Permasalahan Orang Gila dan Kompleksitas
Kompasiana, 5 November 2014
Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University
Cite:
Rohman, Arif. (2014). Permasalahan Orang Gila dan Kompleksitas Penanganannya di
Indonesia. Kompasiana, 5 November 2014.
Pendahuluan
Pada pertengahan tahun 2014, ketika saya pulang ke kampung saya di Demak – Jawa
Tengah, Ibu saya bercerita tentang almarhum Lek Jupri. Lek Jupri adalah penjual ‘bakso
kojek tusuk lidi’ dan ‘es pasah sirup frambos’ yang sangat terkenal dan cukup legend di
kampung kami. Sampai sekarang saya belum menemukan tandingan kelezatan bakso
kojek bikinannya. Kalau membayangkan bakso kojeknya, langsung terbit selera saya,
pun saat saya menulis artikel ini. Pada waktu saya masih SD, saya masih ingat, walaupun
mulai berdatangan para tukang siomay dari daerah lain (Bandung – Jawa Barat), yang
menawarkan dagangan lebih komplit seperti ada kol, tahu, dan pare-nya, namun
penggemar Lek Jupri tidak pernah surut. Mungkin karena rasanya yang yummy dan
harganya yang relatif lebih murah, disamping penyajiannya yang sederhana, yaitu
bakso tepung kecil-kecil yang direbus dan diberi sambal kacang dan kecap dan sedikit
saos yang dimasukkan dalam plastik kecil ukuran ½ ons. Saya tidak bisa
membayangkan berapa banyak orang yang pernah mencicipi makanannya dan saat ini
sudah menjadi orang-orang sukses dalam hidupnya. Dia orang yang baik dan taat
beribadah di mata masyarakat sekitar.
Namun sayangnya, kenangan tersebut seketika hilang manakala saya tahu bahwa beliau
sudah meninggal. Meninggalnya pun boleh dikatakan menurut saya sangat tragis.
Bermula dari kondisi fisiknya yang sudah mulai menua, dan pembeli yang semakin
berkurang, serta mungkin banyak hutang pada rentenir, akhirnya dia mengalami stress
ringan. Atas usul salah satu tokoh masyarakat, dia dikirim ke salah satu panti orang gila
di Semarang. Bukannya kondisinya semakin baik, ternyata justru semakin buruk karena
di panti itu dia dicampur dengan orang-orang gila beneran hasil razia di jalanan. Banyak
orang yang menyayangkan bahwa sebenarnya pada waktu Lek Jupri masih dalam
keadaan stress ringan, dia bisa saja sembuh dengan sendirinya, jika masyarakat sekitar
lebih peduli pada keadaannya dan bersama-sama memberikan perhatian yang lebih
1
Kompasiana, 5 November 2014
pada kehidupannya, tentu saja dengan mencari akar masalah yang membuat dia merasa
tertekan.
Tulisan ini berusaha untuk memotret permasalahan orang gila di Indonesia, dan
perlakuan yang sering mereka terima dalam kehidupan sehari-hari. Maksud dari tulisan
ini adalah untuk menunjukkan betapa kelamnya kehidupan mereka dan untuk
menggugah hati nurani dan kepedulian kita terhadap permasalahan orang gila yang ada
di sekitar kita. Tulisan ini akan difokuskan pada penderita gangguan psikis yang berat
atau lazim disebut schizophrenia.
Penyebutan ‘Orang Gila’
Sebenarnya penyebutan orang gila sebisa mungkin perlu kita hindari mengingat stigma
negatif yang melekat di dalamnya. Jadi memberikan label orang gila sebenarnya sangat
berbahaya dan hanya memperburuk keadaan saja. Hal ini dikarenakan, mereka
sebenarnya adalah orang-orang biasa seperti kita yang hanya sedang mengalami
gangguan psikis saja. Gangguan psikis ini memiliki spectrum dari yang ringan sampai
yang berat. Gangguan psikis yang ringan dimisalkan seperti stress biasa akibat situasi
sulit dan runyam yang agak susah dihadapi. Sebagai contoh, para komuter yang tinggal
di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bekerja di Jakarta, harus mengalami stress
setiap pagi hari karena macet di jalanan, ketinggalan kereta, atau kereta yang
dijadwalkan berangkat ternyata sedang mogok, tentu sempat mengalami stress karena
harus sampai di tempat kerja pada pagi hari, atau akan dapat sanksi dari kantornya.
Contoh yang sering terlihat adalah orang-orang yang kalah dalam pemilu di Indonesia.
Mereka seringkali jadi orang-orang stress baru. Akibatnya adalah hilang konsentrasi,
sering melamun, linglung, atau sebaliknya, yaitu menjadi agresif. Adapun contoh untuk
gangguan psikis yang sedang yaitu mereka yang mengalami grieving akibat kehilangan
sesuatu dalam hidupnya seperti ditinggal mati pasangan, bayi atau anaknya meninggal,
adik atau kakaknya meninggal, orang-orang yang disayangi meninggal, bahkan bisa jadi
ketika binatang peliharaannya mati. Korban kecelakaan dan menderita kecacatan,
seperti mereka yang diamputasi anggota tubuhnya, mereka yang gagal masuk CPNS,
diputus cinta oleh pacar, pasangan yang selingkuh dan perceraian,atau mereka yang diPHK, sangat potensial untuk menjadi penyebab gangguan psikis berat. Akibatnya adalah
mereka bisa menarik diri dari lingkungan sosialnya dan mengurung diri di kamar.
Mereka mengalami depresi akibat trauma yang dialaminya. Mereka yang mengalami
gangguan psikis berat, contohnya adalah mereka yang menderita schizophrenia.
Para penderita schizophrenia umumnya mengalami halusinasi dan waham yang tidak
sesuai dengan realita. Itulah sebabnya orang yang menderita schizophrenia sering
tertawa sendiri, kadang menangis, dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut kajian medis, ini disebabkan karena hiper dopamine di otak. Akibatnya,
2
Kompasiana, 5 November 2014
dopamine yang berlebihan akan mencipatakan racun buat neuron (sel-sel saraf) yang
ada di otak. Jika keadaan ini berlangsung lama dan tanpa penanganan yang tepat, maka
akan dapat menyebkan kematian pada sel-sel otak. Kematian pada sel-sel otak bisa
mengakibatkan gangguan pada fungsi kecerdasan dan kognitif. Dengan penanganan
yang tepat dan segera, kondisi otak akan tetap baik, dan seseorang bisa melaksanakan
aktifitas seperti biasanya, seperti sekolah, bekerja dan bersosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya.
Dari spectrum ini jelas bahwa kita hidup dalam spectrum ini. Bagi mereka yang memiliki
coping capacities (kemampuan menghadapi masalah) yang tinggi, mereka mampu
menyeimbangkan dan me-manage dengan baik. Mereka yang coping capacitiesnya
rendah biasanya akan mudah mengalami gangguan psikis. Di negara-negara maju,
mereka lebih memilih penggunaan istilah ‘orang dengan mental illness’ daripada
menggunakan istilah orang gila yang dianggap kurang humanis dan stigmatif.
Memahami Orang Dengan Gangguan Psikis Berat : ‘Delusi’ dan ‘Halusinasi’
Perhatian dan rasa kepedulian akan mudah terbangun jika kita bisa memahami secara
utuh dan mendalam, mengenai orang dengan gangguan psikis berat. Pemahaman yang
cukup akan membuat kita lebih bijak dan tidak terjebak pada pandangan yang
menyamakan orang dengan ‘mental illness’ dan orang dengan ‘intelectual disability’,
karena itu adalah dua hal yang berbeda. Perlu dibedakan pula antara orang dengan
gangguan psikis dan orang dengan dementia (kepikunan). Beberapa contoh gejala yang
sering ditemui oleh orang dengan gangguan psikis berat yaitu seseorang yang
mengalami delusi mendapatkan wahyu dari Tuhan untuk menjadi nabi, presiden,
ataupun menikah dengan makhluk gaib. Kasus lain adalah seseorang yang mengalami
halusinasi pendengaran maupun penglihatan, seperti ada yang berkata dan
menampakkan pada dirinya secara aneh yang membuat dia terus kepikiran dan
berharap. Bisa juga seseorang yang merasa ada yang membicarakannya atau mengikuti
dan mengawasinya sehingga membuat dia takut, cemas, panik dan merasa terancam,
padahal realitanya tidak seperti itu.
Dari contoh tersebut, kita bisa melihat bahwa umumnya orang dengan gangguan psikis
berat mengalami delusi dan halusinasi. Delusi adalah keyakinan yang salah atau keliru
akibat salah tafsir atas persepsi dan pengalaman yang dimilikinya. Karena itu wajar
apabila mereka yang mengalami delusi akan menganggap dirinya sebagai nabi,
presiden, ataupun jagoan silat yang tidak ada tandingannya. Sedangkan halusinasi
adalah persepsi yang kuat atas obyek yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi terkait
dengan kemampuan sensorik seperti penciuman, pendengaran, penglihatan dan lain
sebagainya. Bagi penderita gangguan psikis berat seperti schizophrenia, umumnya yang
paling ditemui adalah suara-suara yang terus mengganggunya. Di beberapa daerah,
3
Kompasiana, 5 November 2014
gejala schizophrenia ini sering dianggap karena kerasukan roh-roh halus atau istilahnya
kesambet. Namun demikian dalam dunia medis tidak dikenal istilah-istilah seperti ini.
Menghilangkan Stigma ‘Orang Gila’: Melihat Aspek Positif
Orang yang menderita gangguan psikis berat juga bisa berpartisipasi dan berkontribusi
dalam masyarakat. Sebagai contohnya adalah seorang ahli matematika, John Nash. Pada
umur 31 dia didiagnosis menderita schizophrenia. Namun demikian, satu decade
kemudian, dia mampu meraih penghargaan nobel karena ‘game theory of economics’ nya. Artinya, dengan obat, terapi dan cinta dari orang-orang dekat, tidak menutup
kemungkinan sembuh dan berprestasi dalam hidupnya. Kisah hidupnya bahkan pernah
diangkat di layar lebar dengan judul ‘A Beautiful Mind’ pada tahun 2001 dengan
dibintangi oleh Russel Crowe.
Adapun dari Indonesia, yaitu Poltak Tua Dorens Ambarita, S.Si., M.Sc (32) yang
menorehkan prestasi nilai diatas rata-rata (Cum Laude) untuk sarjana Kimia, Institut
Teknologi Bandung (2004) dan S2 Double Degree Teknik Industri Institut Teknologi
Bandung (ITB) dan Chung Yuan Christian University (CYCU). Dan saat ini bekerja menjadi
Pegawai Negeri Sipil di Baristand Industri Manado Kementerian Perindustrian (lihat
liputan6.com). Dari sini terlihat bahwa orang dengan gangguan psikis juga bisa sukses
dan berhasil. Pengalamam saya di Adelaide (South Australia) pada waktu mengunjungi
‘Diamond House’ untuk mereka yang mengalami gangguan psikis, mereka tidak malu
untuk mengatakannya. Pemerintah dan NGO bahu membahu memberikan layanan
kepada mereka, karena mereka adalah bagian dari masyarakat. Jadi kenapa kita justru di
Indonesia harus menjauhi mereka?
Kompleksitas Penanganan
Dari uraian singkat di atas, mungkin dapat kita pahami bahwa orang-orang dengan
gangguan psikis berat pada dasarnya adalah orang sedang mangalami masalah. Istilah
kasarnya adalah mereka sedang dalam keadaan sakit. Sebagaimana melihat orang sakit,
sudah seharusnya kita memberikan perhatian, menengok, dan mendukungnya agar
cepat sembuh seperti sedia kala. Namun demikian, dalam kenyataannya, alih-alih
memberikan perhatian dan mendukungnya, pada kasus orang dengan gangguan psikis
berat, banyak dari kita yang justru tidak peduli dan menjauh. Mereka diacuhkan dan
dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat, bahkan pemerintah pun terkesan tidak peduli,
sehingga banyak dari mereka yang kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan.
Akibatnya adalah banyak dari mereka yang berakhir dengan hidup di jalanan, tanpa
perlindungan dari pemerintah sama sekali. Banyak dari mereka yang masih dipasung
oleh keluarganya, karena dianggap membahayakan keamanan dan ketenteraman
lingkungan sekitarnya. Upaya yang dilakukan pemerintah pun terkesan setengah hati,
4
Kompasiana, 5 November 2014
dan tidak benar-benar menyelesaikan masalah atau istilah kasarnya hanya sekedar
memindahkan masalah.
Sudah bukan rahasia umum apabila selama ini ada pejabat yang mau datang, maka
razia gelandangan dan pengemis dilakukan. Biasanya waktu-waktu menjelang upacara
kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Ada di antara mereka yang
ditampung-tampung di panti sosial, selebihnya dioper ke daerah lain, bahkan ke desadesa dengan menggunakan truk. Itulah sebabnya di kampung-kampung sering
terdengar istilah ‘orang gila baru buangan dari tempat lain’. Padahal seharusnya, jika
kita konsisten menyebut mereka sebagai orang sakit, Pemerintah Indonesia dalam hal
ini Kementerian Kesehatan sudah harus siap segalanya, baik dari visi, misi, dan fasilitas,
sampai dengan prosedur layanan yang tepat untuk mereka. Memang perlu diakui
bahwa masalah ini adalah masalah yang bisa dikatakan abu-abu, Kementerian mana
yang harus bertanggung jawab masih belum jelas. Kalau dibilang ini adalah tanggung
jawab Kementerian Sosial, mungkin agak rancu. Hal ini dikarenakan dalam fungsi
Kementerian Sosial sendiri, yang menjadi tanggung jawabnya adalah rehabilitasi sosial
untuk mereka yang sudah dinyatakan sembuh secara medis dari Kementerian
Kesehatan. Kementerian Sosial bertanggung jawab dalam integrasi sosial kepada
masyarakat dan pemberdayan sosial ekonomi ’setelah dinyatakan sembuh secara
medis’. Jadi, apabila semua masalah sosial, salah satunya adalah ‘orang gila’ yang belum
dinyatakan sembuh secara medis, harus ditangani oleh Kementerian Sosial, apakah
kementerian ini sanggup dan mempunyai kompetensi yang cukup untuk itu? Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa penyembuhan dari mental illnes bukan merupakan
kompetensi dari Kementerian Sosial. Kita tentu saja tidak menginginkan apabila tibatiba di Panti Sosial ada klien yang menusuk social worker dengan pisau, atau social
worker kalau berjalan selalu takut dan menengok ke belakang, karena khawatir ditimpa
batu bata sama kliennya yang belum sembuh dari gangguan psikis berat yang
dideritanya. Artinya, anggapan masyarakat bahwa ‘orang gila’ adalah tanggung jawab
Kementerian Sosial juga perlu disimak lagi secara lebih bijak. Hal ini penting
dikemukakan, karena terkadang ekspektasi yang berlebihan dari masyarakat umum
tanpa mendalami sebuah permasalahan dengan baik, sangat potensial menimbulakan
salah paham dan kesalahpengertian.
Permasalahan Hak Asasi Manusia
Persoalan penanganan orang dengan gangguan psikis berat yang ada di jalanan
memang sangat kompleks. Ketidakjelasan ‘mau diapain’ dan ‘ini tanggung jawab siapa’
membuat masalah ini tidak kunjung terselesaikan. Saya pernah berdiskusi tentang
permasalahan ini, dengan teman-teman dari Kementerian Kesehatan. Saya bilang, ini
adalah persoalan besar tapi kurang mendapat respon yang cukup dari kita. Bahkan
menariknya teman saya bilang ‘emang banyak orang gila di jalanan?’. Terus saya bilang,
5
Kompasiana, 5 November 2014
saya bisa mengumpulkan ratusan ‘orang gila jalanan’ apabila diminta oleh Kementerian
Kesehatan. Saya berkata begitu karena kalkulasi saya jika sekali razia ketentraman dan
ketertiban (Tramtib) untuk gelandangan dan pengemis di satu titik saja bisa
mendapatkan ratusan orang, dan beberapa dintaranya adalah orang dengan gangguan
psikis berat, terus ada berapa titik di Jakarta, tentu jumlahnya banyak sekali dan itu
belum termasuk Bodetabek dan daerah-daerah lainnya. Pertanyaannya adalah terus
mau dikemanakan mereka yang sudah kena razia? Apakah rumah sakit jiwa mau
menampungnya? Berapa kapasitasnya? Terus teman saya bilang, ‘ya kita punya
puskemas-puskesmas yang sekarang menangani masalah itu’. Terus saya bilang, kalau
begitu kenapa saya pernah bawa ‘orang gila’ di sebuah puskesmas tapi ditolak dan
diusir sama satpamnya? Ternyata jawabannya adalah puskesmas belum siap menangani
permasalahan ini. Banyak pekerja medis yang takut dan adanya anggapan tidak bonafid
bila berkecimpung dengan permasalahan ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah kalau keadaannya seperti ini, terus bagaimana
penanganan kedepannya? Paling tidak dari diskusi ini, pembaca bisa memahami
keterbatasan pemerintah dalam hal penanganan permasalahan orang dengan
gangguan psikis berat selama ini. Lantas, kenapa kita tidak terbuka saja kepada
masyaraka, sehingga masyarakat bisa tahu dan paham kondisinya, dan siapa tahu bisa
bersumbang sih dalam hal pemikiran ataupun perbuatan? Bukankah jika kita
membiarkan hal seperti ini sampai berlarut-larut akan melanggar hak asasi manusia
(HAM), karena fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara? Dan jika kita tidak
punya konsep yang jelas, bagaimana kita bisa mengukur indikator keberhasilan
penanganan seperti tercantum dalam agenda reformasi birokrasi, dan bagaimana kita
mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat kita?
Pertanyaan saya ini terinspirasi pada saat saya melihat ‘orang gila’ di jalanan yang
dihamili oleh ‘orang gila’ lain dan akhirnya mengandung dan melahirkan bayi. Saya
pernah membaca artikel bahwa jumlah orang dengan schizophrenia di Indonesia
mencapai 400.000 orang. Mereka yang dipasung atau pernah dipasung mencapai
57.000 orang. Pemasungan di pedesaan sebanyak 18.2% dan di perkotaan sebanyak
10.7%. Pemasungan pun terjadi berpuluh-puluh tahun, sampai ada kasus dipasung
sampai 20 tahun. Bandingkan dengan jumlah psikiater yang hanya sekitar 800 orang
(mungkin data-data ini perlu dilihat lagi). Hal ini dikarenakan jumlah schizophrenia di
Amerika saja mencapai 2 juta orang per tahun.
Praktek Non-Medis dan Isu HAM
Pertanyaan yang selalu ada di dalam kepala saya adalah, ‘siapa yang berhak
menyembuhkan orang dengan mental illness?’. Jika jawabannya adalah dokter dan/atau
paramedis, kemudian pertanyaanya adalah bagaimana kita memandang praktek non
6
Kompasiana, 5 November 2014
medis yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai latar belakng medis
sama sekali yang berasal dari lembaga-lembaga non pemerintah? Dalam sebuah acara
TV, secara tidak sengaja, saya melihat praktek penanganan yang menurut pribadi saya
sendiri, agak tidak humanis atau kurang manusiawi, misalkan mereka dirantai atau
dipasung, dimandikan di tengah malam, dsb. Pertanyaan saya kemudian adalah, apakah
perlakuan ini tidak membutuhkan ‘consent’ atau persetujuan dari mereka? Apakah
karena mereka dianggap ‘orang gila’ makanya kita sebagai orang yang mengklaim
‘normal’ berhak melakukan sesuatu atas justifikasi kita? Saya memang tidak menafikkan
ada dari mereka yang kemudian sembuh dari penyakitnya dan saya sekali lagi sangat
mengapresiasi niat dan ketulusan hati teman-teman yang berkecimpung dalam isu ini.
Tapi kembali lagi, pertanyaannya adalah. ‘regulasinya seperti apa?’
Penutup
Tulisan ini memang tidak menawarkan jawaban, namun lebih kepada potret situasi dan
menelisik keadaan terkait dengan isu yang coba diangkat. Semoga tulisan ini bisa
membuka mata dan hati kita, tentang persoalan yang nyata-nyata ada di sekeliling kita.
Saya sangat berharap kejadian yang menimpa Lek Jupri di kampung saya, akibat kurang
atau keterbatasan informasi, tidak terjadi lagi di masa mendatang. Sebagai implikasinya,
saya percaya pemerintahan baru, presiden baru, menteri baru, dengan semangat baru,
bisa melihat persoalan ini dengan lebih arif dan bisa berbagi peran dalam mencari solusi
bersama, dan mewujudkannya dalam sebuah kebijakan sosial yang lebih manusiawi,
yang melibatkan baik lembaga pemerintah, swasta maupun masyarakat. Wajah kita akan
selalu dilihat orang luar - dari bagaimana kita menyelesaikan persoalan ini. Ini adalah
tantangan bagi pemerintahan Pak Jokowi. Saya yakin di kampung halaman beliau di
Solo, juga pasti ada saudara kita yang bernasib kurang beruntung, yang hidup tanpa
harkat dan martabat di jalan-jalan. Saya pernah melihat film documenter tentang Prof
Dr dr Luh Ketut Suryani, Sp.KJ, dari “Suryani Institute for Mental Health” dengan para
relawannya di Bali, yang begitu luar biasa dalam menangani persoalan Orang Dengan
Schizophrenia (DOS). Saya sebagai orang Indonesia sangat terharu dan bangga sekali.
Sudah selayaknya pemerintah sekarang ini belajar dari pengalaman beliau, dan
menjadikannya sebagai best-practiced untuk perumusan kebijakan penanganan yang
sifatnya nasional di masa mendatang. Mari kita stop diskriminasi kepada orang dengan
gangguan psikis berat sekarang juga.
7
Arif Rohman
School of Humanities and Social Sciences
Charles Sturt University
Cite:
Rohman, Arif. (2014). Permasalahan Orang Gila dan Kompleksitas Penanganannya di
Indonesia. Kompasiana, 5 November 2014.
Pendahuluan
Pada pertengahan tahun 2014, ketika saya pulang ke kampung saya di Demak – Jawa
Tengah, Ibu saya bercerita tentang almarhum Lek Jupri. Lek Jupri adalah penjual ‘bakso
kojek tusuk lidi’ dan ‘es pasah sirup frambos’ yang sangat terkenal dan cukup legend di
kampung kami. Sampai sekarang saya belum menemukan tandingan kelezatan bakso
kojek bikinannya. Kalau membayangkan bakso kojeknya, langsung terbit selera saya,
pun saat saya menulis artikel ini. Pada waktu saya masih SD, saya masih ingat, walaupun
mulai berdatangan para tukang siomay dari daerah lain (Bandung – Jawa Barat), yang
menawarkan dagangan lebih komplit seperti ada kol, tahu, dan pare-nya, namun
penggemar Lek Jupri tidak pernah surut. Mungkin karena rasanya yang yummy dan
harganya yang relatif lebih murah, disamping penyajiannya yang sederhana, yaitu
bakso tepung kecil-kecil yang direbus dan diberi sambal kacang dan kecap dan sedikit
saos yang dimasukkan dalam plastik kecil ukuran ½ ons. Saya tidak bisa
membayangkan berapa banyak orang yang pernah mencicipi makanannya dan saat ini
sudah menjadi orang-orang sukses dalam hidupnya. Dia orang yang baik dan taat
beribadah di mata masyarakat sekitar.
Namun sayangnya, kenangan tersebut seketika hilang manakala saya tahu bahwa beliau
sudah meninggal. Meninggalnya pun boleh dikatakan menurut saya sangat tragis.
Bermula dari kondisi fisiknya yang sudah mulai menua, dan pembeli yang semakin
berkurang, serta mungkin banyak hutang pada rentenir, akhirnya dia mengalami stress
ringan. Atas usul salah satu tokoh masyarakat, dia dikirim ke salah satu panti orang gila
di Semarang. Bukannya kondisinya semakin baik, ternyata justru semakin buruk karena
di panti itu dia dicampur dengan orang-orang gila beneran hasil razia di jalanan. Banyak
orang yang menyayangkan bahwa sebenarnya pada waktu Lek Jupri masih dalam
keadaan stress ringan, dia bisa saja sembuh dengan sendirinya, jika masyarakat sekitar
lebih peduli pada keadaannya dan bersama-sama memberikan perhatian yang lebih
1
Kompasiana, 5 November 2014
pada kehidupannya, tentu saja dengan mencari akar masalah yang membuat dia merasa
tertekan.
Tulisan ini berusaha untuk memotret permasalahan orang gila di Indonesia, dan
perlakuan yang sering mereka terima dalam kehidupan sehari-hari. Maksud dari tulisan
ini adalah untuk menunjukkan betapa kelamnya kehidupan mereka dan untuk
menggugah hati nurani dan kepedulian kita terhadap permasalahan orang gila yang ada
di sekitar kita. Tulisan ini akan difokuskan pada penderita gangguan psikis yang berat
atau lazim disebut schizophrenia.
Penyebutan ‘Orang Gila’
Sebenarnya penyebutan orang gila sebisa mungkin perlu kita hindari mengingat stigma
negatif yang melekat di dalamnya. Jadi memberikan label orang gila sebenarnya sangat
berbahaya dan hanya memperburuk keadaan saja. Hal ini dikarenakan, mereka
sebenarnya adalah orang-orang biasa seperti kita yang hanya sedang mengalami
gangguan psikis saja. Gangguan psikis ini memiliki spectrum dari yang ringan sampai
yang berat. Gangguan psikis yang ringan dimisalkan seperti stress biasa akibat situasi
sulit dan runyam yang agak susah dihadapi. Sebagai contoh, para komuter yang tinggal
di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bekerja di Jakarta, harus mengalami stress
setiap pagi hari karena macet di jalanan, ketinggalan kereta, atau kereta yang
dijadwalkan berangkat ternyata sedang mogok, tentu sempat mengalami stress karena
harus sampai di tempat kerja pada pagi hari, atau akan dapat sanksi dari kantornya.
Contoh yang sering terlihat adalah orang-orang yang kalah dalam pemilu di Indonesia.
Mereka seringkali jadi orang-orang stress baru. Akibatnya adalah hilang konsentrasi,
sering melamun, linglung, atau sebaliknya, yaitu menjadi agresif. Adapun contoh untuk
gangguan psikis yang sedang yaitu mereka yang mengalami grieving akibat kehilangan
sesuatu dalam hidupnya seperti ditinggal mati pasangan, bayi atau anaknya meninggal,
adik atau kakaknya meninggal, orang-orang yang disayangi meninggal, bahkan bisa jadi
ketika binatang peliharaannya mati. Korban kecelakaan dan menderita kecacatan,
seperti mereka yang diamputasi anggota tubuhnya, mereka yang gagal masuk CPNS,
diputus cinta oleh pacar, pasangan yang selingkuh dan perceraian,atau mereka yang diPHK, sangat potensial untuk menjadi penyebab gangguan psikis berat. Akibatnya adalah
mereka bisa menarik diri dari lingkungan sosialnya dan mengurung diri di kamar.
Mereka mengalami depresi akibat trauma yang dialaminya. Mereka yang mengalami
gangguan psikis berat, contohnya adalah mereka yang menderita schizophrenia.
Para penderita schizophrenia umumnya mengalami halusinasi dan waham yang tidak
sesuai dengan realita. Itulah sebabnya orang yang menderita schizophrenia sering
tertawa sendiri, kadang menangis, dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut kajian medis, ini disebabkan karena hiper dopamine di otak. Akibatnya,
2
Kompasiana, 5 November 2014
dopamine yang berlebihan akan mencipatakan racun buat neuron (sel-sel saraf) yang
ada di otak. Jika keadaan ini berlangsung lama dan tanpa penanganan yang tepat, maka
akan dapat menyebkan kematian pada sel-sel otak. Kematian pada sel-sel otak bisa
mengakibatkan gangguan pada fungsi kecerdasan dan kognitif. Dengan penanganan
yang tepat dan segera, kondisi otak akan tetap baik, dan seseorang bisa melaksanakan
aktifitas seperti biasanya, seperti sekolah, bekerja dan bersosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya.
Dari spectrum ini jelas bahwa kita hidup dalam spectrum ini. Bagi mereka yang memiliki
coping capacities (kemampuan menghadapi masalah) yang tinggi, mereka mampu
menyeimbangkan dan me-manage dengan baik. Mereka yang coping capacitiesnya
rendah biasanya akan mudah mengalami gangguan psikis. Di negara-negara maju,
mereka lebih memilih penggunaan istilah ‘orang dengan mental illness’ daripada
menggunakan istilah orang gila yang dianggap kurang humanis dan stigmatif.
Memahami Orang Dengan Gangguan Psikis Berat : ‘Delusi’ dan ‘Halusinasi’
Perhatian dan rasa kepedulian akan mudah terbangun jika kita bisa memahami secara
utuh dan mendalam, mengenai orang dengan gangguan psikis berat. Pemahaman yang
cukup akan membuat kita lebih bijak dan tidak terjebak pada pandangan yang
menyamakan orang dengan ‘mental illness’ dan orang dengan ‘intelectual disability’,
karena itu adalah dua hal yang berbeda. Perlu dibedakan pula antara orang dengan
gangguan psikis dan orang dengan dementia (kepikunan). Beberapa contoh gejala yang
sering ditemui oleh orang dengan gangguan psikis berat yaitu seseorang yang
mengalami delusi mendapatkan wahyu dari Tuhan untuk menjadi nabi, presiden,
ataupun menikah dengan makhluk gaib. Kasus lain adalah seseorang yang mengalami
halusinasi pendengaran maupun penglihatan, seperti ada yang berkata dan
menampakkan pada dirinya secara aneh yang membuat dia terus kepikiran dan
berharap. Bisa juga seseorang yang merasa ada yang membicarakannya atau mengikuti
dan mengawasinya sehingga membuat dia takut, cemas, panik dan merasa terancam,
padahal realitanya tidak seperti itu.
Dari contoh tersebut, kita bisa melihat bahwa umumnya orang dengan gangguan psikis
berat mengalami delusi dan halusinasi. Delusi adalah keyakinan yang salah atau keliru
akibat salah tafsir atas persepsi dan pengalaman yang dimilikinya. Karena itu wajar
apabila mereka yang mengalami delusi akan menganggap dirinya sebagai nabi,
presiden, ataupun jagoan silat yang tidak ada tandingannya. Sedangkan halusinasi
adalah persepsi yang kuat atas obyek yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi terkait
dengan kemampuan sensorik seperti penciuman, pendengaran, penglihatan dan lain
sebagainya. Bagi penderita gangguan psikis berat seperti schizophrenia, umumnya yang
paling ditemui adalah suara-suara yang terus mengganggunya. Di beberapa daerah,
3
Kompasiana, 5 November 2014
gejala schizophrenia ini sering dianggap karena kerasukan roh-roh halus atau istilahnya
kesambet. Namun demikian dalam dunia medis tidak dikenal istilah-istilah seperti ini.
Menghilangkan Stigma ‘Orang Gila’: Melihat Aspek Positif
Orang yang menderita gangguan psikis berat juga bisa berpartisipasi dan berkontribusi
dalam masyarakat. Sebagai contohnya adalah seorang ahli matematika, John Nash. Pada
umur 31 dia didiagnosis menderita schizophrenia. Namun demikian, satu decade
kemudian, dia mampu meraih penghargaan nobel karena ‘game theory of economics’ nya. Artinya, dengan obat, terapi dan cinta dari orang-orang dekat, tidak menutup
kemungkinan sembuh dan berprestasi dalam hidupnya. Kisah hidupnya bahkan pernah
diangkat di layar lebar dengan judul ‘A Beautiful Mind’ pada tahun 2001 dengan
dibintangi oleh Russel Crowe.
Adapun dari Indonesia, yaitu Poltak Tua Dorens Ambarita, S.Si., M.Sc (32) yang
menorehkan prestasi nilai diatas rata-rata (Cum Laude) untuk sarjana Kimia, Institut
Teknologi Bandung (2004) dan S2 Double Degree Teknik Industri Institut Teknologi
Bandung (ITB) dan Chung Yuan Christian University (CYCU). Dan saat ini bekerja menjadi
Pegawai Negeri Sipil di Baristand Industri Manado Kementerian Perindustrian (lihat
liputan6.com). Dari sini terlihat bahwa orang dengan gangguan psikis juga bisa sukses
dan berhasil. Pengalamam saya di Adelaide (South Australia) pada waktu mengunjungi
‘Diamond House’ untuk mereka yang mengalami gangguan psikis, mereka tidak malu
untuk mengatakannya. Pemerintah dan NGO bahu membahu memberikan layanan
kepada mereka, karena mereka adalah bagian dari masyarakat. Jadi kenapa kita justru di
Indonesia harus menjauhi mereka?
Kompleksitas Penanganan
Dari uraian singkat di atas, mungkin dapat kita pahami bahwa orang-orang dengan
gangguan psikis berat pada dasarnya adalah orang sedang mangalami masalah. Istilah
kasarnya adalah mereka sedang dalam keadaan sakit. Sebagaimana melihat orang sakit,
sudah seharusnya kita memberikan perhatian, menengok, dan mendukungnya agar
cepat sembuh seperti sedia kala. Namun demikian, dalam kenyataannya, alih-alih
memberikan perhatian dan mendukungnya, pada kasus orang dengan gangguan psikis
berat, banyak dari kita yang justru tidak peduli dan menjauh. Mereka diacuhkan dan
dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat, bahkan pemerintah pun terkesan tidak peduli,
sehingga banyak dari mereka yang kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan.
Akibatnya adalah banyak dari mereka yang berakhir dengan hidup di jalanan, tanpa
perlindungan dari pemerintah sama sekali. Banyak dari mereka yang masih dipasung
oleh keluarganya, karena dianggap membahayakan keamanan dan ketenteraman
lingkungan sekitarnya. Upaya yang dilakukan pemerintah pun terkesan setengah hati,
4
Kompasiana, 5 November 2014
dan tidak benar-benar menyelesaikan masalah atau istilah kasarnya hanya sekedar
memindahkan masalah.
Sudah bukan rahasia umum apabila selama ini ada pejabat yang mau datang, maka
razia gelandangan dan pengemis dilakukan. Biasanya waktu-waktu menjelang upacara
kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Ada di antara mereka yang
ditampung-tampung di panti sosial, selebihnya dioper ke daerah lain, bahkan ke desadesa dengan menggunakan truk. Itulah sebabnya di kampung-kampung sering
terdengar istilah ‘orang gila baru buangan dari tempat lain’. Padahal seharusnya, jika
kita konsisten menyebut mereka sebagai orang sakit, Pemerintah Indonesia dalam hal
ini Kementerian Kesehatan sudah harus siap segalanya, baik dari visi, misi, dan fasilitas,
sampai dengan prosedur layanan yang tepat untuk mereka. Memang perlu diakui
bahwa masalah ini adalah masalah yang bisa dikatakan abu-abu, Kementerian mana
yang harus bertanggung jawab masih belum jelas. Kalau dibilang ini adalah tanggung
jawab Kementerian Sosial, mungkin agak rancu. Hal ini dikarenakan dalam fungsi
Kementerian Sosial sendiri, yang menjadi tanggung jawabnya adalah rehabilitasi sosial
untuk mereka yang sudah dinyatakan sembuh secara medis dari Kementerian
Kesehatan. Kementerian Sosial bertanggung jawab dalam integrasi sosial kepada
masyarakat dan pemberdayan sosial ekonomi ’setelah dinyatakan sembuh secara
medis’. Jadi, apabila semua masalah sosial, salah satunya adalah ‘orang gila’ yang belum
dinyatakan sembuh secara medis, harus ditangani oleh Kementerian Sosial, apakah
kementerian ini sanggup dan mempunyai kompetensi yang cukup untuk itu? Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa penyembuhan dari mental illnes bukan merupakan
kompetensi dari Kementerian Sosial. Kita tentu saja tidak menginginkan apabila tibatiba di Panti Sosial ada klien yang menusuk social worker dengan pisau, atau social
worker kalau berjalan selalu takut dan menengok ke belakang, karena khawatir ditimpa
batu bata sama kliennya yang belum sembuh dari gangguan psikis berat yang
dideritanya. Artinya, anggapan masyarakat bahwa ‘orang gila’ adalah tanggung jawab
Kementerian Sosial juga perlu disimak lagi secara lebih bijak. Hal ini penting
dikemukakan, karena terkadang ekspektasi yang berlebihan dari masyarakat umum
tanpa mendalami sebuah permasalahan dengan baik, sangat potensial menimbulakan
salah paham dan kesalahpengertian.
Permasalahan Hak Asasi Manusia
Persoalan penanganan orang dengan gangguan psikis berat yang ada di jalanan
memang sangat kompleks. Ketidakjelasan ‘mau diapain’ dan ‘ini tanggung jawab siapa’
membuat masalah ini tidak kunjung terselesaikan. Saya pernah berdiskusi tentang
permasalahan ini, dengan teman-teman dari Kementerian Kesehatan. Saya bilang, ini
adalah persoalan besar tapi kurang mendapat respon yang cukup dari kita. Bahkan
menariknya teman saya bilang ‘emang banyak orang gila di jalanan?’. Terus saya bilang,
5
Kompasiana, 5 November 2014
saya bisa mengumpulkan ratusan ‘orang gila jalanan’ apabila diminta oleh Kementerian
Kesehatan. Saya berkata begitu karena kalkulasi saya jika sekali razia ketentraman dan
ketertiban (Tramtib) untuk gelandangan dan pengemis di satu titik saja bisa
mendapatkan ratusan orang, dan beberapa dintaranya adalah orang dengan gangguan
psikis berat, terus ada berapa titik di Jakarta, tentu jumlahnya banyak sekali dan itu
belum termasuk Bodetabek dan daerah-daerah lainnya. Pertanyaannya adalah terus
mau dikemanakan mereka yang sudah kena razia? Apakah rumah sakit jiwa mau
menampungnya? Berapa kapasitasnya? Terus teman saya bilang, ‘ya kita punya
puskemas-puskesmas yang sekarang menangani masalah itu’. Terus saya bilang, kalau
begitu kenapa saya pernah bawa ‘orang gila’ di sebuah puskesmas tapi ditolak dan
diusir sama satpamnya? Ternyata jawabannya adalah puskesmas belum siap menangani
permasalahan ini. Banyak pekerja medis yang takut dan adanya anggapan tidak bonafid
bila berkecimpung dengan permasalahan ini.
Pertanyaan selanjutnya adalah kalau keadaannya seperti ini, terus bagaimana
penanganan kedepannya? Paling tidak dari diskusi ini, pembaca bisa memahami
keterbatasan pemerintah dalam hal penanganan permasalahan orang dengan
gangguan psikis berat selama ini. Lantas, kenapa kita tidak terbuka saja kepada
masyaraka, sehingga masyarakat bisa tahu dan paham kondisinya, dan siapa tahu bisa
bersumbang sih dalam hal pemikiran ataupun perbuatan? Bukankah jika kita
membiarkan hal seperti ini sampai berlarut-larut akan melanggar hak asasi manusia
(HAM), karena fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara? Dan jika kita tidak
punya konsep yang jelas, bagaimana kita bisa mengukur indikator keberhasilan
penanganan seperti tercantum dalam agenda reformasi birokrasi, dan bagaimana kita
mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat kita?
Pertanyaan saya ini terinspirasi pada saat saya melihat ‘orang gila’ di jalanan yang
dihamili oleh ‘orang gila’ lain dan akhirnya mengandung dan melahirkan bayi. Saya
pernah membaca artikel bahwa jumlah orang dengan schizophrenia di Indonesia
mencapai 400.000 orang. Mereka yang dipasung atau pernah dipasung mencapai
57.000 orang. Pemasungan di pedesaan sebanyak 18.2% dan di perkotaan sebanyak
10.7%. Pemasungan pun terjadi berpuluh-puluh tahun, sampai ada kasus dipasung
sampai 20 tahun. Bandingkan dengan jumlah psikiater yang hanya sekitar 800 orang
(mungkin data-data ini perlu dilihat lagi). Hal ini dikarenakan jumlah schizophrenia di
Amerika saja mencapai 2 juta orang per tahun.
Praktek Non-Medis dan Isu HAM
Pertanyaan yang selalu ada di dalam kepala saya adalah, ‘siapa yang berhak
menyembuhkan orang dengan mental illness?’. Jika jawabannya adalah dokter dan/atau
paramedis, kemudian pertanyaanya adalah bagaimana kita memandang praktek non
6
Kompasiana, 5 November 2014
medis yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai latar belakng medis
sama sekali yang berasal dari lembaga-lembaga non pemerintah? Dalam sebuah acara
TV, secara tidak sengaja, saya melihat praktek penanganan yang menurut pribadi saya
sendiri, agak tidak humanis atau kurang manusiawi, misalkan mereka dirantai atau
dipasung, dimandikan di tengah malam, dsb. Pertanyaan saya kemudian adalah, apakah
perlakuan ini tidak membutuhkan ‘consent’ atau persetujuan dari mereka? Apakah
karena mereka dianggap ‘orang gila’ makanya kita sebagai orang yang mengklaim
‘normal’ berhak melakukan sesuatu atas justifikasi kita? Saya memang tidak menafikkan
ada dari mereka yang kemudian sembuh dari penyakitnya dan saya sekali lagi sangat
mengapresiasi niat dan ketulusan hati teman-teman yang berkecimpung dalam isu ini.
Tapi kembali lagi, pertanyaannya adalah. ‘regulasinya seperti apa?’
Penutup
Tulisan ini memang tidak menawarkan jawaban, namun lebih kepada potret situasi dan
menelisik keadaan terkait dengan isu yang coba diangkat. Semoga tulisan ini bisa
membuka mata dan hati kita, tentang persoalan yang nyata-nyata ada di sekeliling kita.
Saya sangat berharap kejadian yang menimpa Lek Jupri di kampung saya, akibat kurang
atau keterbatasan informasi, tidak terjadi lagi di masa mendatang. Sebagai implikasinya,
saya percaya pemerintahan baru, presiden baru, menteri baru, dengan semangat baru,
bisa melihat persoalan ini dengan lebih arif dan bisa berbagi peran dalam mencari solusi
bersama, dan mewujudkannya dalam sebuah kebijakan sosial yang lebih manusiawi,
yang melibatkan baik lembaga pemerintah, swasta maupun masyarakat. Wajah kita akan
selalu dilihat orang luar - dari bagaimana kita menyelesaikan persoalan ini. Ini adalah
tantangan bagi pemerintahan Pak Jokowi. Saya yakin di kampung halaman beliau di
Solo, juga pasti ada saudara kita yang bernasib kurang beruntung, yang hidup tanpa
harkat dan martabat di jalan-jalan. Saya pernah melihat film documenter tentang Prof
Dr dr Luh Ketut Suryani, Sp.KJ, dari “Suryani Institute for Mental Health” dengan para
relawannya di Bali, yang begitu luar biasa dalam menangani persoalan Orang Dengan
Schizophrenia (DOS). Saya sebagai orang Indonesia sangat terharu dan bangga sekali.
Sudah selayaknya pemerintah sekarang ini belajar dari pengalaman beliau, dan
menjadikannya sebagai best-practiced untuk perumusan kebijakan penanganan yang
sifatnya nasional di masa mendatang. Mari kita stop diskriminasi kepada orang dengan
gangguan psikis berat sekarang juga.
7