D IPS 1104014 Chapter 1

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang
disiplin ilmu sosial, yakni geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi, dan lain-lainnya.
Secara historis sebutan IPS sebagai mata pelajaran digunakan untuk tingkat
pendidikan dasar (Sekolah Dasar/ SD) dan menengah (Sekolah Menengah
Pertama/ SMP dan Sekolah Menengah Atas/ SMA) yang muncul bersamaan
dengan diberlakukannya kurikulum 1975. Untuk tingkat SD dan SMP, substansi
mata pelajaran merupakan IPS terpadu, sekarang, dalam kurikulum 2013 disajikan
secara tematik (SD). Sementara itu pada SMA disajikan secara terpisah tanpa
dikaitkan dengan disiplin ilmu yang lain. Meskipun demikian pengajaran sejarah
di setiap jenjang tersebut mengandung tugas untuk menanamkan semangat
berbangsa dan bertanah air. Dalam pendidikan IPS, sejarah termasuk salah satu di
antara ilmu-ilmu sosial yang ikut bertanggung jawab terhadap pembentukan
warga

negara


yang

baik.

Tampaknya,

pembelajaran

sejarah

belum

memperlihatkan peranannya yang optimal dalam membentuk waga negara yang
baik. sebut. Kurang optimalnya pembelajaran sejarah dalam menjalankan
perannya antara lain disebabkan berbagai faktor, seperti: konten kurikulum;
kurang

memanfaatkan


sumber

belajar,

strategi,

pendekatan,

metode

pembelajarannya yang kurang bervariatif, dan lebih didominasi metode ceramah
(expository). Begitu pula pengembangan model evaluasi yang berorientansi pada
hasil sehingga mengabaikan proses, pemanfaatan sumber belajar yang
mengandalkan buku teks dan LKS (Lembar Kerja Siswa), serta guru sebagai
sumber pengetahuan utama siswa.
Sejarah merupakan disiplin ilmu yang penting, akan tetapi sebagian
kalangan dipahami bukan sebagai ilmu sosial yang sesungguhnya karena proses
keilmuannya lebih dekat dengan humaniora. Meskipun demikian pembelajaran
sejarah sangat perlu menghubungkan atau mengaitkan antara pengalaman masa
lampau dengan persoalan kehidupan kompleks kekinian. Materi dalam

pembelajaran sejarah yang menjelaskan perjuangan manusia di masa lalu harus
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2

memiliki potensi untuk dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan masa kini agar
lebih bermakna. Banyak orang termasuk guru mempercayai bahwa pembelajaran
sejarah dapat berkonstribusi secara langsung untuk mencapai tujuan yang luas
terhadap pendidikan kewarganegaraan (citizenship education), dengan demikian
sejarah nasional wajib diajarkan (Jarolimek, 1986, hlm. 146).
Ada banyak nilai yang dapat ditanamkan dalam pembelajaran sejarah,
antara lain: nilai informatif, nilai pendidikan, nilai budaya, nilai etika, nilai
nasionalisme, dan sebagainya. Nilai-nilai di atas merupakan sumber pembelajaran
sejarah yang dapat dikembangkan serta ditingkatkan pada diri siswa di berbagai
jenjang pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan wahana yang tepat
dan strategis dalam menanamkannya, sedangkan sekolah adalah tempat untuk
mengembangkan nilai-nilai tersebut (Wiriaatmadja, 2002, hlm. 156). Sementara

itu, sejarah dapat memberikan nilai positif karena menyediakan kesempatan bagi
siswa untuk mengenal masa lalu. Selain itu salah satu fungsi penting dari sejarah
adalah pengabdian pengalaman masyarakat masa lampau yang sewaktu-waktu
dapat membantu pemecahan masalah. Sejarah sendiri menyangkut persoalan
kesinambungan dan perubahan. Banyak pelajaran

yang diperoleh

dari

pembelajran sejarah sehingga tidak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan yang
telah diperbuat pada masa lalu, sedangkan keberhasilan tentu perlu dicontoh dan
kalau bisa ditingkatkan lagi (Wineburg, 2006, hlm. vii).
Menjelang akhir abad XX, Indonesia menghadapi masa yang sangat berat,
suatu ujian bagi kelanjutan integrasi nasional. Pertikaian antara etnik, antara suku,
antara golongan, ataupun antara agama mewarnai kehidupan dalam berbangsa dan
bernegara. Sebagai contoh konflik di Sambas-Kalimantan antara Dayak dan
Madura, konflik di Poso-Sulawesi antara kelompok Muslim dan non-Muslim, di
Lampung antara penduduk dengan pemilik perkebunan, perkelahian baik antar
kampong maupun antara pelajar, dan sebagainya. Perkembangan yang menggejala

dan

cukup

mengkhawatirkan

berbagai

pihak

ini

menunjukkan

kurang

berfungsinya rasa nasionalisme sebagai pemersatu bangsa. Rasa nasionalisme di
masa penjajahan dapat berfungsi sebagai ideologi yang mengintegrasikan
berbagai golongan etnis dan berbagai komponen dalam masyarakat, kini memudar
dan cenderung kehilangan fungsinya. Sebaliknya, etnisitas dan religiusitas yang

Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3

sempit semakin menguat, yang direfleksikan oleh perilaku moral yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang
beradab.
Pendidikan nilai yang diabaikan dapat berdampak negatif terhadap
perilaku sosial dalam kehidupan sehari-hari seperti tersebut di atas. Perilakuperilaku yang menyimpang ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kemerosotan
nilai dan moral dalam masyarakat yang semakin meluas. Salah satu cara yang
paling efektif mengurai masalah tersebut adalah dengan menerapkan pendidikan
tentang nilai di sekolah-sekolah melalui pembelajaran sejarah, sebagai alternatif
yang bersifat prepentif. Pengetahuan dan pemahaman siswa mengenai masa
lampau diharapkan akan menumbuhkan kemampuan dan kearifan untuk
menghadapi kehidupan yang sedang dijalani. Dalam hal ini memahami sejarah
tidak hanya mengetahui peristiwa yang sudah terjadi, akan tetapi mengetahui
kemampuan membuat proyeksi agar tidak terjadi kesalahan. Belajar sejarah

merupakan cara atau jalan menjadikan bijaksana sebelum kejadian berlangsung,
yang sering disebut sebagai belajar dari sejarah (Sjamsuddin, 2012, hlm. 285).
Bekal yang diperlukan dari pembelajaran sejarah adalah belajar dengan
berorientasi kepada pengembangan potensi berpikir siswa, yang menyentuh
emosinya dalam hubungannya antar manusia, menyadarkan dirinya akan bangsa
dan tanah air. Selain itu, menghargai keanekaragaman bangsa-bangsa dan
kebudayaan-kebudayaan yang ada dalam melengkapkan kemanusiaaannya
(Wiriaatmadja, 2002, hlm. 146).
Pembelajaran sejarah perlu menghubungkan dan mengaitkan antara
pengalaman masa lampau masyarakat di lingkungan mereka dengan persoalan
kehidupan kompleks kekinian dengan menggunakan konsep atau tema yang
diambil dari disiplin ilmu sosial. Melihat peran pentingnya mata pelajaran sejarah,
maka menjadi sebuah tanggung jawab dan tantangan yang besar untuk
menumbuhkan serta meningkatkan kesadaran sejarah di kalangan generasi muda
pada khususnya. Dari sini diharapkan mereka semakin objektif dalam menilai
berbagai peristiwa sejarah, termasuk kemampuannya bersikap dan bertindak
secara arif serta bijaksana ketika menghadapi fenomena yang ada. Hal tersebut
diawali dengan keinginan mewariskan pengalaman masa lalu, baik menyangkut
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi

Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

4

kemenangan/ kejayaan maupun kekalahan/ kehancuran dari setiap peristiwa yang
pernah dialami manusia dari masa ke masa. Hal tersebut merupakan pengetahuan
yang berharga untuk menghadapi kehidupan yang terus berlanjut selain juga bagi
pengembangan potensi berpikir siswa itu sendiri.
Sebagai salah satu mata pelajaran di tingkat pendidikan menengah atas,
materi sejarah sebenarnya telah diberikan secara formal sejak dari pendidikan
dasar dan menengah pertama sebagai bagian dari ilmu pengetahuan sosial. Pada
jenjang pendidikan di tingkat SMA, mata pelajaran sejarah diajarkan secara
terpisah dan merupakan bagian dari kelompok wajib atau peminatan ilmu-ilmu
sosial. Sejalan dengan tujuan IPS, semua memiliki tujuan yang sama (meskipun
dengan derajat atau tingkatan yang berbeda), yakni membantu siswa atau anakanak muda mengembangkan kemampuannya untuk membuat keputusan yang
informatif dan masuk akal untuk kebaikan masyarakat sebagai warga negara dari
kultur yang beragam (Maxim, 2010, hlm. 14). Berkaitan dengan hal tersebut,
siswa dapat mengembangkan kecintaan, kesetiaan, ataupun ketaatan kepada
negara melalui pengetahuan dan apresiasi dan pemahaman tentang perjuangan

orang-orang yang berkonstribusi dalam membangun bangsa yang besar dan kuat
(Jarolimek, 1986, hlm. 146).
Mencermati uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dilakukan suatu
kajian yang dapat memperkaya materi sejarah lokal, dengan tema pokok revolusi
nasional di tingkat lokal. Ada banyak materi sejarah lokal yang memiliki
kontribusi dalam kaitan pembentukan negara kesatuan tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Materi-materi sejarah lokal tersebut perlu dikaji (kembali) karena
termasuk hal yang dapat mengatasi persoalan materi sejarah (nasional). Pada
penelitian ini penulis akan melakukan kajian kembali tentang peranan Yogyakarta
selama revolusi kemerdekaan tahun 1945-1950 sebagai enrichment di SMA.
Ruang lingkup materi sejarah lokal itu sangat luas, semua aspek kehidupan
sehari-hari masyarakat yang dianggap penting dan menarik di lingkungan
setempat dapat menjadi perhatiannya. Sementara itu bila dilihat dari sudut tema,
maka kemungkinan bagi penulisan dan pengembangan materi sejarah lokal tidak
kalah menarik dan sangat terbuka dengan tema pokok seperti: dinamika
masyarakat pedesaan; pendidikan sebagai faktor dinamisasi dan interaksi sosial;
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu


5

interaksi antar suku bangsa dalam masyarakat majemuk; serta biografi tokoh
lokal. Pemberian kesempatan yang sangat luas kepada peserta didik atau siswa
untuk mengembangkan pembelajaran sejarah lokal yang berceritera kehidupan
lingkungan sekitar siswa yang tentunya tidak semata-mata berkaitan dengan aspek
politik saja (Supardan, 2004, hlm. 3).
Berdasarkan uraian di atas, maka kemungkinan untuk menuliskan atau
mengembangkan materi sejarah lokal sangat terbuka, bahkan hampir tak terbatas.
Dalam hal ini berarti tidak harus merupakan suatu peristiwa sejarah formal, yang
tercatat dan dikenal secara nasional, namun tetap harus ada bukti atau sumber
apapun jenisnya (lisan, tertulis, dan sumber benda). Apa yang pernah dilakukan
dan dialami oleh masyarakat tersebut dapat menjadi pengatahuan berharga, yang
bagi pendidikan sejarah diperlukan dalam membangun berbagai nilai positif pada
diri siswa. Dilihat dari sudut wilayah ‘kelokalan” yang menunjukkan tempat atau
aspek geografis dapat menyangkut desa, kota, kecamatan, bahkan provinsi dengan
berbagai variasinya Negara Indonesia sangat banyak jumlahnya. Pembelajaran
sejarah lokal akan terasa lebih mudah dihayati karena materinya menyangkut
kejadian penting yang dialamai secara langsung oleh lingkungan. Dengan kata

lain, siswa diajak ke situasi nyata tentang masa lalu.
Pengajaran sejarah di sekolah bagaimana pun akan memperkenalkan siswa
kepada pengalaman kolektif dan masa lalu bangsanya. Selanjutnya, akan
membangkitkan kesadaran dalam kaitannya dengan kehidupan bersama dalam
komunitas yang lebih besar. Dengan menfokuskan pada peranan Yogyakarta
sebagai pusat integrasi bangsa Indonesia selama revolusi kemerdekaan tahun
1945-1950 untuk materi pembelajaran sejarah di jenjang pendidikan menengah
atas, tentunya banyak nilai-nilai kehidupan yang dapat dipetik dari masa lalu
(materi sejarah) tersebut. Nantinya pembelajaran sejarah diharapkan dapat
membantu siswa dalam mempelajari subjek secara mandiri sehingga menciptakan
pembelajaran sejarah yang menarik. Hanya saja di jenjang persekolahan masih
ditemui bahwa materi sejarahnya banyak memuat ceritra yang sifatnya faktual,
sehingga siswa terbenan dalam lautan fakta (angka tahun, nama pelaku, tempat
kejadian, dan nama peristiwa). Dengan kata lain, sedikit mengandung peristiwa
yang dapat dikaji dan memiliki makna untuk diambil pelajarannya. Kondisi
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

6

demikian harus segera diperbaiki, perlu adanya kesadaran untuk meningkatan
mutu materi pembelajaran sejarah, termasuk dalam hal penyajian atau
historiografinya. Materi dan topik sejarah yang dipilih harus dapat memberikan
kebermanfaatan yang lebih kepada siswa dan guru, walaupun kebenaran yang ada
tetap berdasarkan kaidah keilmuan yang berhadapan dengan kepentingan bangsa.
Sejarah itu bukan sekadar nama dan tanggal, akan tetapi menyangkut penilaian,
kepedulian, dan kewaspadaan atau kehati-hatian.
Beberapa buku pelajaran (teks) sejarah untuk SMA yang peneliti lihat
ditinjau dari isinya menunjukkan, materi yang terkandung di dalamnya pada
dasarnya lebih merupakan ringkasan dari buku Sejarah Nasional Indonesia.
Berikutnya paparannya diuraikan dalam bentuk butir-butir yang kini disebut
kompetensi inti (dulu standar kompetensi) dan dalam kompetensi dasar
merupakan bagian dari kurikulum yang berlaku. Dalam hal ini penafsiran resmi
dari pemerintah akan tetap memegang peran penting terutama terkait dengan
materi sejarah politik (Mulyana, 2012, hlm. 28-29). Artinya, kepentingan politik
pemerintah (kekuasaan) menentukan faktor pemilihan peristiwa sejarah yang
dijadikan bahan kajian beserta dengan penafsiran resminya terhadap peristiwa
yang bersangkutan. Banyak fakta sejarah, seperti: tahun-tahun, nama-nama
tempat, nama-nama pelaku, dan nama-nama peristiwa yang disodorkan dan harus
dipelajari oleh siswa sehingga besar kemungkinan menjadi tidak menarik atau
membosankan bagi siswa.
Uraian lebih jelas dapat dilihat pada buku teks sejarah yang digunakan
oleh siswa SMA. Pertama, dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014)
yang berjudul ‘Sejarah Indonesia Kelas XI, semester 2’, yang diterbitkan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini menjelaskan peranan
Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan tahun 1945-1950 yang kurang banyak
disinggung dan kurang detail diuraikan. Dengan kata lain, tidak cukup
memberikan gambaran tentang berbagai peristiwa yang terjadi di wilayah ini pada
masa revolusi kemerdekaan. Berkaitan dengan masa tersebut, buku teks ini
menjelaskannya pada bab 6 bagian B yang diberi judul ‘Mengevaluasi Perjuangan
Bangsa: Antara Perang dan Damai’. Peristiwa yang bersifat nasional, seperti
Perjanjian Linggarjati, Agresi Belanda I dan II, Perjanjian Renville, Roem-Royen
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

7

dan Konferensi Meja Bundar telah diuraikan dengan cukup baik, menyangkut
waktu, tempat, dan peranan dari pelaku di masing-masing peristiwa tersebut,
beserta kronologisnya. Sementara itu yang terkait dengan peristiwa yang
berlangsung di Yogyakarta hanya disinggung secara garis besarnya, rata-rata
diuraikan antara setengah halaman sampai dua halaman. Peristiwa yang
dimaksud, antara lain: perang gerilya, serangan umum 1 Maret 1949, peristiwa
Yogya kembali, Konferensi Inter Indonesia, pembentukan RIS, atau peristiwa
penyerahan dan pengakuan kedaulatan. Untuk tokoh setempat, relatif lebih
banyak disebutkan peran Sri Sultan HB IX dibandingkan dengan Pakualam VIII,
yang hanya dikaitkan dengan Amanat 5 September 1945 pada bab 5 bagian B,
yakni menganalisis terbentuknya NKRI. Menyangkut peran masyarakat
Yogyakarta pada umumnya, dapat dikatkan tidak diuraikan secara eksplisit dalam
buku teks ini. Fakta-fakta tersebut baru sebagian memberikan gambaran tentang
dinamika yang terjadi di Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan. Masih banyak
hal yang belum cukup dihadirkan dalam buku ini. Tentang pemerintahan transisi
yang pernah berlangsung selam beberapa bulan di Yogyakarta, terlewatkan, samasekali juga tidak disinggung dalam buku teks ini.
Kedua, buku teks yang disusun oleh Ratna Hapsari dan M. Adil (2014)
dengan judul ‘Sejarah Indonesia untuk SMA/MA kelas XI’ diterbitkan oleh
Penerbit Erlangga. Adapun yang dijelaskan menyangkut peristiwa: ‘Kedatangan
Sekutu Serta Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan’ berisi penjelasan
pertama tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan kekuatan
senjata,

meliputi:

pertempuran

Medan

Area;

pertempuran

Ambarawa;

pertempuran Surabaya; peristiwa Merah-Putih di Manado; pertempuran di
Bandung; pertempuran Margarana atau puputan Margarana; dan peristiwa
Westerling

di

Makasar.

Kedua,

tentang

perjuangan

mempertahankan

kemerdekaan melalui strategi diplomasi berisi, antara lain: perundingan
Linggarjati; Komisi Tiga Negara; Perjanjian Renville; Perjanjian Roem-Royen;
Konferensi Inter Indonesia; Konferensi Meja Bundar, dan penyerahan
kedaulatan’. Sementara itu peristiwa yang terjadi di Yogyakarta selama revolusi
kemerdekaan tahun 1945-1950 disinggung sedikit atau terbatas, antara lain:
tentang penangkapan pemimpin Indonesia oleh Belanda; perang gerilya yang
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

8

dipimpin oleh Jenderal Soedirman; sedangkan serangan umum 1 Maret 1949,
relatif cukup banyak dijelaskan, yakni sekitar satu halaman dibandingkan dengan
yang lain. Untuk tokoh setempat (lokal), disebutkan dan diuraikan tentang
peranan Sri Sultan HB XI, sedangkan masyarakat Yogyakarta secara umum tidak
disebutkan atau dijelaskan. Fakta-fakta tersebut baru sebagian memberikan
gambaran tentang peristiwa yang berlangsung di Yogyakarta selama revolusi
kemerdekaan. Selain itu, sama dengan buku teks pertama, keberadaan
pemerintahan transisi yang berpusat di Yogyakarta tidak disinggung sama sekali.
Ketiga, buku yang ditulis oleh Nana Supriatna (2014) ‘Indonesian History
2’, penerbit Grafindo, di dalam Unit 4 yang diberi judul ‘Perjuangan Bangsa
Indonesia Mempertahankan Kemerdekaan’ memperlihatkan keterkaitan dengan
peristiwa revolusi kemerdekaan, termasuk yang berlangsung di Yogyakarta. Buku
tersebut menjelaskan tentang perkembangan masyarakat Indonesia pasca
proklamasi; perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia; dan
perjuangan diplomasi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada buku ini
pembahasan yang berkaitan dengan Yogyakarta, meliputi: Amanat 5 September
1945 dari Sultan HB IX dan peristiwa Long March tentara Siliwangi; Agresi
Belanda II terkait dengan serangan atas ibu kota RI Yogyakarta; peristiwa yang
terjadi di sekitar Lapangan terbang Maguwo; peristiwa penangkapan para
pemimpin RI; perjuangan Jenderal Soedirman; Serangan Umum I Maret 1949;
dan berbagai upaya diplomasi yang dilakukan RI dengan Belanda. Tokoh lokal
setempat tidak banyak disebutkan kecuali Sultan HB IX dan Pakualam VIII,
sedangkan peran rakyat di Yogyakarta pada umumnya tidak diuraikan secara
eksplisit. Begitu juga tentang keberadaan pemerintahan transisi yang berpusat di
Yogyakarta tidak diuraikan dalam buku ketiga ini. Oleh sebab itu, dapat dikatakan
bahwa materi sejarah yang diuraikan belum memberikan sepenuhnya gambaran
tentang dinamika yang terjadi di Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan.
Secara keseluruhan penjelasan tentang peranan Yogyakarta pada masa revolusi
kemerdekaan yang terdapat dalam buku ini baru sebagian dihadirkan.
Bila dihubungkan dengan masalah keluasan, maka materi dalam bukubuku teks tersebut dapat dikatakan relatif telah memadai sebagai bahan ajar yang
harus dikuasai siswa SMA kelas XI, meskipun, buku tersebut hanya memberikan
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

9

gambaran secara garis besarnya saja. Selain itu, materinya juga telah dipaparkan
secara kronologis, dari sejak Indonesia merdeka hingga pengakuan kedaulatan
oleh Belanda. Sayangnya, menurut peneliti, tentang peranan Yogyakarta selama
revolusi kemerdekaan belumlah dipaparkan secara proposional, termasuk
keberadaan pemerintahan transisi di Yogyakarta yang tidak diuraikan sama sekali.
Hal ini bila dikaitkan dengan realita yang terjadi dapat dikatakan bahwa tanpa
peran Yogyakarta tampaknya NKRI

akan mengalami kesulitan dalam

memperjuangkan eksistensinya. Hal seperti ini diketahui ketika sebagian besar
wilayah RI berada di bawah tekanan Belanda, maka Yogyakarta merupakan salah
satu wilayah yang tetap megadakan perlawanan secara maksimal. Dalam buku
teks di atas, untuk masalah pemaparannya disampaikan dalam bentuk deskriptifnaratif, dengan menggunakan bahasa yang cukup mudah dicerna, begitu juga
teknik yang dipakai (aspek estetika, teknik penulisan, dll.) telah memadai sebagai
buku teks untuk siswa SMA. Hanya jumlah halamannya yang menurut peneliti
masih perlu diperhatikan karena masih ada banyak hal yang belum cukup
dihadirkan dalam buku tersebut, khususnya terkait dengan peranan Yogyakarta
selama revolusi kemerdekaan.
Menyangkut masalah kedalaman, isi materi buku-buku teks di atas telah
menghadirkan sederet fakta, baik yang menyangkut waktu, tempat, nama
peristiwa maupun pelakunya. Namun demikian baru sebagian memberikan
gambaran tentang peristiwa yang berlangsung di Yogyakarta selama revolusi
kemerdekaan. Untuk fakta yang menyangkut waktu dan tempat, buku-buku teks di
atas memang telah menyebutkan dengan jelas hal-hal yang menyangkut peristiwa
besar atau yang bersifat nasional. Di sisi lain, kurang detail bila menyangkut halhal yang terjadi di tempat-tempat tertentu (lokal), termasuk yang terjadi di
Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan. Oleh sebab itu, cukup banyak detail
tentang waktu dan tempat di Yogyakarta yang terlewat begitu saja. Tidak jauh
berbeda dengan fakta yang menyangkut tentang pelaku, umumnya hanya
disebutkan tokoh-tokoh yang memiliki peranan secara nasional, sedangkan pelaku
dari kalangan biasa tidak mendapatkan tempat dalam buku teks. Keberadaan
gambar dalam buku-buku teks di atas sangatlah membantu siswa dalam
memahami ceritera secara utuh. Gambar di sini dapat berupa grafik, peta,
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

10

diagram, sketsa, bagan, atau sajian gambar lain, bisa dimaksudkan untuk
menekankan hubungan hal tertentu yang signifikan (Muslich, 2010, hlm. 231).
Sayangnya, tidak ada yang menyajikan tabel yang sebetulnya dapat membantu
penyajian verbal, melalui tabel, siswa akan lebih mudah memahami dan
menafsirkan data secara cepat termasuk mencari hubungan antar bagian.
Bagaimana pun juga buku pelajaran sejarah atau buku-buku teks tersebut
merupakan salah satu komponen dalam proses kegiatan belajar mengajar. Yang
perlu dipahami adalah buku teks merupakan sarana untuk mencapai tujuan
pengajaran. Dengan kata lain, buku teks tersebut merupakan sarana belajar baik
bagi siswa maupun sarana mengajar bagi seorang guru. Meskipun, sebagian besar
isinya lebih menekankan kepada aspek kognitif atau kecerdasan intelektual, dan
kurang menyentuh hal-hal yang bersifat emosional yang mampu menggugah baik
potensi sosial maupun spiritual siswa. Namun dalam beberapa hal, buku-buku di
atas telah menguraikan sedikit tentang nilai-nilai kehidupan. Hal ini kemudian
menyebabkan buku-buku pelajaran/ teks tidak terlalu menarik karena hanya
menekankan pada penguasaan materi (esensialisme). Pada kenyataannya memang
tidak ada satu pun buku teks yang ampuh untuk semua situasi dan kondisi. Namun
demikian, keterbatasan ini tidak boleh dipakai sebagai ‘kambing hitam’ untuk
tidak mengunakan buku teks (Muslich, 2010, hlm. 33). Tidak ada buku teks yang
betul-betul bisa memenuhi harapan kurikulum secara total karena buku teks
hanyalah salah satu sarana, bukan satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan
kurikulum.
Walaupun silabus pada kurikulum tertentu dipakai sebagai acuan
penyusunan materi atau bahan ajar pada buku teks, akan tetapi tidak bisa
menjamin bahwa hal tersebut dapat memenuhi kebutuhan kurikulum secara total.
Namun di sebagian besar lingkungan siswa ataupun guru, buku teks kerap
menjadi patokan dan pegangan utama dalam mengikuti proses belajar mengajar.
Buku teks akan berperan secara maksimal apabila memenuhi kriteria ideal dan
diasimilasikan oleh guru yang profesional. Sementara itu, dapat dikatakan tidak
ada satu pun buku teks yang cocok untuk semua jenjang pendidikan. Buku teks
memang disusun

dengan

mempertimbangkan

program

tertentu,

jenjang

pendidikan tertentu, dan pola pikir siswa tertentu.
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

11

Untuk itulah, peneliti mencoba menggali lebih dalam tentang peranan dari
Yogyakarta selama periode revolusi kemerdekaan, yang sangat terbatas
dikemukakan sebagai materi pembelajaran sejarah di jenjang pendidikan SMA.
Pembahasan tentang keberadaan Yogyakarta sebagai ibukota RI dan peranannya
selama revolusi kemerdekaan masih kuang disinggung. Tidak mungkin
mengesampingkan peranannya karena pada waktu itu Yogyakarta merupakan
wilayah RI yang dengan tegas tetap setia pada cita-cita proklamasi. Bahkan,
sesudah Serangan Umum 1 Maret 1949 hingga menjelang pengakuan kedaulatan,
Yogyakarta menjadi saksi dari adanya suatu peristiwa yang dinamakan
Pemerintahan Transisi atau Masa Peralihan yang belum banyak diungkap dalam
berbagai tulisan yang berhubungan dengan periode tersebut. Pemerintahan ini
dipimpin oleh Menteri Negara Koordinator Keamanan yang pada waktu itu
dijabat Sri Sultan Hamengku Buwono IX, berdasarkan Surat Penetapan Presiden,
Manumbing pada 1 Mei 1949.
Berbicara tentang masa revolusi kemerdekaan Indonesia mau tidak mau
harus memaparkan juga dinamika yang berlangsung di Yogyakarta, sehingga
menjadi ceritra yang utuh dari perjalanan bangsa ini dalam mempertahankan
kedaulatan. Sementara itu periode tersebut dapat dimaknai sebagai suatu
pengalaman

‘buruk’

yang

nyaris

akan

menghancurkan

keutuhan

dan

kelangsungan berdirinya NKRI. Peristiwa ini menjadi pelajaran bersama bagi
bangsa Indonesia, jika melihat fenomena sekarang, banyak dijumpai konflik
saudara yang dapat memicu persoalan besar dan akan mengganggu kebersamaan
sebagai suatu keluarga. Peristiwanya berlangsung secara singkat dan di tempat
terbatas, akan tetapi sangat menentukan keberlangsungan NKRI sebagai pusat
daya pemersatu bagi terwujudnya kembali integrasi bangsa Indonesia. Salah satu
masalah dalam rangka persatuan dan kesatuan Indonesia adalah proses integrasi
berkaitan dengan penggabungan diri penduduk yang mendiami wilayah bekas
jajahan Belanda ini sebagai bangsa dan negara Indonesia memang membutuhkan
waktu.
Awal kehidupan RI ditandai dengan suasana pergolakan yang disebabkan
oleh sikap dari Belanda yang bersikeras ingin berkuasa kembali meskipun dengan
melalui berbagai pertempuran dan diplomasi. Empat tahun pertama masa revolusi
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

12

kemerdekaan didominasi oleh berbagai peperangan melawan kekuatan Belanda,
dimaknai sebagai perjuangan bagi hidup matinya republik yang baru saja berdiri
sejak 17 Agustus 1945 (Ricklefs, 2008, hlm. 446-493). Terjadi tarik ulur antara
kelompok

unitarisme

dengan

kelompok

federalisme,

menandai

adanya

ketidaksepakatan yang mengarah kepada pertikaian dalam negeri atau disintegrasi
dalam menentukan nasib negara Indonesia. Meskipun sebenarnya sejak peristiwa
Sumpah Pemuda sampai Proklamasi pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa
terus diupayakan, bahkan dalam kehidupan sekarang tetap menjadi agenda
penting dari pemerintah.
Pada masa tersebut masalah persaingan antara kekuatan unitarisme dengan
federalisme atau antara golongan republiken dengan federalis mewarnai pertikaian
atau konflik, yang intinya telah memecah belah persatuan. Bahkan terjadi
pertumpahan darah di antara bangsa Indonesia sendiri, satu pihak tetap setia
kepada RI, sedangkan yang lainnya berpihak kepada keinginan Belanda. Peristiwa
ini memberikan pelajaran sangat berharga karena perjuangan panjang untuk
memperoleh kemerdekaan segera terkoyak. Berbagai peristiwa politik dan militer
berlangsung silih berganti dengan diplomasi yang dilakukan oleh kedua belah
pihak, yakni Republik Indonesia yang unitaris dengan negara-negara federalis.
Sejarah Indonesia mencatat peristiwa berdirinya Republik Indonesia Serikat
merupakan

persoalan

serius

yang

pernah

dialami

bangsa

ini

karena

memperlihatkan ketidakkompakan, sehingga Belanda mudah mempengaruhi
beberapa pemimpin daerah. Memang sejarah sebuah bangsa tidak hanya dihiasi
oleh catatan mengenai keberhasilan semata. Sebaliknya, kenyataan objektif juga
menunjukkan berisi lembaran-lembaran yang diliputi oleh tantangan, kelemahan,
dan mungkin juga kegagalan, ataupun hambatan.
Sejarah revolusi Indonesia yang berkaitan dengan peristiwa revolusi fisik
di Yogyakarta pada kenyataannya belum disampaikan secara proposional sebagai
materi ajar kepada siswa di tingkat persekolahan. Sementara itu, selama revolusi
kemerdekaan peran Yogyakarta sangat penting sebagai pusat perjuangan. Di
samping juga sebagai salah satu wilayah yang tetap setia mendukung keberadaan
pemerintahan RI. Seandainya Yogyakarta tidak bergabung dengan RI dan tetap
bertahan sebagai negara sendiri karena telah memenuhi persyaratannya seperti
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

13

adanya: wilayah, rakyat, dan sistem pemerintahan, maka perjalanan sejarah
Indonesia juga akan berbeda.
Sebagaimana diketahui ketika RI merdeka, Yogyakarta bertekad
memutuskan untuk memilih bergabung daripada menjadi sebuah negara yang
terpisah dari republik. Pemerintah pusat segera merespon sikap di atas dengan
membuat surat penetapan mengenai kedudukan Yogyakarta dalam lingkungan RI
dan kepercayaan pemerintah kepada Sri Sultan HB IX serta Pake Alam VIII.
Sejarah masa depan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peristiwa yang
terjadi di Yogyakarta karena telah menyatukan kembali NKRI sebagai
episentrumm daya sentripetal integrasi bangsa selama revolusi kemerdekaan, serta
merupakan pilar penyangga bagi berdirinya Republik Indonesia.
Peranan penting dan besar selanjutnya dapat dilihat pada dukungan Sri
Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII serta penduduk Yogyakarta terhadap
perjuangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan RI. Hal ini dikuatkan
dengan dikeluarkannya Amanat dari Sultan HB IX pada tanggal 5 September
1945 yang intinya berisi pernyataan tentang Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat
yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari RI; hubungan Negeri
Ngayogyakarto Hadiningrat dengan pemerintahan pusat RI bersifat langsung dan
bertanggungjawab langsung kepada presiden RI. Integrasi tersebut tidak berarti
penyerahan total, akan tetapi merupakan komitmen, bukan merupakan sikap
tunduk atau mengalah terhadap negara baru yang bernama Republik Indonesia.
Hal ini terlihat jelas dengan pemberian Piagam Kedudukan kepada Sultan dan
Paku Alam setelah Yogyakarta menyatakan bergabung dengan republik.
Sejak tahun 1946 tekanan-tekanan terhadap republik ataupun pihak
Belanda mulai meningkat. Pada bulan Januari tahun itu juga pendudukan kembali
Belanda atas Jakarta telah berjalan begitu jauh sehingga diputuskan untuk
memindahkan pemerintahan RI ke Yogyakarta dan tetap menjadi ibukota selama
masa revolusi sampai akhir tahun 1949 (Ricklefs, 2009, hlm. 462; Atmakusumah,
1982, hlm. 78). Dengan kepindahan tersebut peran penting Yogyakarta beserta
seluruh penduduknya semakin tampak, mereka terlibat langsung dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan negara. Bahkan,

Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

14

Sultan HB IX menjadi tokoh yang aktif sebagai salah satu unsur dalam
pemerintahan RI.
Agresi militer Belanda I yang kemudian diikuti dengan perjanjian Renville
di awal tahun 1948 merupakan puncak kemelut yang paling parah selama revolusi
kemerdekaan (Nasution, 1978, hlm. 5). Akibatnya, daerah republik terasa sempit,
terbatas pada Yogyakarta yang kemudian menjadi pusat tujuan pasukan TNI yang
terpaksa hijrah dari daerah-daerah gerilya di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Sementara itu, wilayah Indonesia lainnya berada di bawah pengaruh Belanda
melalui bentuk federasi, sehingga kepentingan-kepentingan kolonial mereka
masih terwakili. Di Pulau Jawa dibentuk Negara Pasundan, Negara Jawa Timur,
dan Negara Madura, sedangkan di luar Jawa kekuasaan Belanda lebih kuat dengan
dibentuknya Negara Indonesia Timur, dan Negara Borneo (Kalimantan), yang
pada dasarnya adalah untuk ‘mengepung’ Yogyakarta, sebagai satu-satunya
wilayah RI yang masih berdaulat penuh.
Para tokoh nasional, seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sri Sultan HB IX, Sri
Paku Alam VIII, Soeharto, Anak Agung Gede Agung, Soedirman, dll memiliki
peran besar pada masa revolusi kemerdekaan ini. Meskipun demikian tidak
ketinggalan peran yang dilakukan oleh penduduk Yogyakarta bersama-sama TNI
yang luar biasa dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, yang menjadi
penentu adanya pengakuan internasional atas tegaknya Republik Indonesia.
Peristiwa tersebut termasuk salah satu peristiwa yang sangat penting selama
revolusi, di mana Yogyakarta merupakan pusat daya sentripetal dalam
mempersatukan keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, dinamika
yang terjadi di Yogyakarta selama masa revolusi dapat dijadikan sebagai pelajaran
berharga, yaitu sebagai pengingat dalam rangka upaya menjaga keutuhan NKRI
sekarang ini.
Sikap yang ditunjukkan oleh para pemimpin dan seluruh rakyat,
khususnya mereka yang tinggal di Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan
menyebabkan Belanda tidak mempunyai peluang sedikit juga untuk menguasai
Yogyakarta. Inilah yang memberikan kesempatan kepada bangsa ini menjadikan
Yogyakarta sebagai pusat daya pemersatu bagi seluruh rakyat Indonesia agar terus
berjuang melawan kekuatan Belanda. Termasuk dalam hal ini adalah memberikan
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

15

konstribusi yang sangat besar guna membangkitkan spirit bagi NKRI setelah
sempat menjadi Negara Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949
berdasarkan hasil dari Konferensi Meja Bundar. Pada akhirnya dengan pindahnya
ibukota RI kembali ke Jakarta peranan sentral dari Yogyakarta selama revolusi
kemerdekaan telah usai. Namun demikian, Yogyakarta akan tetap akan tetap
dikenang sebagai sebuah kota perjuangan dalam melindungi RI, bahkan
dihantarkan hingga siap membangun bangsanya. Yogyakarta adalah inspirator
bagi bangkitnya kebangsaan yang tidak sekedar merupakan peninggalan sejarah,
akan tetapi kekuatan yang menginspirasi seluruh rakyat Indonesia untuk tetap
menjaga kedaulatan negara. Meskipun relatif berlangsung sebentar, namun
peristiwa ini sangat penting sebagai materi pembelajaran sejarah, dimana
dinamika politik pada masa revolusi Indonesia yang diwarnai oleh konflik
disintegrasi bangsa menarik untuk dicermati.
Konten sejarah yang dikemas dalam suatu cerita sejarah selalu ada pelaku
sejarah, dapat seseorang, kelompok, masyarakat, atau keseluruhan bangsa. Ketika
pelaku sejarah tersebut adalah kelompok masyarakat atau bangsa, maka selalu ada
seseorang atau beberapa orang terpilih yang menjadi pemimpin. Pemimpin
tersebut umumnya adalah mereka yang memiliki inisiatif menggerakan
sekelompok masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Berangkat dari kondisi
tersebut menjadi suatu tantangan bagi peneliti untuk mengembangkan materi dari
salah satu aspek peristiwa sejarah lokal sebagai sumber enrichment pembelajaran
sejarah yang diharapkan dapat mendorong siswa berpikir reflektif serta tanggap
akan berbagai permasalahan yang ada. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa dalam proses melakukan penelitian ini didukung fakta-fakta historis yang
cukup bervariasi, sehingga penjelasan yang ada nantinya dapat diwacanakan
dengan kuat. Selain itu, penelitian ini juga merupakan upaya mengatasi
permasalahan dominasi buku teks sebagai salah satu bahan ajar yang pada
umumnya kurang memberikan penjelasan secara detail dan kurang melibatkan
siswa untuk ikut terlibat akif dalam memahami materinya. Tetap masih ada ruang
untuk menuliskan topik tersebut bagi kepentingan siswa di tingkat SMA sebagai
bahan tambahan atau pengayaan dengan berbagai sudut pandang yang berkaitan
dengan tafsir peristiwa sejarah karena setiap pandangan dan pendapat dapat
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

16

dibenarkan menurut kaedah keilmuan. Topik tersebut dapat direkonstruksi
kembali dengan menjelaskan secara lebih luas berbagai hal yang dianggap
penting, baik menyangkut peran para tokoh, penduduk Yogyakarta, maupun
unsur-unsur lainnya.
Mengingat peristiwa revolusi fisik di Yogyakarta yang berlangsung dari
tahun 1945-1950 menjadi salah satu materi yang direkonstruksi untuk
kepentingan pembelajaran sejarah bagi siswa pada jenjang SMA, maka akan
sangat relevan apabila dijelaskan lebih lengkap tentang berbagai konsep sejarah
untuk mempermudah mereka memahami fenomena yang terjadi di sekitarnya.
Siswa akan dihadapkan pada konsep sejarah (progres, berkesinambungan, dan
berubah) serta kisah sejarah yang multitafsir. Selain itu siswa juga akan melihat
peristiwa sejarah dalam suatu kontinuitas waktu dan relevansinya dengan masa
kini, serta masa yang akan datang. Dalam kaitannya dengan masa sekarang,
seyogyanya guru dapat membantu siswa melihat masa lalu itu sebagai awal mula
dari masalah-masalah penting yang tetap ada hingga kini, walaupun sebetulnya
masa lalu itu tidak sama dengan masa kini. Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan
pemahaman tersebut salah satunya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran
dengan menyajikan materi sejarah sebaik-baiknya. Hal lainnya yang tidak kalah
penting dalam proses pembelajaran adalah bagaimana menyeimbangkan antara
kegiatan penyampaian pengetahuan dengan peningkatan kualitas pembelajaran.
Berkaitan dengan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran
di sekolah. Secara substansi ditentukan dan dibutuhkan banyak faktor pendukung,
di antaranya kualitas dan profesionalisme pengajar atau guru, kemampuan siswa,
lingkungan belajar, media pembelajaran, atau sumber pembelajaran, salah satunya
adalah buku, baik buku teks maupun buku tambahan. Tentang buku teks, dengan
sedikit perkecualian tentunya, tidak dapat membuat siswa memahami sendiri,
selain itu tidak memenuhi semua aspek pengetahuan yang kritis dan mungkin
malah kekurangan detail yang berkaitan dengan referensi-referensi terbaru. Oleh
karena itu, dibutuhkan bantuan penjelasan dari guru ataupun melalui buku-buku
lain sebagai enrichment pembelajaran (sejarah). Buku pengayaan tersebut
memberikan nilai tambah dalam pembelajaran sejarah karena dalam buku teks
hanya menyampaikan peristiwa-peristiwa utama atau pokok saja.
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

17

Dalam pembelajaran sejarah, materi yang dikemas secara baik dapat
membangkitkan kesadaran empatik di kalangan siswa, yaitu sikap simpati dan
toleransi terhadap orang lain, serta membangkitkan kesadaran akan kehidupan
bersama sebagai sebuah bangsa. Pengetahuan tentang sejarah didukung oleh
pengalaman yang nyata dalam praktek kewaranegaraan yang tidak terbantahkan
dalam memberikan kontribusi untuk membantu anak-anak mengenali dirinya
dengan latar belakang sejarah yang mereka miliki (Jarolimek, 1986, hlm. 146).
Proses pengenalan diri inilah merupakan titik awal dari timbulnya rasa harga diri,
kebersamaan, keterikatan, rasa memiliki, serta rasa bangga terhadap bangsa dan
tanah airnya (Wiriaatmadja, 2002, hlm. 156). Sementara itu, di lapangan (sekolahsekolah) masih menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran di kelas itu
sendiri aktivitas guru lebih dominan dalam memberikan materi, sedangkan
kegiatan siswa cenderung terbatas pada menghafal. Kalau yang diajarkan hanya
menghapal tahun, tempat, dan nama, maka kemampuan siswa juga hanya sebatas
itu. Ketika tidak dipelajari dengan sungguh-sungguh, maka hafalan tersebut
mudah dilupakan karena tidak dilihat konteks peristiwanya. Oleh karena itu guru
pada umumnya menggunakan buku teks sebagai bahan ajar yang materinya
dipaparkan secara terbatas. Dengan demikian penelitian ini menekankan pada
perluasan materi tentang salah satu episode di masa revolusi kemerdekaan tahun
1945-1950 yang terjadi di Yogyakarta bagi siswa SMA. Sebagai salah satu
enrichment pembelajaran sejarah. Nantinya penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas disbanding dengan
yang tercatat dalam buku teks. Selain itu, dapat menyadarkan siswa akan adanya
proses perubahan dan perkembangan masyarakat, yang akan menjelaskan jati diri
bangsa di masa lalu, masa kini, dan masa depan ditengah-tengah perubahan dunia,
melalui perluasan materi sejarah lokal.
Sudah menjadi keharusan bagi seorang guru agar mengeksplorasi berbagai
macam sumber guna mendapatkan alat bantu yang tepat untuk mengajar atau
melengkapi apa yang sudah disediakan di dalam buku teks (Kochhar, 2008, hlm.
160). Hal tersebut termasuk salah satu dari upaya guru untuk menambah
informasi, memperluas konsep, serta untuk membangkitkan minat dari siswa
terhadap mata pelajaran yang bersangkutan. Pembelajaran sejarah yang
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

18

dikembangkan untuk meningkatkan potensi berpikir siswa tidak hanya dengan
cara menghafal hal-hal yang sifatnya faktual, seperti: apa, siapa, kapan, dan di
mana. Pengalaman masa lampau akan lebih bermakna bila dipaparkan secara
lebih mendalam menyangkut bagaimana dan mengapa dari sebuah peristiwa
sejarah itu berlangsung, sehingga siswa dilatih dalam aspek kognitif yang lebih
tinggi dari hanya sebatas pengetahun faktual saja (Wiriaatmadja, 2002, hlm. 147).
Meskipun demikian, di dalam kelas materi pelajaran yang dipelajari siswa harus
sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan penjelasan yang disampaikan oleh
seorang guru diharapkan dapat diterima dengan baik sebagai pengetahuan baru.
Tantangan bagi siswa terutama adalah keterbatasannya dalam membaca teks
sejarah karena sejarah berhubungan dengan dokumen mengenai masa lampau.
Tidak hanya sekadar membaca, akan tetapi dapat mengetahui isi teks tersebut
dengan baik. Bagaimana pun juga membaca teks itu dapat dapat mendatangkan
kearifan. Sementara itu, kearifan bukanlah sesatu yang menjalar dari teks kepada
pesera didik, melainkan sesuatu yang berkembang pada diri mereka dengan
mempertanyakan teks (Wineburg, 2006, hlm. viii).
Hal yang paling esensial adalah bagaimana implementasi pembelajaran di
sekolah mencapi hasil yang efektif, tentunya peran guru sebagai pendidik sangat
penting agar dalam prosesnya berjalan baik dan berkualitas untuk menghadapi era
globalisasi yang sedang berlangsung. Kemampuan guru mencari kaitan antara
pengalaman masa lampau bangsa dengan persoalan kehidupan kompleks ke
kinian ikut menentukan keberhasilan pelaksanaan proses belajar mengajar
(pembelajaran). Oleh karena itu, guru harus memiliki pengetahuan dan wawasan
yang luas. Salah satunya adalah bagaimana mengajarkan sejarah itu dengan
pendekatan multidisiplin karena hanya dengan pendekatan inilah dapat dihadapi
lebih baik persoalan kompleksitas sejarah. penggunaan konsep yang berasal dari
disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya perlu dilakukan untuk memahami berbagai
peristiwa, gagasan, dan fenomena kesejarahan, sehingga dapat membantu
memberikan solusi dalam memecahkan masalah yang kemungkinan dihadapi
masyarakat. Pembelajaran sejarah diharapkan dapat mempengaruhi terjadinya
perubahan sikap dari pesera didik seperti yang menjadi tujuan belajar itu sendiri.
Di sisi lain perlu disadari bahwa penulisan sejarah lokal di Indonesia masih
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

19

banyak menemui kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan langkanya sumbersumber dan tenaga ahli yang memadai. Oleh sebab itu, pengorganisasian bahan
menempati posisi yang sangat penting.

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka muncul pertanyaan
penelitian: Mengapa peristiwa masa revolusi fisik di Yogyakarta tahun 1945-1950
penting direkonstruksi kembali sebagai salah satu enrichment pembelajaran
sejarah di Sekolah Menengah Atas?. Selanjutnya, rumusan tersebut di uraikan ke
dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana upaya dari bangsa Indonesia, khususnya mereka yang berada
di Yogyakarta dalam mempertahankan kemerdekaan selama masa revolusi
tahun 1945-1950?
2. Bagaimana kelayakan materi sejarah tentang peranan Yogyakarta dalam
masa revolusi kemedekaan tahun 1945-1950 dikembangkan sebagai
enrichment pembelajaran sejarah bagi siswa di tingkat SMA?
3. Bagaimana relevansi pembelajaran sejarah tentang peranan Yogyakarta
dalam masa revolusi kemedekaan tahun 1945-1950 sebagai enrichment di
SMA?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, penelitian
ini terutama ditujukan untuk memperoleh penjelasan yang mendalam mengenai:
1. Pilihan Yogyakarta terhadap bentuk unitaris, sementara daya sentrifugal
yang disintegratif begitu kuat selama revolusi kemerdekaan tahun 19451950. Selain itu, juga tentang dinamika perjuangan yang dilakukan baik
melalui kekuatan fisik (pertempuran) maupun diplomasi oleh para
pemimpin nasional dan lokal, serta perjuangan para penduduk pada
umumnya di Yogyakarta. Nilai-nilai, seperti nasionalisme, patriotism, dan
toleransi yang diharapkan akan menumbuhkan sense of belonging dan
sense of solidarity yang diperlukan untuk membentuk identitas nasional
mendapat perhatian pula.
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

20

2. Kelayakan materi sejarah dengan judul ‘upaya bangsa Indonesia
(Yogyakarta) dalam kancah revolusi kemedekaan tahun 1945-1950’,
dikembangkan sebagai enrichment pembelajaran sejarah bagi siswa di
tingkat Sekolah Menengah Atas. Hal ini menyangkut keluasan atau
cakupan materi secara keseluruhan dan kedalaman yang berkaitan dengan
fakta-fakta sejarah, interpretasi, penjelasan, atau ekspose dari materi
sejarah yang akan dikembangkan sebagai pengayaan atau enrichment
pembelajaan sejarah.
3. Implementasi pembelajaran sejarah dengan judul materi upaya bangsa
Indonesia (Yogyakarta) dalam kancah revolusi kemedekaan tahun 19451950, dilaksanakan di salah satu SMA Negeri di Yogyakarta. Hal ini
dilakukan untuk melihat proses pembelajaran di kelas, dari sejak
melakukan persiapan, pelaksanaan, sampai

pengevaluasian. Pada

akhirnya akan dilihat relevansi materi tersebut sebagai enrichment
pembelajaran sejarah, yang diharapkan juga dapat dilaksanakan di banyak
SMA unggulan lainnya.

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan di bidang ilmu: menghasilkan sebuah monografi/ historiografi
hasil penelitian tentang peranan Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan 19451950, yang akan diuraikan dengan judul ‘upaya bangsa Indonesia (Yogyakarta)
dalam kancah revolusi kemedekaan tahun 1945-1950’. Sebagai materi ajar
sejarah, historiografi ini diharapkan dapat menjadi salah satu enrichment
pembelajaran sejarah bagi siswa SMA, terutama untuk siswa ynag memiliki
kecerdasan di atas rata-rata. Selain itu, juga akan berguna di dalam membuat
proyeksi penggunaan sejarah lokal berdimensi nasional sebagai wahana
pendidikan dalam membina semangat kebangsaan dan identitas diri siswa.
Selanjutnya, akan muncul penelitian-penelitian sejenis dengan mengkaji sejarah
lokal dari berbagai wilayah di Indonesia untuk memeperluas pemahaman dalam
membinaan kebangsaan dan identitas diri siswa di masing-masing tempat.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia memiliki berbagai peristiwa yang
dikategorikan ke dalam sejarah lokal, yang tersebar atau tersimpan di berbagai
Murdiyah Winarti, 2016
Peranan Yogyakarta Sebagai Episentrum Daya Sentripetal Integrasi Bangsa Selama Revolusi
Kemerdekaan Tahun 1945-1950
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

21

tempat dalam rentangan waktu yang cukup panjang. Ini merupakan kesempatan
yang baik unt