Perbedaan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2012 yang Memiliki Kualitas Tidur Buruk dengan Kualitas Tidur Baik

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tidur
2.2.1. Definisi tidur
Tidur merupakan salah satu kelakuan yang penting yang dilakukan
oleh manusia, memenuhi sepertiga dari kehidupan manusia. Meski fungsi
tidur sendiri tidak diketahui, tetapi tidur merupakan hal yang penting
untuk menjaga kelangsungan hdup manusia (Sadock, 2007).
Selain itu, tidur juga dapat didefinisikan sebagai kelakuan berulang
(behavioral state) yang saling bergantian dengan keadaan terjaga. Hal ini
dikarakteristik oleh posisi berbaring, meningkatnya stimulasi sensoris,
penurunan motor output dan kelakuan yang aneh-bermimpi (Squire, 2008).
Namun, tidur sendiri merupakan suatu proses aktif, bukan sekedar tidak
terjaga. Tingkat aktivitas otak keseluruhan tidak berkurang selama tidur.
Selama stadium-stadium tidur tertentu, penyerapan oksigen oleh otak
bahkan meningkat melebihi tingkat terjaga normal. Berbeda dengan
keadaan terjaga, orang yang sedang tidur tidak secara sadar waspada akan
dunia luar, tetapi tetap memiliki pengalaman kesadaran dalam batin,
misalnya mimpi. Selain itu, mereka dapat dibangunkan oleh rangsangan
eksternal, misalnya bunyi alarm (Sherwood, 2009).


2.1.2. Fisiologi Tidur
Tidur merupakan fenomena elemental dari sebuah kehidupan dan
merupakan fase yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup
manusia. Dalam tidur, kita mengenal 5 stadium tidur.

Dalam setiap

stadium, aktivitas listrik diotak yang dapat diukur dengan EEG muncul
dalam

siklus

yang

berulang

dan

terorganisir,


yang

dinamakan

architechture of sleep (Allan dan Martin, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Stadium pertama tidur merupakan stadium antara peralihan dari
keadaan sadar menjadi tidak sadar, dimana kelopak mata mulai tertutup,
pupil

mengecil,

(Ensefalografi)

dan

otot-otot


mengalami

relaksasi.

Pola

EEG

juga berubah secara progresif menjadi voltase yang

rendah, dimana terjadi pencampuran dan perubahan frekuensi, yaitu
dengan perlahan-lahan menghilangnya frekuensi alpha (Allan dan Martin,
2009). Stadium ini juga disebut tetha rythm dengan frekuensi (4-7 Hz) dan
berlangsung selama 7 menit (Tortora, 2009).
Stadium kedua tidur ditandai dengan adanya loncatan gelombang
biparietal selama setengah sampai dua detik dengan frekuensi 12-14 Hz
yang dinamakan sleep spindle. Selain sleep spindle, pada stadium ini juga
kadang dapat dijumpai gelombang bifasik voltase tinggi yang disebut k
complexes (Allan dan Martin, 2009).


Gambaran EEG pada stadium ke tiga ditandai dengan gelombang
delta (0,5-4 Hz), yaitu gelombang dengan amplitudo tinggi. Stadium
keempat didominasi oleh perlambatan maksimum dengan gelombang yang
besar (Barret et al., 2012).
Stadium pertama sampai stadium keempat dikelompokkan menjadi
tidur NREM (Non-Rapid Eye Movement) yang secara garis besar
dinamakan dengan tidur gelombang lambat. Pada fase NREM ini, terjadi
beberapa perubahan fisiologis tubuh, diantaranya adalah penurunan suhu
tubuh, perlambatan detak jantung dan pernafasan, dan pada fase ini,
konsumsi oksigen pada otak juga akan berukurang. Selain itu, aliran darah
yang menuju otak juga akan berkurang, hal ini terjadi akibat penurunan
metabolisme di seluruh bagian otak (Allan dan Martin, 2009).
Stadium kelima yang dikelompokkan dalam fase tidur REM (Rapid
Eye Movement) merupakan stadium terakhir dari siklus tidur, yang

ditandai dengan gelombang yang cepat (fast wave) dan gelombang tidak
sinkron (nonsyncronized wave) yang mirip saat kita terjaga. Selain itu, fase
tidur REM juga ditandai dengan bergeraknya bola mata secara cepat
(Allan dan Martin, 2009). Karakteristik lain dari tidur REM adalah


Universitas Sumatera Utara

munculnya potensial fasik yang besar yang berasal dari neuron kolinergik
yang berasal dari pons dan di hantarkan secara cepat menuju nukleus
lateral genikulata, dan akhirnya dihantarkan menuju ke korteks oksipital.
Hal ini dinamakan dengan pontogeniculo-occipital (PGO) spikes. Proses
bermimpi juga diperkirakan muncul saat tidur REM (Barret et al., 2012).
Pada tidur REM, sistem parasimpatis akan diaktifkan secara
periodikal dan sistem simpatis akan terinhibisi atau tersupresi secara
periodikal pula, sehingga pada tidur fase ini, bernafas menjadi lebih
ireguler, tekanan darah dan detak jantung menjadi berfluktuasi (Allan dan
Martin, 2009). Ereksi penis juga akan terjadi pada fase ini (Tortora, 2009).
Berlawanan saat tidur NREM, pada tidur REM terjadi peningkatan
konsumsi oksigen pada otot-otot. Metabolisme otak dan aliran darah
menuju otak sama dengan saat kita sedang terjaga (cenderung naik jika
dibandingkan saat tidur NREM), sehingga tekanan intrakranial yang
meninggi selama tidur REM ini juga di asumsikan sebagai akibat dari
peningkatan aliran darah ke otak.
Pada saat tidur, juga terjadi beberapa perubahan fisiologis pada

sistem hormonal dan beberapa organ, contohnya pada organ ginjal,
perubahan yang terjadi pada ginjal meliputi menurunnya eksresi urin,
shingga pembuangan jumlah absolut natrium dan kalium juga berkurang,
sehingga urine spesific gravity dan osmolalitas meningkat. Diperkirakan
hal ini terjadi karena meningkatnya sekresi hormon antidiuretik dan
peningkatan penyerapan air. Sedangkan perubahan hormonal yang terjadi
adalah penurunan sekresi hormon cortisol dan sejumlah sejumlah TSH
(Thyroid Stimulating Hormone) saat permulaan tidur, peningkatan sekresi
prolaktin saat malam hari pada wanita maupun pria, hal ini dibuktikan
dengan ditemukan kadar prolaktin tertinggi sesaat setelah seseorang
teridur. Selain itu, selama dua jam pertama tidur, ada gelombang sekresi
terhadap GH (growth hormone), terutama saat tidur stadium 3 dan 4. Hal
ini menjadi ciri-ciri pada dewasa muda. Sekresi GH ini akan menghilang
pada saat mencapai dewasa akhir. Peningkatan tidur dihubungkan dengan

Universitas Sumatera Utara

peningkatan LH (luteinizing hormone) pada remaja yang sedang
mengalami pubertas (Allan dan Martin, 2009).
Selain stadium dan perubahan fisiologis, ternyata siklus tidurbangun serta berbagai tahapan tidur disebabkan oleh hubungan timbal

balik antara tiga sistem saraf : (1) sistem keterjagaan, yaitu bagian dari
Reticular Activating System (RAS) yang berasal dari batang otak ; (2)

pusat tidur gelombang lambat (NREM) di hipotalamus yang mengandung
neuron tidur yang menginduksi tidur. ; dan (3) pusat tidur paradoksal atau
tidur REM di batang otak yang mengangdung neuron tidur REM, yang
menjadi sangat aktif sewaktu tidur REM (Sherwood, 2009). Salah satu
teori mengenai perubahan siklus bangun tidur adalah adanya perubahan
aktivitas dari neuron-neuron di RAS. Ketika aktivitas dari
norepriniprin dan serotonin

neuron

tinggi atau dominan, maka akan terjadi

pengurangan aktivitas neuron asetilkolin yang ada di pons, dan aktivitas
ini berkontribusi pada saat terjaga (sadar/ bangun). Sebaliknya,
peningkatan neuron asetilkolin, akan menyebabkan penurunan aktivitas
neuron norepiniprin dan serotonin, keadaan ini akan memicu terjadinya
fase tidur REM. Ketika terjadi keseimbangan antara aktivitas neuron

aminergic dengan neuron asetilkonin, tidur NREM akan muncul. (Barret et
al.,2012). Sebagai tambahan, meningkatnya pelepasan GABA dan

penurunan dari pelepasan histamin akan meningkatkan kecenderungan
tidur NREM, sedangkan keadaan terjaga atau bangun adalah ketika
pelepasan GABA berkurang dan pelepasan histamin meningkat (Barret et
al., 2012).

Tidur normal orang dewasa muda dan dewasa paruh baya pertama
sekali akan memasuki fase tidur NREM (stadium 1 dan berlanjut hingga
stadium 4) dan dilanjutkan oleh tidur REM. Setelah fase tidur REM
berakhir, maka tidur akan kembali ke siklus awal lagi, yaitu siklus NREM
dan seterusnya. Siklus ini berlangsung 4-6 kali tergantung durasi tidur
seseorang (Allan dan Martin, 2009). Pada siklus pertama tidur, seseorang
akan menghabiskan waktu sebanyak 70-100 menit pada fase tidur NREM

Universitas Sumatera Utara

dimana dinominasi oleh stadium tiga dan empat, dan dilanjutkan dengan
tidur REM yang diperkirakan 15-20 menit. Menjelang pagi, durasi tidur

REM menjadi lebih panjang (bisa mencapai 1 jam) dan tidur NREM
(terutuama stadium tiga dan empat) menjadi sedikit. Pada neonatus, 50%
fase tidur mereka adalah tidur REM, dengan siklus tidur yang berlangsung
selama 60 menit. Semakin bertambahnya usia, siklus tidur REM
memanjang menjadi 90-100 menit. Sekitar 20-25% dari total tidur dewasa
muda merupakan tidur REM, 3-5% pada stadium 1, 50-60% pada stadium
dua, 10-20% pada stadium 3 dan 4. Jumlah tidur di stadium 3 dan 4
menurun seiring bertambahnya usia (Tortora, 2009).

2.1.3. Fungsi tidur
Fungsi tidur sampai saat ini masih menjadi suatu pertimbangan
oleh para ilmuan. Parker telah mengajukan beberapa teori tentang fungsi
tidur, yaitu pemulihan tubuh, dengan fasilitasi fungsi motorik, konsolidasi
untuk belajar dan memori. Bahkan Parker cenderung untuk menyetujui
kesimpulan yang dinyatakan oleh Popper dan Eccles yang menyatakan
bahwa tidur merupakan ketidaksadaran natural yang berulang yang dimana
kita sendiri tidak tahu apa fungsi dan maksudnya (Allan dan Martin,
2009). Fungsi tidur telah diperiksa melalui berbagai cara. Sebagian besar
peneliti menyimpulkan bahwa tidur memberikan fungsi homeostatis yang
bersifat menyegarkan dan tampak penting untuk termoregulasi normal dan

penyimpanan energi. Tidur NREM akan meningkat setelah olahraga dan
kelaparan, yang mungkin terkait dengan kebutuhan metabolik yang
memuaskan (Sadock, 2007). Selain yang disebutkan di atas, saat kita tidur,
juga terjadi proses pemulihan biokimia atau fisiologis secara progresif
yang biasanya mengalami penurunan ketika terjaga (sherwood, 2009).

2.1.4. Kebutuhan tidur
Sampai sekarang, para peneliti belum bisa memastikan dengan
pasti berapa jam kah kebutuhan tidur yang dibutuhkan manusia, sehingga

Universitas Sumatera Utara

para peneliti di National Sleep Foundation (2015) membuat suatu daftar
rekomendasi tidur berdasarkan umur.
1. Neonatus (0-3 bulan) : kebutuhan tidur 14-17 jam per hari.
2. Bayi (4-11 bulan) : kebutuhan tidur 12-15 jam per hari.
3. Balita(1-2 tahun) : kebutuhan tidur 11-14 jam per hari.
4. Preschool (3-5 tahun) : kebutuhan tidur 10-13 jam per hari.
5. Anak usia sekolah (6-13 tahun) : kebutuhan tidur 9-11 jam per
hari.

6. Remaja (14-17 tahun) : kebutuhan tidur 8-10 jam per hari.
7. Dewasa Muda (18-25 tahun) : kebutuhan tidur 7-9 jam per hari.
8. Dewasa (26-64 tahun) : kebutuhan tidur 7-9 jam per hari.
9. Dewasa Tua (>64 thun) : kebutuhan tidur 7-9 jam per hari.

2.2. Kualitas Tidur
Kualitas Tidur merujuk pada penilaian yang subjektif tentang bagaimana
menyegarkan (nyenyak) dan tak terganggunya suatu tidur seseorang.
Pengukuran Kualitas tidur ini dapat diukur secara subjektif dengan
menggunakan Kuisioner yang telah terstandarisasi dan secara objektif
dengan menggunakan alat perekam polygraphy dan/atau alat perekam
pergelangan tangan (wrist Actigraphy Monitioring).
Instrumen terbaru yang telah tervalidasi untuk mengukur kualitas tidur
secara subjektif adalah kuisioner Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI)
(John, D and Katherine T. MacArthur Foundation, 2008)
Kuisioner PSQI mengukur kualitas tidur dengan mengukur 7 domain,
yaitu :
1. Kualitas tidur secara subjektif.
2. Latensi Tidur.
3. Durasi Tidur.
4. Efisiensi Tidur.
5. Gangguan Tidur.
6. Penggunaan Obat Tidur.

Universitas Sumatera Utara

7. Dsfungsi atau gangguan aktivitas di siang hari

2.3.

Tekanan Darah

2.3.1. Definisi Tekanan Darah
Yang dimaksud dengan tekanan darah adalah suatu tekanan atau
usaha yang di hasilkan oleh darah (hidrostatik) terhadap dinding-dinding
pembuluh darah. Kebanyakan, tekanan darah merujuk pada tekanan di
pembuluh darah arteri yang merupakan cabang dari aorta (Elling et al.,
2006). Kontraksi dari ventrikel akan menghasilkan tekanan darah, dimana
tekanan darah di tentukan dengan Cardiac Output (CO), volume darah,
dan resistensi vaskular (Tortora, 2009). Tekanan tertinggi berada pada
aorta dan arteri sistemik besar yang terjadi pada saat kontraksi ventrikular,
dinamakan juga tekanan darah sistolik. Sedangkan tekanan terendah yang
tersisa di arteri sebelum terjadinya kontraksi ventrikular yang berikutnya
dinamakan tekanan darah diastolik.
Tekanan darah diartikan sebagai perkalian antara Cardiac Output
(CO) dengan resistensi vaskular. CO merupakan volume darah yang
dialirkan jantung selama 1 menit, atau dengan kata lain CO merupakan
volume sekuncup (Stroke Volume) yang di kali dengan detak jantung per
menit (Heart Rate) (Tortora, 2009) . Hal-hal yang dapat mempengaruhi
CO adalah preload, afterload, dan kontraktilitas. Preload

diartikan

sebagai jumlah volume darah yang masuk ke atrium dan meregang
diniding jantung selama fase diastolik. Semakin besar darah yang masuk
ke jantung, maka preload nya juga semakin besar. Afterload dapat
diartikan sebagai tegangan dinding ventrikel selama kontraksi untuk
melawan resistensi vaskular yang dihasilkan aorta agar ventrikel dapat
memompa darahnya keluar, sedangkan kontraktilitas (inotropic) adalah
perubahan gaya otot jantung yang dikarenakan oleh preload
afterload. Semakin tinggi preload

dan

dan afterload, maka kontraktilitas

jantung juga akan bertambah. Kontraktilitas juga dapat dipengaruhi oleh
beberapa zat kimia dan homon (Leonard, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Komponen lain yang mendefinisikan tekanan darah adalah
Vascular Resistance (Resistensi Vaskular). Resistensi vaskular adalah

gaya dari aliran darah yang berlawanan karena adanya gaya gesek
terhadap

dinding-dinding

pembuluh

darah.

Resistensi

vaskular

dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu ukuran lumen pembuluh darah, viskositas
(kekentalan) darah dan panjang pembuluh darah. Semakin tinggi
viskositas dan panjang pembuluh darah, maka resistensi akan meningkat.
Hal ini berbanding terbalik dengan ukuran lumen pembuluh darah,
semakin besar lumen pembuluh darah, maka resistensi akan semakin kecil
(Tortora, 2009).

2.3.2. Faktor yang Memperngaruhi Tekanan Darah
Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi naik turunnya
tekanan darah, antara lain adalah faktor neural dan faktor hormon. Faktor
neural yang berperan adalah sistem saraf simpatis dan parasimpatis.
Fungsi sistem saraf simpatis sendiri adalah mengecilkan lumen pembuluh
darah (vasokonstriksi), meningkatkan kontraktilitas dan denyut jantung.
Selain itu sistem saraf simpatis akan merangsang kelenjar adrenal untu
menghasilkan hormon epiniprin dan norepiniprin. Hormon ini akan
meningkatkan cardiac output dengan meningkatkan detak jantung dan
kontraktilitas jantung (via reseptor Beta-1 di jantung). Mereka juga
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah (Tortora, 2009). Sedangkan
kerja sistem parasimpatis, seiring dengan nervus Vagus berlawanan
dengan sistem simpatis, yaitu memvasodilatasikan pembuluh darah,
memperlambat denyut jantung dan kontraktilitas jantung (Barret et al.,
2012). Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem kerja saraf simpatis akan
menaikkan tekanan darah sedangkan sisterm saraf simpatis akan
menurunkan tekanan darah.
Selain faktor neural diatas, faktor hormonal juga merupakan salah
satu faktor yang sangat penting dalam mengatur tekanan darah. Sistem
hormon yang banyak berperan adalah Renin-angiotensin-aldosterone

Universitas Sumatera Utara

system (RAAS)

(Chopra et al., 2011). Pertama sekali renin akan

disekresikan oleh sel juxtaglomerular (JG cell) yang mengelilingi arteri
aferen ginjal. Renin berfungsi untuk mengubah angiotensinogen, suatu
protein atau hormon yang disintesa di hepar, menjadi angiotensin I, fungsi
angiotensin I ini memiliki sedikit efek vasokonstriktor, tetapi tidak cukup
untuk menyebabkan perubahan signifikan pada fungsi sirkulasi. Setelah
itu, angitoensin I akan diubah menjadi angiotensin II dengan bantuan
enzim Angiotensin Converting Enzym (ACE), yaitu enzim yang dihasilkan
oleh endotel. ACE juga bertanggung jawab pada inaktivasi nya bradikinin.
(Chopra et al., 2011). Angiotensin II akan menyebabkan

konstriksi

arteriolar dan akhirnya akan meningkatkan tekanan sistolik dan diastolik
(Chopra et al., 2011). Selain itu angiotensin II juga menstimulasi sekresi
aldosteron (Tortora, 2009). Dengan teraktivasinya angiotensin II,
peningkatan tekanan darah terjadi dengan cara meningkatnya resistensi
vasular dan retensi air melalui sekresi aldosteron. Aldosteron sendiri
adalah hormon steroid yang dihasilkan mayoritas di korteks kelenjar
adrenal. Aldosteron berfungsi untuk meningkatkan penyerapan natrium
(retensi air) dan meningkatkan sekresi kalium pada sel epitel tubulus
ginjal, terutama di tubulus kolektivus, dan sejumlah kecil di tubulus distal
dan duktus kolektivus (Chopra et al., 2011). Dengan meningkatnya retensi
air dan natrium, maka akan menambah jumlah preload yang akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah melalui peningkatan stroke volume.
Selain Faktor neural dan hormonal, ternyata ada faktor lain yang
tidak kalah pentingnya dalam mengatur tekanan darah. Faktor tersebut
dapat dihasilkan oleh endotel, otot jantung, maupun hipotalamus. Zat
yang dihasilkan oleh endotel adalah Nitric Oxide (NO) dan Endothelin.
NO yang berfungsi sebagai zat vasodilator poten akan dilepas dari
edotelium sebagai respons stres yang diakibatkan meningkatnya aliran
darah, sehingga ukuran lumen juga akan menjadi besar. Selain itu fungsi
lain NO adalah anti proliferasi, anti trombotik, menginhibisi adhesi
leukosit, dan mempengaruhi kontraktilitas otot jantung (Chopra et al.,

Universitas Sumatera Utara

2011). Endotelin merupakan vasokonstriktor paling poten yang pernah di
temukan. Endotelin ini akan dilepaskan jika mendapat rangsangan oleh
angiotensin II, katekolamin, growth factor, hypoxia, insulin, LDL (Low
Density Lipoprotein) teroksidasi, HDL (High Density Lipoprotein), sheer

stress dan trombin. Reseptor untuk endotelin ini juga dibagi dua, yaitu ETa
dan ETb. Aktivasi reseptor ETb akan memicu berkurangnya tekanan
arterial dan natriuresis melalui efeknya pada kelenjar adrenal, jantung
(inotropi negatif), menurunkan aktivitas simpatis dan vasodilatasi sitemik.
Sedangkan aktivasi reseptor ETa akan meningkatkan tekanan arterial,
retensi natrium akibat stimulasi simpatis, inotropic positif pada jantung,
menignkatkan sekresi katekolamin dan menyebabkan vasokonstriksi
sistemik (Barett et al., 2012).
Zat yang dihasilkan otot jantung adalah Natriuretic Peptide (ANP)
yang dapat menghambat RAAS dan meregulasi keseimbangan air dan
elektrolit. Mereka menginhibisi sistem simpatis sehingga menyebabkan
bradikardi dan penurunan tekanan darah (Chopra et al., 2011). Zat yang di
hasilkan oleh hipotalamus adalah Anti Diuretic Hormone (ADH). ADH
meningkatkan permeabilitas pada tubulus kolektivus ginjal sehingga
terjadi retensi air dan penurunan tekanan osmotik tubuh. ADH sendiri
disekresi karena ada rangsangan terhadap peningkatan tekanan osmotik
plasma, penurunan volume Extra Celluler Fluid (ECF), nyeri, emosi, mual
muntah, dan dapat dipicu oleh alkohol (Tortora, 2009).

2.4.

Hipertensi

2.4.1. Definisi dan Klasifikasi
Hipertensi

adalah

penyakit

kronik

yang

ditandai

dengan

peningkatan tekanan darah sistolik diatas > 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik diatas > 90 mmHg yang menetap (Bolivar, 2013).
Menurut Joint Nasional Committee 7 (JNC 7), pembagian hipertensi
dibagi menjadi berikut :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7
Kategori

Tekanan sistolik

Tekanan diastolik

(mmHg)

(mmHg)

Normal

Dokumen yang terkait

Hubungan Antara Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Stambuk 2012

3 15 82

Perbedaan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2012 yang Memiliki Kualitas Tidur Buruk dengan Kualitas Tidur Baik

2 9 79

Hubungan Antara Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Stambuk 2012

0 0 14

Hubungan Antara Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Stambuk 2012

0 0 2

Hubungan Antara Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Stambuk 2012

0 0 4

Perbedaan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2012 yang Memiliki Kualitas Tidur Buruk dengan Kualitas Tidur Baik

0 0 14

Perbedaan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2012 yang Memiliki Kualitas Tidur Buruk dengan Kualitas Tidur Baik

0 0 2

Perbedaan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2012 yang Memiliki Kualitas Tidur Buruk dengan Kualitas Tidur Baik

0 0 4

Perbedaan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2012 yang Memiliki Kualitas Tidur Buruk dengan Kualitas Tidur Baik

0 1 4

Perbedaan Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2012 yang Memiliki Kualitas Tidur Buruk dengan Kualitas Tidur Baik

0 0 24