Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Haji Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tekanan Darah
Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan
luas dinding pembuluh. Tekanan darah dinyatakan dalam satuan millimeter air
raksa (mm Hg). Secara umum tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan
tahanan perifer total (Guyton, 2007).
Tekanan darah (TD) = Curah Jantung (CJ) x Tahanan Perifer Total (TPT)
Berdasarkan rumus di atas dapat dilihat bahwa tekanan darah akan meningkat
jika curah jantung dan tahanan perifer total meningkat (Guyton, 2007).
2.1.1 Sistem renin – angiotensin – aldosteron
Selain kemampuan ginjal untuk mengatur tekanan arteri melalui
perubahan volune cairan ekstrasel, ginjal juga memiliki mekanisme yang kuat
lainnya untuk mengatur tekanan. Mekanisme ini adalah sistem renin – angiotensin
– aldosteron (Gambar 2.1) (Guyton, 2007).

Gambar 2.1 Patogenesis hipertensi (Dipiro, et al., 2008)

7
Universitas Sumatera Utara


Renin adalah suatu enzim protein yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan
arteri turun sangat rendah. Kemudian, enzim ini meningkatkan tekanan arteri
melalui beberapa cara, untuk membantu mengoreksi penurunan awal tekanan
(Guyton, 2007).
Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk tidak aktif yang disebut
prorenin di dalam sel-sel jukstaglomerular (sel JG) di ginjal. Sel JG merupakan
modifikasi dari sel-sel otot polos yang terletak di dinding arteriol aferen, tepatnya
di proksimal glomeruli. Bila tekanan arteri turun, reaksi intrinsik di dalam ginjal
menyebabkan banyak molekul prorenin di dalam sel JG terurai dan melepaskan
renin. Sebagian besar renin memasuki aliran darah ginjal dan kemudian
meninggalkan ginjal untuk bersirkulasi ke seluruh tubuh. Walaupun demikian,
sejumlah kecil renin tetap berada dalam cairan lokal ginjal dan memicu beberapa
fungsi intrarenal (Guyton, 2007).
Renin adalah suatu enzim dan bukan bahan vasoaktif. Renin bekerja secara
enzimatik pada protein plasma lain, yaitu globulin yang disebut substrat renin
(atau angiotensinogen), untuk melepaskan peptide asam amino-10, yaitu
angiotensin I. Angiotensin I bersifat vasokonstriktor ringan dan tidak cukup
merubah fungsional dan bermakna fungsi sirkulasi. Renin menetap dalam darah
selama 30 menit sampai 1 jam dan terus membentuk angiotensin I yang lebih

banyak dalam waktu tersebut (Guyton, 2007). Beberapa detik hingga beberapa
menit setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam amino tambahan
yang dipecah dari angiotensin I untuk membentuk angiotensin II peptide asam
amino-8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi di paru-paru, dikatalis oleh

8
Universitas Sumatera Utara

suatu enzim yaitu Angiotensin Converting Enzim (ACE) yang terdapat di
endothelium pembuluh paru (Guyton, 2007).
Angiotensin II adalah vasokonstriktor poten, dan juga akan mempengaruhi
fungsi sirkulasi dengan cara lain. Walaupun begitu, angiotensin II menetap dalam
darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II dengan cepat akan
diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara bersama-sama
disebut angiotensinase. Selama angiotensin II berada dalam darah, angiotensin II
mempunyai dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan darah arteri.
Pengaruh yang pertama, yaitu vasokonstriksi pada berbagai daerah di tubuh.
Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan jauh lebih lemah di vena.
Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan tahanan perifer total, akibatnya
tekanan darah arteri meningkat. Konstriksi ringan di vena juga terjadi dan akan

meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga membantu pompa
jantung untuk melawan kenaikan tekanan. Pengaruh yang kedua yang membuat
angiotensin meningkatkan tekanan darah arteri adalah dengan menurunkan
ekskresi garam dan air oleh ginjal. Hal ini perlahan-lahan akan meningkatkan
volume cairan ekstrasel, sehingga meningkatkan tekanan darah arteri selama
berjam-jam dan hari-hari berikutnya. Efek jangka panjang ini, bekerja melalui
mekanisme volume cairan ekstrasel, bahkan lebih kuat daripada mekanisme
vasokonstriktor akut dalam meningkatkan tekanan darah arteri (Guyton, 2007).

9
Universitas Sumatera Utara

2.2 Hipertensi
2.2.1 Patofisiologi
Hipertensi merupakan penyakit heterogen dengan penyebab yang spesifik
(hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui
penyebabnya (hipertensi primer atau esensial). Kasus hipertensi sekunder kurang
dari 10% kasus, pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal
kronik atau renovascular. Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipertensi
sekunder antara lain pheochromocytoma , syndrome Cushing, hipertiroid,

hiperparatiroid, aldosteron primer, kehamilan, obstruktif sleep apnea , dan
kerusakan aorta. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah adalah
kortikosteroid, estrogen, AINS (Anti Inflamasi Non Steroid ), amfetamine,
sibutramin, siklosporin, tacrolimus, erythropoietin, dan venlafaxine. (Susalit, dkk.,
2008).
Corwin (2001) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada tiga
variabel yaitu, laju jantung (heart rate), volume sekuncup dan Total Peripheral
Resistance (TPR). Peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak

dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan denyut jantung dapat
terjadi akibat rangsangan abnormal saraf simpatis pada nodus SA. Peningkatan
laju denyut jantung kronik sering disertai hipertiroidisme, namun peningkatan laju
denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau
TPR, sehingga tidak menimbulkan hipertensi (Astawan, 2002).
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi
apabila terjadi peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan
garam dan air yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron

10
Universitas Sumatera Utara


maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan
garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan volume
diastolik akhir meningkat sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan
tekanan darah. Peningkatan preload (tahanan yang harus dihadapi saat darah
dikeluarkan dari ventrikel) biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan darah
sistolik (Astawan, 2002)
Peningkatan Total Peripheral Resistance (TPR) yang berlangsung lama
dapat terjadi pada peningkatan saraf simpatis pada arteriol, atau responsivitas
yang berlebihan dari arteriol terhadap rangsangan normal. Kedua hal tersebut
dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah.
Peningkatan Total Peripheral Resistance (TPR) membuat jantung harus
memompa secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang
lebih besar untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit.
Hal ini disebut peningkatan afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan
peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama,
maka ventrikel kiri mungkin mengalami hipertrofi (membesar), sehingga
kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat dan ventrikel harus mampu
memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang

normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan
volume sekuncup (Astawan, 2002).

11
Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Epidemiologi
Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita
memiliki tekanan darah di atas normal. Penyakit ini diperkirakan telah
menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5%, dan
prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju.
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab gangguan jantung.
Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat juga berakibat terjadinya
gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini seringkali disebut
silent killer karena tidak adanya gejala dan tanpa disadari penderita mengalami

komplikasi pada organ-organ vital. Penyakit ini memerlukan biaya pengobatan
yang tinggi dikarenakan alasan seringnya angka kunjungan ke dokter, perawatan
di rumah sakit dan penggunaan obat jangka panjang (Depkes, RI., 2006).
Data WHO (2011) dari 50% penderita hipertensi yang diketahui hanya 25% yang

mendapat pengobatan dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik. Diperkirakan
pada tahun 2025 kasus hipertensi terutama di negara berkembang akan mengalami
peningkatan sekitar 80% dari 639 juta kasus di tahun 2000, menjadi 1,15 milyar
kasus. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 melaporkan bahwa
prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun keatas di Indonesia cukup
tinggi yaitu mencapai 31,7% dimana penduduk yang mengetahui dirinya
menderita hipertensi hanya 7,2% dan yang minum obat antihipertensi hanya 0,4%.

2.2.3 Klasifikasi Hipertensi
Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) tahun

12
Universitas Sumatera Utara

2003, klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa (≥ 18 tahun) terbagi menjadi
kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2.
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa menurut JNC 7 (2003)
Klasifikasi TD


TDS (mmHg)

TDD (mmHg)

160

Rekomendasi follow-up
Cek kembali dalam 2
tahun
Cek kembali dalam 1
tahun

Keterangan:
1. TD=Tekanan Darah, TDS= Tekanan Darah Sistolik, TDD= Tekanan Darah
Diastolik.
2. Tanda * yaitu batas optimal untuk resiko penyakit kardiovaskuler. Namun,
tekanan darah yang terlalu rendah juga dapat mengakibatkan masalah jantung
dan membutuhkan bantuan dokter.
3. Tanda ** yaitu prehipertensi merupakan keadaan dimana tidak memerlukan

medikasi, namun termasuk pada kelompok beresiko tinggi untuk menjadi
hipertensi, penyakit jantung koroner dan stroke. Individu dengan prehipertensi
tidak memerlukan medikasi, tetapi dianjurkan untuk modifikasi pola hidup
sehat yang mencakup penurunan berat badan, mengurangi asupan garam,
berhenti merokok dan membatasi minum alkohol (Jeffery, 2008).

2.2.3.1 Hipertensi Esensial
Hipertensial esensial atau hipertensi primer atau ideopatik adalah
hipertensi tanpa kelainan dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus
merupakan hiperetnsi esensial. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik
dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium,

13
Universitas Sumatera Utara

kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor
resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara
lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas, dan lain-lain (Nafrialdi,
2011).
2.2.3.2 Hipertensi Sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat
Tabel 2.2). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis
atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obatobat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi
atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini
dapat dilihat pada Tabel 2.2. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi,
maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi
kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam
penanganan hipertensi sekunder.
Tabel 2.2 Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi
Obat

 Kortikosteroid, ACTH

 Estrogen (biasanya pil KB
dengan kadar estrogen tinggi)

 NSAID, cox-2 inhibitor

 Fenilpropanolamine dan


analog


Cyclosporin dan tacrolimus

 Eritropoetin
 Sibutramin
 Antidepresan (terutama
venlafaxine)
NSAID: non-steroid-anti-inflammatory-drug, ACTH: adrenokortikotropik
hormone (Depkes, RI., 2006).
Penyakit
Penyakit ginjal kronis
Hiperaldosteronisme
Penyakit renovaskular
Sindrom Cushing
Pheochromocytoma
Koarktasi aorta
Penyakit tiroid atau paratiroid

14
Universitas Sumatera Utara

2.2.4 Manifestasi Klinis
Peningkatan tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda
pada hipertensi primer. Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang
timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi primer berjalan tanpa
gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti
pada ginjal, mata, otak, dan jantung.
Gejala seperti sakit kepala, epistaksis, pusing, dan migren dapat ditemukan
sebagai gejala klinis hipertensi primer meskipun tidak jarang tanpa gejala. Pada
survei hipertensi di Indonesia, tercatat berbagai keluhan yang dihubungkan
dengan hipertensi. Pada penelitian Gani dan kawan-kawan di Sumatera Selatan,
pusing, cepat marah, dan telinga berdenging merupakan gejala yang sering
dijumpai, setelah gejala lain seperti mimisan, sukar tidur, dan sesak nafas.
Penemuan ini tidak jauh berbeda dengan laporan Harmaji dan kawan-kawan, yang
juga mendapatkan keluhan pusing, rasa berat di tengkuk, dan sukar tidur sebagai
gejala yang paling sering dijumpai pada pasien hipertensi. Rasa mudah lelah dan
cepat marah juga banyak dijumpai sedangkan mimisan jarang ditemukan.
Gejala lain yang disebabkan oleh komplikasi hipertensi seperti gangguan
penglihatan, gangguan neurologi, gagal jantung, dan gangguan fungsi ginjal tidak
jarang dijumpai. Gagal jantung dan gangguan penglihatan banyak dijumpai pada
hipertensi berat atau hipertensi maligna yang umumnya juga disertai oleh
gangguan fungsi ginjal bahkan sampai gagal ginjal. Gangguan serebral yang
disebabkan oleh hipertensi dapat berupa kejang dan gejala akibat pendarahan
pembuluh darah otak berupa kelumpuhan, gangguan kesadaran bahkan sampai

15
Universitas Sumatera Utara

koma. Timbulnya gejala tersebut merupakan petanda bahwa tekanan darah perlu
segera diturunkan (Susalit, dkk., 2001).

2.3 Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan
morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal
jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik. Penatalaksanaan
hipertensi dapat dilakukan dengan:

2.3.1 Terapi Nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien prehipertensi dan hipertensi harus
melakukan perubahan gaya hidup. Modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi
berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah
prehipertensi (Depkes, RI., 2006).
Modifikasi gaya hidup yang penting terlihat menurunkan tekanan darah adalah
mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola
makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension ) yang kaya akan kalium
dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol
sedikit saja. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril
(Depkes, RI., 2006).

16
Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Terapi Farmakologi
Menurut Joint National Committee (JNC) 7 obat-obat antihipertensi baik sendiri
atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan
hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Pilihan
terapi hipertensi dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Depkes, RI., 2006).

Modifikasi Gaya Hidup
Target tekanan darah tidak tercapai (