Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai

2. Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi berbagai pihak
berkepentingan (masyarakat, mahasiswa, kelompok kepentingan, dan para
pengambil kebijakan).

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Peraturan Daerah
Indonesia adalah Negara yang menganut sistem Negara kesatuan (unitary)
yang berbentuk Republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota,
yang tiap Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur
dalam Undang-undang. Otonomi daerah adalah kebijakan Pemerintah Republik
Indonesia untuk mendistribusikan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Melalui otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan
kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing dalam
berbagai hal, kecuali :

1. Politik luar negeri
2. Pertahanan
3. Keamanan

4. Politik luar negeri
5. Moneter dan Fiskal
6. Agama
Keenam bidang tersebut diatas merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.
Artinya selain enam bidang tersebut berbagai kewenangan yang ada merupakan
kewenangan Pemerintah Daerah. Selanjutnya secara lebih terperinci Undangundang (UU) No.32 Tahun 2004 juga mengatur pembagian kewenangan antara
Pemerintah daerah, yaitu antara Provinsi dengan Kabupaten atau Kota. Dalam
pasal 13 UU No.32 Tahun 2004 ditegaskan tentang kewenangan wajib
Pemerintahan Provinsi, yaitu ;
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota;
10. Pengendalian lingkungan hidup;

11. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal (investasi) termasuk lintas
kabupaten/kota;

15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten/kota;
Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal 14 UU ini juga diatur mengenai kewenangan wajib pemerintah
kabupaten, yaitu meliputi :
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelenggaraan pendidikan;
7. Penanggulangan masalah sosial;
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan pertanahan;
12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal (investasi);
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
Diluar kewenangan-kewenangan tersebut,terdapat beberapa kewenangan
yang merupakan kewenangan pemerintah pusat, namun dilimpahkan kepada
pemerintah daerah, baik pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota. Pelimpahan
wewenang tersebut berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 dengan cara
dekonsentrasi, maupun tugas pembantuan.
Dekonsentrasi dapat dimaknai sebagai pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada perangakat pemerintahan pusat di daerah, seperti
gubernur dan wakil pemerintah pusat lainnya di daerah. Dalam konsepsi hukum

administrasi negara, pelimpahan wewenang demikian dikenal dengan mandat,
yaitu pelimpahan wewenang yang terjadi atas izin suatu organ kepada organ lain
agar organ tersebut menjalankan wewenang atas namanya.Dalam mandat juga
terdapat beberapa konsekwensi yuridis yang mengikutinya, yaitu ;

1. Perintah untuk melaksanakan
2. Kewenangan dapat dilaksanakan sewaktu-waktu oleh pemberi mandate
3. Tidak terjadi peralihan tanggungjawab,
4. Tidak harus berdasarkan Undang-undang,
5. Tidak harus tertulis.
Sedangkan yang dimaksud dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari
pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai
pembiayaan, sarana prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkannya kepada yang
menugaskan. Pada prinsipnya tidak terlalu ada perbedaan antara dekonsentrasi
dengan tugas pembantuan ini. Hanya saja dalam tugas pembantuan hal-hal tekhnis
sudah diatur oleh pemerintah pusat, sehingga kepala daerah hanya diserahi tugas
teknisnya, beserta pertanggung jawabannya.

B. Kewenangan Pemda membuat Perda
Pemerintah daerah, baik provinsi, maupun kabupaten/kota memiliki
kewenangan untuk membuat peraturan daerah (perda). Dalam pasal 1 UU No.32
Tahun 2004 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perda adalah peraturan yang
dimiliki oleh pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.Secara
terperinci Bab VI UU No.32 Tahun 2004 menjelaskan tentang prosedur


pembentukan perda, materi muatan perda, asas yang harus terkandung dalam
perda, termasuk sanksi yang dapat dimuat dalam perda tersebut.
Pertama : Prosedur pembentukan perda. Perda dibentuk/ditetapkan oleh
kepala daerah setempat bersama dengan DPRD. Artinya perda yang dibuat di
tingkat provinsi ditetapkan oleh gubernur setempat bersama dengan DPRD
provinsi, demikian pula di tingkat kabupaten/kota. Usul pembentukan perda dapat
dilakukan oleh kepala daerah sebagai kepala eksekutif daerah dan oleh DPRD
sebagai legislative daerah. Hal ini berlaku terhadap seluruh usulan perda, kecuali
rancangan perda mengenai APBD yang harus berasal dari kepala daerah
(eksekutif) saja. Dalam pembentukan perda, masukan dari masyarakat harus diberi
ruang, baik dalam proses awal pembentukannya, maupun pada saat perumusan
terhadap materi perda tersebut.
Kedua : Materi muatan perda disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki
daerah sesuai dengan asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Perda berisikan
penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan memperhatikan ciri khas daerah. Dalam konteks ini, materi perda
ditafsirkan dari berisi rumusan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan
diatasnya. Selain itu, materi perda juga dapat memuat hal-hal yang terkait dengan
ciri khas daerah tersebut. Selain itu materi perda juga harus memuat beberapa asas

dalam pembentukan perda, yaitu ;
1. Pengayoman;
2. Kemanusiaan;
3. Kebangsaan;
4. Kekeluargaan;
5. Kenusantaraan;
6. Bhineka tunggal ika;

7. Keadilan;
8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
10. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Ketiga : Sebagai salah satu produk peraturan perundang-undangan di
republik Indonesia yang berada pada hirarki bawah, Perda dapat memuat
ketentuan sanksi pidana dan denda yang jenis sanksinya lebih ringan daripada
sanksi yang dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Dalam ketentuan pasal 143 ayat (1), (2) dan (3) UU No.32 Tahun 2004
diatur mengenai sanksi yang dapat diatur dalam perda, yaitu :
1. Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan
penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai

dengan peraturan perundangan.
2. Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
3. Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan
perundangan lainnya.
Keempat : Sebagai produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah dalam menjalankan tugasnya berdasarkan asas desentralisasi dan tugas
pembantuan. Prosuder pembentukan, maupun materi Perda dilakukan melalui
verifikasi oleh pemerintah pusat sebagaimana ditegaskan dalam pasal 145 UU
No.32 Tahun 2004. Perda yang dianggap melanggar kepentingan umum dan/atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan oleh pemerintah pusat melalui Keputusan Presiden. Selambatlambatnya setelah 7 (tujuh) hari sejak dibatalkan, kepala daerah harus

memberhentikan pelaksanaan Perda tersebut dan selanjutnya DPRD dan kepala
daerah harus mencabut perda tersebut.
Bagi kepala daerah dan DPRD yang merasa keberatan atas pembatalan
perda dari pemerintah pusat dapat mengajukan keberatan melalui Mahkamah
Agung. Jika keberatan tersebut diterima, maka perda tersebut diberlakukan
kembali dengan terlebih dahulu dikeluarkan Keputusan Presiden yang

membatalkan Keputusan Presiden sebelumnya yang menyatakan perda tersebut
tidak berlaku. Apabila pemerintah pusat tidak mengeluarkan keputusan presiden
untuk membatalkan perda tersebut, maka perda tersebut dengan sendirinya
dinyatakan berlaku.
Kelima : Setelah perda dibuat dan dilaksanakan, masyarakat memiliki
kesempatan untuk malakukan “control” terhadap perda tersebut dengan
melakukan review terhadapnya. Ada dua mekanisme yang dapat digunakan public
untuk melakukan review terhadap perda, yaitu melalui Mahkamah Agung
(judicial review) dan melalui pemerintah pusat (executive review). Review yang
diajukan ke Mahkamah Agung menuntut keaktifan dari masyarakat dan terbatas
hanya dalam waktu 180 hari sejak perda tersebut sejak perda tersebut
diundangkan.
Sedangkan mekanisme review melalui Pemerintah Pusat c.q Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) dilaksanakan sebagai bentuk pengawasan pemerintah
pusat terhadap produk hukum pemerintah daerah sebagamana dijelaskan diatas.
Kendati demikian publik dapat pro-aktif meminta pemerintah pusat untuk
menggunakan kewenangannya ini guna mengawasi perda-perda yang dianggap

bermasalah. Lebih rinci mengenai pengujian (review) terhadap perda dapat dilihat
dalam table berikut ;

Tabel 2. Perbedaan Pengujian Perda antara Mahkamah Agung dengan
Pemerintah
Kategori

Mahkamah Agung

Pemerintah Pusat

Jenis Review

Judicial Review

Executive Review

Bentuk review

Permohonan keberatan

1.


Pengawasan
preventif
terhadap oleh pemerintah
pusat
terhadap
RANPERDA
yang
bermuatan APBD, pajak
dan retribusi daerah serta
tata ruang.
2.
Pengawasan
represif
terhadap PERDA dari
pemerintah pusat terhadap
daerah dalam pelaksanaan
otonomi daerah.
Lembaga yang
Mahkamah Agung
Departemen Dalam Negeri

melakukan
dibantu dengan:
review
a. Departemen Keuangan
b. Departemen PU
c. Departemen Hukum dan
HAM
Sifat kewenangan Pasif à menunggu datangnya Aktif melakukan pengawasan,
lembaga yang
permohonan dari pemohon evaluasi terhadap seluruh
melakukan
perda yang dikeluarkan
review
(represif)
Kapasitas
Menyelesaikan sengketa
Dalam rangka pengawasan dan
lembaga
peraturan perundang-undangan
pembinaan terhadap
yang timbul dibawah undangpemerintah daerah
undang terhadap undangundang (konflik norma)
Dasar hukum a. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 a. Pasal 114 ayat (1) sampai
kewenangan b. Pasal 11 ayat (2) huruf b UU ayat (4) UU No 22/1999
pengujian
No. 4/ 2004 tentang
tentang Pemda
Kekuasaan Kehakiman
b. Pasal 145 ayat (1), ayat (2),
c. Pasal 31 ayat (1) sampai ayat ayat (3), dan ayat (4) jo
(5) UU No. 5/2004 tentang
Pasal 136 ayat (4) jo Pasal
Mahkamah Agung
218 ayat (1) huruf b UU No
d. Peraturan Mahkamah Agung 32/2004 tentang Pemda
No. 1 Tahun 1999 yang sudah

diganti dengan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1
Tahun 2004 tentang Hak Uji
Materil
Standar pengujian a. bertentangan dengan
a. bertentangan dengan
peraturan perundangperaturan perundangundangan yang lebih tinggi
undangan yang lebih tinggi
b. pembentukannya tidak
b. bertentangan dengan
memenuhi ketentuan yang
kepentingan umum
berlaku
Lama waktu Permohonan Keberatan paling a. Perda disampaikan kepada
review
lambat diajukan ke MA setelah
Pemerintah paling lama 7
180 hari pengundangan Perda.
(tujuh) hari setelah
Tetapi tidak diatur berapa lama
ditetapkan
proses review harus diselesaikan b. Bila perda dibatalkan, maka
oleh MA.
peraturan presiden
pembatalan harus sudah
ditetapkan paling lama 60
hari sejak diterimanya perda
Waktu eksekusi Paling lama 90 (sembilanpuluh) Paling lama 7 hari setelah
hari setelah putusan yang
ditetapkan pembatalan perda,
mengabulkan permohonan
kepala daerah harus
keberatan perda, perda harus
menghentikan pelaksanaan
dicabut oleh DPRD bersama
perda, selanjutnya DPRD
kepala daerah.
bersama kepala daerah
mencabut perda tersebut
Bentuk
Putusan Mahkamah Agung
Peraturan Presiden
pembatalan
Upaya Hukum Tidak dapat diajukan Peninjaun Mengajukan keberatan kepada
Kembali
Mahkamah Agung
Sumber : Yance Arizona, Disparitas Pengujian Perda, Suatu Tinjauan Normatif
dalam www.yancearizona.wordpress.com diakses pada 08 Juli 2012.
C. Perda dalam Hirarkhi Perundang-undangan RI
Perda sebagai salah satu produk hukum yang berlaku di Republik
Indonesia (RI) memiliki tempat dalam struktur hirarkhi perundang-undangan RI
sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembetukan Peraturan
Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 UU tersebut ditegaskan jenis dan hirarkhi
peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu ;
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Secara hirarkhi, perda merupakan jenis peraturan perundang-undangan
paling bawah yang disebutkan dalam UU No.10 tahun 2004 ini, kendati dalam
rumusan pasal 7 ayat (3) UU tersebut disebutkan bahwa jenis peraturan
perundang-undangan selain yang disebutkan diatas diakui keberadaannya dan
mengikat secara hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Dengan diberlakukannya UU ini, maka terdapat
beberapa jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tidak termasuk
dalam hirarkhi perundang-undangan, seperti : Keppres, Permen, Kepmen dsb.
Implikasi yuridis dari tidak dimuatnya beberapa jenis peraturan diatas
dalam UU 10 tahun 2004 adalah terjadinya ketidakjelasan kedudukan beberapa
peraturan tersebut dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan RI. Jika perda
merupakan jenis peraturan paling bawah yang disebutkan oleh UU No.10 tahun
2004, maka bagaimana kedudukan perda dengan keputusan presiden misalnya.
Apakah keputusan presiden lebih tinggi daripada perda, atau sebaliknya. Sebagai
contoh sebuah Perda dapat dibatalkan oleh Keputusan Presiden karena dianggap
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum.
Padahal keputusan presiden tidak termasuk dalam hirarkhi perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2004.
D. Melihat Perda Syariah
Fenomena munculnya Perda syariah di berbagai daerah di Indonesia satu
mata rantai dengan kemunculan otonomi daerah. Kewenangan yang besar yang
diberikan kepada daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota dimanfaatkan oleh

sebagian

daerah

untuk

membuat

perda

dengan

maksud

melindung,

mempertahankan dan/atau menjaga berbagai karakteristik khas daerahnya.
Bagi daerah-daerah yang mayoritas muslim, dimana antara agama Islam dan
budaya masyarakat setempat telah berjalan berbarengan, bahkan telah menyatu
selama puluhan bahkan ratusan tahun. Daerah-daerah demikian memprkarsai
beberapa perda yang bernuansa syariah, seperti perda tentang kewajiban khatam
Al-Qur’an bagi anak usia SD/MI, Perda tentang Ramadhan, Perda tentang Jumat
khusu’ dan berbagai perda lainnya. Perda-perda demikian populer disebut sebagai
perda syariat Islam.
Perda Syariah saat ini setidaknya dilaksanakan di enam provinsi, 38
kabupaten dan 12 kota. Pola pemberlakuan syariat Islam pun berbeda – beda
seperti di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menegaskan
pelaksanaan hukum Islam, Perda syariat dibuat oleh Pemerintah Provinsi yang
mengacu kepada sebuah aturan induk, yaitu Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Penegakan Syariah Islam dimana Perda ini dibuat berlaku bagi seluruh
kabupaten/kota .
Di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat, perda dibuat di tingkat provinsi
secara umum dengan harapan akan dikembangkan dan dijadikan aturan induk bagi
pelaksanaan perda serupa di kabupaten/kota. Beberapa kabupaten/kota di kedua
provinsi itu sudah memberlakukan aturan serupa.
Di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Gorontalo, perda syariat dibuat di
tingkat provinsi, tetapi tidak diikuti pemerintah kabupaten/kota. Aturan yang
diatur umumnya terkait dengan pelarangan pelacuran dan peredaran minuman
keras. Bentuk lain dari pemberlakuan Perda syariat adalah perda dibuat oleh

pemerintah kabupaten/kota, tanpa ada aturan induk di tingkat provinsi. Kabupaten
Cianjur (Jawa Barat), Tangerang (Banten), Banjarmasin (Kalimantan Selatan),
dan Pamekasan (Madura, Jawa Timur) adalah beberapa pemerintah kabupaten
dan/atau kota yang melaksanakan Perda syariat walau provinsi induknya tak
mengaturnya
Gambaran diatas ingin menyatakan bahwa terdapat antusiasme yang tinggi
oleh masyarakat sejak dahulu sampai dengan sekarang terhadap ajaran Islam.
Sehingga formalisasi ajaran Islam dalam produk perundang-undangan oleh
beberapa kalangan dianggap penting. Pasca otonomi daerah, peluang melakukan
formalisasi tersebut memungkinkan dalam bentuk Perda.
Kendati demikian, pembentukan perda syariah memerlukan analisis yang
lebih holistik dari kaca mata hukum, khususnya hukum tatanegara. Sebab perda
merupakan produk hukum yang harus tunduk dan patuh terhadap kaidah-kaidah
pembuatan produk hukum dan tertib hukum Indonesia. Beberapa aspek untuk
melihat sejauhmana perda-perda syariah dapat diterima, atau bahkan bertentangan
secara yuridis dilihat dari sudut pandang hukum tata negara Indonesia.
Pertama : Dari sisi tertib hukum Indonesia sebagaimana dijelaskan diatas,
perda merupakan jenis peraturan yang berada paling bawah sesuai dengan UU
No.10 Tahun 2004. Sehingga secara yuridis terdapat konsekwensi secara formil,
maupun materiil bahwa perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti undang-undang (UU). Dalam UU
No.32 Tahun 2004 sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masalah agama
merupakan domain pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Sehingga jika
perda syariah sama dengan perda yang mengatur perihal persoalan-persoalan

agama, kendati skopnya lokal, maka secara tertib hukum nasional ia dianggap
bertentangan dan wajib dinyatakan tidak berlaku.
Kedua : Dilihat dari sisi materi perda. Materi/muatan yang diatur oleh perdaperda syariah akan menentukan bertentangan atau tidaknya perda tersebut secara
yuridis. Materi perda yang memuat persoalan agama jelas bertentangan dengan
tertib hukum nasional, sebab bukan merupakan wewenang pemerintah daerah
untuk mengaturnya. Kendati materi perda yang dianggap bermuatan agama masih
dapat diperdebatkan.
Sebagai contoh Perda Kabupaten Banjar tentang kewajiban khatam AlQur’an masih mengandung perdebatan, apakah kewajiban khatan Al-Quran
merupakan ranah agama, atau dapat ditarik menjadi ranah pendidikan. Sebab di
Kalimantan Selatan terdapat kultur pendidikan, dimana anak-anak usia SD
berkewajiban (secara budaya) untuk mengkhatamkan Al-Qur’an. Hal ini terkait
dengan budaya dan tradisi masyarakat Banjar yang dekat dengan budaya baca
(termasuk tulis) Al-Qur’an. Jika perda demikian muatannya didekati dari sisi
pendidikan, maka perda demikian tidaklah bertentangan secara yuridis.
Hal ini berbeda dengan perda syariah yang murni mengatur tentang
persoalan agama dan bersifat privat, seperti Perda Jum’at khusu’. Perda ini
memuat tentang larangan membuat “keributan” pada saat sholat jum’at
dilaksanakan dengan tujuan agar orang yang melaksanakan sholat jum’at dapat
dengan khusu’ melaksanakan ibadahnya. Persoalan khusu’ adalah persoalan
keagamaan dan sifatnya sangat privat. Hanya sang individu yang dapat merasakan
khusu’ atau tidaknya pada saat ia beriadah. Sangat aneh, jika persoalan khusu’ ini
ditarik oleh pemerintah daerah menjadi kewenangannya. Dari persfektif ini,

materi perda yang merupakan wilayah agama dan bersifat privat dapat dinyatakan
bertentangan secara yuridis. Terlebih hukum (hukum positif) bertujuan untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia semata, hubungan manusia dengan
Tuhan tidak menjadi domain hukum positif.
Ketiga : Dilihat dari sisi legal drafting, adanya pencantuman sumber hukum
perda berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist tidak konkruen dengan produk hukum
Indonesia yang bukan negara agama. Pencantuman kedua sumber hukum tersebut
membuat perda-perda syariah “cacat” dilihat dari sisi tata cara penyusunan produk
hukum (legal drafting), termasuk perda
Keempat : Dari sisi penerapan sanksi, sebuah perda hanya diperkenankan
menerapkan sanksi administratif dan sanksi pidana, serta denda dalam batasan
tertentu. Sanksi pidana misalnya tidak boleh melebihi 6 (enam) bulan penjara,
sedangkan sanksi berupa denda maksimal sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah) sebagaimana dijelaskan diatas. Jika terdapat perda yang menerapkan
sngsi di luar sanksi tersebut, termasuk sanksi-sanksi yang terdapat dalam hukum
Islam untuk perbuatan tertentu.
Kelima : Dari aspek etika-moral hukum (law in ethic), pembuatan perda
syariah harus dilihat secara proporsional, terutama latar belakang dan kondisi
pada saat perda syariah itu dibuat. Sebagai contoh, di beberapa daerah beberapa
perda yang mendesak untuk dibuat justeru di kesampingkan dan mendahulukan
pembuatan perda-perda syariah. Perda yang berkaitan dengan pelayanan pubik,
perda anti korupsi dan berbagai perda lain yang seharusnya menjadi prioritas tidak
dikerjakan. Dalam kontek demikian, secara etika hukum, pembentukan perda
syariah mengundang tanda tanya besar. Terlebih di banyak kasus, pembuatan

perda syariah dibuat pada saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Pembuatan perda syariah dapat dimaknai sebagai cara penarikan simpati publik
kepada penguasa dan diharapkan dari simpati itu akan muncul dukungan kembali
untuk menjadikan penguasa yang ada (incombent) duduk kembali di kursi
kekuasaannya. Dalam konteks ini, kekuasaan cenderung disalahgunakan untuk
kepentingan jangka pendek sang penguasa (power tends to corrupts, absolute
power corrupts absolutely).
Hal lain yang juga harus mendapat perhatian dalam koridor etika-moral
hukum dalam pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk
perda adalah sejauhmana terbentuknya pelbagai peraturan tersebut dapat
menciptakan tertib hukum nasional yang bermuara pada tertib masyarakat secara
luas. Munculnya peraturan yang identik dengan kepentingan kalangan tertentu,
lambat laun akan menimbulkan sintemen dari kalangan lain. Dalam kacamata keIndonesia-an, antusiasme sebagian daerah yang mayoritas penduduknya muslim
untuk membentuk perda-perda syariah akan menimbulkan sintemen kalangan
non-muslim untuk membentu peraturan serupa di daerah-daerah yang menjadi
basisnya.
Jika fenomena ini terus berlanjut, maka kedepan yang menonjol adalah
peraturan-peraturan berbasis kepentingan kelompok tertentu, sehingga peraturan
yang mejunjung tinggi persamaan di depan hukum lambat laut akan tersingkirkan.
Hal ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan disintegrasi hukum nasional yang
merupakan awal lahir disintegrasi bangsa.
Tabel

3.

Parameter

Penilaian

Ketatanegaraan

Perda

Syariah

dari

sisi

Yuridis

No

Parameter
Penilaian

1

Tertib Hukum
Nasional

Permasalahan Krusial

Diaturnya persoalan-persoalan terkait wilayah
agama yang seharusnya menjadi domain pemerintah
pusat berdasarkan UU No.32 Tahun 2004.
Perda secara hirarkhi berada dibawah UU, sehingga
ia tidak boleh bertentangan dengan UU (vide UU
No.10 Tahun 2004).
2 Materi/Muatan Perda Perda syariah mengatur masalah agama, bukan
domain pengaturan melalui perda.
Perda syariah yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan. Hukum positif mengatur hubungan
manusia dengan manusia.
3
Legal Drafting
Pencantuman sumber hukum perda berupa AlQur’an dan Al-Hadist.
4
Sanksi
Tidak boleh menerapkan sanksi pidana dan/atau
denda melebihi ketentuan dalam UU No.32 tahun
2004.
Penerapan sanksi diluar yang diatur dalam UU
No.32 tahun 2004 tidak dibenarkan, termasuk
sanksi-sanksi yang sesuai dengan hukum Islam
(syariah).
5
Etika-Moral Hukum Prioritas pembentukan perda.
Latar belakang pembentukan perda.
Sumber : Yance Arizona, Disparitas Pengujian Perda, Suatu Tinjauan Normatif
dalam www.yancearizona.wordpress.com diakses pada 08 Juli 2012.

E. Perda Syariah dalam Prespektif Politik Hukum Indonesia
Politik hukum mengandung dua sisi yang tidak terpisahkan, yakni sebagai
arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam
pembuatan hukum, dan sekaligus alat untuk menilai dan mengkritisi apakah
sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal
policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Dengan pengertian-pengertian
tersebut, maka pembahasan politik hukum untuk mencapai tujuan negara dengan
satu sistem hukum nasional mencakup sekurang-kurangnya hal-hal berikut , yaitu:

1. Tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidamkan sebagai
orientasi politik hukum, termasuk panggilan nilai-nilai dasar tujuan negara
sebagai pemandu politik hukum.
2. Sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
3. Perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan hukum.
4. Isi hukum nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
5. Pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review, legislative,
review, dan sebagainya. Atau, menurut Muhadar7 Politik hukum adalah
Legal Policy yang akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah
yang mencakup: Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan materimateri hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan pembangunan,
termasuk materi-materi hukum di bidang pertanahan; juga bagaimana
pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegakan
supremasi hukum, sesuai fungsi-fungsi hukum, fungsi lembaga dan
pembinaan para penegak hukum. Dengan kata lain, Politik Hukum
mencakup proses pembangunan dan pelaksanaan hukum yang dapat
menunjukkan peranan, sifat dan kearah mana hukum akan di bangun dan
ditegakkan.
Politik hukum merupakan arah pembangunan hukum yang berpijak pada
sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara atau
masyarakat bangsa. Hukum di Indonesia harus mengacu pada cita-cita masyarakat
bangsa, yakni tegaknya hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Pembangunan hukum harus ditujukan untuk mengakhiri tatanan sosial yang tidak
adil dan menindas hak-hak asasi manusia; dan karenanya politik hukum harus
berorientasi pada cita-cita negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip
demokrasi dan berkeadilan sosial dalam satu masyarakat bangsa Indonesia yang
bersatu, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Dalam konteks politik hukum jelas bahwa hukum adalah alat yang bekerja
dalam sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan negara atau cita-cita
masyarakat Indonesia. Tujuan negara kita, bangsa Indonesia, adalah membentuk
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara definitif, tujuan
negara kita tertuang di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang
meliputi:
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Ikut

melaksanakan

ketertiban

dunia,

berdasarkan

kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan negara ini didasarkan pada
lima dasar negara (Pancasila), yaitu: ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila inilah yang memandu politik hukum nasional dalam berbagai
bidang Hukum sebagai alat untuk mencapai Tujuan Negara, selain berpijak pada
lima dasar (Pancasila), menurut Tanya 10 juga harus berfungsi dan selalu berpijak
pada empat prinsip cita hukum (rechtsidee), yakni:
1. Melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan (integrasi).
2. Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan.
3. Mewujudkan

kedaulatan

rakyat

(demokrasi)

dan

negara

hukum

(nomokrasi)
4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam
hidup beragama.
Empat prinsip cita hukum tersebut haruslah selalu menjadi asas umum
yang memandu terwujudnya cita-cita dan tujuan negara, sebab cita hukum adalah

kerangka keyakinan (belief framework) yang bersifat normatif dan konstitutif.
Cita hukum itu bersifat normatif karena berfungsi sebagai pangkal dan prasyarat
ideal yang mendasari setiap hukum positif, dan bersifat konstitutif karena
mengarahkan hukum dan tujuan yang hendak dicapai oleh negara.
Berdasarkan cita-cita masyarakat yang ingin dicapai yang dikristalisasikan
di dalam tujuan negara, dasar negara, dan cita-cita hukum, maka diperlukan
sistem hukum nasional yang dapat dijadikan wadah atau pijakan dan kerangka
kerja politik hukum nasional. Dalam hal ini, pengertian tentang sistem hukum
nasional Indonesia atau sistem hukum Indonesia perlu dikembangkan.
Sistem adalah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang satu dengan
yang lain saling bergantung untuk mencapai tujuan tertentu. Banyak yang
memberi definisi tentang istilah sistem ini. Ada yang mengatakan bahwa sistem
adalah keseluruhan yang terdiri dari banyak bagian atau komponen yang terjalin
dalam hubungan antara komponen yang satu dengan yang lain secara teratur.
Sedangkan hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan
yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, dasar, dan cita hukum
suatu negara. Dalam konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan
hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai tujuan
negara yang bersumber pada Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945. sebab, di
dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita
hukum Indonesia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai khas budaya bangsa
Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam kesadaran hidup bermasyarakat
selama berabad-abad.

Dengan demikian, sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum
yang berlaku diseluruh Indonesia yang meliputi semua unsur hukum (seperti isi,
struktur, budaya, sarana, peraturan perundang-undangan, dan semua sub
unsurnya) yang antara yang satu dengan yang lain saling bergantungan dan yang
bersumber dari Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 194512. Menurut Soerjono
Soekanto13, masalah-masalah yang dipersoalkan dalam sistem hukum mencakup
empat hal, yaitu:
1. Elemen atau unsur-unsur sistem hukum;
2. Konsistensi sistem hukum;
3. pengertian-pengrtian dasar sistem hukum; dan
4. kelengkapan sistem hukum.
Politik Hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses
pencapaian cita-cita dan tujuan. Dengan arti ini, maka menurut Mahfud, politik
hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar, sebagai berikut
1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yakni
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2. Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara,
yakni:
a.

melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,

b.

memajukan kesejahteraan umum,

c.

mencerdaskan kehidupan bangsa,

d.

melaksanakan

ketertiban

dunia

berdasarkan

kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
3. Politik hukum harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
negara, yakni:
a.

berbasis moral agama,

b.

menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia tanpa
diskriminasi,

c.

mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan
primordialnya,

d.

meletakkan kekuasaan dibawah kekuasaan rakyat,

e.

membangun keadilan sosial.

4. Agak mirip dengan butir 3, jika dikaitkan dengan cita hukum negara
Indonesia, politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk;
a.

melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan
bangsa yang mencakup ideologi dan teritori,

b.

mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakat,

c.

mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi
(kedaulatan hukum),

d.

menciptakan toleransi hidup beragama berdasar keadaban dan
kemanusian.

5. Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan panduan
tersebut maka sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem
hukum Pancasila, yakni sistem hukum yang mengambil atau memadukan
berbagai nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu
ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Tipologi
Philippe Nonetz dan Philip Selznick tentang bentuk-bentuk legal ordering:
Repressive law, Autonomous law, Responsive law. terpaksa mengakui
bahwa dalam satu sistem hukum ada dua kemungkinan wajah hukum:
pertama, Sistem hukum dapat bersifat menindas, dan hukum sering
membatasi dan kaku; kedua, Hukum dapat merupakan suatu sarana untuk
merealisasikan kebebasan dan persamaan, menjadikan para politisi tunduk
kepada asas-asas hukum. Ada tiga tipe keadaan hukum dalam masyarakat:
a. Repressive Hukum yang mengabdi kepada kekuasaan dan tertib
sosial yang represif, artinya banyak menggunakan paksaan tanpa
memikirkan kepentingan yang ada pada rakyat. Karakteristik :
Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik,
hukum di identifikasikan dengan negara.
b. Perspektif resmi mendominasi segalanya.

c. Kepentingan bagi rakyat untuk mendaatkan keadilan memperoleh
perlindungan apabila keadilan semacam itu ada, adalah terbatas.
d. Badan-badan khusus, misalnya, polisi, menjadi pusat-pusat
kekuasaan yang bebas.
e. Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan
konformitas kebudayaan.
Autonomous
Hukum otonom berorientasi pada pengawasan kekuasaan represif artinya
hukum otonom merupakan antitesis dari hukum represif. Karakteristik :
a. Penekanan pada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama mengawasi
kekuasaan resmi
b. Adanya pengadilan yang dapat didatangi secara bebas tanpa manipulasi
kekuasaan politik dan ekonomi.
c. Kelemahan : Perhatian terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan
prosedural mengakibatkan peranan hukum semakin sempit; Keadilan
prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif; Penekanan atas
kepatuhan terhadap hukum, melahirkan pandangan tentang hukum sebagai
sarana kontrol sosial, mengembangkan suatu mentalitas hukum diantara
rakyat, mendorong ahli hukum mengadopsi sifat konservatif.
Responsive
Sikap responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan
kepentingan

sosial.

(Satjipto

Rahardjo,

menyebut

lebih

peka

terhadap

masyarakat). Karakteristik: Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsipprinsip dan tujuan; Pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun
cara untuk mencapainya. Setelah melakukan pengkajian teoretik, dapat diambil
kesimpulan awal bahwa tipe yang paling relevan untuk rujukan adalah tipe hukum
responsif, karena:
a. roses pembuatannya bersifat partisipatif.

b. Dilihat dari segi fungsinya, maka hukum yang berkarakter responsif
bersifat aspiratif, artinya memuat materi secara umum sesuai dengan
aspirasi yang dilayani (dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak
masyarakat).
c. Dari segi penafsiran, memberi peluang sedikit kepada pemerintah untuk
membuat penafsiran melalui peraturan pelaksanaan.
Politik hukum mengandung dua sisi yang tidak terpisahkan, yakni: sebagai
arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam
pembuatan hukum, dan sekaligus alat untuk menilai dan mengkritisi apakah
sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak, dengan kerangka pikir legal
policy tersebut untuk mencapai tujuan negara.
Analisis secara mendalam topik Politik Hukum dan Perda-Perda Bias
Agama di bumi Pancasila, belum dilakukan secara mendalam, masih perlu
metodologis untuk menganalisisnya secara mendalam. Kendati belum mendalam,
namun ada beberapa hal, sebagai gambaran awal, yang dapat disimpulkan
berhubungan dengan tatanan Politik Hukum Nasional . Dari segi Hakikat
Peraturan Daerah, Perda Bias Syariah Islam: menyalahi hierarki peraturan
perundang-undangan, menyalahi eksistensi perda, dan mengabaikan prinsip
pijakan perda, yang tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang
lebih tinggi (misalnya, kebebasan beragama di dalam UUD 1945).
Perda Bias Syariah tidak sejalan dengan cita-cita dan tujuan Negara, yang
hendak menegakkan keadilan sosial, menegakkan hak-hak asasi manusia,
menegakkan persatuan tanpa diskriminasi. Perda Bias Syariah Islam mengancam
prinsip cita hukum (rechtsidee) mengenai perlindungan terhadap semua unsur
bangsa demi keutuhan/integrasi.

Perda ini tidak sejalan dengan sistem hukum nasional Indonesia, dimana
kesatuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk
mencapai tujuan negara, seharusnya selalu bersumber pada Pembukaan dan Pasalpasal UUD 1945. Perda ini mengancam kerangka dasar/pijakan politik hukum
kita, karena bias perda menciptakan in-toleransi hidup beragama yang berdasar
keadaban dan kemanusiaan. Mengacu pada tiopologi Nonetz, perda bias syariah
dapat dikategorikan Repressive, karena hukum dan otoritas resmi (formalisasisweeping) dipergunakan.
Arah Hukum Indonesia saat ini, seharusnya sudah jelas, yakni, terletak
pada tujuan negara, dasar negara, pada cita-cita hukum, maupun pada
pijakan/dasar Politik Hukum kita. Namun, kebangkitan Islam Politik dengan
mengusung “syariah Islam” jelas sangat mencemaskan, tidak hanya bagi nonmuslim, tetapi juga bagi Islam Kultural. Diketahui bahwa, semua umat beragama
di

Indonesia

wajib,

bahkan

sudah

hakikatnya,

melaksanakan

syariah/ketentuan/hukum agamanya masing-masing, secara interen, tanpa harus
diperdakan (menjadi hukum positif negara).

F. Resistensi Perda Syariah Dalam Sistem Sosial Indonesia
Secara yuridis normatif pemberlakuan syariah Islam di era otonomi daerah
ditetapkan melalui instrumen legislatif daerah utamanya peraturan daerah (perda)
yang memiliki kekuatan hukum dan politis. Kendatipun Undang-Undang tentang
otonomi daerah tidak memberi wewenang bidang peradilan dan agama kepada
daerah, tetapi dalam praktiknya, perda-perda itu masuk kedalam ranah persoalan
agama. Karenanya, keberadaan perda-perda syariah itu perlu terus dikaji untuk
menguji, apakah peraturan-peraturan daerah tersebut bertentangan dengan

undang-undang dan Konstitusi atau tidak. Karenanya dalam kenyataannya, perda
syariah tidak jarang menimbulkan rresistensi sosial yang memicu perdebatan
dalam masyarakat.
Selain menimbulkan kontroversi yang memicu ketegangan dan konflik
sosial, perda syariah juga dikhawatirkan dapat menjadi alat politisasi agama.
Perda dengan begitu dapat kehilangan otoritas relijiusnya dan hanya menjadi
kebijakan publik biasa dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Gejala ‘politik
syariah’ ini juga paradoks, karena mengajarkan kepalsuan dan kemunafikan dalam
keberagamaan, padahal inti keberagamaan adalah toleransi. Di daerah perda
syariah, masyarakat tampak lebih taat beragama, namun diragukan bahwa
ketaatan itu refleksi ketulusan, kesadaran, dan kedewasaan.
Sangat mungkin ketaatan itu lahir, karena rasa takut pada aparat negara.
Bila benar, maka ini pertanda terjadinya reduksi mendasar terhadap prinsipprinsip syariah, sebab, dilihat dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa
dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Sebaliknya, prinsip-prinsip syariah
akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara. Sifat
relijius syariah dan fokusnya pada pengaturan hubungan antara Tuhan dan
manusia, mungkin satu-satunya alasan utama bertahan dan berkembangnya
pengadilan-pengadilan sekular yang berfungsi memutuskan perkara-perkara
praktis dalam pelaksanaan peradilan dan pemerintahan secara umum.
Namun demikian, dukungan masyarakat terhadap perda sangat jelas dan
kuat. Pemberlakuan syariah lewat perda-perda itu pada umumnya diketahui dan
disetujui kebanyakan masyarakat Muslim. Meski bagi masyarakat yang tidak
setuju, perda syari’ah dinilai antara lain mengganggu kerukunan antar umat

beragama, tetapi bagi masyarakat yang setuju, menerapkan syariah lewat perda
dianggap sebagai perintah agama. Bagi sebagian mereka, perda syariah bahkan
diharapkan dapat menjadi solusi bagi berbagai masalah yang membelit bangsa
dewasa ini. Harapan ini tampaknya dipengaruhi oleh kegagalan negara
mengintegrasikan program-program politik, budaya, dan ekonomi, dengan sistem
nilai-nilai dan worldview yang hidup dalam masyarakat dan juga kegagalan
(kurang berhasilnya) modernisasi dalam berbagai bidang yang dilakukan negara.
Kendatipun demikian, manfaat yang paling terasa dari perda-perda syariah
adalah meningkatnya keamanan dan ketertiban masyarakat misalnya, kebiasaan
anak-anak muda yang mabuk-mabukan dan berjudi di gang-gang perkampungan
menjadi hilang. Meningkatnya rasa aman dalam masyarakat perlu dicermati dan
diteliti lebih lanjut, karena gejala ini boleh jadi sekadar efek atau refleksi dari
ketakutan publik pada syariah. Jika benar, maka gejala ini bukanlah cerminan
sesungguhnya dari menguatnya institusi hukum dan keamanan.
Artinya, yang sesungguhnya berlangsung bukanlah kepatuhan hukum
warga negara akibat dari situasi objektif yang tercipta, melainkan karena rasa
takut kepada polisi syariah yang dipersepsikan menjalankan tugas mereka atas
nama agama. Gejala ini dapat menggeser otoritas keamanan dari institusi
kepolisian ke otoritas syariah. Ini tentu berbahaya, karena citra dan peran institusi
keamanan akan terus merosot. Pada gilirannya, ini akan menimbulkan ketegangan
di antara otoritas syariah dan otoritas kepolisian.
Sebagai kebijakan publik, perda-perda itu kurang demokratis secara
prosedural. Hal ini dikarenakan rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses
penerbitan perda syariah. Artinya agenda penerapan syariah cenderung dilakukan

secara tertutup, tanpa proses dialog yang partisipatif dengan melibatkan sebanyak
mungkin elemen masyarakat, baik komunitas non-Muslim maupun komunitas
Muslim. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa perda syariah adalah agenda politik
elit.
Sebagaimana telah diungkap, sebagian masyarakat yang diteliti mengakui
adanya politisasi syariah. Hampir sepertiga dari mereka menyatakan bahwa
formalisasi syariah tidak jarang menjadi isu kampanye dalam pemilihan kepala
daerah (Pilkada). Menurut mereka, politisasi syariah juga terjadi dalam pemilu
nasional yang dilakukan partai-partai tertentu untuk menarik perhatian pemilih
dalam jumlah yang besar. Bahkan, perda syariah disinyalir sebagai move politik
elite daerah, guna mengalihkan perhatian rakyat dari penderitaan ekonomi yang
dialaminya.
Meski mendapat dukungan kuat publik Muslim, rendahnya partisipasi
publik dalam proses penerapan syariah memperkuat dugaan bahwa ‘politik
syariah’ sebagai agenda elit. Hinga kini, pemerintah pusat terkesan mendiamkan
gejala ini meski muncul kekhawatiran dari banyak kalangan. Banyaknya
kepentingan publik yang ‘ditabrak’ sebagai dampak perda syariah pada dasarnya
mengkonfirmasi asumsi di atas. Seperti telah disebutkan berulang kali dalam buku
ini, penerapan syariah di berbagai daerah mengancam atau bahkan sebagiannya
melanggar kebebasan sipil, hak-hak perempuan, dan non-Muslim. Hal ini terjadi,
karena antara lain konstruk syariah tradisional yang dalam beberapa hal memang
problematik, jika diukur dengan ukuran HAM universal.
Sikap tidak toleran dan ekslusivisme juga merebak di daerah-daerah. Hal
ini jelas terlihat dari rendahnya keinginan untuk hidup secara berdampingan

dengan kelompok minoritas lainnya, serta rendahnya penghargaan terhadap
kebebasan beragama kelompok minoritas. Pengrusakan rumah-rumah ibadah
(gereja) yang meningkat dalam beberapa tahun belakangan adalah contoh ekstrim
intoleransi dalam masyarakat Islam belakangan ini. Selama 12 bulan terakhir saja,
misalnya, terdapat banyak gereja yang diserang oleh sekelompok orang, seperti
yang terjadi di Jawa Barat, Aceh, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
Yang perlu dicermati dari gejala perda syariah adalah, selain menunjukkan
kembalinya syariah ke ruang publik, tren perda-perda syariah di tingkat lokal ini
juga merefleksikan gejala baru Islamisasi, yaitu usaha untuk mengkonstruksi
masyarakat yang Islami melalui otoritas politik lokal. Di daerah-daerah kantong
Islam tersebut, para pendukung gerakan-gerakan pro-syariah menyatakan perang
melawan segala bentuk maksiat yang dianggap sebagai representasi budaya
sekular yang mencemari ajaran Islam. Faktor ketidakpastian hukum serta
degradasi moral sosial secara signifikan telah mendorong lahirnya kelompok
Islam yang mendukung penerapan syariah “secara paksa” oleh negara. Deprivasi
sosial akibat krisis ekonomi-politik juga secara fundamental membuka jalan bagi
desakan-desakan penerapan syariah oleh negara tersebut.
Sikap negara yang cenderung mendiamkan pelanggaran HAM yang
ditimbulkan perda-perda syariah tersebut memunculkan dugaan bahwa perda ini
“direstui” negara. Sikap ini beresiko, karena akan memancing dunia internasional
mempertanyakan komitmen Indonesia pada penegakan HAM dan pluralisme.
Karenanya, pemerintah perlu secara sungguh-sungguh membatalkan semua perda
syariah yang bertentangan dengan HAM.

Secara historis, syari’ah tradisional yang kita kenal adalah produk ulama,
terutama pada abad ke-7 dan 8, dalam memahami teks-teks suci Islam yang
dipengaruhi dan dibenarkan masanya yang belum mengenal HAM universal yang
baru lahir pada tahun 1948. Celahnya dengan menekankan syari’ah pada
pertimbangan kemaslahatan kemanusiaan, baik dalam konteks lokal maupun
nasional. Dengan demikian, tanpa menghilangkan sifatnya yang bersumber dari
teks suci, syariah pun akan bersifat modern dan rasional, bahkan dimungkinkan
untuk didialogkan dan diterima warga non-Muslim dalam bingkai naton state
seperti Indonesia.

G. Perda Syariah sebagai Produk Hukum Lokal yang Khas (Tela’ah dalam
Prespektif Hukum Progresif)
Indonesia berdasarkan Pasal 1 ayat (3) adalah negara hukum. Negara
hukum yang selama ini dijalankan untuk memberikan koridor, rel dalam
pelaksanaan kehidupan bernegara, berbangsa bahkan sampai dengan kehidupan
berkeluarga, masih menyisakan banyak persoalan. Persoalan tersebut, antara lain
tercermin dari pendapat Satjipto Rahardjo “pembangunan negara hukum ternyata
belum juga kunjung selesai dengan baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya”.
Indonesia menjadi terkenal di dunia sebagai negara dengan sistem hukum sangat
buruk. Yang dimaksud dengan pembangunan yang belum kunjung selesai di sini
adalah bagaimana menjadikan negara hukum itu suatu organisasi yang secara
substansial mampu menjadi rumah yang menyenangkan, mensejahterakan dan
membahagiakan bagi bangsa Indonesia. Dari pendapat tersebut tampak bahwa
bangunan negara hukum yang dikonstruksi dan diformulasikan dalam konstitusi,

belum sepenuhnya menjadi sarana bagi segenap bangsa Indonesia untuk hidup
secara senang dan sejahtera ( the affluent society).
Bangunan negara hukum sebagai rumah bangsa yang mensejahterakan,
tampaknya masih harus diusahakan, diperjuangkan secara sungguh –sungguh
sehingga negara hukum betul-betul menjelma menjadi rumah bangsa yang
mensejahterakan. Usaha secara sungguh-sungguh diprasayaratkan, mengingat
bangsa Indonesia dalam berhukum secara modern dengan menggunakan
instrumen hukum barat yang terkodifikasikan adalah pengalaman baru. Disebut
demikian, karena hukum modern yang sebagian besar masih berlaku di Indonesia
adalah sebuah produk kultural yang ditransplantasikan dari sistem kultural dunia
barat (western legal system).
Dengan lain perkataan, bangunan, konsep, termasuk juga asas-asas untuk
operasionalisasi negara hukum, apakah itu rechstaat ataupun juga rule of law
adalah adalah produk kultural yamg nyata bukan bagian dari sejarah sosial dan
politik bangsa ini. Negara hukum adalah produk kultural yang di paksakan dari
sistem kultural barat ke Indonesia dalam atmosfir kolonialisasi di saat itu,
sehingga peberlakukan hukum di tanah jajahan, bukan semata-mata kehendak
yang ikhlas untuk membentuk masyarakat berkarakter sadar dan cerdas hukum,
malainkan dalam rangka memperlancar visi dan misi kolonialisasi pada saat itu.
Membangunan negara hukum pada hakikatnya adalah sebuah proses
secara sadar, terencana untuk membangun perilaku berhukum masyarakat.
Sehingga, membangun negara hukum bukan semata-mata mendirikan pengadilan,
melantik hakim dan jaksa, serta melafal pasal-pasal undang-undang, melainkan
adalah upaya untuk membangun budaya perilaku tertib dan sadar hukum.

Semenjak negara ini merdeka, pembangunan negara hukum, tampaknya masih
diartikan secara positivistik bahwa negara hukum selalu berdiri tegak diatas aturan
hukum yang tertulis dengan aparat penegaknya, sehingga dengan adanya pasal
yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum, adanya pengadilan, adanya
undang-undang serta para aparat dengan fasih dapat melafal pasal, sudah
terpenuhi sarat sebagai negara hukum. Jika demikian, menurut Satjipto Rahardj,
sejatinya kita masih berhukum secara primitif.
Jika tidak mau dikatakan yang demikian, maka bangsa ini harus berani
melakukan perubahan pola berpikir dalam berhukum, yaitu berhukum secara
progresif. Berhukum secara progresif selalu mengkaitkan dengan erat antara
keadilan yang tertulis nyata dan ditawarkan dalam undang-undang dengan nilainilai masyarakat. Dengan demikian unsur sosial seperti nilai, moral, nurani,
kesusilaan menjadi penting untuk dipertimbangkan.
Pertimbangan tersebut antara lain dapat dikemukakan, apakah bangunan
negara hukum yang diterima bangsa Indonesia sudah pas/cocok dengan sistem
kultural/sosial bangsa Indonesia, mengingat bangunan negara hukum modern
adalah bangunan bernegara yang bukan merupakan bagian dari perkembangan
sosial kultural bangsa ini. Secara perilaku apakah bangsa ini sudah siap, serta
untuk mencegah luruhnya, pudarnya nilai-nilai sosial, minimal mengusahakan
bagaimana nilai sosial bangsa Indonesia (nilai-nilai luhur Pancasila) dapat
mewarnai dalam bernegara hukum.
Jika mengkaji pertanyaan – pertanyan diatas, jelas bahwa bernegara
hukum bukan instan melainkan berproses. Proses dalam konteks negara hukum,
sebenarnya mengambarkan bahwa yang di idealkan sebagai negara hukum

dis

Dokumen yang terkait

Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2016 Berdarkan Data Tahun 2007 - 2012

2 67 48

Implementasi Graph Coloring Dalam Pemetaan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai

2 35 85

Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Dokumen Kependudukan dan Catatan Sipil Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 19 Tahun 2008

1 7 82

Implementasi Peraturan Daerah Kota Gorontalo Nomor 22 Tahun 2005 Tentang Wajib Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa Yang Beragama Islam Kota Gorontalo.

0 0 15

PERBUP Nomor 38 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

0 0 15

Peraturan Daerah Kab Ogan Ilir Nomor 10 Tahun 2014 tentang Wajib Baca Tulias Al-quran

0 0 7

Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 12

Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 4

Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 1 16

Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 5