Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Semenjak tumbangnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi
kebijakan Pemerintah tentang asas tunggal berubah. Ormas-ormas atau organisasi
apapun mendapat angin segar untuk bernafas, sehingga tidak lagi semua
organisasi berasaskan Pancasila. Banyak organisasi yang kembali ke khittahnya
semula. Ormas-ormas Islam mengembalikan asasnya kepada Islam. Ormas Islam
yang dulunya bergerak di bawah tanah, karena tidak mau menerima asas tunggal,
kembali hidup bebas di udara Republik Indonesia.
Seirama dengan bertiupnya angin segar di bawah bendera reformasi,
muncul pula keinginan bagi sebahagian kalangan yang peduli pada komitmen
keislaman agar Islam betul-betul eksis, baik secara normatif maupun kultural.
Untuk mencapai hal ini menurut mereka harus dimulai melalui politik kekuasaan.
Keinginan ini terlihat dari kemunculan berbagai partai Islam. Di samping itu di
daerah-daerah yang memiliki basis keislaman yang kuat, muncul pula keinginan
untuk menerapkan ajaran Islam secara holistik. Aceh, umpamanya, menuntut
diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Khusus sebagai Daerah Istimewa dan
sebagai daerah yang memiliki budaya Islam yang sangat kental, yang terkenal
dengan Serambi Mekah. Begitu juga daerah-daerah lain seperti Sumatera Barat,

Banten, Bulukumba dan lain-lain. Sehingga akhirnya gagasan ini menjadi
perdebatan yang sangat kuat di kalangan Anggota DPRD untuk mengakui
keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Syariah. Sampai dengan saat ini belum
terjadi kata sepakat di antara mereka.

Sejak awal sejarah Indonesia, perkembangan penerapan syariah Islam di
Indonesia telah dimulai dengan keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
pada masa lampau. Upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk
hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang sangat besar, bukan saja
dari para kalangan ulama, tetapi juga dukungan dari kalangan penguasa politik,
yakni raja-raja dan para sultan.
Kita masih dapat menyaksikan hingga saat ini jejak-jejak peninggalan
kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam pada masa lampau di
Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan,
Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta,
Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan
kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi keberadaan
hukum Islam. Berbagai kitab hokum Islam ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau
Kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam, setidak-tidaknya di bidang
hukum keluarga dan hukum perdata, sebagai hukum positif yang berlaku di

negerinya. Kerajaan juga membangun Masjid besar di Ibukota Negara, sebagai
wujud simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di Negara mereka.
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para
kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, Jikalau ditempat
tersebut tidak terdapat adanya kekuasaan politik formal yang mendukung
pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke-17
misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena
daerah ini berada didalam pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang
menetap disekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara

dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di
sekitar Batavia terdapat pula komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang
Arab dan India Muslim, di samping adanya komunitas Cina Muslim yang tinggal
di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini. (Mahendra; 2008)“.
Berbagai suku yang datang ke Batavia tersebut menjadi cikal bakal orang
Betawi di kemudian hari. Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat
bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu.
Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa
dan Sunda. Mereka membangun Mesjid dan mengangkat orang-orang yang
mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai

peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat
yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan
di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum
Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru
(Mahendra; 2008).
Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 Masjid di luar tembok kota
Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah
sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka
Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya
mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang terkenal itu. (AlMaududi; 1995)
Compendium Freijer itu sendiri ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa
Melayu tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata,
bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata

lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga
menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam
praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam.
Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para
hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan
diberlakukan di tanah Jawa. (Al-Maududi; 1995)

Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan
hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondokpondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di
daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram,
yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan
telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat
kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di
kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan
pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya.
Genderang otonomi daerah merupakan pintu masuk utama munculnya
seluruh peraturan lokal sebagai wujud dari titah regulasi baik yang
kewenangannya bersifat atributif (melekat) maupun yang bersifat delegatif
(turunan). Dari peluang transfer kewenangan ini, arus balik sentralisasi kekuasaan
antara lain dimaknai dengan membuka seluas mungkin upaya memandirikan
daerah dengan segenap kemunculan kebijakan lokal dalam kondisi yang serba
transisi dan terbatas. Dengan segala keterbatasan tersebut lahirlah berbagai produk
hukum daerah berupa peraturan dan keputusan pejabat daerah.

Tidak ada catatan yang rinci untuk memastikan kapan perda-perda yang
bernuansa syariah itu muncul di Indonesia. Namun melihat perkembangannya
Perda syariah mulai tumbuh ketika perdebatan panjang tentang perubahan UUD

1945, 1999, 2002 yang juga terjadi perdebatan tentang berlakunya syariah islam
di Indonesia. Kemudian diterapkan di daerah khusus NAD (Nanggroe Aceh
Darussalam). Hal ini menjadi lebih semarak dengan seiring menguatnya dorongan
atas pelaksanaan otonomi daerah di awal-awal tahun 1999. Ditahun-tahun
tersebut, bisa dikatakan sebagai era dimana Pemerintahan Daerah seperti burung
yang mendapatkan kebebasannya hingga ia bisa melakukan apapun yang
dibutuhkan dan disukainya. Dalam konteks kebebasan tersebut, Pemerintah lokal
tidak hanya mulai membenahi diri secara struktural tapi juga melengkapi
birokrasinya dengan berbagai produk Peraturan Daerah.(Santoso; 2000)
Seperti juga berbagai isu dan permasalahan yang terus datang timbul
tenggelam, wacana perda bernuansa syariat menggelinding begitu saja ditengah
keramaian perdebatan nasionalisme dan tuduhan terorisme terhadap umat Islam.
Walau dengan definisi dan batasan yang tidak begitu jelas mengenai apa
sesungguhnya indikator yang tepat bagi penamaan sebuah kebijakan syariah
Islam, Perda-perda tersebut pada akhirnya lebih dikenal sebagai perda syariah.
Karena, sekalipun tak disebut secara eksplisit sebagai Perda Syariat Islam, tak
bisa disangkal bahwa dalam kebijakan daerah itu ada ideologi keislaman yang
hendak ditegakkan melalui perda tersebut. Yaitu, menegakan kebenaran,
memberantas kezaliman dengan asumsi-asumsi keislaman.
Lahirnya Perda Syariah bisa dimaklumi, apalagi, telah ada kebijakan

Otonomi Daerah, di mana kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna

penyelenggaraan

pemerintahan

dalam

rangka

pelayanan

terhadap

masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Salah satu contoh pro dan kontra Perda Syariah terjadi di Kota Tasikmalaya

“Pemerintah Kota Tasikmalaya atas Perda No 12 tahun 2009 tentang Pembangunan

Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan pada Ajaran Agama
Islam dan Norma-norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya.” (kompas.com
rabu 6/6/2012).
Anehnya, Perda ini dikritik anggota dewan dan tokoh-tokoh Indonesia
dan menganggapnya bertentangan dengan aturan (UU) yang lebih tinggi..Apa
yang terkandung dalam Perda Tasikmalaya bahkan dikecam sebagai sesuatu yang
inkonstitusional

oleh

aktivis

LSM

seperti

Kelompok


Setara

Institute.

(kompas.com rabu 6/6/2012).
Penelitian mengenai Perda Syariah yang bernuansa agama (khususnya
Islam) dilakukan pada tahun 2007 oleh Robin Bush, diketahui sekitar 78 Perda, di
52 Kabupaten dan Kota, tidak termasuk SK Bupati, Walikota dan Gubernur dan
draft yang belum diputuskan oleh DPRD. (Robin Bush; 2007).
Penelitian lain dilakukan oleh Konsorsium Kebebasan Sipil yang pada
tahun 2006 hingga 2008 di beberapa daerah di Indonesia meliputi: Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Banjar Baru, Kabupaten
Bulukumba, kabupaten Jember, Kota Padang, Kota Tangerang, Kota Bekasi, dan
Kota Bogor, menunjukkan ada beberapa alasan yang mendasari kenapa

keberadaan perda-perda syariah ini dapat dinilai sebagai sebuah ancaman terhadap
hak-hak sipil dalam beragama, antara lain adalah: pertama, karena aturan yang ada
dalam perda ini bersifat diskriminatif tidak hanya terhadap jenis kelamin tertentu
yaitu perempuan tetapi juga terhadap umat beragama yang non Islam.
Kedua, karena aturan yang ada dalam perda ini membatasi hak seseorang

untuk memilih agama dan kepercayaannya dan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya tersebut. Ketiga, karena aturan yang ada dalam perda
tersebut melanggar hak seseorang untuk menerima pendidikan sesuai dengan yang
mereka inginkan. Keempat, karena aturan dalam Perda ini juga membatasi hak
seseorang untuk membina keluarga seperti yang mereka inginkan. Dengan
mewajibkan seseorang untuk terampil baca tulis Al-Quran, akan mempersulit
sesorang yang ingin membina rumah tangga dalam melaksanakan niatnya,
sementara baca tulis Al-Quran bukanlah syarat sah atau tidaknya sebuah
pernikahan
Politik desentralisasi telah mengembangkan tatanan kepolitikan yang
meletakkan otonomi daerah sebagai azas kehidupan baru dalam pengelolaan tata
kepemerintahan di daerah-daerah. Dalam perkembangannya, implementasi
desentralisasi dan otonomi daerah ini ternyata direspon sangat beragam dan
berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya. Di satu sisi hal tersebut merupakan
konsekuensi dari implementasi otonomi daerah itu sendiri, namun di sisi lain
menunjukkan bahwa otonomi daerah telah mendorong banyak Pemerintah daerah
melakukan improvisasi, kreasi, inovasi, dan sekaligus juga distorsi kebijakan yang
seringkali susah untuk dipahami masyarakat, bahkan oleh berbagai kalangan ahli
sekalipun.


Keleluasaan Pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan mendorong
Pemerintah daerah menjadi sangat produktif dalam melahirkan kebijakan publik,
termasuk Peraturan Daerah (perda). Hampir setiap jengkal kehidupan di daerah
tak lepas dari Perda. Akibat terlalu banyaknya Perda yang dilahirkan, bahkan ada
anggota DPRD dan Bupati yang lupa berapa jumlah Perda yang telah dikeluarkan.
Karena begitu banyaknya Perda, Pemerintah pusat harus berpusing-pusing
menelaah keberadaan perda yang tidak sesuai dengan Perundang-undangan
Nasional. Saat ini setidaknya terdapat sekitar 12 ribu perda yang sedang direview
dan siap untuk dibatalkan (Sumber: Tempo, 14 Mei 2006).
Akibat banyaknya pro kontra terhadap perda yang berbau syariah
membuat pemerintah pusat juga turut memberikan tindakan. Media Indonesia
sempat mengangkat masalah ini dalam editorialnya berjudul ‘Perda Sumber
Masalah’ berpendapat bahwa Perda dibuat sebagai solusi bukan menjadi sumber
masalah (Editorial Media Indonesia Kamis 20 Juli 2011).
Kebijakan kreatif yang dikeluarkan sejumlah penguasa di daerah justru
menimbulkan biaya tinggi, yang akhirnya berdampak buruk bagi pertumbuhan
ekonomi baik lokal maupun nasional. Untuk mengatasinya diperlukan terobosan
politik misalnya melalui audit legislasi nasional seperti yang ditawarkan Menko
Polhukam dimana seluruh Perda yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan
bertentangan dengan semangat UUD 1945 harus dicabut.

Hadirnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) bernuansa agama sejak
demokratisasi dan desentralisasi Indonesia pada Orde Baru telah membetot
perhatian banyak kalangan. Sebagian besar mengkhawatirkan bahwa fenomena ini
akan menjadi titik balik bagi demokratisasi, yaitu munculnya benih-benih

diskriminasi dan pengabaian kesataraan semua warga negara di depan hukum
dalam Indonesia yang menganut negara hukum, bahkan hendak mengubah
Indonesia menjadi negara yang berdasarkan agama (Islam).
Kekhawatiran demikian sangat beralasan mengingat didirikannya negara
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945--dengan segala amandemennnya,
justru dimaksudkan sebagai dasar bagi negara demokrasi yang menjunjung tinggi
kesamaan warga negara di depan hukum. Di beberapa daerah, praktik dari Perda
dan aturan-aturan tersebut telah memberikan efek diskriminasi bagi pelayanan
publik yang sangat nyata (Subair Umam dkk, 2007). Namun bagi para
pendukungnya, proses ini adalah bagian dari perjuangan mereka yang belum
selesai bagi didirikannya Indonesia itu sendiri. Kegagalan di tingkat nasional
untuk mengubah Indonesia menjadi Negara agama (Islam) mendorong mereka
untuk mengubah startegi dengan “desa mengepung kota”, yaitu memunculkan
berbagai aturan yang bernuansa agama di derah-daerah untuk mengubah pondasi
Negara Indonesia menjadi Negara berdasarkan agama Islam (Haedar Nasir, 2007).
Salah satu hasil kebijakan publik di daerah adalah Perda. Sudah tentu
lahirnya Perda sangat bersinggungan dengan kepentingan daerah bersangkutan.
Perda yang kini ada cukup menjadikan isu untuk ditela’ah adalah perda yang
mengacu dan bernuansa pada Syariah yang sudah diundangkan di berbagai
daerah. Setidaknya terdapat 22 daerah yang mengimplemantasikan perda yang
mengatur persoalan moralitas dan implementasi syariah Islam di semua lini
kehidupan.
Berikut ini adalah beberapa Perda yang bernuansa syariah di
Kabupaten/Kota :

Tabel 1. Perda yang bernuansa syariah di Kabupaten/Kota
NO

JENIS PERDA

DAERAH PELAKSANA

1.

Perda
24/2004
tentang
Pencegahan,
Penindakan dan Pemberantasan Maksiat

Padang Pariaman

2.

Perda 10/2001, wajib baca Quran untuk siswa
dan pengantin. Perda 6/2002, Wajib
Berbusana Muslim

Solok

3.

Perda
11/2001,
pencegahan maksiat

4.

Instruksi Walikota, 7-3-2005, pemakaian
busana muslim

5.

Peraturan wajib busana muslim Siswa

Pasaman Barat

6.

Perda 24/2000 Pelarangan Pelacuran.
Instruksi
Walikota
3/2004
Program
peningkatan Keimanan

Kota Bengkulu

7.

Perda 8/2005, Pemberantasan Maksiat

Kota Tangerang

8.

Perda13/2002 Pemberantaaan Maksiat

Sumatera Selatan

9.

Perda 2/2004 Pemberantasan Maksiat

Kota Palembang

10.

Edaran Walikota 29-8-2003,wajib jilbab
untuk siswa

Kota Cianjur

11.

Program Gerakan Pembangunan Masyarakat
berakhlaqul Kharimah, Sept 2001

Kabupaten Cianjur

12.

Perda 6/2000 tentang Kesusilaan. Sedang
dibentuk tim kajian perda penerapan Syariah
Islam

Garut

13.

Edaran Bupati 2001, Peningkatan Kualitas
Keimanan dan Ketaqwaan

Tasikmalaya

14.

SE Bupati 450/2002 Pemberlakuan Syariat
Islam

Pamekasan

15.

Perda 14/2001 Penanganan Pelacuran

16.

Perda 7/1999, Prostitusi, Surat Edaran
Bupati, wajib busana muslim dan baca Quran

pemberantasan

dan

Sumatera Barat
Kota Padang

Jember
Indramayu

untuk siswa
17.

Perda
6/2002
Ketertiban
Sosial,
pemberantasan
pelacuran,
pengaturan
pakaian dan pemberantasan kumpul kebo

Kepulauan Riau

18.

Perda 10/2003 Pencegahan Maksiat

19.

Perda 12/2003 Jilbab bagi PNS dan
penambahan jam pelajaran agama Islam

Gowa

20.

Perda 4/2003, Busana Muslim dan baca Al
Quran untuk siswa dan calon pengantin

Bulukumba

21.

Gerakan bebas buta aksara Quran

22.

Pengaturan Desa Padang, Bulukumba tentang
Penganiayaan

Kabupaten Bulukumba

23.

Perdes Mengenai Zina, Qadraf, Khamr dan
Judi

Idem

24.

Perda Zakat, sedekah dan infak

25.

April 2005, Hizbut Tahir dan PPP
membentuk Komite Persiapan perda Syariat

26.

2001, Pembentukan Komite
Penegakan Syariat Islam

Gorontalo

Kabupaten Maros

Lombok Timur

Persiapan

Riau
Sulawesi Selatan

Sumber: Diolah dari Gatra No.25/2006; Tempo, 14 Mei 2006; Retno Hanani,
2006.
Kehadiran Perda-perda anti maksiat ataupun Perda yang bernuansa pada
syariah Islam, tidak saja menarik dicermati karena adanya pro dan kontra, tetapi
juga terdapat pergulatan ide yang ada di balik Perda-perda tersebut. Perda sebagai
produk dari kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari sebuah proses politik
yang dapat dilatarbelakangi oleh berbagai macam kepentingan dan idealisasi
politik yang dianut oleh para pembuat kebijakan.
Dalam kaidah kebijakan, sebuah produk kebijakan publik termasuk di
dalamnya Perda-perda di atas lazimnya ditujukan untuk mengatur kepentingan

umum yang di dalamnya terdapat banyak nilai-nilai tidak saja kolektif tetapi juga
individual yang harus dipertimbangkan sebagai norma dasar kehidupan bersama.
Dilihat dari kemunculan berbagai Perda bernuansa syariah Islam tersebut, nuansa
yang berkembang hampir sama, yakni nafas melindungi kepentingan publik yang
bernama moralitas kolektif dengan menggunakan pelaksanaan syariat Islam
sebagai instrument operasionalnya.
Undang-Undang Otonomi Daerah telah memberikan kewenangan yang
lebih kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur tata pemerintahan dan
masyarakat di daerah tersebut. Dalam perkembangannya, arus baru ini
mendapatkan respon yang beragam dari masing-masing Pemerintah Daerah. Salah
satu respon yang menimbulkan kontroversi adalah Pemberlakuan PeraturanPeraturan Daerah yang berlandaskan syariat (hukum agama), dalam konteks ini
adalah Islam, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perda Syariah.
Dalam peraturan yang sudah ada, norma-norma sosial masyarakat, dan
juga norma budaya, sebenarnya telah diatur tentang persoalan-persoalan yang
diangkat oleh Perda syariah. Artinya, jika ini bukan sesuatu yang sudah memiliki
aturan, kenapa harus dibuat aturan yang baru lagi. Tentu timbul pertanyaan,
apakah seruan moral Pemerintah, petuah tokoh masyarakat, dan wibawa norma
budaya tidak lagi mendapatkan penghormatan, sehingga diperlukan peraturan
baru yang lebih memberikan “sterssing” yang kuat kepada masyarakat.
Paling tidak, ketika membawa simbol-simbol keTuhanan, timbul suatu
kecemasan dan ketakutan, karena hukuman Tuhan tidak saja berlaku di dunia saja,
tapi juga abadi sampai pada kehidupan setelah kematian. Hal ini menyiratkan
situasi psikologis yang menarik, dimana pada satu sisi masyarakat sedang asyik

dengan arus demokrasi, di sisi lain kerinduan pemberlakuan hukum-hukum Tuhan
juga menguat.
Tentu saja, sebuah produk ketika masuk ke pasar menarik respon dari
masyarakat. Dalam konteks Perda syariah ini kita bisa membagi masyarakat
menjadi dua golongan, yaitu Pro (yang mendukung) dan Kontra (yang menolak).
Kelompok yang Pro berharap Perda syariah dapat menjadi solusi bagi berbagai
masalah yang membelit bangsa dewasa ini. Harapan ini tampaknya dipengaruhi
oleh kegagalan Negara mengintegrasikan program-program politik, budaya, dan
ekonomi, dengan sistem nilai-nilai dan worldview yang hidup dalam masyarakat
dan juga kegagalan (kurang berhasilnya) modernisasi dalam berbagai bidang yang
dilakukan negara. Bagi masyarakat yang tidak setuju, Perda syariah dinilai antara
lain mengganggu kerukunan antar umat beragama, tetapi bagi masyarakat yang
setuju, menerapkan syariah lewat Perda dianggap sebagai perintah agama .
Hadirnya ranperda wajib belajar membaca Al-Quran di Kabupaten
Serdang Bedagai yang diusung usung oleh fraksi PPP yang kemudian menjadi
usulan inisiatif DPRD Kabupaten Serdang Bedagai dalam sidang paripurna
penyampaian 14 ranperda dan 3 ranperda inisiatif pada tanggal 13 desember 2010,
setelah mendapat pengkajian dan evaluasi oleh Badan Legislasi Daerah
(Banlegda) DPRD Kabupaten Serdang Bedagai langsung menimbulkan pro kontra
di kalangan anggota DPRD, pemerintah daerah dan di tengah masyarakat.
Berbagai tanggapan muncul baik berupa dukungan maupun penolakan dari
ranperda tersebut. Dalam sidang paripurna tersebut pengusul menjelaskan alasanalasan mengapa mereka mengusulkan ranperda tersebut untuk dijadikan aturan di
Kabupaten Serdang Bedagai, yang juga dikatangan merupakan aspirasi dari

masyarakat Serdang Bedagai terutama kalangan tokoh-tokoh Islam maupun
kalangan ulama.
Dijelaskan bahwa kehadiran ranperda ini sangat diperlukan karena sesuai
dengan visi misi Kabupaten Serdang Bedagai untuk menciptakan masyarakat
pancasialis, religius, modern, kompetitif dan berwawasan lingkungan. Kata
religius yang terdapat dalam visi misi tersebut memerlukan dukungan, salah
satunya dengan Peraturan Daerah (perda) yang mendukung yakni Perda yang
bersifat syariah salah satunya Perda nomor 19 tahun 2012 tentang Wajib Belajar
Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam di Kabupaten Serdang Bedagai.
Selain itu masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai yang mayoritas
beragama islam sehingga sangat tepat jika kewawajiban membaca Al-quran ini di
jadikan sebuah aturan yang mengikat di tengah masyarakat. Kehadiran perda
nomor 19 tahun 2012 ini nantinya berfungsi untuk mengingatkan para orang tua
agar lebih mengawasi pendidikan agama anak-anaknya sejak usia dini. Bila nanti
benar-benar ditetapkan, kehadiran perda baca-tulis Al-quran ini tidak akan
menimbulkan masalah. Perda tersebut hanya berlaku bagi umat Islam.
Dengan keluarnya Surat Keputusan Pimpinan DPRD nomor 16 tahun
2011, maka terbentuklah susunan personalia pimpinan dan anggota panitia khusus
(Pansus) untuk melakukan pembahasan ranperda wajib belajar membaca AlQuran bagi pelajar beragama islam di Kabupaten Serdang Bedagai. Selama
kurang lebih 14 hari panitia khusus melakukan pembahasan muatan isi draf
ranperda tersebut secara internal dan secara eksternal dengan berbagai unsurunsur pendukung yang ada di Serdang Bedagai serta melakukan study banding ke
Kabupaten Indramayu, akhirnya pansus ranperda wajib membaca Al-Quran bagi

pelajar melaporkan ke pimpinan DPRD dan menghantarkan draf ranperda wajib
membaca Al-Quran untuk disepakati dan disahkan dalam paripurna dewan
tanggal 10 November 2011 sebagai perda inisiatif DPRD Kabupaten Serdang
Bedagai tahun 2011.
Kehidupan masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai yang heterogen
dan tidak menganut satu agama saja dan masih terdapat banyaknya penyakit sosial
masyarakat yang berada di wilayah Kabupaten serdang Bedagai, menyebabkan
sebuah permasalahan ketika wajib belajar membaca Al-Quran di ajukan ke dalam
sebuah Ranperda. Masyarakat Serdang Bedagai saat ini lebih memerlukan
peraturan-peraturan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka bukan urusan
agama yang dicampurkan kedalam dunia politik. Masyarakat lebih memerlukan
perhatian kalangan eksekutif dan legislatif dalam bidang ekonomi dan pendidikan
karena itu yang merupakan hal mendasar yang sangat diperlukan masyarakat
Serdang Bedagai saat ini.
Pembahasan dan proses yang terus berlangsung terhadap Ranperda ini
terus menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Kalangan legislatif kurang
mensosialisasikan Ranperda ini dan kurang memperhatikan aspirasi masyarakat
secara keseluruhan mengenai keinginan dan tanggapan masyarakat terhadap
ranperda ini. Pada hal hakikatnya perda inisiatif yang berasal dari kalangan
anggota dewan seharusnnya lebih condong terhadap keinginan masyarakat banyak
dan lebih mengerti kebutuhan primer masyarakat yang perlu diberikan payung
hukum terutama kepada masyarakat Serdang Bedagai. Berdasarkan uraian tentang
data dan fakta yag telah peneliti ungkapkan di atas, maka peneliti tertarik untuk
mengangkat penelitian dengan judul PROSES PERENCANAAN HINGGA

PENGESAHAN PERDA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG WAJIB
BELAJAR MEMBACA AL-QURAN BAGI PELAJAR BERAGAMA ISLAM
DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang masalah di atas, maka
rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana proses perencanaan hingga
pengesahan Perda nomor 19 tahun 2012 tentang Wajib Belajar Membaca Alquran Bagi Pelajar Beragama Islam di Kabupaten Serdang Bedagai, meskipun
masih terjadi pro dan kontra di kalangan anggota DPRD Kabupaten Serdang
Bedagai terhadap perda ini ?”

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan proses perjalanan perencanaan
hingga pengesahan Perda nomor 19 tahun 2012 tentang Wajib Belajar Membaca
Al-quran Bagi Pelajar Beragama Islam di Kabupaten Serdang Bedagai.

D. Manfaat penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan
oleh anggota DPRD Kabupaten Serdang Bedagai, penambahan wawasan,
ilmu pengetahuan serta bahan informasi ilmiah tentang proses perencanaan
ranperda hingga pengesahan perda inisiatif DPRD.

Dokumen yang terkait

Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2016 Berdarkan Data Tahun 2007 - 2012

2 67 48

Implementasi Graph Coloring Dalam Pemetaan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai

2 35 85

Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Dokumen Kependudukan dan Catatan Sipil Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai Nomor 19 Tahun 2008

1 7 82

Implementasi Peraturan Daerah Kota Gorontalo Nomor 22 Tahun 2005 Tentang Wajib Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa Yang Beragama Islam Kota Gorontalo.

0 0 15

PERBUP Nomor 38 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

0 0 15

Peraturan Daerah Kab Ogan Ilir Nomor 10 Tahun 2014 tentang Wajib Baca Tulias Al-quran

0 0 7

Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 12

Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 4

Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 1 45

Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 5