Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pekerja Pemecah Batu terhadap Penggunaan Masker di Desa Wonokerto Kabupaten Semarang T1 462009066 BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keperawatan Komunitas
Keperawatan komunitas merupakan bidang
keperawatan

yang

memadukan

konsep

keperawatan dengan kesehatan masyarakat yang
harus didukung dengan peran masyarakat secara
aktif (Mubarak, 2007). Proses keperawatan ini
memberikan pelayanan dengan mengutamakan
pelayanan promotif dan prefentif. Pelayanan
tersebut

dilakukan


berkesinambungan

dengan
tanpa

cara

mengabaikan

perawatan kuratif dan rehabilitatif. Pelayanan
tersebut ditunjukan kepada individu, kelompok
serta masyarakat sebagai kesatuan utuh melalui
proses keperawatan secara menyeluruh dan
terpadu. Menurut Mubarak (2006), keperawatan
komunitas dapat meningkatkan fungsi kehidupan
secara optimal dan mampu mandiri dalam upaya
kesehatan.
Freeman

(1981),


mengatakan

bahwa

keperawatan komunitas adalah kesatuan yang

12

13
unik dari praktik keperawatan dan kesehatan
masyarakat.

Hal

ini

ditujukan

pada


pengembangan serta peningkatan kemampuan
kesehatan baik bagi perorangan, maupun secara
kolektif

seperti

maupun

masyarakat

khusus

disini

keluarga,kelompok

adalah

secara


luas.

kelompok

khusus,
Kelompok

ibu

hamil,

kelompok ibu nifas, kelompok bayi, kelompok
balita, kelompok usia sekolah dan kelompok usia
lanjut.
Proses keperawatan komunitas merupakan
metode
alamiah,

asuhan


keperawatan

sistematis,

dinamis,

yang

bersifat

kontiniu,

dan

berkesinambungan dalam rangka memecahkan
masalah kesehatan klien, keluarga, kelompok
serta masyarakat. Hal tersebut dilakukan melalui
langkah-langkah seperti pengkajian, perencanaan,
implementasi dan evaluasi keperawatan. Selain

itu

sasaran

keperawatan

komunitas

adalah

seluruh masyarakat: termasuk individu, keluarga,
dan kelompok, baik yang sehat maupun yang
sakit, khususnya mereka yang beresiko tinggi

14
mengalami

masalah

kesehatan


dalam

masyarakat.
Kelompok beresiko tinggi berarti dibatasi
hanya pada mereka yang dapat terpajan atau
mengalami

penyakit,

ketidakmampuan,
cedera

ataupun

kondisi

cidera

kematian.


Kondisi

dan ketidakmampuan disini diartikan

sebagai keadaan yang di luar ketidakseimbangan
keadaan tubuh baik fisik maupun psikologis.
Selain itu kelompok beresiko dan kelompok
khusus

merupakan

kelompok

yang

memiliki

kesamaan tertentu dan memiliki kondisi rawan
terhadap terganggunya kesehatan. Contohnya

kelompok penyalah gunaan obat dan narkotika,
kelompok Wanita Tuna Susila (WTS) dan Pekerja
Seks

Komersial

(PSK),

kelompok

tenaga

perawatan, serta kelompok pekerja tertentu.
2.2 Perilaku
Perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat
diamati dari luar (Kartono & Mar’at, 2006).
Perilaku terbentuk karena adanya pemikiran
terhadap

suatu


objek,

sehingga

munculnya

15
tenggapan atau balasan terhadap rangsangan
yang diberikan. Kurt lewin (1970) berpendapat
dalam

Notoatmojo,

bahwa

perilaku

manusia


adalah suatu keadaan yang seimbang antara
kekuatan-kekuatan pendorong (driving force) dan
kekuatan-kekuatan

penahan

(restining

force).

Perilaku yang tampak adalah perilaku yang dapat
diketahui oleh orang lain tanpa menggunakan alat
bantu, sedangkan perilaku yang tidak tampak
adalah perilaku yang hanya dapat dimengerti
dengan menggunakan alat atau metode tertentu,
misalnya berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi dan
takut.
Perilaku

adalah

pengumpulan

dari

pengetahuan, sikap, dan tindakan, sedangkan
sikap merupakan reaksi seseorang terhadap
stimulus yang berasal dari luar dan dari dalam
dirinya, perubahan perilaku seseorang dapat
terjadi melalui proses belajar. Perilaku manusia
terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut
Maslow (2006), manusia memiliki 5 kebutuhan
dasar,

yaitu:

kebutuhan

fisiologis/biologis,

kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan

16
dicintai, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan
aktualisasi diri.
Skiner

dalam

Notoatmodjo

(2010),

merumuskan bahwa perilaku merupakan reaksi
seseorang terhadap

stimulus atau rangsangan

dari luar. Dengan demikian perilaku manusia
terjadi

melalui

proses

stimulus-organisme-

respon,sehingga teori ini disebut teori “S-O-R”
(Stimulus-Organisme-Respon).

Skiner

membedakan jenis perilaku menjadi dua bagian,
yaitu:
2.2.1

Perilaku tertutup (Covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap
stimulus tersebut masih belum dapat diamati
orang lain (dari luar) secara jelas. Respon
seseorang

masih

terbatas

dalam

bentuk

perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan
sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.
Bentuk perilaku tertutup yang dapat diukur adalah
pengetahuan dan sikap.
2.2.2

Perilaku terbuka ( Overt behavior)

17
Perilaku

terbuka

ini

terjadi

bila

respon

terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan
atau praktik, hal ini dapat diamati orang lain dari
luar atau observable. Contoh: seorang perawat
mencuci tangan sebelum melakukan tindakan dan
sesudah tindakan, seorang anak menggosok gigi
sebelum tidur. Contoh tersebut merupakan suatu
tindakan nyata, dalam bentuk kegiatan, atau
dalam bentuk praktik.
2.3 Teori-teori perilaku
Perilaku seseorang adalah sangat kompleks
dan mempunyai bentangan yang sangat luas.
Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo
(2010), membedakan adanya tiga domain atau
ranah perilaku yaitu pengetahuan (Knowledge),
sikap (attitude), tindakan atau perilaku (practice).
Beberapa

teori

tentang

perilaku

dalam

Notoatmodjo (2010) diantaranya adalah:

2.3.1 Teori

ABC

Azaroff,Mayer:1977)

(Sulzer,

18
Teori ABC mengungkapkan bahwa
perilaku merupakan suatu proses dan
sekaligus hasil interaksi AntecedentBehavior-Concequences.
a. Antecedent
Antecedent adalah suatu pemicu yang
menyebabkan

seorang

berperilaku,

yakni kejadian-kejadian di lingkungan
sekitar. Antecedent ini dapat berupa
alamiah

(hujan,

sebagainya),
(interaksi

angin,cuaca,

dan

dan

dan

buatan manusia

komunikasi

dengan

orang lain).
b. Behavior
Behavior

merupakan

reaksi

atau

tindakan terhadap adanya antecedent
atau pemicu tersebut yang berasal
dari lingkungan.
c. Concequences
Kejadian selanjutnya yang mengikuti
perilaku atau tindakan tersebut disebut
konsekuensi.

Bentuk

konsekuensi

19
dapat berupa positif (menerima) dan
negatif (menolak).

2.3.2 Teori “Reason Action”
Teori

yang

Fesbein

dikembangkan

dan

Ajzen

oleh
(1980)

menekankan pentingnya peran dari
intention atau niat sebagai alasan atau
faktor penentu perilaku. Selanjutnya
niat ini ditentukan oleh sikap (penilaian
yang menyuruh terhadap perilaku atau
tindakan yang akan diambil), norma
subjektif (kepercayaan terhadap orang
lain apakah menyetujui atau tidak
menyetujui
akan

tentang

diambil

pengendalian

tindakan
tersebut),

perilaku

yang
dan

(persepsi

terhadap konsekuensi atau akibat dari
perilaku yang akan diambilnya).
2.3.3 Teori “Preced-Proceed”
Teori ini dikembangkan oleh lawrence
Green (2000), perilaku dipengaruhi

20
oleh 3 faktor utama yaitu: faktor
predisposisi ( predisposing factor),
faktor pemungkin (enabling factor),
dan faktor penguat (reinforcing factor).
Dimana dijelaskan sebagai berikut:

a.

Faktor-faktor

predisposisi

(predisposing

factor)

yang

terwujud dalam pengetahuan ,
sikap,

nilai,

kepercayaan

keyakinan,
persepsi

dan

sebagainya.
b.

Faktor-faktor

pendukung

(enabling faktor), yang terwujud
dalam

lingkungan

fisik,

tersedianya fasilitas-fasilitas atau
sarana-sarana kesehatan.
c.

Faktor-faktor

pendorong

(reinforcing factor) atau penguat
(renforcing
terwujud

factors)
dalam

sikap

yang
dan

perilaku petugas kesehatan atau
petugas lain yang merupakan

21
kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.
2.4 Debu sebagai pencetus ISPA
Debu adalah partikel yang dihasilkan oleh
proses

mekanis

seperti

penghancuran

batu,

pengeboran, peledakan yang dilakukan pada
tambang timah putih, tambang besi, tambang batu
bara, dan lain-lain. Malaka (1996) Debu dapat
dikelompokkan berdasarkan akibat fisiologisnya
terhadap

tenaga

kerja.

Klasifikasi

debu

berdasarkan tingkat bahayanya yaitu : Debu
fibrogeik (bahaya terhadap sistem pernapasan),
debu karsinogenik (penyebab kanker), debu-debu
beracun (toksik terhadap organ/jaringan tubuh),
debu radioaktif (berbahaya karena radiasi alfa dan
beta),

debu

pengganggu/nuisance

eksplosif,
dusts

debu-debu
(mengakibatkan

kerugian yang ringan terhadap manusia), Inert
dust/debu yang tidak bereaksi kimia dengan zat
lain (tidak mempunyai akibat pada paru-paru),
respirable dust (debu yang dapat terhirup oleh
manusia yang berukuran dibawah 10 mikron) dan

22
Irrespirable dust (debu yang tidak dapat terhirup
oleh manusia yang berukuran diatas 10 mikron).
Debu-debu yang non fibrogenik adalah debu
yang tidak menimbulkan reaksi jaringan paru,
contohnya adalah debu besi, kapur dan timah
(Malaka, 1996). Debu ini dahulu dianggap tidak
merusak paru disebut debu inert, tetapi diketahui
belakangan bahwa tidak debu yang benar-benar
inert. Dalam dosis besar semua debu bersifat
merangsang

dan

dapat

menimbulkan

reaksi

walaupun ringan. Reaksi ini berupa produksi lendir
berlebihan, bila ini terus berlangsung dapat terjadi
hiperplasi kelenjar mukus. Jaringan paru juga
dapat berubah dengan terbentuknya jaringan ikat
retikulin. Penyakit paru ini disebut pnemokoniosis
non kolagen. Debu yang masuk saluran nafas,
menyebabkan

timbulnya

reaksi

mekanisme

pertahanan non spesifik berupa batuk, bersin,
gangguan trasport mukosilier dan fagositisis oleh
magrofag (Arif, 2008). Otot polos sekitar jalan
napas dapat terangsang sehingga menimbulkan
penyempitan. Keadaan ini biasanya terjadi bila
kadar debu melebihi nilai ambang batas. Sistem

23
moskuler

juga

mengalami

gangguan

dan

menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila
lendir

makin

banyak

atau

mekanisme

pengeluarannya tidak sempurna terjadi obstruksi
saluran nafas sehingga resistensi jalan nafas
meningkat.
Seseorang

akan

terekspose

debu

di

lingkungan kerja dengan konsentrasi yang sama
dan

durasi

eksposure

yang

sama

dapat

memberikan kelainan klinis yang berbeda. Hal ini
disebabkan karena adanya variasi proses dari
paru, faktor genetik, penyakit paru yang ada dan
adanya efek dari merokok.
2.4 Jenis–jenis Alat Pelindung Diri
Menurut Budiono (2002), APD yang cocok
bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan
kerja yang mempunyai paparan debu dengan
konsentrasi

tinggi

adalah

;

alat

pelindung

pernapasan yang berfungsi untuk melindungi
pernapasan terhadap gas, uap, debu, atau udara
yang terkontaminasi di tempat kerja yang bersifat

24
racun, korosi maupun rangsangan. Alat pelindung
pernapasan terdiri dari :
2.4.1

Masker, berfungsi untuk melindungi

debu/partikel-partikel

yang

lebih

besar

yang

masuk ke dalam pernapasan, dapat terbuat dari
kain dengan ukuran pori-pori tertentu.
2.4.2

Respirator,

berfungsi

untuk

melindungi pernapasan dari debu, kabut, uap
logam, asap dan gas. Respirator dibedakan atas :
a.

Respirator pemurni udara
Membersihkan udara dengan cara menyaring
atau menyerap kontaminan dengan toksisitas
rendah

sebelum

memasuki

sistem

pernapasan. Alat pembersihnya terdiri dari
filter untuk menangkap debu dari udara atau
tabung kimia yang dapat menyerap gas, uap
dan kabut.
b.

Respirator penyalur udara
Membersihkan

aliran

udara

yang

tidak

terkontamonasi secara terus menerus. Udara
dapat dipompakan dari sumber yang jauh
(dihubungkan dengan selang tahan tekanan)
atau dari persediaan yang portabel (seperti

25
tabung

yang

berisi

udara

bersih

atau

oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan
SCBA (self contained breathing apparatus)
atau

alat

pernapasan

mandiri.

Alat

ini

digunakan di tempat kerja yang terdapat gas
beracun atau kekurangan oksigen.

2.5

Perspektif Teoritis
Berdasarkan

studi

pendahuluan

yang

dilakukan peniliti dapat diketahui bahwa debu
yang sering mengganggu para pekerja adalah
debu fibrogenik, sehingga apabila para pekerja
tidak

memakai

masker

saat

bekerja

dapat

menimbulkan resiko pada kesehatannya. Hal ini
merupakan perilaku pekerja yang harus dibenahi
untuk mengurangi timbulnya resiko gangguan
kesehatan pada pekerja. Perilaku adalah hasil
atau resultan antara stimulus (faktor eksternal)
dengan respons (faktor internal) dalam subjek
atau orang yang berperilaku tersebut.
Berkaitan dengan perilaku teori Lawrance
Green peneliti mencoba menganalisis perilaku

26
manusia

dari

tingkat

kesehatan.

Kesehatan

seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua
faktor pokok, yakni faktor perilaku dan faktor di
luar perilaku. Perilaku seseorang atau masyarakat
tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan,
sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari
orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di
samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan
perilaku petugas terhadap kesehatan juga akan
mendukung

dan

memperkuat

terbentuknya

perilaku. Sehingga perilaku mempunyai peran
dalam

faktor

pendukung

terjadi

gangguan

kesehatan pada kelompok pekerja pemacah batu.
Pada

penelitian

ini

penulis

memilih

mendiagnosis perilaku menggunakan teori dari
Lawrance Green agar lebih jelas mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan pekerja
dalam

menggunakan

masker

saat

bekerja.

Menurut Green perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor
utama, yaitu:
2.5.1

Faktor-faktor

(predisposing factors) yang terdiri dari:

predisposisi

27
a.

Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang

terjadi melalui proses sensori khususnya mata
dan telinga terhadap obyek tertentu. Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk
terbetuknya perilaku terbuka (overt behavior).
Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya
bersifat langgeng (Sunaryo, 2004). Pengetahuan
seseorang terhadap objek mempunyai intensitas
atau tingkat yang berbeda. Secara garis besar
dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yakni:
-

Tahu (Know)
Tahu

diartikan

hanya

sebagai

recall

(memanggil) memori yang telah ada sebelumnya
setelah mengamati sesuatu.
-

Memahami (Comprehension)
Memahami suatu objek bukan hanya sekedar

tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dalam
menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
mengintreprestasikan secara benar objek yang
diketahuinya tersebut.
-

Aplikasi (Application)

28
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah
memahami

objek

yang

dimaksud

dapat

menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain.

-

Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk

menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian
mencari hubungan antara komponen-komponen
yang terdapat dalam suatu masalah atau objek
yang diketahui.
-

Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukan kemampuan seseorang

untuk merangkum dan meletakan dalam satu
hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki, atau kemampuan
untuk meringkas dengan kata-kata dan kalimat
sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau
didengar, dan membuat kesimpulan.
-

Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi

berkaitan

dengan

kemampuan

seseorang untuk melakukan penilaian ini dengan
sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang

29
ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku
di masyarakat.
b.

Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang

terhadap suatu stimulus atau obyek, baik yang
bersifat

intern

maupun

ekstern

sehingga

manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi
hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup tersebut. Sikap secara
realitas menunjukkan adanya kesesuaian respon
terhadap stimulus tertentu. Tingkatan respon
adalah

menerima

(responding),

(receiving),

menghargai

merespon

(valuing),

dan

bertanggung jawab (responsible). Ada beberapa
komponen sikap menurut Allport (1954) dalam
Notoatmodjo (2010) yakni:
-

Kepercayaan

konsep

terhadap

atau

keyakinan,

objek,

artinya

ide,

dan

bagaimana

keyakinan, pendapat atau pemikiran seseorang
terhadap objek.
-

Kehidupan emosional atau evalusi orang

terhadap objek, artinya bagaimana penilaian
orang tersebut terhadap objek.

30
-

Kecenderungan

untuk

bertindak.

Artinya

sikap merupakan komponen yang merupakan
komponen
perilaku.

yang
Ketiga

mendahului
komponen

tindakan
tersebut

atau
secara

bersama-sama membentuk sikap yang utuh.
c.

Nilai-nilai
Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan

membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
atau

norma

yang

telah

melekat

pada

diri

seseorang (Green, 2000).
d.

Persepsi
Persepsi merupakan proses yang menyatu

dalam

diri

diterimanya.

individu

terhadap

Persepsi

pengorganisasian,

stimulus

merupakan

yang
proses

penginterpretasian terhadap

rangsang yang diterima oleh organisme atau
individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti
dan merupakan respon yang menyeluruh dalam
diri individu. Oleh karena itu dalam penginderaan
orang

akan

sedangkan

mengaitkan
dalam

dengan

persepsi

stimulus,

orang

akan

mengaitkan dengan obyek. Persepsi pada individu
akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan

31
juga keadaan dirinya. Orang yang mempunyai
persepsi yang baik tentang sesuatu cenderung
akan berperilaku sesuai dengan persepsi yang
dimilikinya.
2.5.2 Faktor-faktor pendukung (enabling faktor)
Faktor

pendukung

merupakan

faktor

pemungkin. Faktor ini bisa sekaligus menjadi
penghambat

atau

mempermudah

niat

suatu

perubahan perilaku dan perubahan lingkungan
yang baik (Green, 2000). Faktor pendukung
(enabling factor) mencakup ketersediaan sarana
dan prasarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas
ini

pada

hakekatnya

memungkinkan

terwujudnya

perilaku,sehingga

disebut

pendukung

faktor

pendukung
keterbatasan

mendukung

atau
dalam

suatu

sebagai

faktor

pemungkin.

Faktor

penelitian

sumber

atau

daya

ini

adalah

kesehatan,

keterjangkauan sumber daya kesehatan dan
ketersediaan APD / sarana
2.5.3 Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor)
Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor)
merupakan penguat terhadap timbulnya sikap dan

32
niat untuk melakukan sesuatu atau berperilaku.
Suatu pujian, sanjungan dan penilaian yang baik
akan

memotivasi,

pandangan

negatif

sebaliknya
seseorang

hukuman
akan

dan

menjadi

hambatan proses terbentuknya perilaku. Hal yang
paling berpengaruh terhadap perubahan perilaku
pekerja adalah motivasi. Pada penelitian ini yang
menjadi faktor pendorong adalah teman sebaya
dan petugas kesehatan.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Mahasiswi di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga T1 462007076 BAB II

0 16 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa dalam Penggunaan Kartu Kredit T1 212005032 BAB II

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pekerja Pemecah Batu terhadap Penggunaan Masker di Desa Wonokerto Kabupaten Semarang

0 0 69

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pekerja Pemecah Batu terhadap Penggunaan Masker di Desa Wonokerto Kabupaten Semarang T1 462009066 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pekerja Pemecah Batu terhadap Penggunaan Masker di Desa Wonokerto Kabupaten Semarang T1 462009066 BAB IV

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pekerja Pemecah Batu terhadap Penggunaan Masker di Desa Wonokerto Kabupaten Semarang T1 462009066 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pekerja Pemecah Batu terhadap Penggunaan Masker di Desa Wonokerto Kabupaten Semarang

0 0 8

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: FaktorFaktor yang Mempengaruhi Anak Jalanan Mengkonsumsi Minuman Beralkohol T1 BAB II

0 0 12

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen dalam Keputusan Pembelian Produk Smartphone Samsung T1 BAB II

0 0 8

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konvergensi Media di Radio Sonora Semarang T1 BAB II

0 2 8