Pengaruh Jumlah Elemen Array Terhadap Speed Of Convergence Adaptive Beamforming Pada Smart Antenna
BAB II
DASAR TEORI
2.1
Pengertian Smart Antenna
Smart antenna merupakan susunan dari beberapa elemen antena yang
menggunakan pengolahan sinyal digital untuk mengoptimasi radiasi atau pola
penerimaan secara adaptif dan otomatis [1]. Sistem seperti ini memungkinkan
antena dapat mengubah pola radiasi atau penerimaan sesuai dengan tujuan sehingga
meningkatkan kinerja sistem komunikasi wireless. Istilah smart antenna umumnya
mengacu kepada antenna array yang dikombinasikan dengan pengolahan sinyal
yang canggih, yang mana desain fisiknya dapat dimodifikasi dengan menambahkan
beberapa elemen. Tujuan utama penggunaan teknologi pengolahan sinyal digital
pada sistem smart antenna adalah untuk menentukan arah kedatangan sinyal serta
besar weight untuk mengarahkan radiasi antena ke arah signal of interest (SOI) dan
null ke arah signal not interest (SNOI) [1].
Ide utama dari pengembangan smart antenna adalah memaksimumkan gain
antena ke arah yang diinginkan dan pada saat yang sama membuat pola radiasi
minimum ke arah sinyal yang mengganggu [1]. Adapun konfigurasi sistem smart
antenna secara umum ditunjukkan oleh Gambar 2.1.
Karena smart antenna dapat memfokuskan pancaran ke user yang
diinginkan sementara interferensi dari sinyal yang tidak diinginkan ditolak, maka
cakupan dari base station akan meningkat. Sistem smart antenna dibagi menjadi
dua, yaitu switched beam system dan adaptive array system [1].
5
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Konfigurasi sistem smart antenna
2.2
Klasifikasi Smart Antenna
Secara umum, sistem smart antenna dibagi menjadi dua yaitu switched
beam system dan adaptive array system. Pada dasarnya, kedua jenis sistem smart
antenna ini menggunakan prinsip yang sama dalam meningkatkan kualitas dan
kinerja dari sistem yaitu dengan meningkatkan gain sampai level maksimum ke
arah dimana posisi pengguna berbeda sehingga meningkatkan level daya sinyal
terhadap interferensi. Berikut uraian beberapa jenis smart antenna [1].
2.2.1
Switch Beam System
Switched beam system merupakan tipe smart antenna yang paling
sederhana. Switched beam system merupakan sistem yang menggunakan teknik
yang paling sederhana dimana sistem ini hanya menggunakan fungsi dasar
penyambungan antara beberapa antena direksional atau beberapa pola sorotan yang
dihasilkan antena array. Sistem ini akan menyeleksi atau memilih salah satu beam
atau pancaran yang memiliki daya keluaran yang paling besar [1]. Daripada
membentuk pola radiasi yang direksional, switched beam system menggabungkan
6
Universitas Sumatera Utara
output dari beberapa antena dengan tujuan untuk membentuk lebar sorotan yang
sempit (direksional).
Tujuan utama penggunaan switched beam system adalah untuk
meningkatkan gain tergantung kepada lokasi dari user . Karena pancaran yang tetap,
user yang diinginkan mungkin tidak berada dalam cakupan dari pancaran utama
sehingga apabila terdapat sinyal pengganggu di sekitar main beam, maka desired
signal yang diterima oleh user lebih kecil dibandingkan dengan sinyal interferensi.
Switched beam system terdiri dari beberapa pancaran tetap dengan arah yang
belum ditentukan, dimana pancaran yang akan dipilih adalah yang menerima sinyal
dengan kualitas yang paling baik dari pengguna. Pancaran yang dihasilkan
mempunyai lebar main lobe yang sempit dan side lobe yang kecil sehingga sinyal
yang datang dari arah selain dari arah yang diinginkan akan diredam. Penggunaan
lebar main lobe yang sempit akan mereduksi jumlah sumber interferensi yang
tertangkap oleh pola radiasi antena. Pola radiasi switched beam system ditunjukkan
oleh Gambar 2.2 [1].
Gambar 2.2 Pola radiasi switched beam system
7
Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Adaptive Array System
Teknologi adaptive array system menggunakan berbagai algoritma
pengolahan sinyal untuk membedakan sinyal pengguna dengan sinyal interferensi
berdasarkan arah kedatangan dari sinyal-sinyal tersebut. Sistem ini akan secara
adaptif beradaptasi dengan lingkungan dimana sinyal berada. Berbeda dengan
switched beam system, adaptive array system akan menghasilkan pola pancaran
yang tidak tetap dimana pancaran yang dihasilkan dapat diarahkan sesuai dengan
arah yang diinginkan [1].
Dengan menggunakan algoritma pengolahan sinyal digital (digital signal
processing), adaptive array system mampu secara efektif menemukan dan melacak
berbagai jenis sinyal secara cepat untuk mengurangi interferensi dan
memaksimalkan penerimaan sinyal. Pola radiasi dari adaptive array system
ditunjukkan oleh Gambar 2.3 [1].
Gambar 2.3 Pola radiasi adaptive array system
Karena kemampuannya untuk mengarahkan pancaran ke arah yang
diinginkan serta menolak sinyal interferensi, kinerja adaptive array system lebih
baik dibanding switched beam system. Adapun perbandingan coverage relatif dari
switched beam system, adaptive array system dan conventional sectoring
ditunjukkan pada Gambar 2.4 [1].
8
Universitas Sumatera Utara
Adaptive array system lebih rumit jika dibandingkan dengan switched beam
system karena sistem ini menggunakan algoritma adaptive beamforming yang
kompleks untuk menentukan arah kedatangan sinyal dengan cepat. Akan tetapi
sistem ini membutuhkan lebih banyak biaya dibandingkan dengan switched beam
system [1].
Gambar 2.4 Perbandingan coverage relatif dari sistem switched beam,
adaptive array dan conventional sectoring
2.3
Cara Kerja Smart Antenna
Smart antenna bekerja seperti berikut. Asumsikan bahwa ada seorang
pengguna mengirimkan sebuah sinyal ke base station. Kemudian masing-masing
elemen dari susunan smart antenna pada base station akan menerima sinyal
tersebut tetapi pada waktu yang berbeda dikarenakan jarak antara pengguna dan
masing-masing elemen dari susunan berbeda yang satu dengan yang lain. Dengan
menggunakan waktu tunda dan jarak antara elemen-elemen antena, lokasi dari
pengguna tersebut dapat diperhitungkan [3]. Oleh karena itu, pengirim dapat
mengirim sebuah sinyal ke lokasi yang tepat dari pengguna itu. Strategi ini dapat
diaplikasikan untuk sistem dengan banyak pengguna juga. Sebuah penerima smart
antenna dapat menekan interferensi dengan menggunakan strategi ini.
9
Universitas Sumatera Utara
Smart antenna mampu mengolah sinyal-sinyal yang diterima oleh susunan
antena atau yang dipancarkan oleh susunan antena dengan menggunakan susunan
algoritma-algoritma yang sesuai untuk meningkatkan performa sistem wireless.
Sebuah susunan antena terdiri dari seperangkat elemen-elemen antena terdistribusi
(dipole, monopole, atau elemen-elemen antena directional) yang diatur dalam
ukuran tertentu (linear , circular , atau rectangular grid) dimana jarak antara
elemen-elemen dapat berbeda-beda. Sinyal-sinyal yang dikumpulkan oleh elemenelemen individu digabungkan secara koheren yang meningkatkan kekuatan sinyal
yang diinginkan dan mengurangi interferensi dari sinyal-sinyal yang lain. Sebab itu,
sebuah smart antenna dapat dipandang sebagai kombinasi dari elemen-elemen
antena regular atau conventional yang sinyal-sinyal pancar atau terimanya diproses
menggunakan algoritma-algoritma adaptive beamforming [2].
.
Gambar 2.5 Diagram blok implementasi smart antenna
Gambar 2.5 menunjukkan sebuah implementasi umum dari sistem smart
antenna . Seperti yang ditunjukkan pada gambar, susunan-susunan antena memiliki
input (masukan) atau output (keluaran) sebagai sinyal-sinyal RF dalam domain
analog. Sinyal-sinyal ini dilewatkan ke/dari front end analog Radio Frequency (RF)
yang biasanya terdiri dari pengeras bunyi (suara) yang rendah, mixer (penggabung),
dan penyaring analog. Pada mode menerima, sinyal-sinyal RF diubah ke domain
digital dengan menggunakan Analog to Dogital Converters (ADCs) dan dalam
10
Universitas Sumatera Utara
mode memancarkan, sinyal-sinyal digital baseband diubah ke RF dengan
menggunakan Digital to Analog Converters (DACs). Perubahan ke bawah dari RF
ke baseband atau perubahan ke atas dari baseband ke RF dapat melibatkan
penggunaan sinyal-sinyal IF. Sinyal-sinyal baseband yang diterima dari masingmasing antena kemudian digabungkan menggunakan algoritma-algoritma smart
pada bagian pengolahan digital. Karena itu, masing-masing elemen antena
mempunyai sebuah rantai RF mulai dari elemen antena ke front end RF ke konversi
digital untuk penerima dan sebaliknya untuk pengirim. Bagian pengolahan digital
dapat diimplementasikan pada sebuah mikroprosesor atau sebuah DSP (Digital
Signal Processor ) atau FPGA (Field Programmable Gate Array). Oleh karena itu,
implementasi algoritma smart biasanya adalah sebuah kode perangkat lunak
(software) jika tidak diimplementasikan dalam sebuah ASIC (Application Specific
Integrated Circuit) atau FPGA.
2.4
Antenna Array
Salah satu cara untuk meningkatkan direktivitas antena adalah dengan
memperbesar ukuran fisik antena. Adapun cara lainya adalah yaitu dengan
mengubah konfigurasi antena tanpa memperbesar ukurannya. Dalam beberapa
penggunaan sangat penting untuk mendesain sebuah antena dengan direktivitas
yang baik (gain yang tinggi) untuk kebutuhan telekomunikasi jarak jauh. Salah satu
cara efektif untuk membentuk elemen peradiasi secara geometris dan rangkaian
listrik tanpa memperbesar ukuran masing-masing elemen yaitu dengan
menggunakan antenna array. Susunan dari beberapa elemen antena disebut sebagai
antenna array [3].
11
Universitas Sumatera Utara
Adapun tujuan membuat susunan antena, yaitu untuk mendapatkan diagram
arah dengan pola tertentu (beamforming) dan mendapatkan diagram arah dengan
pengendalian arah tertentu (beamsteering). Adapun konfigurasi dari sebuah antena
array linier sepanjang sumbu x ditunjukkan oleh Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Antena array linier
Medan listrik total dari sebuah array ditentukan oleh penjumlahan vektor
medan listrik dari masing-masing elemen sesuai Persamaan 2.1 [3].
=
+
= �̅� ƞ
�
4�
{
− [ � − �⁄ ]
�
+
− [ � + �⁄ ]
�
}
(2.1)
dimana � adalah beda fasa antar elemen. Medan listrik sebuah antenna
array dapat berbentuk 2 dimensi atau 3 dimensi. Untuk array yang sama, ada
beberapa degrees of freedom yang dapat digunakan untuk membentuk pola sorotan
sebuah antena, yaitu [3] :
1.
Konfigurasi array secara geometris (linear , circular , planar dan spherical).
2.
Amplitude excitation dari tiap elemen.
3.
Phase excitation dari tiap elemen.
4.
Pancaran relatif dari tiap elemen.
12
Universitas Sumatera Utara
2.5
Linear Array
Linear array merupakan konfigurasi antena susun (array) yang paling
sederhana. Adapun contoh linear array yaitu dua elemen array dan N-elemen
linear array. Berikut uraian beberapa jenis linear array.
2.5.1
Dua Elemen Array
Adapun bentuk antena array yang paling mudah untuk dianalisis yaitu
antena array dengan dua elemen array. Gambar 2.7 menunjukkan antena dipole
yang disusun secara vertikal sepanjang sumbu y dengan jarak sebesar d [3].
Gambar 2.7 Dua elemen array
Field point terletak pada jarak r dari titik awal (origin) dimana
≫ .
Misalkan vektor r, r1, dan r2 paralel antara satu sama lainnya yang diberikan oleh
Persamaan 2.2 dan Persamaan 2.3. Maka, persamaan untuk medan listrik total
diberikan oleh Persamaan 2.4 [3].
≈
dimana :
=
ƞ�
4�
−
�
≈
+
−
sin � .
sin �
sin �
cos
(2.2)
(2.3)
sin �+ �
(2.4)
13
Universitas Sumatera Utara
� = beda fasa antar dua elemen yang berdekatan
L = panjang antena
� = sudut yang diukur dari sumbu z pada spherical coordinates
d = jarak antar elemen
2.5.2
N – Elemen Linear Array
Adapun contoh linear array yang paling umum yaitu linear array dengan
N elemen array. Misalkan tiap elemen mempunyai jarak antar elemen yang sama
dan amplituda yang sama. Gambar 2.8 menunjukkan N – elemen linear array yang
terdiri atas beberapa elemen isotropis [3].
Gambar 2.8 N – elemen linear array
Misalkan pada kondisi medan jauh dimana
ditentukan dengan menggunakan Persamaan 2.5 [3].
� =
+
sin �+ �
+
sin �+ �
≫ , maka array factor dapat
+ ⋯..+
−
sin �+ �
(2.5)
dimana � adalah beda fasa antar elemen. Karena elemen isotropis mempunyai
amplituda yang tetap, maka setiap perilaku dari array ditentukan oleh beda fasa
antar elemen. Beda fasa tersebut sebanding dengan jarak antar elemen dalam
panjang gelombang.
14
Universitas Sumatera Utara
2.6
Circular Array dan Planar Array
Adapun contoh konfigurasi antena array lainnya yang dapat digunakan
untuk membentuk pola sorotan antena yaitu uniform circular dan uniform planar
circular array. Gambar 2.9 menunjukkan konfigurasi uniform circular array dan
Gambar 2.10 menunjukkan konfigurasi uniform planar circular array [3].
Gambar 2.9 Uniform circular array
Gambar 2.10 Uniform planar circular array
15
Universitas Sumatera Utara
2.7
Konsep Adaptive Array
Adaptive array telah menjadi solusi terbaik untuk beberapa masalah
penerimaan yang umumnya melibatkan deteksi sinyal dan estimasi kedatangan
sinyal. Alasan yang mendasari adalah konsep ini menawarkan direktivitas dan
pembatasan sensitivitas, serta gain yang besar dan beamwidth yang lebih sempit.
Adapun beberapa keuntungan dari penggunaan adaptive array, antara lain [3]:
1.
Gain yang tinggi. Penambahan jumlah elemen akan meningkatkan gain.
2.
Electronic beam scanning. Dengan menggunakan phase shifter pada tiap
elemen array, maka beam dapat digeser tanpa pergerakan mekanis.
3.
Side lobe yang lebih kecil. Jika desired signal ditangkap oleh main lobe
sedangkan sinyal interferensi ditangkap oleh side lobe, maka pengecilan
side lobe secara relatif terhadap main lobe akan meningkatkan signal to
interference ratio (SIR).
4.
Multiple beams. Pencatuan pada array memungkinkan multiple main beam
secara bersamaan.
5.
Adaptive nulling.
Sistem adaptive array meningkatkan penerimaan desired signal dalam
komunikasi radar, sonar, seismik dan komunikasi wireless. Sistem ini secara
otomatis dapat mendeteksi sinyal penganggu dan menekannya sehingga secara
simultan meningkatkan penerimaan sinyal [3].
2.8
Alasan Penggunaan Smart Antenna
Masalah yang dihadapi para penyedia jasa telekomunikasi menyebabkan
smart antenna sangat dibutuhkan. Adapun masalah tersebut, antara lain [1]:
16
Universitas Sumatera Utara
1.
Terbatasnya spektrum yang tersedia menyebabkan keterbatasan kapasitas.
2.
Lingkungan propagasi gelombang radio dan mobilitas dari user
meningkatkan fading dan delay.
3.
Terbatasnya umur perangkat mobile.
Sebagai tambahan, sistem komunikasi wireless dan seluler harus bisa
mengatasi interferensi yang diakibatkan oleh frequency reuse. Adapun penyebab
penurunan kualitas sistem komunikasi ditunjukkan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Penyebab penurunan kualitas sistem komunikasi
Adapun penyebab penurunan kualitas suatu sistem komunikasi disebabkan
oleh dua hal. Yang pertama adalah multipath fading, yang disebabkan oleh banyak
nya lintasan yang ditempuh oleh sinyal yang dipancarkan untuk mencapai antena
penerima, sehingga sinyal yang diterima oleh antena penerima akan melemah [1].
Penyebab yang kedua adalah delay spread yang diartikan sebagai
penundaan atau keterlambatan penerimaan sinyal pada receiver akibat multipath.
Ketika lebarnya penundaan melebihi kira-kira 10 persen dari durasi simbol,
gangguan intersimbol yang signifikan dapat terjadi, sehingga membatasi kecepatan
17
Universitas Sumatera Utara
data maksimum. Kelemahan yang ketiga adalah co-channel interference. Sistem
selular membagi kanal-kanal frekuensi yang tersedia kedalam kumpulan-kumpulan
kanal, menggunakan satu kumpulan kanal tiap sel, dengan penggunaan ulang
frekuensi. Inilah yang menyebabkan co-channel interference. Untuk level
gangguan co-channel yang ditentukan, kapasitas dapat dinaikkan dengan
menyusutkan ukuran sel, tetapi dengan penambahan base station [1].
2.9
Propagasi Sinyal
Sampai saat ini, masalah kapasitas selalu dikaitkan dengan co-channel
interference dan keterbatasan kanal akibat pertambahan jumlah user [4]. Selain itu,
multipath fading dan delay spread juga berperan dalam pengurangan kapasitas
sistem. Karena kemampuan smart antenna untuk beradaptasi dengan lingkungan,
maka delay spread dan multipath fading dapat berkurang sehingga meningkatkan
kapasitas.
Sinyal
yang
dipancarkan
oleh
perangkat
mobile
user
bersifat
omnidirectional. Akibatnya, sinyal dapat terpantul oleh benda-benda seperti
gedung sehingga akan menyebabkan multiple delay di sisi penerima. Multiple delay
ini tidak sesuai dalam fasa karena perbedaan panjang lintasan yang diukur dari letak
base station. Hal ini disebut sebagai multipath fading yang ditunjukkan pada
Gambar 2.12 [4].
Salah satu jenis fading adalah Rayleigh fading atau fast fading. Fading dapat
berubah seiring waktu dan menyebabkan timbulnya fade zone. Gambar 2.13
menunjukkan fade zone yang terdapat dalam multipath environment [4]. Bagian
yang lebih terang menunjukkan fade zone dalam lingkungan propagasi sinyal.
18
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.12 Multipath environment
Gambar 2.13 Fade zone
Fade zone biasanya kecil dan selalu berubah setiap saat selama sinyal yang
diterima mengalami atenuasi (pelemahan) akibat perpindahan dari user . Area yang
lebih terang menunjukkan fade zone dalam multipath environment.
2.10
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Smart Antenna
Adapun kelebihan dari sistem smart antenna adalah sebagai berikut [4]:
1.
Meningkatkan coverage
19
Universitas Sumatera Utara
Dengan memfokuskan radiasi, maka cakupan dari base station akan
semakin jauh. Sistem switched beam dapat meningkatkan cakupan base
station sampai 200 persen, tergantung pada kondisi lingkungan dan
perangkat yang digunakan.
2.
Pengurangan interferensi co-channel
Smart antenna memiliki kemampuan agar dapat fokus memancarkan energi
dalam bentuk pola radiasi hanya ke arah yang diinginkan pengguna dan
memiliki pola radiasi nulls ke arah yang tidak diinginkan. Oleh karena itu
interferensi co-channel dapat diabaikan.
3.
Peningkatan kapasitas.
Secara umum, smart antenna akan meningkatkan level daya sinyal dan
mengurangi interferensi, sehingga meningkatkan SIR (signal to interference
ratio).
4.
Tingkat keamanan yang tinggi.
Smart antenna membuat penyusup sult untuk mendapatkan koneksi karena
harus diposisikan dalam arah yang sama seperti yang terlihat oleh base
station.
5.
Kompatibilitas
Teknologi smart antenna dapat diterapkan pada berbagai teknik multiple
access seperti pada SDMA (space division multiple access). Hal ini hampir
sesuai dengan semua metode modulasi dan bandwidth atau pita frekuensi.
Selain memiliki kelebihan, smart antenna juga mempunyai kekurangan.
Adapun kekurangan dari penggunaan smart antenna , yaitu karena adaptive array
system menggunakan algoritma adaptive beamforming yang kompleks, maka base
20
Universitas Sumatera Utara
station harus dilengkapi dengan teknologi pengolahan sinyal digital yang canggih.
Hal ini tentunya akan meningkatkan biaya.
2.11
Beamforming
Antenna array yang mengarahkan sorotan ke arah yang diinginkan dengan
cara menggeser fasa tiap elemen disebut juga sebagai phased array antenna [4].
Pola sorotan akan digeser oleh phase shifter dan biasanya digunakan pada berbagai
frekuensi gelombang radio. Metode ini disebut juga electronic beamsteering karena
adanya pergeseran fasa pada tiap elemen antena.
Phase array antenna modern sering disebut juga sebagai smart antena
dimana arah pancarannya dibentuk sesuai dengan arah yang diinginkan. Smart
antena disebut juga sebagai digital beamformed (DBF). Karena menggunakan
teknologi ini menggunakan pengolahan sinyal digital, maka proses pembentukan
beam disebut juga sebagai digital beamforming.
Pola radiasi dari antena ini akan dikendalikan oleh berbagai algoritma
pengolahan sinyal tergantung kepada kriteria yang diinginkan. Adapun kriteria
tersebut antara lain:
1.
Maximizing signal to interference ratio (SIR).
SIR merupakan perbandingan antara sinyal yang diterima dengan sinyal
interferensi. Semakin besar sinyal yang diterima, maka SIR akan semakin besar dan
sebaliknya.
2.
Minimizing mean square error (MSE)
Salah satu cara ntuk mengoptimasi array weight adalah dengan memperkecil
nilai MSE antara array output dengan sinyal yang diterma. Dengan cara ini, pola
21
Universitas Sumatera Utara
sorotan dapat diatur ke arah null dari sinyal interfereni sehingga akan meningkatkan
perbandingan level sinyal terhadap interferensi.
Ada dua jenis beamforming, yaitu analog beamforming dan digital
beamforming. Adapun keuntungan digital beamforming dibandingkan analog
beamforming, yaitu pergeseran fasa antar elemen dan bobot array dapat dilakukan
secara cepat dibandingkan analog beamforming. Adapun konfigurasi analog
beamforming dan digital beamforming ditunjukkan pada Gambar 2.14 [4].
Gambar 2.14 Konfigurasi beamforming : (a) analog beamforming
(b) digital beamforming
2.12
Adaptive Beamforming
Adaptive beamforming adalah proses pembentukan pola sorotan adaptif
dengan menggunakan algoritma pengolahan sinyal digital. Adaptive beamforming
merupakan teknik yang memanfaatkan array dari antena untuk mencapai
penerimaan maksimum pada arah tertentu dengan memperkirakan kedatangan
sinyal pada arah yang diinginkan dan menolak sinyal dari arah yang lain [5]. Hal
ini dapat dicapai dengan melakukan variasi pada bobot dari sensor yang ada pada
array.
22
Universitas Sumatera Utara
Adaptive beamforming dapat dilakukan dengan menggeser fasa dari tiap
elemn array sehingga sinyal yang dikirimkan atau diterima dari tiap elemen akan
berbeda fasa dalam arah yang berbeda. Fasa antar elemen (interelement phase) dan
amplitudo diatur untuk mengoptimalkan penerimaan sinyal [5].
Dalam beamforming adaptif, berat optimum secara iterasi dihitung dengan
algoritma yang kompleks dengan kriteria yang berbeda. Ada dua tipe algoritma
yang digunakan untuk adaptive beamforming, yaitu [6]:
1.
Non-blind adaptive algorithm, yaitu algoritma yang menggunakan sinyal
referensi untuk memodifikasi bobot array secara iteratif. Adapun contoh
algoritma ini, yaitu algoritma Least Mean Square (LMS).
2.
Blind adaptive algorithm, yaitu algoritma yang tidak memerlukan sinyal
referensi untuk memodifikasi bobot array. Adapun contoh algoritma ini,
yaitu Constant Modulus Algorithm (CMA).
2.12.1 Non- Blind Adaptive Algorithm
Non-blind adaptive algorithms adalah algoritma yang menggunakan sinyal
referensi (desired signal) untuk memodifikasi bobot array secara iterasi. Non-blind
adaptive algorithm memerlukan training sequence dari desired signal d(k) untuk
mengekstrak informasi dari desired user dari lingkungan sekitar. Adapun contoh
non-blind adaptive algorithm adalah algoritma LMS.
Algoritma Least Mean Square diperkenalkan oleh Widrow dan Hoff pada
tahun 1959. Algoritma LMS menggunakan perkiraan gradient vector dari data yang
ada. Berbeda dengan algoritma lainnya, algoritma LMS relatif sederhana dan tidak
membutuhkan perhitungan fungsi korelasi. Misalkan Uniform Linear Array (ULA)
dengan N elemen isotropis, maka bagian integral dari sistem adaptive beamforming
23
Universitas Sumatera Utara
ini ditunjukkan oleh Gambar 2.15 [5]. Adapun output array antena y(t) diberikan
oleh Persamaan 2.6 [5].
=
� Ѳ
+ ∑=
� Ѳ +
(2.6)
Gambar 2.15 Sistem adaptive beamforming algoritma LMS
S(t) menunjukkan kedatangan sinyal yang diinginkan pada sudut Ѳ dan
menunjukkan sinyal intererensi dengan sudut datang sebesar Ѳ secara
berturut. � Ѳ
dan � Ѳ
menunjukkan steering vector untuk sinyal yang
diinginkan dan sinyal interferensi. Besar weight vector diberikan oleh Persaman 2.7
[5].
+
dengan
=
+
[−∇
adalah parameter step-size dimana
eigenvalue dari matriks korelasi R dan
{
DASAR TEORI
2.1
Pengertian Smart Antenna
Smart antenna merupakan susunan dari beberapa elemen antena yang
menggunakan pengolahan sinyal digital untuk mengoptimasi radiasi atau pola
penerimaan secara adaptif dan otomatis [1]. Sistem seperti ini memungkinkan
antena dapat mengubah pola radiasi atau penerimaan sesuai dengan tujuan sehingga
meningkatkan kinerja sistem komunikasi wireless. Istilah smart antenna umumnya
mengacu kepada antenna array yang dikombinasikan dengan pengolahan sinyal
yang canggih, yang mana desain fisiknya dapat dimodifikasi dengan menambahkan
beberapa elemen. Tujuan utama penggunaan teknologi pengolahan sinyal digital
pada sistem smart antenna adalah untuk menentukan arah kedatangan sinyal serta
besar weight untuk mengarahkan radiasi antena ke arah signal of interest (SOI) dan
null ke arah signal not interest (SNOI) [1].
Ide utama dari pengembangan smart antenna adalah memaksimumkan gain
antena ke arah yang diinginkan dan pada saat yang sama membuat pola radiasi
minimum ke arah sinyal yang mengganggu [1]. Adapun konfigurasi sistem smart
antenna secara umum ditunjukkan oleh Gambar 2.1.
Karena smart antenna dapat memfokuskan pancaran ke user yang
diinginkan sementara interferensi dari sinyal yang tidak diinginkan ditolak, maka
cakupan dari base station akan meningkat. Sistem smart antenna dibagi menjadi
dua, yaitu switched beam system dan adaptive array system [1].
5
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Konfigurasi sistem smart antenna
2.2
Klasifikasi Smart Antenna
Secara umum, sistem smart antenna dibagi menjadi dua yaitu switched
beam system dan adaptive array system. Pada dasarnya, kedua jenis sistem smart
antenna ini menggunakan prinsip yang sama dalam meningkatkan kualitas dan
kinerja dari sistem yaitu dengan meningkatkan gain sampai level maksimum ke
arah dimana posisi pengguna berbeda sehingga meningkatkan level daya sinyal
terhadap interferensi. Berikut uraian beberapa jenis smart antenna [1].
2.2.1
Switch Beam System
Switched beam system merupakan tipe smart antenna yang paling
sederhana. Switched beam system merupakan sistem yang menggunakan teknik
yang paling sederhana dimana sistem ini hanya menggunakan fungsi dasar
penyambungan antara beberapa antena direksional atau beberapa pola sorotan yang
dihasilkan antena array. Sistem ini akan menyeleksi atau memilih salah satu beam
atau pancaran yang memiliki daya keluaran yang paling besar [1]. Daripada
membentuk pola radiasi yang direksional, switched beam system menggabungkan
6
Universitas Sumatera Utara
output dari beberapa antena dengan tujuan untuk membentuk lebar sorotan yang
sempit (direksional).
Tujuan utama penggunaan switched beam system adalah untuk
meningkatkan gain tergantung kepada lokasi dari user . Karena pancaran yang tetap,
user yang diinginkan mungkin tidak berada dalam cakupan dari pancaran utama
sehingga apabila terdapat sinyal pengganggu di sekitar main beam, maka desired
signal yang diterima oleh user lebih kecil dibandingkan dengan sinyal interferensi.
Switched beam system terdiri dari beberapa pancaran tetap dengan arah yang
belum ditentukan, dimana pancaran yang akan dipilih adalah yang menerima sinyal
dengan kualitas yang paling baik dari pengguna. Pancaran yang dihasilkan
mempunyai lebar main lobe yang sempit dan side lobe yang kecil sehingga sinyal
yang datang dari arah selain dari arah yang diinginkan akan diredam. Penggunaan
lebar main lobe yang sempit akan mereduksi jumlah sumber interferensi yang
tertangkap oleh pola radiasi antena. Pola radiasi switched beam system ditunjukkan
oleh Gambar 2.2 [1].
Gambar 2.2 Pola radiasi switched beam system
7
Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Adaptive Array System
Teknologi adaptive array system menggunakan berbagai algoritma
pengolahan sinyal untuk membedakan sinyal pengguna dengan sinyal interferensi
berdasarkan arah kedatangan dari sinyal-sinyal tersebut. Sistem ini akan secara
adaptif beradaptasi dengan lingkungan dimana sinyal berada. Berbeda dengan
switched beam system, adaptive array system akan menghasilkan pola pancaran
yang tidak tetap dimana pancaran yang dihasilkan dapat diarahkan sesuai dengan
arah yang diinginkan [1].
Dengan menggunakan algoritma pengolahan sinyal digital (digital signal
processing), adaptive array system mampu secara efektif menemukan dan melacak
berbagai jenis sinyal secara cepat untuk mengurangi interferensi dan
memaksimalkan penerimaan sinyal. Pola radiasi dari adaptive array system
ditunjukkan oleh Gambar 2.3 [1].
Gambar 2.3 Pola radiasi adaptive array system
Karena kemampuannya untuk mengarahkan pancaran ke arah yang
diinginkan serta menolak sinyal interferensi, kinerja adaptive array system lebih
baik dibanding switched beam system. Adapun perbandingan coverage relatif dari
switched beam system, adaptive array system dan conventional sectoring
ditunjukkan pada Gambar 2.4 [1].
8
Universitas Sumatera Utara
Adaptive array system lebih rumit jika dibandingkan dengan switched beam
system karena sistem ini menggunakan algoritma adaptive beamforming yang
kompleks untuk menentukan arah kedatangan sinyal dengan cepat. Akan tetapi
sistem ini membutuhkan lebih banyak biaya dibandingkan dengan switched beam
system [1].
Gambar 2.4 Perbandingan coverage relatif dari sistem switched beam,
adaptive array dan conventional sectoring
2.3
Cara Kerja Smart Antenna
Smart antenna bekerja seperti berikut. Asumsikan bahwa ada seorang
pengguna mengirimkan sebuah sinyal ke base station. Kemudian masing-masing
elemen dari susunan smart antenna pada base station akan menerima sinyal
tersebut tetapi pada waktu yang berbeda dikarenakan jarak antara pengguna dan
masing-masing elemen dari susunan berbeda yang satu dengan yang lain. Dengan
menggunakan waktu tunda dan jarak antara elemen-elemen antena, lokasi dari
pengguna tersebut dapat diperhitungkan [3]. Oleh karena itu, pengirim dapat
mengirim sebuah sinyal ke lokasi yang tepat dari pengguna itu. Strategi ini dapat
diaplikasikan untuk sistem dengan banyak pengguna juga. Sebuah penerima smart
antenna dapat menekan interferensi dengan menggunakan strategi ini.
9
Universitas Sumatera Utara
Smart antenna mampu mengolah sinyal-sinyal yang diterima oleh susunan
antena atau yang dipancarkan oleh susunan antena dengan menggunakan susunan
algoritma-algoritma yang sesuai untuk meningkatkan performa sistem wireless.
Sebuah susunan antena terdiri dari seperangkat elemen-elemen antena terdistribusi
(dipole, monopole, atau elemen-elemen antena directional) yang diatur dalam
ukuran tertentu (linear , circular , atau rectangular grid) dimana jarak antara
elemen-elemen dapat berbeda-beda. Sinyal-sinyal yang dikumpulkan oleh elemenelemen individu digabungkan secara koheren yang meningkatkan kekuatan sinyal
yang diinginkan dan mengurangi interferensi dari sinyal-sinyal yang lain. Sebab itu,
sebuah smart antenna dapat dipandang sebagai kombinasi dari elemen-elemen
antena regular atau conventional yang sinyal-sinyal pancar atau terimanya diproses
menggunakan algoritma-algoritma adaptive beamforming [2].
.
Gambar 2.5 Diagram blok implementasi smart antenna
Gambar 2.5 menunjukkan sebuah implementasi umum dari sistem smart
antenna . Seperti yang ditunjukkan pada gambar, susunan-susunan antena memiliki
input (masukan) atau output (keluaran) sebagai sinyal-sinyal RF dalam domain
analog. Sinyal-sinyal ini dilewatkan ke/dari front end analog Radio Frequency (RF)
yang biasanya terdiri dari pengeras bunyi (suara) yang rendah, mixer (penggabung),
dan penyaring analog. Pada mode menerima, sinyal-sinyal RF diubah ke domain
digital dengan menggunakan Analog to Dogital Converters (ADCs) dan dalam
10
Universitas Sumatera Utara
mode memancarkan, sinyal-sinyal digital baseband diubah ke RF dengan
menggunakan Digital to Analog Converters (DACs). Perubahan ke bawah dari RF
ke baseband atau perubahan ke atas dari baseband ke RF dapat melibatkan
penggunaan sinyal-sinyal IF. Sinyal-sinyal baseband yang diterima dari masingmasing antena kemudian digabungkan menggunakan algoritma-algoritma smart
pada bagian pengolahan digital. Karena itu, masing-masing elemen antena
mempunyai sebuah rantai RF mulai dari elemen antena ke front end RF ke konversi
digital untuk penerima dan sebaliknya untuk pengirim. Bagian pengolahan digital
dapat diimplementasikan pada sebuah mikroprosesor atau sebuah DSP (Digital
Signal Processor ) atau FPGA (Field Programmable Gate Array). Oleh karena itu,
implementasi algoritma smart biasanya adalah sebuah kode perangkat lunak
(software) jika tidak diimplementasikan dalam sebuah ASIC (Application Specific
Integrated Circuit) atau FPGA.
2.4
Antenna Array
Salah satu cara untuk meningkatkan direktivitas antena adalah dengan
memperbesar ukuran fisik antena. Adapun cara lainya adalah yaitu dengan
mengubah konfigurasi antena tanpa memperbesar ukurannya. Dalam beberapa
penggunaan sangat penting untuk mendesain sebuah antena dengan direktivitas
yang baik (gain yang tinggi) untuk kebutuhan telekomunikasi jarak jauh. Salah satu
cara efektif untuk membentuk elemen peradiasi secara geometris dan rangkaian
listrik tanpa memperbesar ukuran masing-masing elemen yaitu dengan
menggunakan antenna array. Susunan dari beberapa elemen antena disebut sebagai
antenna array [3].
11
Universitas Sumatera Utara
Adapun tujuan membuat susunan antena, yaitu untuk mendapatkan diagram
arah dengan pola tertentu (beamforming) dan mendapatkan diagram arah dengan
pengendalian arah tertentu (beamsteering). Adapun konfigurasi dari sebuah antena
array linier sepanjang sumbu x ditunjukkan oleh Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Antena array linier
Medan listrik total dari sebuah array ditentukan oleh penjumlahan vektor
medan listrik dari masing-masing elemen sesuai Persamaan 2.1 [3].
=
+
= �̅� ƞ
�
4�
{
− [ � − �⁄ ]
�
+
− [ � + �⁄ ]
�
}
(2.1)
dimana � adalah beda fasa antar elemen. Medan listrik sebuah antenna
array dapat berbentuk 2 dimensi atau 3 dimensi. Untuk array yang sama, ada
beberapa degrees of freedom yang dapat digunakan untuk membentuk pola sorotan
sebuah antena, yaitu [3] :
1.
Konfigurasi array secara geometris (linear , circular , planar dan spherical).
2.
Amplitude excitation dari tiap elemen.
3.
Phase excitation dari tiap elemen.
4.
Pancaran relatif dari tiap elemen.
12
Universitas Sumatera Utara
2.5
Linear Array
Linear array merupakan konfigurasi antena susun (array) yang paling
sederhana. Adapun contoh linear array yaitu dua elemen array dan N-elemen
linear array. Berikut uraian beberapa jenis linear array.
2.5.1
Dua Elemen Array
Adapun bentuk antena array yang paling mudah untuk dianalisis yaitu
antena array dengan dua elemen array. Gambar 2.7 menunjukkan antena dipole
yang disusun secara vertikal sepanjang sumbu y dengan jarak sebesar d [3].
Gambar 2.7 Dua elemen array
Field point terletak pada jarak r dari titik awal (origin) dimana
≫ .
Misalkan vektor r, r1, dan r2 paralel antara satu sama lainnya yang diberikan oleh
Persamaan 2.2 dan Persamaan 2.3. Maka, persamaan untuk medan listrik total
diberikan oleh Persamaan 2.4 [3].
≈
dimana :
=
ƞ�
4�
−
�
≈
+
−
sin � .
sin �
sin �
cos
(2.2)
(2.3)
sin �+ �
(2.4)
13
Universitas Sumatera Utara
� = beda fasa antar dua elemen yang berdekatan
L = panjang antena
� = sudut yang diukur dari sumbu z pada spherical coordinates
d = jarak antar elemen
2.5.2
N – Elemen Linear Array
Adapun contoh linear array yang paling umum yaitu linear array dengan
N elemen array. Misalkan tiap elemen mempunyai jarak antar elemen yang sama
dan amplituda yang sama. Gambar 2.8 menunjukkan N – elemen linear array yang
terdiri atas beberapa elemen isotropis [3].
Gambar 2.8 N – elemen linear array
Misalkan pada kondisi medan jauh dimana
ditentukan dengan menggunakan Persamaan 2.5 [3].
� =
+
sin �+ �
+
sin �+ �
≫ , maka array factor dapat
+ ⋯..+
−
sin �+ �
(2.5)
dimana � adalah beda fasa antar elemen. Karena elemen isotropis mempunyai
amplituda yang tetap, maka setiap perilaku dari array ditentukan oleh beda fasa
antar elemen. Beda fasa tersebut sebanding dengan jarak antar elemen dalam
panjang gelombang.
14
Universitas Sumatera Utara
2.6
Circular Array dan Planar Array
Adapun contoh konfigurasi antena array lainnya yang dapat digunakan
untuk membentuk pola sorotan antena yaitu uniform circular dan uniform planar
circular array. Gambar 2.9 menunjukkan konfigurasi uniform circular array dan
Gambar 2.10 menunjukkan konfigurasi uniform planar circular array [3].
Gambar 2.9 Uniform circular array
Gambar 2.10 Uniform planar circular array
15
Universitas Sumatera Utara
2.7
Konsep Adaptive Array
Adaptive array telah menjadi solusi terbaik untuk beberapa masalah
penerimaan yang umumnya melibatkan deteksi sinyal dan estimasi kedatangan
sinyal. Alasan yang mendasari adalah konsep ini menawarkan direktivitas dan
pembatasan sensitivitas, serta gain yang besar dan beamwidth yang lebih sempit.
Adapun beberapa keuntungan dari penggunaan adaptive array, antara lain [3]:
1.
Gain yang tinggi. Penambahan jumlah elemen akan meningkatkan gain.
2.
Electronic beam scanning. Dengan menggunakan phase shifter pada tiap
elemen array, maka beam dapat digeser tanpa pergerakan mekanis.
3.
Side lobe yang lebih kecil. Jika desired signal ditangkap oleh main lobe
sedangkan sinyal interferensi ditangkap oleh side lobe, maka pengecilan
side lobe secara relatif terhadap main lobe akan meningkatkan signal to
interference ratio (SIR).
4.
Multiple beams. Pencatuan pada array memungkinkan multiple main beam
secara bersamaan.
5.
Adaptive nulling.
Sistem adaptive array meningkatkan penerimaan desired signal dalam
komunikasi radar, sonar, seismik dan komunikasi wireless. Sistem ini secara
otomatis dapat mendeteksi sinyal penganggu dan menekannya sehingga secara
simultan meningkatkan penerimaan sinyal [3].
2.8
Alasan Penggunaan Smart Antenna
Masalah yang dihadapi para penyedia jasa telekomunikasi menyebabkan
smart antenna sangat dibutuhkan. Adapun masalah tersebut, antara lain [1]:
16
Universitas Sumatera Utara
1.
Terbatasnya spektrum yang tersedia menyebabkan keterbatasan kapasitas.
2.
Lingkungan propagasi gelombang radio dan mobilitas dari user
meningkatkan fading dan delay.
3.
Terbatasnya umur perangkat mobile.
Sebagai tambahan, sistem komunikasi wireless dan seluler harus bisa
mengatasi interferensi yang diakibatkan oleh frequency reuse. Adapun penyebab
penurunan kualitas sistem komunikasi ditunjukkan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Penyebab penurunan kualitas sistem komunikasi
Adapun penyebab penurunan kualitas suatu sistem komunikasi disebabkan
oleh dua hal. Yang pertama adalah multipath fading, yang disebabkan oleh banyak
nya lintasan yang ditempuh oleh sinyal yang dipancarkan untuk mencapai antena
penerima, sehingga sinyal yang diterima oleh antena penerima akan melemah [1].
Penyebab yang kedua adalah delay spread yang diartikan sebagai
penundaan atau keterlambatan penerimaan sinyal pada receiver akibat multipath.
Ketika lebarnya penundaan melebihi kira-kira 10 persen dari durasi simbol,
gangguan intersimbol yang signifikan dapat terjadi, sehingga membatasi kecepatan
17
Universitas Sumatera Utara
data maksimum. Kelemahan yang ketiga adalah co-channel interference. Sistem
selular membagi kanal-kanal frekuensi yang tersedia kedalam kumpulan-kumpulan
kanal, menggunakan satu kumpulan kanal tiap sel, dengan penggunaan ulang
frekuensi. Inilah yang menyebabkan co-channel interference. Untuk level
gangguan co-channel yang ditentukan, kapasitas dapat dinaikkan dengan
menyusutkan ukuran sel, tetapi dengan penambahan base station [1].
2.9
Propagasi Sinyal
Sampai saat ini, masalah kapasitas selalu dikaitkan dengan co-channel
interference dan keterbatasan kanal akibat pertambahan jumlah user [4]. Selain itu,
multipath fading dan delay spread juga berperan dalam pengurangan kapasitas
sistem. Karena kemampuan smart antenna untuk beradaptasi dengan lingkungan,
maka delay spread dan multipath fading dapat berkurang sehingga meningkatkan
kapasitas.
Sinyal
yang
dipancarkan
oleh
perangkat
mobile
user
bersifat
omnidirectional. Akibatnya, sinyal dapat terpantul oleh benda-benda seperti
gedung sehingga akan menyebabkan multiple delay di sisi penerima. Multiple delay
ini tidak sesuai dalam fasa karena perbedaan panjang lintasan yang diukur dari letak
base station. Hal ini disebut sebagai multipath fading yang ditunjukkan pada
Gambar 2.12 [4].
Salah satu jenis fading adalah Rayleigh fading atau fast fading. Fading dapat
berubah seiring waktu dan menyebabkan timbulnya fade zone. Gambar 2.13
menunjukkan fade zone yang terdapat dalam multipath environment [4]. Bagian
yang lebih terang menunjukkan fade zone dalam lingkungan propagasi sinyal.
18
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.12 Multipath environment
Gambar 2.13 Fade zone
Fade zone biasanya kecil dan selalu berubah setiap saat selama sinyal yang
diterima mengalami atenuasi (pelemahan) akibat perpindahan dari user . Area yang
lebih terang menunjukkan fade zone dalam multipath environment.
2.10
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Smart Antenna
Adapun kelebihan dari sistem smart antenna adalah sebagai berikut [4]:
1.
Meningkatkan coverage
19
Universitas Sumatera Utara
Dengan memfokuskan radiasi, maka cakupan dari base station akan
semakin jauh. Sistem switched beam dapat meningkatkan cakupan base
station sampai 200 persen, tergantung pada kondisi lingkungan dan
perangkat yang digunakan.
2.
Pengurangan interferensi co-channel
Smart antenna memiliki kemampuan agar dapat fokus memancarkan energi
dalam bentuk pola radiasi hanya ke arah yang diinginkan pengguna dan
memiliki pola radiasi nulls ke arah yang tidak diinginkan. Oleh karena itu
interferensi co-channel dapat diabaikan.
3.
Peningkatan kapasitas.
Secara umum, smart antenna akan meningkatkan level daya sinyal dan
mengurangi interferensi, sehingga meningkatkan SIR (signal to interference
ratio).
4.
Tingkat keamanan yang tinggi.
Smart antenna membuat penyusup sult untuk mendapatkan koneksi karena
harus diposisikan dalam arah yang sama seperti yang terlihat oleh base
station.
5.
Kompatibilitas
Teknologi smart antenna dapat diterapkan pada berbagai teknik multiple
access seperti pada SDMA (space division multiple access). Hal ini hampir
sesuai dengan semua metode modulasi dan bandwidth atau pita frekuensi.
Selain memiliki kelebihan, smart antenna juga mempunyai kekurangan.
Adapun kekurangan dari penggunaan smart antenna , yaitu karena adaptive array
system menggunakan algoritma adaptive beamforming yang kompleks, maka base
20
Universitas Sumatera Utara
station harus dilengkapi dengan teknologi pengolahan sinyal digital yang canggih.
Hal ini tentunya akan meningkatkan biaya.
2.11
Beamforming
Antenna array yang mengarahkan sorotan ke arah yang diinginkan dengan
cara menggeser fasa tiap elemen disebut juga sebagai phased array antenna [4].
Pola sorotan akan digeser oleh phase shifter dan biasanya digunakan pada berbagai
frekuensi gelombang radio. Metode ini disebut juga electronic beamsteering karena
adanya pergeseran fasa pada tiap elemen antena.
Phase array antenna modern sering disebut juga sebagai smart antena
dimana arah pancarannya dibentuk sesuai dengan arah yang diinginkan. Smart
antena disebut juga sebagai digital beamformed (DBF). Karena menggunakan
teknologi ini menggunakan pengolahan sinyal digital, maka proses pembentukan
beam disebut juga sebagai digital beamforming.
Pola radiasi dari antena ini akan dikendalikan oleh berbagai algoritma
pengolahan sinyal tergantung kepada kriteria yang diinginkan. Adapun kriteria
tersebut antara lain:
1.
Maximizing signal to interference ratio (SIR).
SIR merupakan perbandingan antara sinyal yang diterima dengan sinyal
interferensi. Semakin besar sinyal yang diterima, maka SIR akan semakin besar dan
sebaliknya.
2.
Minimizing mean square error (MSE)
Salah satu cara ntuk mengoptimasi array weight adalah dengan memperkecil
nilai MSE antara array output dengan sinyal yang diterma. Dengan cara ini, pola
21
Universitas Sumatera Utara
sorotan dapat diatur ke arah null dari sinyal interfereni sehingga akan meningkatkan
perbandingan level sinyal terhadap interferensi.
Ada dua jenis beamforming, yaitu analog beamforming dan digital
beamforming. Adapun keuntungan digital beamforming dibandingkan analog
beamforming, yaitu pergeseran fasa antar elemen dan bobot array dapat dilakukan
secara cepat dibandingkan analog beamforming. Adapun konfigurasi analog
beamforming dan digital beamforming ditunjukkan pada Gambar 2.14 [4].
Gambar 2.14 Konfigurasi beamforming : (a) analog beamforming
(b) digital beamforming
2.12
Adaptive Beamforming
Adaptive beamforming adalah proses pembentukan pola sorotan adaptif
dengan menggunakan algoritma pengolahan sinyal digital. Adaptive beamforming
merupakan teknik yang memanfaatkan array dari antena untuk mencapai
penerimaan maksimum pada arah tertentu dengan memperkirakan kedatangan
sinyal pada arah yang diinginkan dan menolak sinyal dari arah yang lain [5]. Hal
ini dapat dicapai dengan melakukan variasi pada bobot dari sensor yang ada pada
array.
22
Universitas Sumatera Utara
Adaptive beamforming dapat dilakukan dengan menggeser fasa dari tiap
elemn array sehingga sinyal yang dikirimkan atau diterima dari tiap elemen akan
berbeda fasa dalam arah yang berbeda. Fasa antar elemen (interelement phase) dan
amplitudo diatur untuk mengoptimalkan penerimaan sinyal [5].
Dalam beamforming adaptif, berat optimum secara iterasi dihitung dengan
algoritma yang kompleks dengan kriteria yang berbeda. Ada dua tipe algoritma
yang digunakan untuk adaptive beamforming, yaitu [6]:
1.
Non-blind adaptive algorithm, yaitu algoritma yang menggunakan sinyal
referensi untuk memodifikasi bobot array secara iteratif. Adapun contoh
algoritma ini, yaitu algoritma Least Mean Square (LMS).
2.
Blind adaptive algorithm, yaitu algoritma yang tidak memerlukan sinyal
referensi untuk memodifikasi bobot array. Adapun contoh algoritma ini,
yaitu Constant Modulus Algorithm (CMA).
2.12.1 Non- Blind Adaptive Algorithm
Non-blind adaptive algorithms adalah algoritma yang menggunakan sinyal
referensi (desired signal) untuk memodifikasi bobot array secara iterasi. Non-blind
adaptive algorithm memerlukan training sequence dari desired signal d(k) untuk
mengekstrak informasi dari desired user dari lingkungan sekitar. Adapun contoh
non-blind adaptive algorithm adalah algoritma LMS.
Algoritma Least Mean Square diperkenalkan oleh Widrow dan Hoff pada
tahun 1959. Algoritma LMS menggunakan perkiraan gradient vector dari data yang
ada. Berbeda dengan algoritma lainnya, algoritma LMS relatif sederhana dan tidak
membutuhkan perhitungan fungsi korelasi. Misalkan Uniform Linear Array (ULA)
dengan N elemen isotropis, maka bagian integral dari sistem adaptive beamforming
23
Universitas Sumatera Utara
ini ditunjukkan oleh Gambar 2.15 [5]. Adapun output array antena y(t) diberikan
oleh Persamaan 2.6 [5].
=
� Ѳ
+ ∑=
� Ѳ +
(2.6)
Gambar 2.15 Sistem adaptive beamforming algoritma LMS
S(t) menunjukkan kedatangan sinyal yang diinginkan pada sudut Ѳ dan
menunjukkan sinyal intererensi dengan sudut datang sebesar Ѳ secara
berturut. � Ѳ
dan � Ѳ
menunjukkan steering vector untuk sinyal yang
diinginkan dan sinyal interferensi. Besar weight vector diberikan oleh Persaman 2.7
[5].
+
dengan
=
+
[−∇
adalah parameter step-size dimana
eigenvalue dari matriks korelasi R dan
{