Perempuan dalam Ketimpangan Tradisi dan

Perempuan dalam Ketimpangan Tradisi dan Agama
: Sebuah Pembicaraan
Oleh Else Liliani

Pengantar
Quota 30 % yang diberikan anggota DPR bagi kaum perempuan yang ingin
mengembangkan karirnya di bidang politik bukan merupakan hal yang istimewa,
meski bagi beberapa golongan itu sudah dianggap sebagai kemajuan yang luar bisaa.
Mengapa dikatakan demikian? Pewatasan quota yang hanya 30 % itu memberikan
interpretasi lain bahwa kapabilitas perempuan masih di bawah laki-laki. Seandainya
saja tidak ada pembatasan seperti itu dan murni diadakannya seleksi akan kapabilitas
dan akuntabilitas kesamaan hak laki-laki dan perempuan dalam bergabung di kursi
pemerintahan tentu lain soal.
Namun, perlakuan gender yang kurang mengenakkan seperti itu tidak hanya
terjadi di Indonesia. Bahkan, di Amerika yang notebene merupakan negara maju dan
modern (lebih modern ketimbang Indonesia) masih dijumpai tindakan-tindakan yang
diskriminatif terhadap kaum perempuan. Tokoh perempuan yang kemudian menjadi
ikon dari pembebasan terhadap perkosaan hak-hak

dan eksistensi perempuan itu


antara lain adalah Anita Hill (baca Wolf, 1997). Dan tampaknya, perjuangan Hill
yang kemudian diikuti serta oleh banyak kaum perempuan di Amerika itu pada
akhirnya menuai kemajuan. Sukses perjuangan kaum perempuan Amerika itu antara
lain terlihat dalam Akta Cuti Keluarga (The Family Leave Act), anggaran penelitian
yang berkaitan dengan kesehatan tubuh dan reproduksi perempuan meningkat dua
kali lipat lebih besar, hak perempuan untuk menerbangkan pesawat tempur, disetujui
dan disahkannya Akta Antikekerasan terhadap Perempuan (The Violence Against

Women Act ), dan sejumlah kesuksesan lain (Wolf, 1997:41-45) yang diharapkan
dapat memperbaiki nasb kaum perempuan (--yang tidak mudah diperjuangkan –

1

bahkan terkadang melewati “pertempuran” cukup sengit, terutama dengan mereka
yang masih “belum melek” jender).
Melihat Nasib Kaum Perempuan di Indonesia
Pada beberapa hal, kaum perempuan di Indonesia saat ini boleh dikatakan
nasibnya lebih baik dibandingkan dengan duapuluh atau limapuluh tahun yang lalu.
Saat ini, bukanlah suatu hal yang aneh jika melihat perempuan banyak menjadi
pemimpin, mulai dari presiden, menteri kabinet, gubernur, camat, dan lurah.

Bandingkan dengan zaman Orde Baru!
Keberhasilan

ini

tentu

saja

patut

disambut

dengan

terbuka.

Ini

mengindikasikan, bahwa kaum perempuan Indonesia sudah selangkah lebih maju.

Namun, apakah benar demikian? Yang muncul di permukaan tampaknya memang ya.
Tapi ketika melihat pada akarnya, akan tampak beberapa hal yang masih menjadi
kendala bagi perempuan di Indonesia untuk menjadi lebih maju. Berikut ini akan
dipaparkan beberapa hal yang terkait dan kadang menjadi akar permasalahan adanya
ketimpangan peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat.
1. Agraris dan Patriarki
Tidak dapat dipungkiri,

luasnya tanah dan tingkat kesuburan yang

menghampar di Indonesia menjadi salah satu penyebab tidak langsung dari
ketidakadilan yang dijumpai perempuan. Kemampuan untuk menaklukkan alam yang
kejam dan ganas menyebabkan laki-laki (yang memang diciptakan dengan otot-otot
yang lebih kuat dan dengan tekstur yang lebih kasar daripada perempuan) lebih sering
berada di luar untuk menghidupi keluarga. Sedangkan perempuan, lebih banyak
tinggal di dalam rumah untuk mengurus rumah dan anak-anak selagi suaminya
mencari penghidupan di luar.
Tidak dilatihnya otot-otot perempuan itu lama kelamaan menjadikan
perempuan seperti makhluk yang lemah, yang tidak mampu mengerjakan hal-hal
yang dianggap hanya bisa dikerjakan oleh kaum lelaki! Mereka kemudian pada

akhirnya kental dengan stereotip dunia domestik yang menjadi kerajaannya.

2

Laki-laki yang lebih sering tampil di dunia publik pada akhirnya lahir sebagai
sebuah anggota masyarakat yang menduduki status sosial tertinggi, sedang
perempuan berada di bawahnya. Bahkan, ada guyonan yang cukup “menyakitkan”,
bahwa setelah tuhan-laki-laki, perempuan adalah lapis masyarakat yang paling rendah
karena ada lapis anak-anak yang berada di atas perempuan. Opini yang jelas tidak
bisa dibenarkan. Mengapa anak-anak diletakkan di atas kedudukan perempuan? Tak
lain dan tak bukan adalah karena lebih seringnya perempuan disodori segala aktivitas
dalam dunia domestisitas. Mereka terbiasa dan dibiasakan untuk bergumul dengan
hal-hal kerumahtanggaan.
Demikanlah, ketika dunia agraris (yang berelasi dengan dunia masyarakat
tradisional) sangat kental dengan alam patriarki, maka dapat dipastikan bahwa kaum
perempuan tak lebih adalah suatu golongan lata.
2. Ketika Industri Mengubah Segalanya, Sorot Balik
Era kemajuan suatu tatanan masyarakat ditandai dengan adanya revolusi
industri. Ketika teknologi diciptakan untuk mempermudah kerja manusia, maka dapat
dipastikan banyak terjadi “pengangguran” yang dialami oleh sebagian kaum

perempuan di negara-negara maju. “Masa pengangguran” itu kemudian banyak diisi
dengan kegiatan membaca-baca buku para suami. Perempuan pun tersadar, bahwa
dunia luar itu lebih luas dan memiliki banyak hal menarik yang belum dijamah oleh
mereka.
Kehausan akan informasi dunia luar dan keingintahuan luar biasa yang
mendera kaum perempuan pada akhirnya mengantarkan mereka pada suatu upaya
pemahaman dan pemikiran yang kritis. Mereka kemudian lahir menjadi pemikirpemikir. Namun, eksistensi mereka tidak bisa diwujudkan secara bersigera dalam
masyarakat. Masa transisi dari agraris ke industri masih menyisakan kultur patriarki
yang begitu kuat. Kaum perempuan yang pemikirannya sudah maju masih juga
mengalami hambatan. Pemikiran-pemikiran mereka terpaksa disampaikan dari
“kacamata orang lain”. Dalam penulisan karya sastra, misalnya. Mereka menuliskan

3

gagasan, ide-ide mereka melalui “laki-laki”. Ya, para perempuan itu mengubah
dirinya menjadi “laki-laki” agar diterima oleh masyarakat.
Namun, itu pun belum mampu menempatkan perempuan dalam posisinya
yang setara dengan laki-laki. Laki-laki, bahkan merasa “ditampar” mukanya ketika
mengetahui bahwa isteri-isteri mereka tidak lagi mengindahkan kerajaan domestik
mereka. Stigma negatif pada akhirnya muncul pada perempuan yang mulai

mengarahkan perhatiannya tidak hanya pada domestik, tapi mulai bergeser ke publik.
Hingga akhirnya, perempuan yang berkecimpung di dunia publik itu dianggap
sebagai perempuan yang aneh, bukan lagi citraan seorang angel of the house (Fakih
(dalam Bainar, 1998:27). Hingga sampai saat ini, perempuan di berbagai belahan
dunia konsisten memperjuangkan nasib kaum mereka, ketika mereka pada akhirnya
menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan dan hak yang sama dengan lelaki.
3. Ketika Tradisi Berbicara
‘Sumur ’ – ‘dapur’ – ‘kasur’ – ‘pupur’ atau ‘manak’ – ‘macak’ – ‘masak’,
merupakan idiom-idiom yang kental dengan eksistensi perempuan (terutama Jawa).
Dalam masyarakat kita, perempuan telah diletakkan sedemikian rupa dalam tataran
fungsi kerja reproduksi (‘kasur’-‘manak’), objek-pelengkap (‘macak’, ‘pupur’), dan
pekerja suka rela (‘sumur’, ‘masak’, ‘dapur’).
Memang, tidak ada yang salah dengan tugas-tugas kerumahtanggaan tersebut.
Masalah muncul tatkala perempuan kemudian dikotakkan dalam peran-peran itu saja.
Celakanya, masyarakat telah mengadopsi nilai-nilai itu sedemikian lamanya. Kondisi
seperti ini, terutama sekali terlihat di daerah-daerah yang tingkat pendidikannya
belum begitu maju, atau di pedesaaan.
Mengapa tingkat pendidikan dan daerah juga mempengaruhi pandangan
umum masyarakat tentang perempuan? Pendidikan jelas-jelas mempengaruhi cara
berpikir seseorang. Seseorang yang memiliki pendidikan lebih tinggi tentu akan lebih

matang cara berpikirnya. Selain itu, tingkat pendidikan yang tinggi akan semakin
mengajak seseorang untuk bersikap kritis terhadap fenomena yang hadir di sekitarnya.

4

Pendidikan akan mengantarkan seseorang ke arah kemajuan, suatu perubahan yang
akan dialaminya dari proses belum mengerti hingga menjadi paham dan mengerti.
Di suatu daerah, misalnya pedesaan, di mana kultur masih begitu kuat
mewarnai kehidupan masyarakat, sangat kecil sekali dimungkinkan bagi merekamereka yang hidup di dalamnya untuk tidak terikat pada konvensi-konvensi yang
telah dibangun oleh masyarakat adapt sebelumnya. Masyarakat pedesaan umumnya
lebih patuh dan berlaku hormat terhadap hukum dan ketentuan yang berlaku dalam
suatu masyarakat. Apalagi perempuan. Di pedesaan, umumnya kaum perempuan
eksistensinya hanya ‘nunut’ saja kepada kaum laki-laki. Mereka umumnya
mempercayai kaum lelaki dalam segala aspek kehidupan, seperti penentu kebijakan
keluarga (misalnya dalam urusan sekolah anak—memutuskan siapa yang berhak
untuk mendapatkan pendidikan). Hal ini bisa dipahami ketika pada kenyataannya,
banyak perempuan yang tidak bekerja. Atau, kalaupun bekerja, maka pekerjaan
mereka bukanlah tulang punggung dari seluruh kehidupan keluarga, suami lah tulang
punggung utama keluarga.
Dalam kaitannya dengan masalah tradisi, di perkotaan mungkin akan ditemui

adanya sikap-sikap yang lebih permisif terhadap perubahan-perubahan nila i yang
terjadi di masyarakat. Karenanya, kepatuhan terhadap nila i dan adapt setempat lebih
bersifat longgar. Tapi ini bukan menjadi jaminan bahwa masyarakat perkotaan lebih
melek terhadap permasalaha perempuan. Tingkat pendidikan yang diterima, serta
tingkat kemakmuran seseorang sangat berpengaruh. Bagi masyarakat miskin,
tentunya masalah kesetaraan peran laki dan perempuan ini –mungkin- belum menjadi
perhatian utama, karena urusan utama tentulah tak jauh dari masalah perut.
Sikap lebih terbuka terhadap nila i dan perubahan yang dialami masyarakat
kota ini bukannya menyelesaikan masalah perempuan. Adakalanya, ditambah dengan
kemiskinan, menimbulkan masalah baru. Seperti prostitusi. Prostitusi menjadi salah
satu reaksi dari kemiskinan yang terjadi. Dampak negatifnya tentu saja menjadi
panjang, kadang ada perempuan pekerja seks komersial yang tidak diperlakukan
layak oleh konsumennya, penyakit mematikan seperti AIDS yang siap merenggut

5

nyawa, belum pelecehan-pelecehan yang diterima sebagai konsekuensi dari pekerjaan
syahwatnya itu!
Dari uraian yang sudah disebutkan di atas, ada beberapa hal yang terkait
dengan masalah pendidikan dan tradisi. Pertama, bahwa tingkat pendidikan

seseorang akan sangat berpengaruh terhadap sikap dan pemikiran seseorang terhadap
suatu gejala atau permasalahan yang ada. Seseorang yang berpikiran maju dan
terbuka tentu saja akan menerima segala perubahan yang terjadi dengan berbaik
sangka. Termasuk di dalamnya adalah perubahan yang dialami oleh segolongan kaum
perempuan: bahwa mereka memiliki hak dan peran yang sama dengan lelaki. Mereka
adalah partner, subjek yang sama, dengan lelaki, bukan objek apalagi pelengkap.
Kondisi seperti ini tidak bisa hadir dengan sendirinya, tetapi harus diciptakan.
Dengan kata lain, pemelekan terhadap fungsi dan peran yang sama antara lakiperempuan harus diciptakan dan ditumbuhkan dalam segenap elemen masyarakat.
Kedua, nilai-nilai tradisi yang dinilai merugikan hak dan posisi kaum
perempuan di tengah masyarakat kiranya perlu dilihat secara kritis. Stigma negatif
dan salah kaprah tentang peran perempuan dalam masyarakat dan keluarga perlu
ditinjau ulang. Kondisi ini dapat diperparah ketika masyarakat terlanjur memegang
nilai-nilai adapt dengan penuh kesakralan. Atau, justru ketika suatu masyarakat
menjadi begitu adaptif terhadap nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan suatu
masyarakat, yang pada akhirnya justru dapat berakibat fatal (seperti prostitusi yang
banyak dilakukan oleh kaum urban di kota, yang biasanya berpendidikan rendah, dan
memandang sesuatu dari bagaimana cara termudah untuk mendapatkan sesuatu itu,
tanpa melihat proses di belakangnya). Kondisi dan situasi seperti inilah yang harus
dihindari.
4. Agama: Tinjauan Kritis

Hidup ini pada dasarnya memiliki tujuan. Tujuan-tujuan itu adakalanya diatur,
difasilitasi, dan dimotivasi oleh agama. Karenanya, ada hukum dan nilai agama yang
dijadikan pegangan dalam mengarungi kehidupan.

6

Agama-agama samawi bisaanya memiliki hukum yang mengatur peranan
perempuan. Beberapa hal yang diatur dalam Al-Qur ’an, yang terkait dengan peran
dan eksistensi perempuan dalam fungsinya antara lain adalah sebagai berikut.
a. Eksistensi Perempuan
Pandangan-pandangan seperti perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki,
perempuan lahir dari najis atau akibat ulah setan, perempuan diperalat setan dan
menjadi penyebab diusirnya manusia dari surga

merupakan contoh kekeliruan

terhadap tafsir tentang perempuan. Bahkan, sampai sekarang ada beberapa orang,
yang beranggapan bahwa perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Pendapat yang keliru mengenai penciptaan perempuan ini muncul dari tafsir yang
keliru atas hadis nabi, yakni saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada


perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Ini bukan
berate bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Karena jika yang
dimaksud demikian, maka maknanya bisa mengarah pada kerendahan derajat
perempuan dibandingkan laki-laki. Tafsir yang keliru ini juga muncul sebagai akibat
dari terkontaminasinya aqidah (terutama muslim) atas Kitab Perjanjian Lama
(Kejadian II;21) yang

mencantumkan kejadian Adam dan Hawa (dalam Shihab,

1999:270).
Tulang rusuk dalam hadis di atas merupakan sebuah kiasan yang artinya agar
dalam memperingatkan perempuan, seorang lelaki kiranya dapat berlaku dengan amat
bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan bawaan perempuan yang
tidak sama dengan laki-laki. Karenanya,

mereka tidak akan mampu mengubah

karakter dan sifat bawaan perempuan.
Kepribadian bawaan perempuan sejak lahir itu tercatat dalam Al-Qur’an surat
AL-Isra’ ayat 70 yang dengan tegas menyatakan bahwa:

Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan).
Kami beri mereka rizki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan

7

kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami
ciptakan.
Ayat di atas menunjukkan bahwaanak-anak Adam dan penghormatanNya itu meliputi
lelaki dan perempuan. Keduanya sama dari segi asal kejadian dan kemanusiaannya
(QS Ali Imran:195). Peran lelaki dan perempuan yang koordinat juga dibahas lagi
dalam QS 3:195. beberapa nukilan ayat-ayat di atas kiranya dapat menjadi koreksi
atas pandangan yang keliru tentang perempuan yang beranggapan bahaw eksistensi
asal mula kejadian perempuan itu berasal dari seorang lelaki. Perempuan dan lelaki
pada hakikatnya adalah sama di mata Tuhan, dan diciptakan dalam porsinya yang
sama, yakni engan bertemunya sel telur (ovarium) dengan sel sperma.
b. Hak-hak perempuan
beberapa hal yang perlu dicatat terkait dengan persoalan hak perempuan
dalam kaitanya dengan agama (terutama Islam) adalah banyak dijumpainya
pemahaman atau penafsiran keliru atas kata qawamun yang diterjemahkan sebagai

tasalluth. Dalam pengertian yang keliru ini, perempuan ditempatkan sebagai sosok
yang menjadi subordinate dengan perempuan. Karena, laki-laki merupakan pemimpin
bagi kaum perempuan. Penafsiran yang seperti ini, merupakan bentuk.
Menurut Engineer (1999:41), makna kata qawwamun lebih tepatnya bukanlah
dominasi laki-laki atas perempuan. Engineer kemudian mencontohkan beberapa tafsir
atas qawwamun yang ‘lebih bersahabat’. Misalnya, pendapat Abdullah Yusuf Ali
yang menerjemahkan kata tersebut sebagai ‘pelindung kaum perempuan’, dan
Muhammad Assad yang menafsirkannya dengan ‘memelihara hak perempuan’.
Maulana Muhammad Ali menerjemahkan kata qawwamun dengan ‘penjaga’.
Jadi, menurut terjemahan ini laki-laki adalah pelindung, penjaga, atau
pemelihara perempuan. Bukannya orang yang mendominasi perempuan. Ayat ini
sangat krusial dalam menentukan posisi perempuan dalam Islam. Kalangan Ulama
Konservatif dan Ortodoks telah menggunakannya untuk membuktikan bahwa Allah
telah mensubordinatkan perempuan di bawah laki-laki.

8

Dalam kehidupan praktis, permasalahan persamaan hak antara perempuan
dengan laki-laki ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Contoh kasus, ketika
Megawati Soekarno Putri mencalonkan dirinya menjadi presiden (baca: pemimpin),
maka tak sedikit dari kalangan umat Islam yang menolak dengan dalil hadis nabi
yang menyatakan “tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan”. Dalil seperti ini jugalah yang biasanya dipergunakan untuk
menggoyang calon-calon pemimpin dari kaum perempuan.
Sebenarnya, penggunaan hadis sebagai dasar penentu boleh atau tidaknya
perempuan menjadi penentu itu tidak serta merta dipahami secara mentah. Karena,
suatu hadis adakalanya muncul karena dilatarbelakangi suatu peristiwa yang sifatnya
kondisional, dan tidak berlaku kepada semua umat. Hadis di atas merupakan salah
satu contohnya.
Mengapa nabi mengeluarkan pernyataan tersebut? Ini dilatarbelakangi
peristiwa penyerbuan kerajaan Romawi di Persia. Saat iru Kisra Persia wafat dan
anak perempuannya diangkat menjadi penggantinya. Di samping situasi kerajaan
yang masih kacau, diperkirakan Buran, putri Raja Persia itu tidak memiliki
kemampuan untuk memimpin kerajaan besar seperti Persia (Sukri, 2002:118).
Dengan demikian, sabda Rasulullah itu tidak berlaku untuk semua kaum perempuan.
Karena, ada pula nama-nama tokoh perempuan Islam yang juga menjadi pemimpin
suatu kaum. Sebutlah Ratu Balqis. Bahkan, isteri nabi, Aisyah pun pernah menjadi
pemimpin dalam perang Jamal. Karenanya, sikap kritis terhadap hukum-hukum
agama itu perlu dilakukan. Hal ini sangat penting, terutama untuk menghindari
ketidakadilan jender.
c. Perempuan dan Perkawinan
Slah satu isu yang menarik berkaitan dengan perkawinan adalah soal
perceraian dan poligami. Islam telah meletakkan dasar-dasar diperbolehkannya
perceraian. Berbeda dengan agama yahudi yang dengan bebas memperbolehkan
kaumnya untuk melakukan perceraian dan kaum nasrani yang melarang kaumnya
untuk bercerai, agama Islam meletakkan pereraian dalam porsinya yang sesuai.

9

Perceraian, dalam Islam tidak dapat dilakukan dengan tanpa alas an atau
semena-mena – dari sudut pandang suami saja. Dalam agama Islam, perceraian
dilakukan melewati tiga tahapan. Jika pasangan rujuk kembali setelah talak pertama,
maka mereka dapat hidup bersama lagi sebagai suami and isteri. Demikian juga
dengan talak kedua, mereka dapat merekonsiliasi lagi dan hidup sebagai suami isteri.
Tetapi, jika talak diberikan untuk ketiga kalinya maka itu menjadi bukti bahwa
perkawinan itu tidak dapat diteruskan dan lebih baik bila berpisah selamanya.
Demikian moderatnya hukum perceraian dalam Islam. Dengan adanya hukum seperti
ini, perceraian tidak dapat dilakukan secara semena-mena, mengabaikan hak sang
isteri.
Isteri, dalam hukum Islam pun boleh menuntut cerai jika selama kurang lebih
dua bulan berturut-turut tida diberikan nafkah lahir dan batin oleh suaminya.
Perjanjian ini diucapkan oleh calon suami isteri ketika mereka berada di hadapan
penghulu dan disaksikan oleh para saksi pernikahan.
Laki-laki didesak untuk mencintai isteri mereka, harus menghormati dan
memperlakukan mereka dengan cara yang baik, serta memberi dengan tata cara yang
santun. Perempuan diminta taat kepada suami, harus mencintai, dan loyal terhadap
mereka. Tenjtang perceraian dikatakan bahwa tidak ada di muka bumi ini yang
dibenci oleh Allah lebih daripada perceraian. Dikatakan juga kepada kaum
perempuan, bahwa laki-laki yang minta cerai tampa memiliki alas an yang kuat dan
tanpa mencari solusi yang memungkinkan, mereka tidak akan masuk surga (Engineer,
2003:204).
Selain perceraian, poligami adalah isu yang menarik. Kadang kala, tuduhan
miring terhadap Islam pun dilayangkan oleh mereka yang tidak mengerti dasar
hukum mengapa diperkenankannya poligami dalam Islam. Mereka yang menentang
poligami ini umumnya memiliki alas an bahwa poligami adalah salah satu cara untuk
menindas perempuan karena mereka menjadi lebih tergantung kepada laki-laki, tidak
merdeka, dan tidak menempatkan perempuan dalam kedudukannya secara terhormat.
Padahal, Islam memiliki dasar mengapa poligami ini diperbolehkan.

10

Aat yang sering disitir terkait dengan isu poligami adalah QS An-Nisa: 3,
yakni: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil kepada anak-anak yatim, maka
kawinilah perempuan di antara mereka yang menurut kamu baik, dua, tiga, atau
empat; tapi jika kamu tidak dapat berbuat adil maka kawinilah satu atau dari budak
perempuan yang kamu miliki. ” Yatim di sini maksudnya adalah ‘perempuan yang
belum kawin yang ayahnya telah meninggal’ atau ‘gadis-gadis’. Sir Syed, seperti
yang dikutip Enginner (2003: 245-256), mengatakan bahwa dalam ayat ini dan ayat
sebelumnya, ketidakadilan dalam bentuk apapun kepada gadis-gadis yatim dan kaum
perempuan sangat dilarang. Dalam ayat ini, laki-laki telah didesak: “Jika kamu takut
tidak dapat berlaku adil kepada para gadis yatim dalam hal kekayaan dan hak-hak
mereka, maka kawinilah perempuan lain.” Hal ini dikarenakan adanya perhatian yang
besar dalam melindungi hak-hak dan kekayaan para gadis yatim dan perempuan.
Kemudian, Sir Syed menjelaskan ayat selanjtunya dengan mengutip sebuah
hadits dari Aisyah, isteri nabi yang diriwayatkan dalam Tafsir Al Kabir. Hadits ini
semakin memperjelas diperbolehkannya seorang laki-laki mengawini empat isteri,
dengan maksud untuk melindungi hak-hak mereka. Seseorang dapat mengawini para
anak yatim dan perempuan asalkan mereka dapat berlaku adil kepada mereka.
Yang menjadi persoalan adalah ketika poligami itu dilakukan, tanpa
memperhatikan hal-hak perempuan. Di sekitar masyarakat kita, kasus poligami yang
bermasalah itu banyak sekali. Bahkan, ada pula yang melakukan poligami tanpa
sepengetahuan dan seijin isterinya. Tentu saja, hal ini tidak boleh dilakukan. Poligami
tanpa sepengetahuan dan seijin isteri, tentu saja tidak sah.
Namun, contoh-contoh poligami yang sukses di kalangan masyarakat kita pun
ada juga. Pemilik rumah makan Wong Solo misalnya. Dengan keempat isterinya, dia
dapat menjalankan kehidupan perkawinannya dengan bahagia dan sukses (setidaknya,
itulah yang digambarkannya di dalam kehidupan kesehariannya). Apa maksudnya?
Poligami, selain memerlukan kebijaksanaan untuk berlaku adil kepada semua isteri
juga memerlukan materi yang cukup. Bagaimana dapat melakukan poligami jika
materi tidak cukup untuk menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarga?

11

Menjadi

lebih

parah

lagi,

jika

hukum

poligami

hanya

diambil

“diperbolehkannya mengawini lebih dari satu isteri”. Pernah terjadi kasus, seorang
tukang becak di Jakarta membunuh isterinya sendiri karena ditentang niatannya untuk
melakukan poligami. Kasus ini sempat mencuat di berbagai televise. Dalam
pemikiran penulis, poligami akan berhasil jika para pelakunya melek terhadap hukum
agama dan memiliki kearifan dalam menjalani kehidupannya ketika harus berbagi
suami. Materi pun harus dipikirkan. Karena, orang berumah tangga itu membutuhkan
materi. Baik isteri maupun suami harus memiliki kekuatan secara ekonomi untuk
melangsungkan kehidupan sebuah keluarga.
d. Kekerasan dalam Rumah Tangga
Al-Qur’an tidak membenarkan adanya kekerasan dalam rumah tangga.
Permaslahan acap kali muncul ketika terjadi penafsiran yang kurang tepat atas ayat
ini.

Laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, atas apa yang telah Allah
lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dank arena mereka telah
menafkahkan sebagian harta mereka. Oleh karena itu, perempuan yang baik
adalah yang taat (qanitat), memelihara diri dari yang ghaib, seperti Allah
telah memelihara. Dan mereka yang kamu takut desersi, maka nasihatilah
mereka dan tinggalkanlah mereka sendiri di tempat tidur, dan hukumlah
mereka (wadhribuhunna). Sehingga, jika mereka mentaatimu, janganlah
mencari-cari kesalahan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya, Allah
Mahatinmggi lagi Mahabenar (QS An-Nisa’:34).
Selama ini, penafsir abad pertengahan dan kaum konservatif meletakkan ayat
tersebut sebagai dasar superioritas laki-laki terhadap kaum perempuan. Muhammad
Asad di sisi lain (Engineer, 2003:70), menganggapnya sebagai pemberian tanggung
jawab yang lebih kepada laki-laki daripada perempuan. Karena, di masa itu lakilakilah yang mencari nafkah, meskipun secara teoritis perempuan pun dapat mencari
nafkah. Namun perlu dipahami, bahwa perempuan Islam pada masa-masa awal itu

12

tidak bekerja dan bergantung kepada laki-laki untuk memenuhi hidup mereka. Karena
itu, ayat ini perlu dipahami secara sosiologis supaya tidak keliru.
Soal pemukulan, menurut Ahmad Ali, Al-Qur’an

tidak membolehkan

pemukulan isteri sama sekali. Tetapi, kebanyakan para penafsir klasik setuju bahwa
setelah mengambil semua tindakan untuk membujuk isterinya, bila ternyata sang
isteri terus melawan, maka dia dapat diberi pukulan ringan, tidak untuk melukai tetapi
untuk menghukum.
Kata wadhribuhunna dalam ayat di atas sebenarnya juga memunculkan tafsir
yang beragam. Apakah dengan demikian Al-Qur’an memperbolehkan kekerasan
terhadap isteri? Ath-Thabari mengatakan bahwa mereka sulit atau tidak mau
dibujukm, maka pemukulan boleh dilakukan sepanjang tidak sampai menyakitinya.
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa pemukulan tidak boleh melukai dan tidak boleh
menyebabkan luka, atau merusak tulang apa pun, dan wajah tidak boleh disentuh. AsSyafei mengatakan bahwa pemukulan boleh dilakukan, dengan memperhatikan
syarat-syarat yang kurang lebih sama dengan Az-Zamakhsyari, namun akan lebih
baik jika tidak dilakukan.
Dari beberapa pendapat di atas, jelaslah kiranya mereka umumnya menyetujui
‘pemukulan’ terhadap isteri sebagai bentuk peringatan jika sang isteri tidak taat
kepada suaminya (memberontak, melawan). Namun, perlu menjadi catatan bahwa
pemukulan itu akan lebih baik jika tidak dilakukan. Mengapa? Pertama, karena
pemukulan merupakan suatu tindak kekerasan dan dapat meninggalkan traumatic
yang cukup dalam bagi isteri (atau anak yang mengetahui peristiwa pemukulan itu,
misalnya). Kedua, ada cara yang lebih baik daripada pemukulan. Yakni diskusi,
penyelesaian masalah dengan menggunakan akal dan hati yang jernih. Mengapa
jaman dahulu pemukulan dilakukan? Mungkin, karena perempuannya belum dapat
berpikir secara matang. Sehingga, perlu cara untuk membuat mereka patuh kepada
suami. Maklum, kaum perempuan jaman dulu hanya tinggal di dalam rumah –
bagaimana mungkin mereka dapat mengasah akal? Namun kiranya, hal itu tidak perlu
dilakukan lagi. Perempuan sekarang lebih maju daripada perempuan jaman dulu.

13

Tanpa harus dipukul, mereka dapat mengerti dengan baik. Ketiga, ada solusi yang
lebih baik daripada memukul. Yakni, meminta bantuan nasihat kepada orang yang
lebih paham mengenai hukum, baik hukum agama (ulama) atau hukum secara umum
(pengacara, polisi). Meminta bantuan advis dari ulama sangat diperlukan.
Harapannya, akan ada pemecahan terhadap masalah yang dihadapi. Atau, meminta
bantuan pihak kepolisian untuk menyelesaikannya secara hukum jika ternyata dari
keagamaan masalah itu belum selesai juga. Yang jelas, pemukulan bukanlah solusi
dari segalanya. Komunikasi yang terbuka dan kesadaran untuk menghormati dan
menghargai satu sama lain itu yang lebih utama.
Kekerasan dalam rumah tangga ini pada praktiknya masih banyak ditemui di
sekitar masyarakat kita, baik yang dengan menggunakan dalil agama maupun yang
tidak. Kasus kekerasan dalam rumah tangga begitu merebak. Akibatnya, saat ini
fenomenanya adalah banyak perempuan yang menuntut cerai karena diperlakukan
dengan tidak hormat oleh suami. Umumnya, mereka yang berani menuntut cerai ini
dari kalangan yang sudah mapan? Bagaimana dengan yang kurang mapan? Biasanya,
mereka bertahan dalam perkawinan

karena berbagai pertimbangan,

seperti

pertimbangan anak dan ekonomi. Untungnya, Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bergerak dalam penegakan hak-hak perempuan dalam rumah tangga kini banyak
bermunculan.

Salah

satunya

adalah

Rifka

Annisa.

Lembaga

ini

banyak

memperhatikan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Namun, keberadaan
lembaga ini tentu saja masih akan kurang efektif jika pelaku-pelaku dalam kehidupan
rumah tangga itu sendiri belum melek terhadap keberadaan masing-masing.
Situasinya akan menjadi lain jika semua elemen masyarakat mulai menyadari akan
hakikat peran dan kedudukan satu sama lain dalam keluarga. Usaha penyadaran
terhadap hak dan penghargaan terhadap sesame, kiranya perlu lebih gencar
digalakkan di semua unsur masyarakat.
Kesimpulan
Usaha penyetaraan, eksistensi yang seimbang antara laki dan perempuan
kiranya harus dan senantiasa dilakukan. Masyarakat memang tidak hanya ada pada

14

saat ini. Masyarakat yang ada saat ini merupakan sambungan dari masyarakat yang
terdahulu. Namun, bukan berarti semua yang telah dibawa masyarakat terdahulu itu
diterima dan dilestarikan. Ada kalanya, norma, keyakinan, budaya ataupun tradisi
yang keliru, yang dapat merendahkan posisi perempuan itu perlu dikaji ulang.
Hukum-hukum agama yang keliru ditafsirkan atau dipahami perlu diluruskan dan
dikritisi. Perhatian dari berbagai pihak, seperti pemerintah, Lembaga Swadaya
Masyarakat, ulama, dan semua elemen masyarakat perlu dikerahkan demi menuju
terbentuknya masyarakat yang sadar akan peran dan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan. Bila perlu, usaha pemelekan jender itu dimulai dari keluarga inti dan
diteruskan di sekolah-sekolah. Dengan demikian, perlakuan-perlakuan yang miring
terhadap perempuan dapat dikurangi, ditepis, bahkan dihilangkan.
Daftar Bacaan
Wolf, Naomi. 1997. Gegar Gender (dialihbahasakan oleh Omi Intan Naomi).
Yogyakarta: Pustaka Semesta Press.
Bainar (ed). 1998. Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan.
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia dan PT Pustaka Cidesindo.
Engineer, Asghar Ali. 2003. Pembebasan Perempuan (diterjemahkan oleh Agus
Nuryanto). Yogyakarta: LKIS.
Shihab, Quraish. 1992. Membumikan Al-Quran . Bandung: Mizan.
Sukri, Suhandjati. 2002. “”Perempuan sebagai Kepala Negara” dalam Pemahaman

Islam dan Tantangan Keadilan Jender. Yogyakarta: Gama Media.

15