Kontrak Keuangan dan Riba ID
KONTRAK KEUANGAN DAN RIBA
Asa Marifa Dyanzini, Endang S. Mubarok, dan Arif Purwadi
Fakultas Magister Manajemen, Ekonomi – Universitas Islam Djakarta
Jalan Balai Rakyat, Utan Kayu, Jakarta Timur – 13120
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
KONTRAK KEUANGAN DAN RIBA. Riba dan kontrak keuangan dalam bertransaksi secara tersurat telah
dijabarkan dalam Al-Quran. Namun, secara detail belum dipraktekkan oleh Rasulullah SAW tentang hukum dan
pelarangan riba. Implementasi pelarangan riba dalam kontak keuangan menjadi kerancuan dalam masyarakat dan
menimbulkan pro dan kontra. Menurut pandangan ekonomi syariah ketidakpahaman interpretasi riba dalam
kehidupan nyata di masyarakat, menimbulkan beberapa pertanyaan dalam proses larangannya. Inti dari konsep
pelarangan dan implementasi riba dalam konteks ekonomi Islam bersumber pada prinsip keadilan Islam. Prinsip
keadilan ekonomi syariah adalah meningkatkan kemaslahatan umat dan menaikkan pertumbuhan ekonomi.
Kata kunci: riba, kontrak keuangan, ekonomi syariah, hukum dan pelarangan.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Adapun tindakan ekonomi yang dilakukan
mencakup transaksi jual beli, pinjam meminjam,
berinvestasi, serta transaksi jenis lainnya, yang
didalamnya terdapat kontrak keuangan. Banyaknya
kontrak keuangan yang beredar dan didalamnya
masih menggunakan bunga sebagai faktor
keuntungan bertransaksi telah menimbulkan pro
dan kontra di kalangan masyarakat.
Istilah riba dalam kontrak keuangan
sebenarnya telah banyak disebutkan di dalam AlQuran, namun istilah tersebut tidak secara detai di
praktekan oleh Rasulullah SAW. Hal ini
dikarenakan ayat yang berkaitan dengan riba
diturunkan diakhir masa kehidupan Rasulullah
SAW sehingga masih banyak kerancuan dari segi
pelaksanaanya (Mubarak 2010). Hal ini mendasari
penulisan riba dan kontrak keuangan.
Riba berarti menetapkan bunga atau
melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian
berdasarkan presentase tertentu dari jumlah
pinjaman pokok yang telah dibebankan kepada
peminjam. Secara umum, riba adalah pengambilan
tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun
pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan
dengan prinsip muamalat dalam Islam (Rivai dkk,
2010).
Mengenai riba, Islam bersikap keras dalam
persoalan ini karena semata-mata demi melindungi
kemslahatan manusia baik dari segi akhlak,
masyarakat
maupun
perekonomiannya.
Hakekatnya riba (kredit lunak berbunga besar),
atau pinjaman yang salah penerapannya akan
berakibat “meningkatnya harga barang yang
normal menjadi sangat tinggi, atau berpengaruh
besar terhadap neraca pembayaran antar bangsa,
kemudian berakibat melejitnya laju inflasi,
akibatnya akan dirasakan pada semua orang pada
semua tingkah penghidupan.
Perumusan Masalah
Cakupan masalah dalam kasus ini adalah
kegiatan ekonomi masyarakat islam tentang
kontrak keuangan yang mencakup praktek riba
baik dari segi usaha dan berinvestasi hingga
tindakan pinjam meminjam dalam kegiatan
ekonomi. Pembahasan mengenai penjabaran jenisjenis riba yang menyertai kegiatan ekonomi
masyarakat dan pandangan non muslim tentang
praktek riba dalam kehidupan beragama.
Tujuan
Penulisan ini bertujuan memberikan pandangan
tentang praktek riba dari sudut pandang ekonomi
syariah agar kerancuan yang terjadi dalam
pelaksanaan riba dalam kontrak dapat berkurang
PEMBAHASAN
Hukum Dasar dan Pengertian Riba
Menurut bahasa, pengertian riba artinya
ziyadah (tambahan) atau nama’ (berkembang).
Dalam pandangan Ibnu Al Arabu Al Maliki yang
dikutip Mubarak (2010) menyatakan bahwa riba
adalah setiap penambahan yang diambil tanpa
adanya suatu transaksi pengganti atau adanya
penyeimbang sebagaimana yang dibenarkan dalam
konsep syari’ah. Transaksi pengganti dan
penyeimbang disini adalah transaksi bisnis yang
melegitimasi adanya penambahan secara adil.
Transaksi simpan pinjam secara konvensional
menekankan satu pihak (peminjam) untuk
membayar tambahan lebih dari harga pokok dalam
bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang
yang diterima peminjam kecuali faktor kesempatan
dan faktor waktu. Keadilan dalam dalam konsep
konvensional ini menjadi diragukan karena pihak
peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh
tidak, harus, dan pasti untung dalam setiap
penggunaan pinjaman tersebut.
Banyaknya ketidakpahaman interpretasi riba
dalam
kehidupan
nyata
di
masyarakat,
menimbulkan beberapa pertanyaan dalam proses
larangannya, yaitu
a. Apakah larangan riba hanya dibatasi pada
pinjaman konsumen?
b. Apakah larangan riba hanya pada bunga
berlebih (excesive) atau compounding of
interest?
c. Apakah penyesuaian terhadap inflasi atau
indeksasi dalam bentuk apapun dikategorikan
sebagai bentuk riba?
d. Apakah pelarangan bunga akan menolak nilai
waktu dari uang (time value of money)?
Apakah pelarangan riba hanya dibatasi pada
pinjaman konsumsi saja?.
Beban bunga untuk kegiatan konsumsi
dianggap tidak adil, tidak pantas karena
mengeksploitasi orang tidak mampu sehingga tidak
sesuai dengan syariah Islam. Namun beban bunga
untuk kegiatan produktif (nonkonsumsi) dianggap
adil dan tidak membebankan. Argumen ini
dianggap lemah karena fakta menunjukkan pada
sejarah awal periode Islam, pinjaman dengan
bunga yang bersifat bisnis (produktif) yaitu
agrikultural yang sedang berkembang pada masa
itu, dilarang dengan turunnya wahyu tentang riba.
Apakah
hanya
bunga
berlebih
atau
pelipatgandaan saja?.
Argumen bahwa hanya bunga yang berlebih
saja yang dianggap tidak adil, tidak pantas, dan
dilarang sedangkan bunga yang sederhana dan
tidak mengikat dianggap pantas dan dibenarkan.
Argumen dianggap lemah karena adanya
kecenderungan dalam memahami konteks riba
dalam surat Al-Maidah 3: 130. Kesalahan dalam
memahami konteks “berlebih” dari riba sebagai
suatu persyaratan (hanya itu yang dilarang)
padahal konteks “berlebih” dari kata riba
merupakan suatu sifat dari riba. Sifat riba yang
menjelaskan bahwa pelarangan segala jenis riba
yang termasuk didalamnya bunga sederhana
dengan segala jenis dan segala tingkat di atas batas
legal.
Apakah penyesuaian terhadap inflasi atau
indeksasi menjadikan riba diperbolehkan?.
Indeksasi adalah penyesuaian nilai uang selama
periode tertentu untuk mengkompensasi perubahan
nilai mata uang yang disebabkan tekanan inflasi
dan deflasi. Ketika terjadi inflasi/deflasi dalam
periode peminjaman (tanpa bunga), haruskan
dikembalikan
dengan
kompensasi
kenaikan/penurunan nilai uang (indeksasi).
Argumen untuk mengembalikan nilai uang dengan
kompensasi kenaikan/penurunan nilai uang
(indeksasi) ini dianggap lemah oleh beberapa pakar
muslim,
karena
dinilai
riba.
Indeksasi
diperbolehkan jika menyangkut jaminan sosial,
gaji, pensiun dan dana-dana sosial, sedangkan
indeksasi untuk aset finansial tidak dibenarkan.
Indeksasi untuk aset finansial dilarang karena
beberapa hal berikut,
a. Ayat Al Qur’an surat Al-Baqarah (275) hanya
melindungi jumlah pokok pinjaman dan
menganggap segala sesuatu yang lebih adalah
riba.
b. Kerugian karena inflasi yang ditanggung
peminjam dalam bentuk bunga tidaklah adil.
c. Ketidakakuratan dalam indeksasi menimbulkan
ketidakadilan perpindahan kekayaan dari
peminjam kepada yang memberikan pinjaman
atau sebaliknya.
d. Kestabilan harga dan disiplin fiskal adalah cara
tepat untuk mengatasi inflasi, sehingga peran
dan tanggung jawab pemerintah diperlukan
bukan dibebankan kepada peminjam.
Apakah pelarangan bunga akan menolak nilai
waktu dari uang (time value of money)?
Pandangan Islam tidak memperbolehkan
indeksasi (kompensasi penyesuaian nilai uang) dan
bunga, argumen tentang Islam menolak nilai waktu
dari uang adalah kurang tepat. Islam mengakui
nilai waktu dari uang tetapi penyesuaian
(kompensasinya) terbatas. Batasannya adalah
untuk kontrak penjualan (investasi) kompensasinya
dibenarkan namun pada kontrak peminjaman
kompensasinya dilarang karena merupakan riba.
Hal ini terkait adanya konsep opportunity cost
yaitu waktu tidak dapat dihasilkan, namun dapat
memberikan kontribusi penciptaan nilai ketika
aktivias ekonomi dilakukan. Return atau
pengembalian keuntungan dari investasi berasal
dari hasil aktivitas ekonomi, sedangkan bunga
peminjaman tidak berasal dari aktivitas ekonomi,
dianggap tidak menciptakan nilai uang sehingga ini
merupakan riba dan tidak diperbolehkan. Sumber
dana yang dipakai jika digunakan untuk investasi
menghasilkan keuntungan atau kerugian yang
belum pasti, sedangkan pinjaman menghasilkan
bunga yang merupakan hal yang pasti, sehingga
digolongkan riba.
Jenis-Jenis Riba dan Jenis Barang Ribawi
Riba Hutang Piutang
a. Riba Qardh adalah suatu manfaat atau
kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap
yang berhutang.
b. Riba Jahiliyyah adalah hutang dibayar lebih
dari pokoknya karena si peminjam tidak
mampu membayar hutang pada waktu yang
telah ditetapkan.
Riba Jual Beli
a. Riba Fadhl adalah pertukaran barang sejenis
dengan kadar atau takaran yang berbeda
sedangkan barang yang dipertukarkan termasuk
dalam jenis barang ribawi.
b. Riba Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan
atau penerimaan jenis barang ribawi yang
ditukarkan dengan barang ribawi yang lain.
Adanya perbedaan, perubahan, dan tambahan
antara yang diserahkan saat ini dengan yang
diserahkan kemudian hari.
Jenis Barang Ribawi
Menurut Antonio (1999) adalah emas dan
perak, baik dalam bentuk uang maupun bentuk
lainnya dan bahan makanan pokok seperti gandum
dan jagung, serta bahan makanan tambahan seperti
sayur dan buah.
Dasar Logis Pelarangan Riba
Para ahli berbeda pendapat tentang alasan
mengapa bunga harus dibayarkan. Masing-masing
alasan antara lain didasarkan atas:
a. Teori Menahan Diri (Abstinence)
b. Teori Produkti-konsumtif
c. Teori Biaya Peluang (Opportunity Cost)
d. Teori Kemutlakan Produktivitas Modal
e. Teori Nilai Waktu Uang (time value of money)
f. Inflasi
Teori Menahan Diri (Abstinence)
Bunga dianggap sebagai suatu kompensasi
karena si pemilik uang (pemberi pinjaman) telah
menahan dirinya untuk memanfaatkan uangnya
semata-mata untuk memenuhi keinginan orang
lain. Namun argumen ini dipandang lemah oleh
beberapa pakar muslim, bahwa tidak adanya
standar yang dapat mengukur penundaan konsumsi
oleh pemilik uang dan meskipun ada kesulitan
untuk menentukan tingkat bunga yang dianggap
adil dan sesuai.
Teori Produkti-Konsumtif
Bunga dibenarkan baik untuk pinjaman bersifat
produktif maupun konsumtif. Hal ini dianggap
kurang baik karena tidak adanya kepastian hasil
(untung atau rugi) atas pinjaman produktif, namun
bunga adalah pasti. Islam menganjurkan rasa
ikhlas dalam membantu sesama termasuk dalam
memberikan pinjaman (konsumtif). Hal-hal inilah
menganggap bahwa bunga dianggap riba baik
untuk kegiatan konsumtif maupun produktif.
Teori Biaya Peluang (Opportunity Cost)
Bunga dinilai sebagai imbalan atas hilangnya
peluang yang berasal dari uang itu sendiri, seperti
peluang untuk diinvestasikan, didepositokan, atau
ditabung (menimbun). Bunga yang dibayarkan
peminjam juga di nilai sebagai imbalan atas atas
sebagian hasil yang diperoleh peminjam dan
pemberi pinjaman (pemodal) berhak menerimanya.
Argumen ini dipandang lemah oleh ulama karena
tidak adanya kepastian peluang (untung atau rugi)
jika pemberi pinjaman menggunakan sendiri
uangnya untuk investasi modal, deposito, ataupun
kegiatan produktif lainnya, serta tidak adanya
kepastian hasil (untung atau rugi) atas penggunaan
uang oleh peminjam.
Teori Kemutlakan Produktivitas Modal
Modal dipandang selalu menghasilkan nilai
tambah sehingga pemberi pinjaman layak
diberikan imbalan dalam bentuk bunga sebagai
kompensasi atas nilai tambah tersebut. Hal ini
disoroti oleh beberapa pakar muslim bahwa
kondisi ekonomi sulit untuk diprediksi yang
mengakibatkan tidak adanya kepastian penggunaan
modal dapat memberikan nilai tambah dalam
kegiatan produksi dan investasi modal.
Berdasarkan ini bunga sebagai kompensasi nilai
tambah terhadap modal tidak dibenarkan.
Teori Nilai Waktu Uang (Time Value of Money)
Bunga dipandang sebagai selisih dari
menurunnya nilai yang mencakup modal,
keinginan, kepuasan atau kepentingan diwaktu
yang akan datang. Hal ini dinilai kurang baik
karena, pada kenyataannya nilai dimasa depan
lebih berharga, baik untuk kebahagian maupun
proteksi di masa depan dan Islam menghargai
waktu bukan untuk menghasilkan nilai (bunga),
tetapi memberikan kontribusi penciptaan nilai
melalui aktivitas ekonomi. Hal ini menjadi sumber
pandangan bahwa bunga yang diberikan sebagai
selisih dari menurunnya nilai uang di masa yang
akan datang tidak dibenarkan.
Inflasi
Bunga
dipandang
sebagai
kompensasi
penurunan daya beli uang selama periode
peminjaman. Argumen ini dianggap lemah, karena
kondisi ekonomi (inflasi, deflasi atau stabil) sulit
untuk diprediksi sehingga tidak ada kepastian
perubahan daya beli uang sehingga sulit
menghitung kompensasi (nilai bunga) yang
dianggap adil. Atas dasar inilah maka pemberian
bunga dilarang dan dianggap riba.
Riba Dalam Prespektif Non-Muslim
Riba bukan merupakan persoalan umat Islam,
tetapi juga menjadi kajian di kalangan Yahudi,
Yunani dan Romawi. Sementara kalangan Kristen
memiliki pemahaman sendiri tentang riba.
Pandangan Kaum Yahudi tentang bunga yaitu
tertuang pada Kitab Eksodus [Keluaran] 22:25 dan
Kitab Deuteronomy [Ulangan] 23:19 yang isinya
membahas
tentang
pelarangan
praktek
pengambilan bunga. Kalangan kaum Yunani dan
Romawi menegaskan bunga merupakan alat
golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan
miskin menurut Plato. Fungsi uang adalah sebagai
alat tukar bukan alat menghasilkan tambahan
melalui bunga menurut Aristoteles. Sedangkan
pandangan kaum Kristen yang melarang riba
dengan mengecam praktek pengambilan bunga
tertuang apada kitab suci Injil (Lukas 3: 5-34).
Sebab-Sebab Riba Diharamkan dan Cara
Menghindari Riba
Ada beberapa alasan mengapa Islam sangat
melarang riba dalam perekonomian Islam adalah
a. Bahwa kehormatan harta manusia sama dengan
kehormatan darahnya. Oleh karena itu
mengambil harta kawannya tanpa ganti tidak
diperbolehkan.
b. Bergantung pada riba dapat menghalangi
manusia dari kesibukan kerja sebab jika si
pemilik uang yakin bahwa degan melalui riba
dia akan memperoleh tambahan uang baik
kontan maupun berjangka, maka ia akan
memudahkan persoalan mencari penghidupan
sehingga hampir-hampir dia tidak mau
menanggung beratnya usaha, dagang, dan
pekerjaan yang berat.
c. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang
baik (ma’ruf) antara sesama dalam bidang
pinjam meminjam. Sebab jika riba itu haram
maka seseorang akan merasa senang
meminjamkan uang 1000 rupiah dan
kembalinya 1000 rupiah juga. Sedangkan riba,
(jika riba dihalalkan) sudah pasti kebutuhan
orang akan menganggap berat dengan
pinjamannya
1000
rupiah
diharuskan
mengembalikan 2000 rupiah.
d. Pada umumya pemberi piutang adalah orang
kaya sedangkan peminjam adalah orang miskin.
Maka pendapat yang membolehkan riba berarti
memberikan jalan kepada orang kaya untuk
mengambil harta orang miskin yang lemah
sebagai tambahan. Sedangkan tidak layak
berbuat demikian sebagai sarana memperoleh
rahmat dari Allah swt.
Pandangan tentang riba dalam era kemajuan
zaman kini juga mendorong maraknya perbankan
syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung
di dapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga
seperti pada bank konvensional pada umumnya.
Karena, menurut sebagian pendapat bunga bank
termasuk riba. Hal yang sangat mencolok dapat
diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba
adalah ditetapkannya akad di awal jadi ketika
nasabah sudah menginventasikan uangnya pada
bank dengan tingkat suku bunga tertentu, maka
akan dapat diketahui hasilnya dengan pasti.
Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya
memberikan nisbah bagi hasil untuk deposannya.
b. Mudarabah adalah kerja sama antara pemlik
modal dengan pelaksanaan atas dasar perjanjian
profit and loss sharing
c. Syirkah (perseroan) adalah dimana pihak Bank
dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai
andil (saham) pada usaha patungan (jom
ventura)
d. Murabahan adalah jual beli barang dengan
tambahan harga cost plus atas dasar harga
pembelian yang pertama secara jujur
e. Qard hasan (pinjaman yag baik), memberikan
pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah
sebagai salah satu bentuk pelayanan dan
penghargaan
f. Menerapkan prinsip bagi hasil, hanya
memberikan nisbah tertentu pada deposannya,
maka yang dibagi adalah keuntungan dari yang
di dapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah
yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Misalnya, nisbahnya dalah 60% : 40%, maka
bagian deposan 60% dari total keuntungan yang
di dapat oleh pihak bank.
KESIMPULAN
Gambar 1 Perbedaan sistem bunga (riba) dengan
sistem bagi hasi (syariah)
Gambar 1 diatas membuktikan bahwa praktek
pembungaan uang dalam berbagai bentuk transaksi
saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi
pada zaman Rasulullah Saw. Sehingga praktek
pembungaan uang adalah haram. Sebagai
pengganti bunga bank, menurut Karim (2006),
Bank Islam menggunakan berbagai cara yang
bersih dari unsur riba antara lain:
a. Wadiah atau titipan uang, barang dan surat
berharga atau deposito
Konsep pelarangan dan implementasi riba
dalam konteks ekonomi Islam bersumber pada
prinsip keadilan Islam. Prinsip keadilan ekonomi
syariah adalah meningkatkan kemaslahatan umat
dan
menaikkan
pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan
ekonomi
ditandai
dengan
mengalirnya uang ke sektor rill sehingga dapat
mendorong perputaran (velosity) kegiatan ekonomi
secara keseluruhan yang berakibat pada segala
sektor (multiplayer effect). Jika hal ini telah
tercipta maka akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi secara global.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami: Telaah
Komprehensif Sistem Keuangan Islami. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Karim AA. 2006. Ekonomi Makro Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Rivai V, Firmansyah R, Veithzal AP, Rizqullah.
2010. Islamic Financial Management. Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia.
Mubarak ES. 2010. Pedoman Kuliah Pascasarjana
UID. Jakarta: UID pascasarjana.
Asa Marifa Dyanzini, Endang S. Mubarok, dan Arif Purwadi
Fakultas Magister Manajemen, Ekonomi – Universitas Islam Djakarta
Jalan Balai Rakyat, Utan Kayu, Jakarta Timur – 13120
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
KONTRAK KEUANGAN DAN RIBA. Riba dan kontrak keuangan dalam bertransaksi secara tersurat telah
dijabarkan dalam Al-Quran. Namun, secara detail belum dipraktekkan oleh Rasulullah SAW tentang hukum dan
pelarangan riba. Implementasi pelarangan riba dalam kontak keuangan menjadi kerancuan dalam masyarakat dan
menimbulkan pro dan kontra. Menurut pandangan ekonomi syariah ketidakpahaman interpretasi riba dalam
kehidupan nyata di masyarakat, menimbulkan beberapa pertanyaan dalam proses larangannya. Inti dari konsep
pelarangan dan implementasi riba dalam konteks ekonomi Islam bersumber pada prinsip keadilan Islam. Prinsip
keadilan ekonomi syariah adalah meningkatkan kemaslahatan umat dan menaikkan pertumbuhan ekonomi.
Kata kunci: riba, kontrak keuangan, ekonomi syariah, hukum dan pelarangan.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Adapun tindakan ekonomi yang dilakukan
mencakup transaksi jual beli, pinjam meminjam,
berinvestasi, serta transaksi jenis lainnya, yang
didalamnya terdapat kontrak keuangan. Banyaknya
kontrak keuangan yang beredar dan didalamnya
masih menggunakan bunga sebagai faktor
keuntungan bertransaksi telah menimbulkan pro
dan kontra di kalangan masyarakat.
Istilah riba dalam kontrak keuangan
sebenarnya telah banyak disebutkan di dalam AlQuran, namun istilah tersebut tidak secara detai di
praktekan oleh Rasulullah SAW. Hal ini
dikarenakan ayat yang berkaitan dengan riba
diturunkan diakhir masa kehidupan Rasulullah
SAW sehingga masih banyak kerancuan dari segi
pelaksanaanya (Mubarak 2010). Hal ini mendasari
penulisan riba dan kontrak keuangan.
Riba berarti menetapkan bunga atau
melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian
berdasarkan presentase tertentu dari jumlah
pinjaman pokok yang telah dibebankan kepada
peminjam. Secara umum, riba adalah pengambilan
tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun
pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan
dengan prinsip muamalat dalam Islam (Rivai dkk,
2010).
Mengenai riba, Islam bersikap keras dalam
persoalan ini karena semata-mata demi melindungi
kemslahatan manusia baik dari segi akhlak,
masyarakat
maupun
perekonomiannya.
Hakekatnya riba (kredit lunak berbunga besar),
atau pinjaman yang salah penerapannya akan
berakibat “meningkatnya harga barang yang
normal menjadi sangat tinggi, atau berpengaruh
besar terhadap neraca pembayaran antar bangsa,
kemudian berakibat melejitnya laju inflasi,
akibatnya akan dirasakan pada semua orang pada
semua tingkah penghidupan.
Perumusan Masalah
Cakupan masalah dalam kasus ini adalah
kegiatan ekonomi masyarakat islam tentang
kontrak keuangan yang mencakup praktek riba
baik dari segi usaha dan berinvestasi hingga
tindakan pinjam meminjam dalam kegiatan
ekonomi. Pembahasan mengenai penjabaran jenisjenis riba yang menyertai kegiatan ekonomi
masyarakat dan pandangan non muslim tentang
praktek riba dalam kehidupan beragama.
Tujuan
Penulisan ini bertujuan memberikan pandangan
tentang praktek riba dari sudut pandang ekonomi
syariah agar kerancuan yang terjadi dalam
pelaksanaan riba dalam kontrak dapat berkurang
PEMBAHASAN
Hukum Dasar dan Pengertian Riba
Menurut bahasa, pengertian riba artinya
ziyadah (tambahan) atau nama’ (berkembang).
Dalam pandangan Ibnu Al Arabu Al Maliki yang
dikutip Mubarak (2010) menyatakan bahwa riba
adalah setiap penambahan yang diambil tanpa
adanya suatu transaksi pengganti atau adanya
penyeimbang sebagaimana yang dibenarkan dalam
konsep syari’ah. Transaksi pengganti dan
penyeimbang disini adalah transaksi bisnis yang
melegitimasi adanya penambahan secara adil.
Transaksi simpan pinjam secara konvensional
menekankan satu pihak (peminjam) untuk
membayar tambahan lebih dari harga pokok dalam
bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang
yang diterima peminjam kecuali faktor kesempatan
dan faktor waktu. Keadilan dalam dalam konsep
konvensional ini menjadi diragukan karena pihak
peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh
tidak, harus, dan pasti untung dalam setiap
penggunaan pinjaman tersebut.
Banyaknya ketidakpahaman interpretasi riba
dalam
kehidupan
nyata
di
masyarakat,
menimbulkan beberapa pertanyaan dalam proses
larangannya, yaitu
a. Apakah larangan riba hanya dibatasi pada
pinjaman konsumen?
b. Apakah larangan riba hanya pada bunga
berlebih (excesive) atau compounding of
interest?
c. Apakah penyesuaian terhadap inflasi atau
indeksasi dalam bentuk apapun dikategorikan
sebagai bentuk riba?
d. Apakah pelarangan bunga akan menolak nilai
waktu dari uang (time value of money)?
Apakah pelarangan riba hanya dibatasi pada
pinjaman konsumsi saja?.
Beban bunga untuk kegiatan konsumsi
dianggap tidak adil, tidak pantas karena
mengeksploitasi orang tidak mampu sehingga tidak
sesuai dengan syariah Islam. Namun beban bunga
untuk kegiatan produktif (nonkonsumsi) dianggap
adil dan tidak membebankan. Argumen ini
dianggap lemah karena fakta menunjukkan pada
sejarah awal periode Islam, pinjaman dengan
bunga yang bersifat bisnis (produktif) yaitu
agrikultural yang sedang berkembang pada masa
itu, dilarang dengan turunnya wahyu tentang riba.
Apakah
hanya
bunga
berlebih
atau
pelipatgandaan saja?.
Argumen bahwa hanya bunga yang berlebih
saja yang dianggap tidak adil, tidak pantas, dan
dilarang sedangkan bunga yang sederhana dan
tidak mengikat dianggap pantas dan dibenarkan.
Argumen dianggap lemah karena adanya
kecenderungan dalam memahami konteks riba
dalam surat Al-Maidah 3: 130. Kesalahan dalam
memahami konteks “berlebih” dari riba sebagai
suatu persyaratan (hanya itu yang dilarang)
padahal konteks “berlebih” dari kata riba
merupakan suatu sifat dari riba. Sifat riba yang
menjelaskan bahwa pelarangan segala jenis riba
yang termasuk didalamnya bunga sederhana
dengan segala jenis dan segala tingkat di atas batas
legal.
Apakah penyesuaian terhadap inflasi atau
indeksasi menjadikan riba diperbolehkan?.
Indeksasi adalah penyesuaian nilai uang selama
periode tertentu untuk mengkompensasi perubahan
nilai mata uang yang disebabkan tekanan inflasi
dan deflasi. Ketika terjadi inflasi/deflasi dalam
periode peminjaman (tanpa bunga), haruskan
dikembalikan
dengan
kompensasi
kenaikan/penurunan nilai uang (indeksasi).
Argumen untuk mengembalikan nilai uang dengan
kompensasi kenaikan/penurunan nilai uang
(indeksasi) ini dianggap lemah oleh beberapa pakar
muslim,
karena
dinilai
riba.
Indeksasi
diperbolehkan jika menyangkut jaminan sosial,
gaji, pensiun dan dana-dana sosial, sedangkan
indeksasi untuk aset finansial tidak dibenarkan.
Indeksasi untuk aset finansial dilarang karena
beberapa hal berikut,
a. Ayat Al Qur’an surat Al-Baqarah (275) hanya
melindungi jumlah pokok pinjaman dan
menganggap segala sesuatu yang lebih adalah
riba.
b. Kerugian karena inflasi yang ditanggung
peminjam dalam bentuk bunga tidaklah adil.
c. Ketidakakuratan dalam indeksasi menimbulkan
ketidakadilan perpindahan kekayaan dari
peminjam kepada yang memberikan pinjaman
atau sebaliknya.
d. Kestabilan harga dan disiplin fiskal adalah cara
tepat untuk mengatasi inflasi, sehingga peran
dan tanggung jawab pemerintah diperlukan
bukan dibebankan kepada peminjam.
Apakah pelarangan bunga akan menolak nilai
waktu dari uang (time value of money)?
Pandangan Islam tidak memperbolehkan
indeksasi (kompensasi penyesuaian nilai uang) dan
bunga, argumen tentang Islam menolak nilai waktu
dari uang adalah kurang tepat. Islam mengakui
nilai waktu dari uang tetapi penyesuaian
(kompensasinya) terbatas. Batasannya adalah
untuk kontrak penjualan (investasi) kompensasinya
dibenarkan namun pada kontrak peminjaman
kompensasinya dilarang karena merupakan riba.
Hal ini terkait adanya konsep opportunity cost
yaitu waktu tidak dapat dihasilkan, namun dapat
memberikan kontribusi penciptaan nilai ketika
aktivias ekonomi dilakukan. Return atau
pengembalian keuntungan dari investasi berasal
dari hasil aktivitas ekonomi, sedangkan bunga
peminjaman tidak berasal dari aktivitas ekonomi,
dianggap tidak menciptakan nilai uang sehingga ini
merupakan riba dan tidak diperbolehkan. Sumber
dana yang dipakai jika digunakan untuk investasi
menghasilkan keuntungan atau kerugian yang
belum pasti, sedangkan pinjaman menghasilkan
bunga yang merupakan hal yang pasti, sehingga
digolongkan riba.
Jenis-Jenis Riba dan Jenis Barang Ribawi
Riba Hutang Piutang
a. Riba Qardh adalah suatu manfaat atau
kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap
yang berhutang.
b. Riba Jahiliyyah adalah hutang dibayar lebih
dari pokoknya karena si peminjam tidak
mampu membayar hutang pada waktu yang
telah ditetapkan.
Riba Jual Beli
a. Riba Fadhl adalah pertukaran barang sejenis
dengan kadar atau takaran yang berbeda
sedangkan barang yang dipertukarkan termasuk
dalam jenis barang ribawi.
b. Riba Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan
atau penerimaan jenis barang ribawi yang
ditukarkan dengan barang ribawi yang lain.
Adanya perbedaan, perubahan, dan tambahan
antara yang diserahkan saat ini dengan yang
diserahkan kemudian hari.
Jenis Barang Ribawi
Menurut Antonio (1999) adalah emas dan
perak, baik dalam bentuk uang maupun bentuk
lainnya dan bahan makanan pokok seperti gandum
dan jagung, serta bahan makanan tambahan seperti
sayur dan buah.
Dasar Logis Pelarangan Riba
Para ahli berbeda pendapat tentang alasan
mengapa bunga harus dibayarkan. Masing-masing
alasan antara lain didasarkan atas:
a. Teori Menahan Diri (Abstinence)
b. Teori Produkti-konsumtif
c. Teori Biaya Peluang (Opportunity Cost)
d. Teori Kemutlakan Produktivitas Modal
e. Teori Nilai Waktu Uang (time value of money)
f. Inflasi
Teori Menahan Diri (Abstinence)
Bunga dianggap sebagai suatu kompensasi
karena si pemilik uang (pemberi pinjaman) telah
menahan dirinya untuk memanfaatkan uangnya
semata-mata untuk memenuhi keinginan orang
lain. Namun argumen ini dipandang lemah oleh
beberapa pakar muslim, bahwa tidak adanya
standar yang dapat mengukur penundaan konsumsi
oleh pemilik uang dan meskipun ada kesulitan
untuk menentukan tingkat bunga yang dianggap
adil dan sesuai.
Teori Produkti-Konsumtif
Bunga dibenarkan baik untuk pinjaman bersifat
produktif maupun konsumtif. Hal ini dianggap
kurang baik karena tidak adanya kepastian hasil
(untung atau rugi) atas pinjaman produktif, namun
bunga adalah pasti. Islam menganjurkan rasa
ikhlas dalam membantu sesama termasuk dalam
memberikan pinjaman (konsumtif). Hal-hal inilah
menganggap bahwa bunga dianggap riba baik
untuk kegiatan konsumtif maupun produktif.
Teori Biaya Peluang (Opportunity Cost)
Bunga dinilai sebagai imbalan atas hilangnya
peluang yang berasal dari uang itu sendiri, seperti
peluang untuk diinvestasikan, didepositokan, atau
ditabung (menimbun). Bunga yang dibayarkan
peminjam juga di nilai sebagai imbalan atas atas
sebagian hasil yang diperoleh peminjam dan
pemberi pinjaman (pemodal) berhak menerimanya.
Argumen ini dipandang lemah oleh ulama karena
tidak adanya kepastian peluang (untung atau rugi)
jika pemberi pinjaman menggunakan sendiri
uangnya untuk investasi modal, deposito, ataupun
kegiatan produktif lainnya, serta tidak adanya
kepastian hasil (untung atau rugi) atas penggunaan
uang oleh peminjam.
Teori Kemutlakan Produktivitas Modal
Modal dipandang selalu menghasilkan nilai
tambah sehingga pemberi pinjaman layak
diberikan imbalan dalam bentuk bunga sebagai
kompensasi atas nilai tambah tersebut. Hal ini
disoroti oleh beberapa pakar muslim bahwa
kondisi ekonomi sulit untuk diprediksi yang
mengakibatkan tidak adanya kepastian penggunaan
modal dapat memberikan nilai tambah dalam
kegiatan produksi dan investasi modal.
Berdasarkan ini bunga sebagai kompensasi nilai
tambah terhadap modal tidak dibenarkan.
Teori Nilai Waktu Uang (Time Value of Money)
Bunga dipandang sebagai selisih dari
menurunnya nilai yang mencakup modal,
keinginan, kepuasan atau kepentingan diwaktu
yang akan datang. Hal ini dinilai kurang baik
karena, pada kenyataannya nilai dimasa depan
lebih berharga, baik untuk kebahagian maupun
proteksi di masa depan dan Islam menghargai
waktu bukan untuk menghasilkan nilai (bunga),
tetapi memberikan kontribusi penciptaan nilai
melalui aktivitas ekonomi. Hal ini menjadi sumber
pandangan bahwa bunga yang diberikan sebagai
selisih dari menurunnya nilai uang di masa yang
akan datang tidak dibenarkan.
Inflasi
Bunga
dipandang
sebagai
kompensasi
penurunan daya beli uang selama periode
peminjaman. Argumen ini dianggap lemah, karena
kondisi ekonomi (inflasi, deflasi atau stabil) sulit
untuk diprediksi sehingga tidak ada kepastian
perubahan daya beli uang sehingga sulit
menghitung kompensasi (nilai bunga) yang
dianggap adil. Atas dasar inilah maka pemberian
bunga dilarang dan dianggap riba.
Riba Dalam Prespektif Non-Muslim
Riba bukan merupakan persoalan umat Islam,
tetapi juga menjadi kajian di kalangan Yahudi,
Yunani dan Romawi. Sementara kalangan Kristen
memiliki pemahaman sendiri tentang riba.
Pandangan Kaum Yahudi tentang bunga yaitu
tertuang pada Kitab Eksodus [Keluaran] 22:25 dan
Kitab Deuteronomy [Ulangan] 23:19 yang isinya
membahas
tentang
pelarangan
praktek
pengambilan bunga. Kalangan kaum Yunani dan
Romawi menegaskan bunga merupakan alat
golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan
miskin menurut Plato. Fungsi uang adalah sebagai
alat tukar bukan alat menghasilkan tambahan
melalui bunga menurut Aristoteles. Sedangkan
pandangan kaum Kristen yang melarang riba
dengan mengecam praktek pengambilan bunga
tertuang apada kitab suci Injil (Lukas 3: 5-34).
Sebab-Sebab Riba Diharamkan dan Cara
Menghindari Riba
Ada beberapa alasan mengapa Islam sangat
melarang riba dalam perekonomian Islam adalah
a. Bahwa kehormatan harta manusia sama dengan
kehormatan darahnya. Oleh karena itu
mengambil harta kawannya tanpa ganti tidak
diperbolehkan.
b. Bergantung pada riba dapat menghalangi
manusia dari kesibukan kerja sebab jika si
pemilik uang yakin bahwa degan melalui riba
dia akan memperoleh tambahan uang baik
kontan maupun berjangka, maka ia akan
memudahkan persoalan mencari penghidupan
sehingga hampir-hampir dia tidak mau
menanggung beratnya usaha, dagang, dan
pekerjaan yang berat.
c. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang
baik (ma’ruf) antara sesama dalam bidang
pinjam meminjam. Sebab jika riba itu haram
maka seseorang akan merasa senang
meminjamkan uang 1000 rupiah dan
kembalinya 1000 rupiah juga. Sedangkan riba,
(jika riba dihalalkan) sudah pasti kebutuhan
orang akan menganggap berat dengan
pinjamannya
1000
rupiah
diharuskan
mengembalikan 2000 rupiah.
d. Pada umumya pemberi piutang adalah orang
kaya sedangkan peminjam adalah orang miskin.
Maka pendapat yang membolehkan riba berarti
memberikan jalan kepada orang kaya untuk
mengambil harta orang miskin yang lemah
sebagai tambahan. Sedangkan tidak layak
berbuat demikian sebagai sarana memperoleh
rahmat dari Allah swt.
Pandangan tentang riba dalam era kemajuan
zaman kini juga mendorong maraknya perbankan
syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung
di dapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga
seperti pada bank konvensional pada umumnya.
Karena, menurut sebagian pendapat bunga bank
termasuk riba. Hal yang sangat mencolok dapat
diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba
adalah ditetapkannya akad di awal jadi ketika
nasabah sudah menginventasikan uangnya pada
bank dengan tingkat suku bunga tertentu, maka
akan dapat diketahui hasilnya dengan pasti.
Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya
memberikan nisbah bagi hasil untuk deposannya.
b. Mudarabah adalah kerja sama antara pemlik
modal dengan pelaksanaan atas dasar perjanjian
profit and loss sharing
c. Syirkah (perseroan) adalah dimana pihak Bank
dan pihak pengusaha sama-sama mempunyai
andil (saham) pada usaha patungan (jom
ventura)
d. Murabahan adalah jual beli barang dengan
tambahan harga cost plus atas dasar harga
pembelian yang pertama secara jujur
e. Qard hasan (pinjaman yag baik), memberikan
pinjaman tanpa bunga kepada para nasabah
sebagai salah satu bentuk pelayanan dan
penghargaan
f. Menerapkan prinsip bagi hasil, hanya
memberikan nisbah tertentu pada deposannya,
maka yang dibagi adalah keuntungan dari yang
di dapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah
yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Misalnya, nisbahnya dalah 60% : 40%, maka
bagian deposan 60% dari total keuntungan yang
di dapat oleh pihak bank.
KESIMPULAN
Gambar 1 Perbedaan sistem bunga (riba) dengan
sistem bagi hasi (syariah)
Gambar 1 diatas membuktikan bahwa praktek
pembungaan uang dalam berbagai bentuk transaksi
saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi
pada zaman Rasulullah Saw. Sehingga praktek
pembungaan uang adalah haram. Sebagai
pengganti bunga bank, menurut Karim (2006),
Bank Islam menggunakan berbagai cara yang
bersih dari unsur riba antara lain:
a. Wadiah atau titipan uang, barang dan surat
berharga atau deposito
Konsep pelarangan dan implementasi riba
dalam konteks ekonomi Islam bersumber pada
prinsip keadilan Islam. Prinsip keadilan ekonomi
syariah adalah meningkatkan kemaslahatan umat
dan
menaikkan
pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan
ekonomi
ditandai
dengan
mengalirnya uang ke sektor rill sehingga dapat
mendorong perputaran (velosity) kegiatan ekonomi
secara keseluruhan yang berakibat pada segala
sektor (multiplayer effect). Jika hal ini telah
tercipta maka akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi secara global.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami: Telaah
Komprehensif Sistem Keuangan Islami. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Karim AA. 2006. Ekonomi Makro Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Rivai V, Firmansyah R, Veithzal AP, Rizqullah.
2010. Islamic Financial Management. Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia.
Mubarak ES. 2010. Pedoman Kuliah Pascasarjana
UID. Jakarta: UID pascasarjana.