelajaran seperti ini memang sangat ideal, karena
mendorong mahasiswa untuk berpikir dengan menggunakan pola berpikir tingkat tinggi,
memperoleh kesempatan untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperolehnya
dan mengalami sendiri bahwa pengetahuan yang dimiliki mempunyai manfaat bagi

masyarakat di sekitarnya. Melalui cara ini mahasiswa akan termotivasi untuk selalu
mengembangkan pengetahuannya secara mandiri. Namun penerapan CTL bukan suatu
hal yang mudah, karena terdapat beberapa hambatan yang mungkin akan muncul, seperti:
-

CTL membutuhkan kerja sama yang baik antar para pengajar

-

Penentuan permasalahan yang akan dipecahkan bersama juga bukan perkara yang
gampang.

-

Mahasiswa selama ini terbiasa dengan cara belajar yang terbimbing, sehingga
mengubah kebiasaan untuk belajar mandiri dirasa akan cukup sulit dan membutuhkan
dorongan yang intensif dari pengajar.

-

Penilaian yang otentik dirasa akan cukup sulit untuk dikerjakan.
Terlepas dari kelebihan dan hambatan yang ada pada CTL, rasanya

pendekatan pengejaran yang bernuansa CTL perlu untuk diterapkan sebagai sebuah
bentuk inovasi baru dalam pengajaran bahasa. Apalagi secara teknis CTL juga dapat
dimodifikasi brntuknya disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada.
E. Daftar Pustaka
________________________, Learning Theory. Diakses dari:
ecoach.comidtimeline/learningtheory.html pada Juni 2004.

http://www.my-

Berns, Robert G., Erickson, Patricia. M. Contextual Teaching and Learning: The
Highlight
Zone:
Research
@
Work
No.
5
diakses
dari
http://www.nccte.org/publications/infosynthesis/highlitezone/highlite05/index
.asp pada Juni 2004.
Clifford, Matthew., Wilson, Marica. Contextual Teaching, Profesional Learning, and
Students Experiences: Lesson Learned from Implementation. Dalam Teachnet:
A Professional Development Network for Contextual Teaching and Learning.
Desember 2000. diakses dari : www.cew.wisc.edu/teachnet
Johnson, Keith. An Introducton to foreign Language Learning and Teaching. Essex:
Pearson Education Limited : 2001
Mergel, Brenda. Instructional Design & Learning Theory. Paper at Educational
Communications and Technology, University of Sasketchwan: 1998. diakses
dari http://www.usask.ca/education/coursework/802papers/mergel/brenda.htm
pada Juni 2004.

Owens, Thomas., Smith, Albert Jr. Definition and Key Elements of Contextual Teaching
and Learning, Talking Papers, Series Paper #1.04. October, 2000.
Washington: Washington Consortium for Contextual Teaching and Learning.
Suparno, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1997.