Peran Tokoh Agama dan Ormas Keagamaan da

Peran Tokoh Agama dan Ormas Keagamaan dalam Kasus Kekerasan Atas Nama Agama

Iji Jaelani, Program Studi Religious Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
Email: ijijaelani14@gmail.com
Abstrak
Kekerasan atas nama agama di Indonesia akhir akhir ini sangat mengkhawatirkan, baik
dari segi kualitas maupun kuantitasnya. para tokoh agama adalah bagian dari entitas
sosial yang keberadaannya sangat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan. Akan
tetapi tokoh agama dan lembaga keagamaan dapat bermuka dua, menjadi pembendung
konflik dan pencipta konflik keagamaan dan kekerasan itu sendiri. Studi kasus hal ini
adalah pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Kota

Bandung pada 12 Desember 2016. Penelitian ini menggunakan teori konflik
untuk mengkaji akar masalah dan motif kekerasan atas nama agama. Dari
penelitian ini, diketahui bahwa Pembubaran acara Kebaktian Kebangunan
Rohani (KKR) oleh kelompok Pembela Alus Sunnah (PAS) di Sabuga, Bandung,
pada 6 Desember 2016 merupakan kekerasan atas nama agama yang dilakukan
oleh tokoh agama dan organisasi keagamaan. Kekerasan tersebut bersipat
kultural dan tidak langsung. Solusi yang dilakukan adalah melakukan mediasi,
penegasan regulasi, beserta dialog intensif sesama ormas keagamaan.

Kata Kunci: kekerasan atas nama agama, pembubaran KKR

A. Pendahuluan
Kekerasan atas nama agama di Indonesia akhir akhir ini sangat mengkhawatirkan, baik
dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Khususnya Jawa Barat, dalam 5 tahun terakhir
kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat terbilang buruk. Dalam laopran Wahid
Institut Februari 2017, dari 294 pelanggaran sepanjang 2017, 28 di antaranya di Jawa Barat.
Begitu pula laporan komnasa HAM pada Januari 2017 menyatakan bahwa terdapat 21
pengaduan di Jawa Barat dari 97 total pengaduan kebebasan beragama.1 Menurut Subhi Azhari,
tingginya pelanggaran di Jawa Barat dikarenakan 2 faktor, yakni banyaknyya kelompok intoleran
di Jawa Barat dan kemungkinan ada kecenderungan segregasi sosial di kota besar antara
Bandung dan Jakarta.2
1

Laporan Yenny Wahid, direktur Wahid Institute atas survei kemerdekaan beragama dan berkeyakinan (KBB)
tahun 2016, di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP Universitas Indonesia, Kota Depok, Kamis 16 Februari 2017.
Lengkapnya di situs babe.news, https://babe.news/amp/read/11101234/praktik-kebebasan-beragama-di-jabar-burukakibat-perkembangan-kelompok-intoleran/, diakses pada 31 Mei 2017 pukul 16.00 wib
2
Laporan ini diambil dari situs Indonesian Conference on Religion and Peace. Berita lengkap bisa diakses di
http://icrp-online.org/2014/12/30/jawa-barat-pertahankan-posisi-wahid-intoleransi-se-indonesia/, diakses pada 31


Situasi ini sangat ironi, praktik kekerasan atas nama agama justeru dilakukan oleh tokoh
agama dan ormas keagamaan. Misalnya, kasus penyerangan ahmadiyah di Cikeusik, Banten pada
2011, penyerangan ahmadiyah di Manislor, Kuningan 2007, sengketa GKI Yasmin dan HKBP
Philadelpia di Bekasi.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, para tokoh agama adalah bagian dari
entitas sosial yang keberadaannya sangat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan. Bahkan
peranan mereka dari sudut fungsi budayanya adalah sebagai makelar budaya dalam bahasa gus
dur atau ‘cultural brokers’ dalam bahasa Clifford Geertz.3 Dalam fungsi ini peran tokoh agama
adalah untuk membendung dampak negatif dari arus budaya luar yang masuk ke dalam
kehidupan masyarakat.
Sama halnya dengan peran mereka sebagai pengendali budaya, para tokoh agama juga
memiliki peran penting dalam mempererat hubungan sosial dan juga kekuatan untuk
mengendalikan proses dan siklus terjadinya konflik di

masyarakat. Namun kekuatan

pengendali konflik itu terkadang dapat bermuka dua, di mana pada satu sisi, kekuatan yang
dimiliki tokoh agama tersebut dapat menjadi peluang besar untuk dapat menghentikan siklussiklus konflik atau pada sisi yang lain justru malah menjadi alat yang membidani lahirnya
konflik dan kekerasan. Selain itu, kekuatan tersebut juga dapat merubah arah konflik yang

telah terjadi di masyarakat sehingga konflik dapat menjadi semakin keras dan berkembang ke
arah konflik fisik yang berupa penyerangan, perusakan, pembakaran atau menjadi semakin
mereda dan pada akhirnya dapat diselesaikan.
Kekuatan utama tokoh agama terletak pada kewibawaan moralnya yang memiliki
implikasi terhadap peran sosial dalam kehidupan. Secara politis, kewibawaan tokoh agama yang
sangat kuat dapat melahirkan kekuasaan ideologis bagi dirinya, yakni kekuasaan yang diperoleh
para tokoh agama melalui idea atau gagasan, yang kemudian menjelma menjadi kharisma yang
dapat melahirkan kepatuhan luar biasa bagi masyarakatnya, oleh karenanya kekuatan tokoh
agama dapat melahirkan dominasi terhadap struktur sosial dan hegemoni terhadap struktur
kebragamaan formal dan spiritual masyarakatnya.
Dengan hegemoni ini, para tokoh agama dapat memperbesar atau mengecilkan konflik

Mei 2017 pukul 16.15 wib
3
Pradjarta Dirdjosantjoto, Memelihara umat; Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa . Yogyakarta : LkiS, 1999, hlm.
23.

yang ada di masyarakat sesuai dengan ide dan gagasan yang sampaikannya kepada masyarakat,
sehingga fatwa mati bagi orang yang tidak sejalan dengan pemikiran tokoh agama dan klaim
memperoleh kebenaran tunggal dan angin surgawi bagi seseorang yang perbuatan dan prilakunya

sesuai dengan yang diiginkan tokoh agama adalah satu hal yang berjalan di banyak kasus-kasus
konflik dan kekerasan yang bernuansa agama.
Untuk memahami hubungan antara peran tokoh agama dan ormas keagamaan dalam kasus
kekerasan atas nama agama, penulis melakukan penelitian kasus pembubaran acara Kebaktian
Kebangunan Rohani (KKR) di Gedung Sabuga, Jalan Tamansari Kota Bandung pada 12
Desember 2016. Acara ini dibubarkan massa yang mengatasnamakan Pembela Ahlu Sunnah
(PAS) dengan alasan kegiatan kebaktian harus dilaksanakan di gereja bukan di tempat umum.
Landasan pembubaran KKR tersebut mengacu kepada Surat Kesepakatan Bersama (SKB)
antara Menteri Agama dengan Menteri dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006 tentang
pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan
pendirian rumah ibadah. Sementara pihak panitia penyelenggara menyatakan kegiatan tersebut
sudah dilakukan setelah menempuh semua prosedur perizinan ke pihak Kesbangpol Kota
bandung.
Adapun kronologi pembubaran kegiatan KKR di Sabuga adalah sebagai berikut.4
a. Pukul 15.32 WIB Pdt. Dr. Stephen Tong berkoordinasi dengan pejabat Kesatuan Bangsa
dan Politik (Kesbangpol) Bandung bernama Iwan dan petugas Polrestabes Bandung Ipda
Edy dan Ipda Kasmari tentang aspirasi massa PAS agar Gedung Sabuga tidak dipakai
dalam acara kebaktian. Stephen meminta waktu selama 45 menit untuk membahasnya
dengan para jemaat yang sudah terlanjur masuk gedung.
b. Pukul 16.32 WIB, Iwan (Kesbangpol Bandung) memberikan penjelasan kepada

perwakilan PAS atas permintaan Stephen Tong tersebut.
c. Pukul 17.00 WIB massa PAS yang berkumpul di jalan masuk menuju gedung Sabuga
menyampaikan akan memberikan waktu sampai pukul 18.00 agar panitia KKR
meninggalkan gedung sabuga.
d. Pukul 17.30 WIB perwakilan PAS dipimpin oleh orang bernama Roin memasuki gedung
sabuga untuk menghentikan kegiatan latihan paduan suara panitia kebaktian dan jemaat
4

www.beritasatu.com tentang kronologi pembubaran KKR di Sabuga, 6 Desember 2016 oleh kelompok Pembela
Ahlu Sunnah (PAS), http://www.beritasatu.com/nasional/403272-kronologi-pembubaran-kebaktian-kkr-natalpendeta-stephen-tong-di-bandung.html

KKR. Seluruh jemaat dan panitia KKR diminta keluar gedung karena akan diadakan
mediasi.
e. Pukul 17.45 WIB, perwakilan PAS melakukan rehat untuk salat maghrib.
f. Pukul 19.00 WIB bertempat di ruang bengkel pameran gedung Sabuga, dilakukan
audiensi antara dua wakil PAS yakni Roin dan Dani dengan Stephen, dengan mediator
Kapolrestabes Bandung dan stafnya. Hasil dari mediasi tersebut pada intinya adalah PAS
memberikan waktu 10 menit kepada Stephen untuk memberikan penjelasan kepada
seluruh jemaat yang sudah hadir, bahwa pelaksanaan KKR tak bisa dilanjutkan karena
"adanya kesalahan prosedur dalam proses kelengkapan pemberitahuan kegiatan" oleh

panitia KKR.
g. Pukul 20.00 WIB, wakil PAS kembali ke massanya untuk menyampaikan hasil mediasi.
h. Pukl 20.05 WIB Stephen memberikan penjelasan kepada seluruh jemaat bahwa adanya
penolakan dari PAS terhadap KKR karena adanya kesalahan prosedur.
i. Pukul 20.19 WIB para jemaat KKR menyanyikan lagu Malam Kudus dan menutup acara
dengan doa.
j. Pukul 20.21 WIB, jemaat KKR meninggalkan gedung Sabuga dengan tertib dan
kemudian massa PAS ikut meninggalkan gedung Sabuga.
Pembubaran kegiatan keagamaan keagamaan di Sabuga tersebut menuai banyak perhatian
masyarakat luas. Walikota bandung menyatakan dukungan agar kegiatan tersebut dilanjut karena
hak beragama dilindungi Undang-Undang. Adapun Gubernur Jawa Barat menyatakan bahwa
kegiatan pembubaran acara KKR tersebut hanya merupakan kejadian kecil yang tidak
mengganggu apa apa. Pasca pembubaran acara kebaktian, banyak netizen yang melakukan
kecaman terhadap peristiwa pembubaran tersebut dan menjadi berita nasional, menyatakan
bahwa Bandung Intoleran.
Kasus ini dipandang penting untuk diteliti karena berkaitan dengan kekerasan atas nama
agama serta melibatkan tokoh agama dan kelompok keagamaan. Penelitian ini berupaya
mendalami motif pembubaran acara KKR, hubungan tokoh agama dan lembaga keagamaan
dalam kekerasan atas nama agama, baik sebagai pengendali konflik sekaligus pencipta konflik.


B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan teori konflik, terutama

jenis konflik/ kekerasan dan sebab yang melatarbelakanginya. Pembahasan diskursus
kekerasan sendiri sudah dimulai semenjak masa filsafat klasik Yunani sampai masa
kontemporer. Meskipun demikian,
masih memberikan ruang

dinamika akademik tentang

untuk

kesejarahannya. Namun secara

terus

dikaji

sesuai


akar kekerasan

dengan

konteks

simplistik, terminologi kekerasan dimaknai sebagai

bentuk perilaku yang menciderai, melukai, merusak dan membunuh, baik secara fisik
maupun psikologis.5
konsep kekerasan menurut Johan Galtung yang dikutip Novri Susan terdiri dari
tiga

dimensi;

struktural, langsung dan kultural.

Kekerasan struktural (structural

violence ) dimaknai sebagai ketidakadilan yang diciptakan oleh suatu sistem kuasa yang


menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs).
Kekerasan langsung (direct

violence) dapat dilihat pada

kasus-kasus pemukulan

seseorang terhadap orang lainnya dan menyebabkan luka luka pada organ tubuhnya.
Sedangkan kekerasan kultural
sebagai

(cultural violence), dapat juga

dikatagorikan

penggerak dari kekerasan struktural dan langsung. Hal ini dikarenakan

karakter kultural dapat muncul pada dua dimensi kekerasan tersebut. Jenis kekerasan
ini dilihat sebagai sumber lain


dari

tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian,

ketakutan dan kecurigaan. Galtung seperti yang disadur Novri, memperjelas kekerasan
jenis ini adalah dari aspek-aspek kebudayaannya, dan ruang simbolis dari keberadaan
masyarakat, seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris
dan formal (logis, matematis) yang bisa digunakan untuk

menjustifikasi atau

melegitimasi kekerasan struktural dan langsung6
Menurut Thomas, kekerasan politik dimulai dari diri aktor. Dia menyatakan bahwa
individu/kelompok tertentu yang

melakukan

kekerasan seringakali disebabkan


situasi yang tidak menguntungkan pada dirinya, seperti ketidakadilan, ketertindasan
yang terus-menerus, sehingga memunculkan kemarahan-kemarahan dalam rangka
memberikan respons pada sumber penyebab kemarahan tersebut. Hal ini mempunyai
legitimasi melalui doktrin-doktrin t eologi/ agama untuk melakukan perlawanan dari
5

M Yusuf Wibisono, Kekerasan dan Pluralisme dalam Islam, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol
9 No. 2, Desember 2015 hlm. 191
6
Novri Susan, Sosiologi Konflik: Isu-Isu Konflik Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.
110-114, dalam M. Yusuf Wibisono, ibid.

ketertindasan sehingga kekerasan yang ditempuh merupakan bagian dari interpretasi
ketaatan beragama.
Artinya, pendekatan konflik sewaktu-waktu dapat dilakukan tergantung sebabmusabab yang mendapat

dukungan

teologis. Max

Weber

mengatakan

bahwa

pengorbanan manusia dengan harapan-harapan keduniawian didorong oleh magisme
atau religiusme. Dengan kata lain, pengorbanan yang dilakukan oleh manusia yang
mengandung unsur kekerasan itu diperintah oleh agama atau magis.7
Dalam konteks politik-kekuasaan, agama telah dimanipulasi oleh para penguasa
untuk

kepentingan

kewajiban moral jika

politik sebagai

upaya untuk

membebaskan dirinya dari

merasa eksistensinya terancam. Sehingga radikalisme dan

kekerasan telah dibingkai “agama”

sebagai ekspresi

keinginan untuk menetralisir

dosa. Ironisnya, sebagian para penganutnya tidak menyadari bahwa peristiwa kekerasan
yang “seakan-akan” atas nama agama itu ternyata demi kepentingan untuk merebut atau
mempertahankan kekuasaan politik baik individu maupun kelompok. Kadang dalam
peristiwa-peristiwa itu, doktrin agama tentang kasih sayang dan saling menghormati
perbedaan ( rahmatan lil alamīn) terabaikan begitu saja.
Idiom kekerasan dalam agama sering disebut juga dengan radikalisme agama.
Secara etimologis, radikalisme berasal
pandangan Yusuf Wibisono, seseorang

dari kata

radix, yang berarti akar.

yang bersikap

Dalam

radikal itu adalah orang yang

menghendaki perubahan terhadap situasi status quo dengan membongkar sampai ke
akar-akarnya.8 Radikalisme kemudian dimaknai sebagai suatu sikap atau keadaan yang
mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan menghancurkannya secara
totalitas, dan menggantinya dengan seseuatu yang baru, yang sama sekali berbeda.
Biasanya cara yang digunakan bersifat revolusioner, artinya menjungkirbalikkan nilainilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence ) dan aksi-aksi ekstrem lainnya.
Secara sosiologis, setiap

prilaku radikal

kerapkali dikaitkan dengan pola

perubahan sosial dalam bentuk yang lebih ekstrem dan sarat dengan konflik, termasuk
radikalisme agama yang disertai dengan berbagai perilaku kekerasan. Namun, realitas
tidak sedikit membuktikan bahwa konflik- konflik sosial lebih dikarenakan persoalan

7
8

Max Weber, Sosiologi Agama , (Alih Bahasa Muhammad Yamin), Yogyakarta: IRCiSoD, 2002.
M. Yusuf Wibisono, Op.Cit.

sharing otoritas yang tidak merata alias tidak adil. Perihal ini sependapat dengan sang

teoritis konflik modern Ralf Dahrendorf yang dikutip George Ritzer & Douglas JG (2005),
menyatakan munculnya konflik sosial sistematis di semua asosiasi

disebabkan terjadi

perbedaan pendistribusian otoritas. Arti lain, otoritas atau kekuasaan lah selama ini
yang menjadikan penentu utama konflik individu atau kelompok yang belakangan ini
marak diberbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia.9

C. Analisis Masalah
Berdasarkan penelitian terhadap berita yang membahas peristiwa tersebut, penulis
melakukan analisis model kekerasan atas nama agama, motif, serta hubungan tokoh agama
dengan kekerasan atas nama agama.

a. Analisa aktor, akar masalah, dan jenis kekerasan
Pada acara pembubaran tersebut terdapat akar masalah yang menyebabkan terjadinya
pembubaran, yakni pertama soal penggunaan fasailitas publik untuk acara keagamaan dan
miskomunikasi mengenai pemberitahuan acara kepada kesbangpol dan polrestabes. Pertama,
larangan penggunaan fasilitas publik yang dipaparkan PAS dilandaskan pada SKB menteri
agama dan menteri dalam negeri no 8 dan 9 tahun 2006 bab V mengenai izin sementara
pemanfaatan bagunan gedung sebagai rumah ibadah sementara. Adapun isi dari SKB tersebut
pasal 18 dan 19 adalah sebagai berikut.

Pasal 18
Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara
harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan
memenuhi persyaratan:
a. laik fungsi; dan
b.

pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban
masyarakat.

(2) Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada
peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.
9

George Ritzer-Douglas J. Goodman,

Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2005).

(3) Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat

beragama

serta

ketenteraman dan

ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. izin tertulis pemilik bangunan;
b. rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
c. pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan
d. pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
Pasal 19
(1) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan
rumah ibadat oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen
agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.
(2) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan
rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

Dalam klausul tersebut, pemanfaatan gedung bukan rumah ibadah untuk rumah ibadah
sementara di antaranya harus mendapat surat izin sementara dari walikota, serta pelaporan
tertulis kepada departemen agama kabupaten/ kota.
Berkaitan dengan klausul tersebut, perizinan KKR dapat dianalisa sebagai berikut.
a. PAS menyatakan kegiatan KKR adalah natalan, yakni kegiatan reguler keagamaan yang
dilaksanakan tanggal 25 Desember. Adapun KKR sendiri bukan kegiatan reguler
keagamaan dan tidak ada aturan khusus mengenainya. Dengan demikian, landasan SKB
tidak menjadi landasan hukum kegiatan keagamaan non reguler/ insidentil seperti KKR.
b. Mengacu SKB no 8 dan 9 tahun 2006 pasal 18 ayat (1) sampai ayat (3), kegiatan
keagamaan di ruang publik harus mendapat izin dari walikota/ bupati dan mendapatkan
pelaporan tertulis kepada departemen agama kabupaten/ kota. Menurut PAS, kegiatan
KKR tidak melaporkan kepada departemen agama kanwil propinsi, sedangkan menurut
Buchori, kepala kanwil Kemenag Provinsi Jawa Barat, kegiatan tersebut diadakan di
lingkup kota.10 Begitu pula Ridwan Kamil menyatakan sudah memberikan izin

10

Pernyataan Kepala Kanwil Kemenag Jawa Barat bisa dibuka di situs rappler.com tentang kronologi pembubaran
kebaktian natal sabuga bandung, http://www.rappler.com/indonesia/berita/154853-kronologi-pembubarankebaktian-natal-sabuga-bandung, diakses pada 31 Mei 2017 wib

penyelenggaraan acara tersebut.11
c. Dalam mediasi antara pihak KKR dan PAS, masalah pembubaran kegiatan terjadi karena
perizinan acara hanya untuk siang hari dari pukul 13.00-16 00, sedangkan acara masih
berlanjut hingga pukul 18.00
d. Adanya dualisme alasan pembubaran kegiatan kebaktian tersebut memberikan sikap
ambigu kelompok PAS. Dalam spanduk dan keterangan pers dinyatakan kegiatan
keagamaan sebaiknya diadakan di gereja dan tidak menggunakan fasilitas publik, di sisi
lain kesalahan panitia KKR karena miskomunikasi jadwal durasi kegiatan. Alasan
fundamental adalah kesalahan PAS, alasan teknis adalah kesalahan KKR.
e. Dengan demikian, kegiatan KKR adalah sah menurut hukum dan pembubaran acara
tersebut merupakan bagian dari sikap intoleransi beragama dan kekerasan atas nama
agama.
f. Kekerasan atas nama agama tersebut berwujud kekerasan kultural dan bersifat tidak
langsung karena menimbulkan ketakutan, kebencian, dan kecurigaan.

b. Hubungan Tokoh Agama, Kelompok Agama, dan Kekerasan atas nama Agama
Berdasarkan analisa aktor di atas, kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok
PAS adalah kekerasan yang secara sengaja terhadap kegiatan kebaktian kaum kristiani.
Kesalahan landasan pembubaran kegiatan yang mengacu pada SKB no 8 dan 9 tahun 2006
dimaknai sebagai legitimasi kekerasan atas nama agama menggunakan konsitusi meskipun tidak
valid.
Ada tiga analisa motif yang mendasari kelompok PAS melakukan pembubaran KKR.
a. Motif hukum, yakni menegakkan kerukunan antar umat beragama dengan landasan SKB.
Karena SKB tersbeut tidak sesuai peruntukannya, maka motif hukum merupakan motif
kedua yang menjadi alat legitimasi pembubaran
b. Motif sosial, yakni menjaga kerukunan. Motif ini pun mempunyai kelemahan karena tidak
ada masyarakat sekitar gasibu yang keberatan dengan kegiatan tersebut.
11

Penyataan Ridwan Kamil tersebut diunggah melalui facebook pribadinya karena dirinya berada di luar kota. 10
pernyataan Ridwan Kamil dikutip oleh pikiran-rakyat.com, hak beribadah adalah hak fundamental yang dijamin
pancasila dan UUD, menyesalkan terjadinya miskoordinasi, menyesalkan adanya intimidasi, dan membolehkan
kegiatan keagamaan di fasilitas publik selama kegiatannya insidentil. http://www.pikiran-rakyat.com/bandungraya/2016/12/07/ini-10-pernyataan-ridwan-kamil-soal-pembubaran-kkr-natal-2016-di-sabuga, diakses pada 31Mei
2016, pukul 17.00 wib

c. Motif agama, yang mendorong pembubaran kegiatan dengan nama kelompok Pembela
Ahlus Sunnah (PAS), belum mengantongi izin sebagai ormasa. Motif agama berkaitan
dengan klaim kebenaran atas nama agama. Meskipun mengalami kesalahan konstitusional
dalam melakukan tindakannya, tapi kelompoknya merubah legitimasi lain yang lebih
relevan. Motif agama yang dilakukan secara tidak langsung dalam rangka mencegah
kemunkaran, yakni indikasi pengembangan ceramah keagamaan agama lain. Dengan
membendung kegiatan ceramah agama lain di tempat publik, bisa dimaknai sebagai jihad,
yakni menegakkan agama Islam.
Kaitannya dengan peran tokoh agama sebagai pembendung konflik dari luar dan pencipta
konflik, upaya pembubaran acara KKR merupakan peran tokoh agama dan lembaga keagamaan
dalam menciptakan konflik keagamaan. Konflik berdasarkan pemahaman keagamaan ini
berkaitan dengan pemahaman kebenaran yang monolitik, tafsir yang cenderung tektual, dan
pemahaman toleransi yang kurang.
Kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok agama dan tokoh agama akan
bisa diminimalisir jika sesama kelompok keagamaan terlibat dialog yang secara intens dan
berkelanjutan sehingga bisa saling menghargai perbedaan keberagamaan. Seperti dalam kasus
tersebut, pihak panitia dan pihak PAS melakukan mediasi bersama pihak polrestabes sampai
terjadinya kesepakatan untuk menghentikan acara KKR.
Akan tetapi, sangat disayangkan mediasi ini hanya memberatkan pihak KKR karena
kesalahan miskoordinasi, akan tetapi tidak memberikan peringatan kepada PAS karena
melakukan kesalahan fundamental berupa penghalangan kegiatan keagamaan warga negara yang
diatur konstitusi, dan legitimasinya berdasarkan SKB Menteri Agama dan menteri dalam negeri
No. 8 dan 9 tahun 2006 tidak bisa dijadikan sandaran melakukan pembubaran.
Atas aksi intoleransi tersebut, Walikota Bandung meminta pihak kepolisian menyelidiki
adanya dugaan pelanggaran HAM dalam aksi pembubaran KKR tersebut. Sesuai UU No 17
tahun 2013 mengenai keormasan, disebutkan bahwa ormas dilarang menebar rasa permusuhan
terhadap suku, agama, ras dan golongan. Oleh sebab itu, Pemkot Bandung menjatuhkan 2 sanksi
terhadap ormas PAS yakni berupa tahap persuasif dan pelarangan organisasi. Tahap persuasif
yang diberikan adalah walikota memberikan waktu selama 7 hari bagi ormas PAS untuk
memberikan surat permohonan maaf kepada panitia KKR dan menyatakan kepada Pemkot akan
mengikuti semua peraturan perundang-undangan dalam berkegiatan sebagai ormas. Jika setelah

satu pekan ormas PAS menolak meminta maaf, maka Pemkot Bandung akan melarang semua
kegiatan organisasi di wilayah hukum Kota Bandung. Dalam jangka panjang, Walikota bandung
meminta MUI, FKUB dan FSOI untuk mengintensifkan forum dialog antar kelompok umat
beragama di Kota Bandung.12

D. Simpulan
Pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) oleh kelompok Pembela Alus
Sunnah (PAS) di Sabuga, Bandung, pada 6 Desember 2016 merupakan kekerasan atas nama
agama yang dilakukan oleh tokoh agama dan organisasi keagamaan. Kekerasan tersebut bersipat
kultural dan tidak langsung karena memberikan efek kebencian, kecurigaan, dan ketakutan
terhadap pihak yang dijadikan objek kekerasan. Pijakan dasar pembubaran tersebut adalah
otoritas keagamaan, dan SKB Menteri Agama dan menteri dalam negeri No. 8 dan 9 tahun 2006
meskipun tidak bisa dijadikan landasan.
Terdapat 2 kesalahan yang terjadi dalam kegiatan KKR beserta pembubaran acaranya. Pihak
KKR meiliki kesalahan teknis koordinasi yang melewati batas waktu kesepakatan, sedangkan
pihak KKR memiliki kesalahan fundamental berupa upaya pelanggaran UU ormas yang menebar
rasa permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan dan pelanggaran HAM berupa
pelaksanaan kegiatan ibadah tiap tiap warga negara.
Solusi jangka pendek konflik ini adalah mediasi untuk memindahkan lokasi KKR. Solusi
jangka menenggah adalah meminta PAS meminta maaf atas tindakan intoleransinya. Dalam
jangka panjang, pada sisi regulasi stake holder perlu membuat regulasi untuk menegakkan sanksi
bagi ormas yang melanggar UU ormas. Adapun pada sisi sosiologis, pemerintah beserta semua
ormas kegamaan untuk mengadakan dialog intensif sehingga terjalin kesaling pengertian
mengenai perbedaan pemahaman keagamaan dan menjunjung toleransi dan kenyataan pluralitas
keagamaan.

12

Diakses dari situs www.rappler.com, http://www.rappler.com/indonesia/berita/155109-ridwan-kamil-sikap-ormaspas-sabuga, pada 31 Mei 2017 pukul 18.00 wib

Daftar Pusataka

Armada, R. 2000. Agama Kekerasan; Membongkar Ekslusifisme. Malang:

DIOMA-STFT

Widyasasana.
Dirdjosantjoto, P. 1999. Memelihara umat; Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa . Yogyakarta :
LKiS.
Goodman, George Ritzer-Douglas J. 2 0 0 5 . Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Mathari, R. (2012). Reportase Konflik Syiah

Sampang

Madura .

Maliki. (2004). Narasi Agung; Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya:

Lembaga Pengkajian

Agama Pada Masyarakat [LPAM].
Sholeh, A. K. ( 2004). “Kekerasan Religius”. Psiko Islamika; Jurnal Psikologi dan Keislaman ,
Volume 1 No.2, hlm.

122-124.

Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik: Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Weber, Max. 2002. Sosiologi Agama , (Alih Bahasa Muhammad Yamin). Yogyakarta: IRCiSoD
Wibisono, M Yusuf. Kekerasan dan Pluralisme dalam Islam. Kalam: Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam, Vol 9 No. 2, Desember 2015

Situs Berita:
https://babe.news/amp/read/11101234/praktik-kebebasan-beragama-di-jabar-buruk-akibatperkembangan-kelompok-intoleran/
http://icrp-online.org/2014/12/30/jawa-barat-pertahankan-posisi-wahid-intoleransi-se-indonesia/
http://www.beritasatu.com/nasional/403272-kronologi-pembubaran-kebaktian-kkr-natal-pendetastephen-tong-di-bandung.html
http://www.rappler.com/indonesia/berita/154853-kronologi-pembubaran-kebaktian-natal-sabugabandung
http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2016/12/07/ini-10-pernyataan-ridwan-kamil-soalpembubaran-kkr-natal-2016-di-sabuga, diakses pada 31Mei 2016, pukul 17.00 wib
www.rappler.com, http://www.rappler.com/indonesia/berita/155109-ridwan-kamil-sikap-ormaspas-sabuga