Sistem evaluasi dan isu sekitar UN

Tugas Arah Kecenderungan dan Isu
Pembelajaran Fisika

BAB I
PENDAHULUAN
I.

LATAR BELAKANG
A. Sistem Evaluasi
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengedalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
( UU No 20 tahun 2003). Definisi ini menunjukkan bahwa pendidikan mencakup ranah
pengetahuan, keterampilan, dan afektif, yang kuncinya adalah mengembangkan potensi
peserta didik menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat.
Pendidikan berlangsung pada suatu sistem pendidikan, yang didalamnya ada
komponen masukan, proses, dan hasil. Komponen masukan meliputi semua ketentuan
tentang pendidikan, peserta didik, pendidik, bahan ajar, sarana prasarana pendidikan, dan
pengelolaannya. Semua komponen tersebut bekerja dalam suatu sistem, yang pemeran

utamanya adalah kepala sekolah dan pendidik bila di sekolah. Keberhasilan pendidikan
ditentukan oleh sistem dan pelaksananya. Sistem akan beroperasi secara optimal apabila
komponen pelaksana memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal. Untuk itu
semua pengembang dan pelaksana pendidikan harus bekerja secara sinergis dan serempak
untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermasyarakat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional pemerintah mengembangkan standar
nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada delapan
standar nasional yang dikembangkan pemerintah melalui Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan,

sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala (PP 19 tahun 2005).
Untuk mengetahui pencapaian tujuan pendidikan perlu dilakukan evaluasi terhadap

sistem pendidikan. Evaluasi terhadap sistem pendidikan mencakup semua komponen
pendidikan dan pelaksanaannya. Beroperasinya komponen pendidikan ditentukan oleh
pengelola pendidikan. Pada tingkat pusat adalah Menteri pendidikan dan kebudayaan, di
tingkat provinsi adalah gubernur, di tingkat kabupaten/kota adalah bupati dan walikota, di
tingkat satuan pendidikan adalah kepala sekolah. Selain itu untuk menjamin beroperasinya
sistem pendidikan nasional dibentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Badan
Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (PSDMP PMP), Badan Akreditasi Sekolah/
Madrasah (BANSM), Badan Akreditasi Perguruan Tinggi, Dewan Pendidikan di tingkat
provinsi dan di tingkat kabupaten/kota, Komite sekolah di tingkat satuan pendidikan.
Perangkat untuk melaksanakan pendidikan yang bermutu tampak cukup lengkap.
Permasalahannya adalah apakah tugas pokok dan fungsi badan dan lembaga tersebut sudah
sinkron satu dengan yang lain, dan bagaimana koordinasi kegiatan di semua badan dan
lembaga tersebut. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan nasional.
B. Isu Sekitar Ujian Nasional
Pemerintah telah menetapkan untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional (UN) bagi
satuan pendidikan dasar dan menengah pada tahun pelajaran 2011/2012 ini. Bahkan
Kementerian Nasional telah menetapkan sistem penyelenggaraan UN sama dengan tahun
lalu, termasuk pembobotan nilai kelulusannya. Perubahan akan dilakukan hanya pada
upaya


untuk

meniadakan

atau

meminimalisir

kecurangan

dalam

manajemen

penyelenggarannya.
Kebijakan pemerintah ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, telah melahirkan
pro kontra dengan berbagai sudut pandang. Pihak yang pro, pada dasarnya memandang
UN sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sementara yang
kontra, pada intinya menganggap UN merupakan kebijakan yang kredibilitasnya masih

diragukan dan mempersoalkan fungsinya sebagai penentu kelulusan bagi peserta didik.
Ketidaksamaan pandangan dalam melihat penyelenggaraan UN sebagai alat ukur
(penilaian) pendidikan tersebut, menyebabkan kita terlibat terus untuk mempersoalkan dan
mengkajinya lebih jauh dan mendalam lagi. Kajian tersebut akan menjawab permasalahan
masih pentingkah sistem penyelenggaraan UN dipertahankan ?

Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang (UU)
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, termasuk mengatur tentang
evaluasi untuk peningkatan mutu pendidikan. Evaluasi tersebut kemudian dijabarkan lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan pada Bab X tentang Standar Penilaian Pendidikan. Standar penilaian tersebut
kemudian diperjelas lagi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas)
Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Dalam PP dan Permendiknas itu, ditegaskan bahwa penilaian hasil belajar pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh pendidik satuan pendidikan dan
pemerintah. UN merupakan bentuk penilaian yang dilakukan oleh pemerintah. Bertujuan
untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu
dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggaraannya
dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Penyelenggaraan UN dilaksanakan
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Hasil UN digunakan sebagai salah satu

pertimbangan untuk melakukan pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar
seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari
program dan/atau satuan pendidikan, serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada
satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kebijakan UN yang selalu menjadi fokus pembicaraan yang melahirkan pro kontra
adalah terletak pada penyelenggaraannya yang belum sesuai dengan apa yang diamatkan
oleh peraturan tertulis tersebut, yang harus diselenggarakan secara obyektif, berkeadilan,
dan akuntabel. Selain itu, isi PP dan Permendiknas yang selalu mendapat sorotan tajam
dari masyarakat adalah adanya ketentuan yang mengatur bahwa hasil UN merupakan
penentu kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan.
Obyektifitas penyelenggaraan UN diragukan mengingat masih terjadinya kasus
kebocoran dokumen soal UN. Menjelang pelaksanaan UN, banyak bertiup isu bahwa ada
soal UN yang telah beredar. Kunci jawaban juga banyak beredar melalui pesan singkat
(SMS). Bahkan tragisnya lagi, ada kasus pemberian kunci jawaban kepada peserta didik
atas inisiatif guru atau sekolahnya. Di beberapa daerah kasus semacam itu telah terbukti
secara hukum. Sedangkan yang tidak terungkap, disadari atau tidak, masih lebih banyak
lagi. Mengingat akan hal itu, maka hasil UN tidak dapat sepenuhnya dapat dikatakan
sebagai hasil perbuatan yang jujur. Ketidakjujuran tersebut timbul dari adanya rasa takut
dan tekanan. Pengelola sekolah dan guru, takut kepada masyarakat kalau banyak siswa
yang tidak lulus, serta takut akibat yang akan diterima dari pemerintah daerah kalau hasil


UN jelek dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pemerintah daerah secara langsung,
maupun tidak langsung telah memberikan tekanan agar penyelenggaraan UN sesuai
dengan garis kebijakannya. Tekanan (intervensi) politis ini menyebabkan pelaksanaan UN
di satuan pendidikan tidak sesuai dengan rambu-rambu (pedoman) yang telah ditetapkan.
Mencari keselamatan diri dan kelompok menjadi pilihan, dengan cara yang tidak sesuai
aturan baku.
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan UN belum
mencerminkan prinsip keadilan. Ketidakadilan tersebut juga terlihat dari adanya
persamaan soal UN untuk semua sekolah. Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat satuansatuan pendidikan di setiap wilayah, kota sampai desa tidak memiliki sarana fisik yang
sama, dan kualitas tenaga pendidikan yang berbeda. Di kota-kota pada umumnya satuan
pendidikan memiliki fasilitas pendukung yang lengkap dan tenaga guru dengan kualitas
yang baik melimpah. Sementara satuan pendidikan di pelosok-pelosok kondisi fasilitas dan
tenaga pendidiknya kekurangan. Bahkan ada sekolah yang kondisinya teramat parah dan
memperihatinkan, sehingga mati enggan hidup pun tak mau. Fakta ini apabila disamakan
dalam pelaksanaan UN, maka keadilan itu tidak pernah ada.
Dengan munculnya kasus-kasus kebocoran dokumen UN, serta tidak meratanya
falisitas dan tenaga pendidik untuk semua satuan pendidikan, maka akuntabilitas
penyelenggaraan UN patut dipertanyakan. Alangkah tidak ironisnya nilai UN peserta didik
yang ada di kota lebih rendah dengan yang ada di pelosok pedesaan. Alangkah lucunya

satuan pendidikan yang proses pembelajarannya Senin Kamis (tidak efektif) mendapatkan
peringkat sepuluh besar hasil UN, daripada sekolah yang proses pembelajarannya tidak
diragukan. Hasil UN menjadi kurang dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya,
apabila kita melihat kenyataan bahwa lulusan dari satuan pendidikan yang memperoleh
nilai UN rata-rata tinggi dan mampu meluluskan 100 % tidak bisa diterima di sekolahsekolah favorit atau tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi. Keraguan ini bisa juga
timbul dari cara pembobotan nilai kelulusan peserta didik, yang ditetapkan dengan rasio 60
% UN dan 40 % Ujian Sekolah (US). Ini akan mendorong terjadinya manipulasi nilai
peserta didik, sehingga yang bodoh pun bisa lulus. Dengan cara ini, satuan pendidikan bisa
jadi akan menaikkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) secara serampangan, tanpa
didasarkan pada kenyataan yang ada di satuan pendidikan.
Kredibilitas penyelenggaraan UN menjadi diragukan, bisa dikaji lagi dari kebijakan
yang memposisikan hasil UN sebagai salah satu penentu kelulusan. Ini menjadi momok
yang menakutkan bagi peserta didik, sekolah dan pemerintah daerah. Kehawatiran untuk

tidak lulus, mendorong mereka untuk mencari cara agar bisa lulus, walaupun cara tersebut
bertentangan dengan aturan yang berlaku. Seharusnya hasil UN tidak ikut menentukan
kelulusan peserta didik, tetapi dijadikan sebagai alat untuk melihat, memetakan dan
meningkatkan mutu pendidikan. Mengingat pula bahwa yang paling mengetahui keadaan
siswa, baik prestasi maupun kepribadiannya adalah guru-guru yang ada di setiap satuan
pendidikan. Seharusnya guru dan satuan pendidikan diberikan hak penuh untuk

menentukan kelulusan sesuai dengan fungsi dan tanggungjawabnya.
Berangkat dari kenyataan di atas, maka sistem penyelenggaraan UN yang sekarang
perlu dievaluasi secara menyeluruh, dan bila perlu diganti dengan sistem yang lain,
misalnya kembali menggunakan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(EBTANAS) di era tahun 1980-an dan 1990-an. Kita belum terlambat untuk merubah
kebijakan yang telah ditetapkan, mengingat penyelenggaraan UN masih cukup panjang.
Perlu kita ingat kembali, bahwa pada saat pemberlakuan sistem EBTANAS, tidak pernah
seheboh seperti sistem penyelenggaraan UN dewasa ini. Sistem lama ini tidak mengebiri
hak-hak guru dan sekolah, mereka diberikan hak yang besar untuk menyelenggarakannya,
hak penuh dalam mengoreksi hasilnya, dan memiliki hak penuh pula dalam menentukan
kelulusan peserta didik, berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan. Sedangkan hasil
EBTANAS yang murni tidak dijadikan penentu kelulusan, tetapi dijadikan sebagai syarat
untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan begitu
penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi lebih obyektif, berkeadilaan dan
akuntabel.
II.

BATASAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi batasan masalah dalam


penulisan makalah ini adalah :
a. Sistem evaluasi pendidikan yang ada di Indonesia dan pelaksanaannya.
b. Isu-isu yang berkembang dalam pelaksanaan ujian nasional.
III.

RUMUSAN MASALAH
Maka rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah :
a. Bagaimanakah sistem evaluasi pendidikan yang ada di Indonesia dan
pelaksanaannya?
b. Isu-isu apa saja yang berkembang dalam pelaksanaan ujian nasional?

BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM EVALUASI DAN ISU SEPUTAR UJIAN NASIONAL
I.

STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas :
 Penilaian hasil belajar oleh pendidik,
 Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan

 Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.

Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas:
 Penilaian hasil belajar oleh pendidik, dan
 Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi.
Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud di atas diatur
oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berikut ini akan dipaparkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan :
A. Pengertian
1. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan
dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
2. Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk
menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.
3. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi
peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau
kemajuan, melakukan perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan
belajar peserta didik.
4. Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur
pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar

(KD) atau lebih.
5. Ulangan tengah semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk
mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 - 9 minggu
kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang
merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.

6. Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk
mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan
ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada
semester tersebut.
7. Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik di akhir
semester genap untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir
semester genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan
ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan KD pada semester
tersebut.
8. Ujian sekolah/madrasah adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi
peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan
atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan
pendidikan. Mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan dalam ujian nasional
dan aspek kognitif dan/atau psikomotorik kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
yang akan diatur dalam POS Ujian Sekolah/Madrasah.
9. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran
pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai
pencapaian Standar Nasional Pendidikan.
10. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang
ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan
untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan
nilai batas ambang kompetensi.
B. Prinsip Penilaian
Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan
yang diukur.
2. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak
dipengaruhi subjektivitas penilai.

3. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena
berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat
istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
4. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak
terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
5. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan
keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
6. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup
semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang
sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
7. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan
mengikuti langkah-langkah baku.
8. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi
yang ditetapkan.
9. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik,
prosedur, maupun hasilnya.
C. Teknik dan Instrumen Penilaian
1. Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian
berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain
yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta
didik.
2. Teknik tes berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja.
3. Teknik observasi atau pengamatan dilakukan selama pembelajaran berlangsung
dan/atau di luar kegiatan pembelajaran.
4. Teknik penugasan baik perseorangan maupun kelompok dapat berbentuk tugas
rumah dan/atau proyek.
5. Instrumen penilaian hasil belajar yang digunakan pendidik memenuhi persyaratan :
(a) substansi, adalah merepresentasikan kompetensi yang dinilai, (b) konstruksi,
adalah memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrumen yang
digunakan, dan (c) bahasa, adalah menggunakan bahasa yang baik dan benar serta
komunikatif sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik.

6. Instrumen penilaian yang digunakan oleh satuan pendidikan dalam bentuk ujian
sekolah/madrasah memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan bahasa, serta
memiliki bukti validitas empirik.
7. Instrumen penilaian yang digunakan oleh pemerintah dalam bentuk UN memenuhi
persyaratan substansi, konstruksi, bahasa, dan memiliki bukti validitas empirik
serta menghasilkan skor yang dapat diperbandingkan antarsekolah, antardaerah,
dan antartahun.
D. Mekanisme dan Prosedur Penilaian
1. Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan
oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah.
2. Perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan
silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP).
3. Ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas
dilakukan oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
4. Penilaian hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran dalam kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan pada UN dan aspek
kognitif dan/atau aspek psikomotorik untuk kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
dilakukan oleh satuan pendidikan melalui ujian sekolah/madrasah untuk
memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan
kelulusan dari satuan pendidikan.
5. Penilaian akhir hasil belajar oleh satuan pendidikan untuk mata pelajaran kelompok
mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga
dan kesehatan ditentukan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian
oleh pendidik.
6. Penilaian akhir hasil belajar peserta didik kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
dilakukan oleh satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil
penilaian oleh pendidik dengan mempertimbangkan hasil ujian sekolah/madrasah.
7. Kegiatan ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan langkah-langkah : (a)
menyusun kisi-kisi ujian, (b) mengembangkan instrumen, (c) melaksanakan ujian,

(d) mengolah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah,
dan (e) melaporkan dan memanfaatkan hasil penilaian.
8. Penilaian akhlak mulia yang merupakan aspek afektif dari kelompok mata
pelajaran agama dan akhlak mulia, sebagai perwujudan sikap dan perilaku beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME, dilakukan oleh guru agama dengan
memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang
relevan.
9. Penilaian kepribadian, yang merupakan perwujudan kesadaran dan tanggung jawab
sebagai warga masyarakat dan warganegara yang baik sesuai dengan norma dan
nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa,
adalah bagian dari penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian oleh guru pendidikan kewarganegaraan dengan memanfaatkan
informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.
10. Penilaian mata pelajaran muatan lokal mengikuti penilaian kelompok mata
pelajaran yang relevan.
11. Keikutsertaan dalam kegiatan pengembangan diri dibuktikan dengan surat
keterangan

yang

ditandatangani

oleh

pembina

kegiatan

dan

kepala

sekolah/madrasah.
12. Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik sebelum diadakan
ulangan harian berikutnya. Peserta didik yang belum mencapai KKM harus
mengikuti pembelajaran remedi.
13. Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan disampaikan dalam bentuk
satu nilai pencapaian kompetensi mata pelajaran, disertai dengan deskripsi
kemajuan belajar.
14. Kegiatan penilaian oleh pemerintah dilakukan melalui UN dengan langkah-langkah
yang diatur dalam Prosedur Operasi Standar (POS) UN.
15. UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerjasama
dengan instansi terkait.
16. Hasil UN disampaikan kepada satuan pendidikan untuk dijadikan salah satu syarat
kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dan salah satu pertimbangan dalam
seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
17. Hasil analisis data UN disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk
pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan serta pembinaan dan

pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan.

E. Penilaian oleh Pendidik
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk
memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas
kegiatan pembelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. Menginformasikan silabus mata pelajaran yang didalamnya memuat rancangan dan
kriteria penilaian pada awal semester.
2. Mengembangkan indikator pencapaian KD dan memilih teknik penilaian yang
sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran.
3. Mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan
teknik penilaian yang dipilih.
4. Melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang diperlukan.
5. Mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan
belajar peserta didik.
6. Mengembalikan

hasil

pemeriksaan

pekerjaan

peserta

didik

disertai

balikan/komentar yang mendidik.
7. Memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran.
8. Melaporkan hasil penilaian mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada
pimpinan satuan pendidikan dalam bentuk satu nilai prestasi belajar peserta didik
disertai deskripsi singkat sebagai cerminan kompetensi utuh.
9. Melaporkan hasil penilaian akhlak kepada guru Pendidikan Agama dan hasil
penilaian kepribadian kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan sebagai informasi
untuk menentukan nilai akhir semester akhlak dan kepribadian peserta didik
dengan kategori sangat baik, baik, atau kurang baik.
F. Penilaian oleh Satuan Pendidikan
Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian
kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan
sebagai berikut :

1. Menentukan KKM setiap mata pelajaran dengan memperhatikan karakteristik
peserta didik, karakteristik mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan melalui
rapat dewan pendidik.
2. Mengkoordinasikan ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan
kenaikan kelas.
3. Menentukan kriteria kenaikan kelas bagi satuan pendidikan yang menggunakan
sistem paket melalui rapat dewan pendidik.
4. Menentukan kriteria program pembelajaran bagi satuan pendidikan yang
menggunakan sistem kredit semester melalui rapat dewan pendidik.
5. Menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata
pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan melalui rapat dewan
pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik.
6. Menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan
kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui
rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik dan
nilai hasil ujian sekolah/madrasah.
7. Menyelenggarakan ujian sekolah/madrasah dan menentukan kelulusan peserta
didik dari ujian sekolah/madrasah sesuai dengan POS Ujian Sekolah/Madrasah
bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
8. Melaporkan hasil penilaian mata pelajaran untuk semua kelompok mata pelajaran
pada setiap akhir semester kepada orang tua/wali peserta didik dalam bentuk buku
laporan pendidikan.
9. Melaporkan pencapaian hasil belajar tingkat satuan pendidikan kepada dinas
pendidikan kabupaten/kota.
10. Menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan melalui rapat dewan
pendidik sesuai dengan kriteria:
a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran.
b. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata
pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok
mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran
estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
c. Lulus ujian sekolah/madrasah.
d. Lulus UN.

11. Menerbitkan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) setiap peserta didik
yang mengikuti Ujian Nasional bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
12. Menerbitkan ijazah setiap peserta didik yang lulus dari satuan pendidikan bagi
satuan pendidikan penyelenggara UN.

G. Penilaian oleh Pemerintah
1. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah dilakukan dalam bentuk UN yang bertujuan
untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran
tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. UN didukung oleh suatu sistem yang menjamin mutu dan kerahasiaan soal serta
pelaksanaan yang aman, jujur, dan adil.
3. Dalam rangka penggunaan hasil UN untuk pemetaan mutu program dan/atau
satuan pendidikan, Pemerintah menganalisis dan membuat peta daya serap
berdasarkan hasil UN dan menyampaikan ke pihak yang berkepentingan.
4. Hasil UN menjadi salah satu pertimbangan dalam pembinaan dan pemberian
bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
5. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan kelulusan
peserta didik pada seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
6. Hasil UN digunakan sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan yang kriteria kelulusannya ditetapkan setiap tahun oleh Menteri
berdasarkan rekomendasi BSNP.
(http://www.bsnp-indonesia.org)
Walaupun standar penilaian pendidikan (Permen No 20 Tahun 2007) sudah
ditetapkan tetapi dalam pelaksanaannya tetap mengalami hambatan. Berdasarkan
implementasi di lapangan, masalah pada sistem pendidikan adalah: (1) sinkronisasi tugas
pokok dan fungsi, (2) sinkronisasi dan sinergitas dalam melaksanakan tugas, (3) sosialisasi
peraturan menteri di antaranya adalah tentang standar nasional pendidikan, (4) dukungan
dari pemerintah daerah dalam melaksanakan semua ketentuan dalam bidang pendidikan,
termasuk peraturan menteri tentang standar nasional pendidikan, (5) kemampuan satuan
pendidikan yang heterogen, (6) motivasi untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan
pelaksanaan pendidikan di tingkat satuan pendidikan. (Djemari Mardapi : 2012).

Evaluasi sebagai Media Pendidikan dan Sarana Umpan Balik
Hampir tidak ada orang yang menolak bahwa diselenggarakannya suatu sistem
pendidikan adalah dapat dihasilkannya manusia terdidik yang dewasa secara intelektual,
moral, kepribadian, dan kemampuan. Namun yang sering disoroti orang seperti yang
akhir-akhir ini berlangsung adalah dimensi penguasaan pengetahuan peserta didik yang
belum tentu berdampak kepada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan
pribadi, kematangan moral dan karakter.
Adalah keyakinan profesional dan akademik bahwa sistem evaluasi yang
diterapkan akan menentukan keberhasilan kita mencapai tujuan pendidikan nasional.
Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar yang dilakukan pada akhir jenjang
satuan pendidikan seperti UAN (Ujian Akhir Nasional) tidak dapat diharapkan dapat
berdampak terhadap efektifitas tercapainya tujuan pendidikan nasional. Tidak lain karena
menurut hasil penelitian Benyamin Bloom tingkah laku belajar peserta didik akan
dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang akan diujikan.
Dengan demikian kalau yang akan diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang
telah dihafal, dengan sendirinya peserta didik hanya akan belajar menguasai materi yang
akan diujikan. Akibatnya peserta didik akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang
tidak akan diujikan, seperti belajar meneliti, belajar menulis makalah, belajar
mengapresiasi karya sastra, belajar berdemokrasi dan berbagai proses belajar yang
bermakna transformasi budaya. Agar peserta didik sejak memasuki suatu jenjang
pendidikan secara terus menerus dan intensif melakukan proses pembelajaran yang
bermakna bagi tercapainya berbagai tujuan pendidikan, perlu dikembangkan dan
dilaksanakan evaluasi secara komprehensif, terus-menerus dan obyektif.
Evaluasi yang demikian hanya dapat dilakukan oleh seorang guru yang profesional
yang mampu merencanakan, mengelola, memotivasi, dan menilai proses pembelajaran
yang berlangsung dari hari ke hari. Evaluasi semacam ini hakekatnya merupakan bagian
dari kurikulum itu sendiri, yang berfungsi sebagai bagian dari strategi penguatan
"r einforcement strategy"atau dalam bahasa teknis kurikulum disebut sebagai salah satu
wujud dari "h idden curriculum". Masalah evaluasi semacam inilah yang perlu
dilaksanakan dalam suatu pendidikan yang mendudukkan "c lassroom as social system
(Parson), dan sekolah sebagai pusat sosialisasi/pembudayaan berbagai kemampuan, nilai,
dan sikap (Inkoles).

Model evaluasi yang merupakan bagian dari strategi pembelajaran ini dari sudut
pandang teori belajar sosial (social learning theory) akan dapat menumbuhkan sikap
dan kemampuan yang diharapkan, seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, belajar secara
terus menerus, dan yang sukar untuk dikembangkan melalui model evaluasi hasil belajar
yang tradisional yang dilakukan pada akhir satuan jenjang atau kelas seperti "ulangan
umum" pada akhir semester dan hasilnya, tanpa dipengaruhi hasil dan kegiatan belajar
harian dimasukkan ke dalam rapot atau Ujian Akhir Nasional (UAN) yang dilakukan pada
akhir jenjang pendidikan dan hasilnya menentukan kelulusan seseorang. Model terakhir
ini dari sudut pandang teori belajar sosial, dampak negatifnya lebih banyak daripada
dampak positifnya.
Untuk kepentingan pengelolaan pendidikan secara nasional disadari perlunya
secara periodik diadakan evaluasi hasil belajar tingkat nasional atau lebih tepat disebut
"National Assesment". Fungsinya sebagai bagian dari manajemen pendidikan secara
nasional adalah untuk memperoleh gambaran tentang peta mutu pendidikan nasional
sebagai alat umpan balik guna mendiagnosis faktor- faktor penyebab dari keberhasilan
dan ketidakberhasilan suatu sekolah atau daerah dalam membantu peserta didik dalam
mencapai tingkatan hasil belajar yang diharapkan. Kegiatan semacam ini sangat penting
dan bermakna bila dimanfaatkan untuk melakukan tindak lanjut berupa upaya perbaikan,
pembaharuan, dan berbagai kegiatan untuk meratakan mutu pendidikan nasional sesuai
dengan standar yang ditetapkan. Kedua model evaluasi yang diuraikan dalam makalah ini
adalah yang secara langsung terkait dengan kurikulum dan proses pembelajaran.
Disamping itu kita mengenal dua lainnya, jenis evaluasi konteks, dan evaluasi masukan
yang secara menyeluruh perlu dilakukan dalam proses pengambilan keputusan
pendidikan. (Soedijarto, 2004)

II.

ISU SEPUTAR UJIAN NASIONAL
A. Sosialisasi UN
BSNP bersama Badan Pengembangan dan Penelitian (Balitbang), dan Pusat

Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah
melakukan sosialisasi UN di 33 provinsi mulai pertengahan sampai dengan akhir
Desember 2011. Kegiatan sosialisasi diselenggarakan di Dinas Pendidikan Provinsi
dengan mengundang Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Kepala Kantor Wilayah

Kementerian Agama, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota, dan wartawan. Materi
sosialisasi meliputi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 tahun 2011
tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan
Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional, Prosedur Operasional Standar (POS) UN,
kisi-kisi UN, dan daya serap UN tahun 2011. (http://www.bsnp-indonesia.org)
Djemari Mardapi anggota BSNP sekaligus sebagai Ketua Penyelenggara UN
Tingkat Pusat mengatakan bahwa tolak ukur kesuksesan penyelenggaraan UN adalah
kualitas, kredibilitas, dan aksebtabilitas. UN merupakan suatu proses yang harus dilewati
oleh anak didik.
Kisi-kisi UN, lanjut Djemari, merupakan bagian yang penting untuk diketahui
guru-guru dan peserta UN. "Untuk mensinergikan antara kurikulum yang diajarkan di
sekolah/madrasah dan materi yang diujikan maka dibuat kisi-kisi UN", ungkap Djemari
Mardapi. Oleh karena itu, tambah Djemari Mardapi, perlu dipastikan setiap satuan
pendidikan telah menerima kisi-kisi UN tersebut.
Direktorat SMP, SMA, dan SMK telah melakukan sosialisasi UN dengan target
yang lebih luas lagi karena sosialisasi yang dilakukan BSNP hanya terbatas sampai Dinas
Pendidikan Provinsi. Dari Direktorat Pembinaan SMA dan Direktorat Pembinaan SMP
dilaporkan bahwa informasi tentang UN telah diupload di website kedua direktorat
tersebut sehingga dapat diakses oleh guru, siswa, sekolah/madrasah dan masyarakat
umum.
Direktorat Pembinaan SMA telah melakukan pembinaan kepada 60 sekolah untuk
persiapan UN, sedangkan Direktorat Pembinaan SMP selain memuat kisi-kisi UN di
website, juga mengirimkannya ke 1.800 sekolah. Selain itu Direktorat Pembinaan SMP
dengan mempertimbangkan hasil UN tahun lalu dan daerah yang terisolir, telah melakukan
pelatihan kepada guru-guru SMP, dan bedah soal UN tahun lalu. Informasi dari Direktorat
Madrasah Kemenag mengatakan sosialisasi dilaksanakan akhir Desember 2011 dengan
mengundang BSNP dan Puspendik dan dihadiri oleh Kanwil Kemenag dari 33 provinsi.
Pada saat pemantauan UN, pihak Kemenag memohon BSNP juga turut memantau
pelaksanaan UN di madrasah (tidak hanya di sekolah saja).
Menurut Sukemi Staf Khusus Menteri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
juga akan melakukan sosialisasi UN melalui media massa yang berupa talk show di radio
dan televisi, pariwara media cetak, spot iklan di televisi dan radio, poster atau spanduk,
stiker dan PIN. "Inti pesan sosialisasi adalah membangun kepercayaan diri peserta UN,
jangan stres, jadwal UN, pembobotan 40% untuk nilai sekolah/ madrasah dan 60% untuk

nilai UN, tidak ada UN Ulangan, lima paket soal untuk setiap ruang ujian, dan kisi-kisi
UN", ungkap Sukemi.
Masih bagian dari sosialisasi, tambah Sukemi, adalah pembacaan ikrar UN yang
dikemas dalam acara apel atau upacara di lapangan/alun-alun. Peserta apel/upacara adalah
pimpinan perguruan tinggi, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Kanwil Kemenag, Kepala
sekolah/madrasah, guru, siswa, tenaga kependidikan, kepolisian, dan orang tua (Komite
Sekolah/Madrasah). "Pelaksanaan kegiatan ini direncanakan dari tanggal 11 - 25 Februari
2012 dengan menyesuaikan jadwal kegiatan Menteri, Wakil Menteri, Kepala Balitbang,
dan para Dirjen dalam lingkungan Kemdikbud", ungkap Sukemi seraya menambahkan
acara tersebut dilaksanakan di delapan wilayah, yaitu Sumatera Utara, Nusa Tenggara
Timur, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat,
dan Jawa Barat.
B. Perbaikan Sistem
Ujian Nasional tahun ini sudah mengalami perbaikan yang sangat signifikan.
Perbaikan ini dilakukan karena pemerintah mendengar masukan dari masyarakat, dan juga
karena kebutuhan sistem secara internal agar UN bisa berjalan dengan baik sehingga bisa
menilai dan mengukur apa yang seharusnya dinilai dan atau diukur. Dengan menggunakan
terminologi ilmiah, perbaikan itu semua dilakukan agar UN memiliki reliabilitas yang
tinggi, serta memiliki validitas internal dan eksternal yang baik. Perbaikan itu meliputi
antara lain :
a. Sejak jumlah mata pelajaran yang diujikan, dari hanya tiga mata pelajaran : Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, menjadi lebih dari tiga, bahkan lima
dan/atau enam mata pelajaran yang ada pada kurikulum sekolah.
b. Sejak dari penentuan kelulusan yang hanya menggunakan nilai tunggal UN itu
sendiri, akhirnya menggabungkan nilai UN (60%) dan nilai Ujian Sekolah (40%)
sebagai syarat kelulusan.
c. Pencetakan Naskah Soal UN. Mulai tahun 2012 ini, sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 tahun 2011 tentang
tentang

Kriteria

Kelulusan

Peserta

Didik

dari

Satuan

Pendidikan

dan

Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional, pencetakan naskah
soal UN SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK dilakukan secara
terpusat di bawah Koordinasi Badan Pengembangan dan Penelitian (Balitbang)
Kemdikbud.

Terkait dengan penggandaan naskah soal UN, Muhammad Nuh mengatakan
bahwa mulai tahun 2012 penggandaan naskah soal UN akan dilakukan secara
sentralisasi. "Tahun yang lalu penggandaan naskah soal diserahkan ke masingmasing penyelenggara UN tingkat provinsi, tetapi pada tahun 2012 pencetakan
naskah soal UN akan disentralisasikan", ungkap Mendikbud pada saat peluncuran
UN di Jakarta (29/11/ 2011) dengan memberikan alasan semakin banyak jumlah
percetakan, semakin susah melakukan pengawasannya.
Untuk menjaga kerahasiaan dan memastikan pendistribusian naskah soal
UN tepat waktu, penyelenggara UN Tingkat Pusat bersama Perguruan Tinggi
Negeri Koordinator UN melakukan pengawasan selama proses pencetakan dan
pendistribusian naskah soal UN. "Keterlibatan Dinas Pendidikan Provinsi terbatas
dalam penyediaan data peserta UN dan tidak dalam pengawasan proses
pencetakan", ungkap Djemari Mardapi dalam rapat Pleno BSNP di Jakarta
(31/1/2012) seraya menambahkan Polri tetap dilibatkan dalam pengamanan naskah
soal UN. (Vol. VII/No. 1/Maret 2012 Buletin BSNP)
Data yang ada di Balitbang Dikbud per 26 Februari 2012, telah menunjukkan
sebanyak 18.042 sekolah SMA/MA dengan jumlah siswa sebanyak 1.538.539 dari jurusan
IPA, IPS, Bahasa, dan Agama, yang akan mengikuti UN tahun ini. Tidak itu saja. Untuk
SMK sudah terdata sebanyak 9.098 sekolah dengan jumlah siswa 1.052.973 anak. Belum
lagi yang ada di jenjang SMP/MTs, sebanyak 49.418 sekolah yang mencakup siswa
sebanyak 3.732.649 anak. Jika sekolah dan siswa kita jumlahkan tanpa memperhatikan
jenjang dan jenis pendidikan, maka UN tahun ini akan diikuti oleh 76.558 sekolah, dengan
jumlah siswa sebanyak 6.324.611 anak. Sungguh merupakan kegiatan yang raksasa, mirip
jumlahnya dengan kegiatan pilkada sebuah Kabupaten/Kota. Oleh karena itu semua kepala
dinas pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota harus memiliki persiapan yang
baik dan matang dengan berkoordinasi secara efisien dan efektif dengan institusi terkait
seperti kepolisian, Kemdikbud, perguruan tinggi, dan sekolah sekolah di daerahnya masing
masing.
C. Jujur dan Berprestasi
Semua stakeholder pendidikan harus memahami bahwa UN tahun 2012 akan
dilaksanakan dengan prinsip kejujuran yang tinggi. Itulah sebabnya tag line dan
semangat untuk melaksanakan UN tahun ini ialah: Jujur dan Prestasi. Kejujuran

merupakan nilai universal yang patut dan harus dimiliki oleh semua pihak yang terkait
dengan

penyelenggaraan

UN,

antara

lain:

siswa,

guru,

pengawas,

orangtua,

penyelenggara, dan pemerintah daerah sekalipun. Kementerian Dikbud memiliki data
yang sangat menarik mengenai indeks kejujuran masing masing sekolah, yang kalau
diagregatkan mencerminkan jujur tidaknya suatu pemerintah daerah dalam melaksanakan
UN. Sangat masuk akal dan merupakan ketegori imperatif jika kejujuran menjadi pilar
penting dalam penyelenggaraan UN, karena mulai tahun ini ada perbaikan signifikan
dalam penyelenggaraan UN terkait dengan integrasi pendidikan menengah dengan
pendidikan tinggi, nilai UN akan dan bisa digunakan sebagai tiket untuk memasuki
perguruan tinggi. Jumlah mahasiswa yang direkrut di peguruan tinggi negeri tahun ini,
paling tidak sebanyak 60% dari mahasiswa baru itu harus didasarkan pada nilai UN para
siswa. Oleh karena itu UN tahun ini harus jujur agar dalam jangka panjang tidak merusak
kualitas perguruan tinggi kita.
Karena harus menjunjung tinggi kejujuran, maka pemerintah daerah juga harus
ikut bertanggung jawab dan mengkampanyekan pentingnya kejujuran dalam pelaksanaan
UN di daerahnya masing masing-masing. Sudah bukan jamannya lagi jika seorang kepala
daerah memberi instruksi dan tekanan kepada Dinas Pendidikan agar berbuat apa saja
demi tingkat kelulusan 100%, yang berakibat pada ketidakjujuran penyelenggaraan di
tingkat sekolah dengan menempuh berbagai cara seperti: menyediakan joki, mengubah
lembar jawaban, mebocorkan kunci jawaban, dsb. Begitu juga di tingkat ujian sekolah,
juga harus menjamin nilai kejujuran. Jangan melakukan mark up nilai ujian sekolah,
dengan motif negatif, agar jika digabungkan bersama nilai UN memiliki tingkat kelulusan
yang tinggi. Kalau hal ini terjadi, maka kejujuran kurang bisa ditegakkan di sekolah itu
sendiri. Data di tingkat nasional memiliki kecenderungan sekolah menilai terlalu longgar
terhadap ujian sekolah. Buktinya selalu ada perbedaan nilai secara signifikan antara ujian
sekolah dan UN. Terlebih-lebih sekolah yang kurang bermutu selalu suka "mentraktir"
nilai lebih banyak dibandingkan dengan sekolah yang bermutu. Praktek seperti ini harus
segera ditinggalkan mulai tahun ini. Sekolah yang baik ialah sekolah yang berani tidak
meluluskan para siswanya yang memang tidak lulus. Inilah makna kejujuran dalam
praksis pendidikan di tingkat sekolah. Tahun ini sekolah dengan kepemimpinan kepala
sekolahnya masing-masing harus melaksanakan UN dengan semangat: Jujur dan Prestasi.
(Suyanto, 2012)

D. Pro dan Kontra atas Ujian Nasional
Ramainya pemberitaan atas ujian nasional (UN) saat ini menandakan adanya
permasalahan didalamnya. Sebagai negara yang menerapkan sistem standar nasional,
pemerintah sangat berkepentingan dengan penilaian kemampuan siswa terhadap konten
standar, sebagai paket what student need to know and be able to do.
Meskipun Departemen Pendidikan Nasional telah menerapkan aturan yang ketat
dalam teknis pelaksanaan, dalam praktiknya, problem demi problem bermunculan
sehingga memunculkan keraguan banyak pihak akan efektivitas alat pengukur kemampuan
tersebut. Selain teknis pelaksanaan, permasalahan sebenarnya juga terletak pada adanya
ketidaksepakatan tentang ujian nasional sebagai penentu kelulusan, yang mengundang
sikap pro dan kontra. (Toto Sudarmongi, 2012)
1. Mengapa muncul kelompok yang menolak keberadaan UN?
Telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat yang beragam dari berbagai
kalangan tentang UN yang dilansir oleh sejumlah media masa. Di antara mereka ada yang
secara tegas menolak keberadaan UN dalam bentuk apapun dan mengantinya dengan ujian
sekolah. Argumentasi yang dapat dikemukakan sebagai penolakan UN antara lain:
a. Dilihat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu
Pasal 8 ayat 1: "Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemampuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan".
b. Karena sifat ujiannya nasional, maka bidang kajian yang di-UN-kan dianggap lebih
penting daripada pelajaran lain, sehingga sebagian besar upaya sekolah hanya
ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan dalam UN.
Padahal materi UN hanya mencakup aspek intelektual, belum mampu mengukur
seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah terjadi malpraktik
dengan kesan penyempitan terhadap makna dan hakekat pendidikan yang utuh
menjadi hanya menyangkut aspek kognitif untuk beberapa pelajaran yang diujikan.
Kecakapan motorik, sosial, emosional, moral atau budi pekerti, dan aspek spiritual
dianggap diabaikan.
c. Menurut sebagian ahli tes, UN dalam keadaan sekarang bertentangan dengan
kaidah pendidikan itu sendiri. Dalam kaidah pendidikan tes digunakan untuk
menjamin kualitas anak didik, bukan untuk menghukumnya. Sekarang ini UN
digunakan untuk menghukum anak didik yang telah belajar selama tiga tahun

tetapi tidak lulus dalam UN yang hanya dilaksanakan dalam beberapa menit dan
beberapa mata pelajaran. Padahal seharusnya pemerintah introspeksi diri bahwa
ketidaklulusan anak didik adalah cerminan dari ketidakmampuan pemerintah
dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Jangan kesalahan itu
dibebankan kepada para siswa.
d. Kenyataannya sekarang ini di lapangan, di sekolah-sekolah ada yang mulai
berkiblat pada bimbingan les. Para siswa lebih percaya pada bimbingan les
daripada kepada guru mereka sendiri, yang mengajar selama tiga tahun. Guru mata
pelajaran yang di-UN-kan saja merasa terabaikan, bagaimana dengan guru mata
pelajaran yang non-UN? Tidak sedikit ada yang mendatangkan guru bimbingan
belajar atau bentuk-bentuk kersa jama antara lembaga bimbingan belajar dengan
sekolah. Ada yang beranggapan bahwa dunia pendidikan berkiblat pada UN,
sehingga telah mengerdilkan makna pendidikan. Menurut Ketua Komi si X DPR
RI Heri Ahmadi (Pikiran Rakyat, 19 Desember 2007) mengungkapkan bahwa
"Pelaksanaan UN ini mengakibatkan fungsi sekolah sebagai tempat belajar
semakin kehilangan makna, sebab yang terpenting bagaimana sekolah dapat
meluluskan siswanya". Hal ini memang benar, karena sering terdengar adanya
berita-berita yang negatif yang dilakukan oleh oknum guru atau sekolah dalam
pelaksanaan UN.
e. Belum lagi tentang disvaritas mutu sekolah, efisiensi anggaran, belum memberikan
jaminan kualitas lulusan meningkat. Sebagai contoh penulis pernah menemukan
suatu sekolah di suatu kabupaten terpencil yang hanya mengajarkan mata pelajaran
yang di-UN-kan saja untuk para siswa di kelas tiga. Kemudian menurut hasil
penelitian di ITB, ternyata lebih banyak mahasiswa yang drop out yang pada waktu
di SMA-nya mengikuti bimbingan belajar daripada mereka yang tidak mengikuti
bimbingan belajar.
2. Mengapa muncul kelompok yang mendukung keberadaan UN?
Namun tentu saja wajar kalau ada pula kelompok yang mendukung untuk tetap
dilaksanakannya UN. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN perlu
tetap dipertahankan, antara lain:
a. Beberapa pasal pada Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang terkait
langsung dengan kegiatan ujian atau evaluasi pendidikan adalah pasal 35, pasal 57,

pasal 58, dan pasal 59. Berdasarkan pasal-pasal dan ayat-ayatnya serta kaitannya satu
sama lain, maka dapat ditarik suatu pemahaman seperti berikut ini :
1.

Terhadap hasil belajar peserta didik perlu dilakukan evaluasi oleh pendidik dengan
tujuan utama untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar
peserta didik secara berkesinambungan (pasal 58, ayat 1).

2.

Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidikan, dan
program pendidikan untuk memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58,
ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan evaluasi
pendidikan) (pasal 35, ayat 1).

3.

Evaluasi terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidkan, dan program
pendidikan untuk memantau atau menilai pencapaian standar nasional dilakukan
oleh suatu lembaga mandiri (pasal 58, ayat 2), dapat berupa badan standarisasi,
penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan (pasal 35, ayat 3) dan/atau
lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat dan/atau yang diselenggarakan
oleh organisasi profesi.

4.

Pasal 35, 57, dan 58 mengamanatkan bahwa evaluasi perlu dilakukan untuk (a)
pengendalian mutu pendidikan secara nasional (pasal 57, ayat 1), dan (b)
memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar
nasional pendidikan.

5.

Pasal 59 berisi tentang lembaga yang harus melakukan evaluasi dan membentuk
lembaga evaluasi yang mandiri disertai beberapa spesifikai tentang apa dan siapa
yang dievaluasi, yaitu pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi
terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 59, ayat 1).
Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri
untuk melakukan evaluasi sebagaimana ynag dimaksud dalam pasal 58 (pasal 59,
ayat 2).

b. Tidak sedikit pula pendapat yang mendukung dilaksanakan UN terutama didasarkan
pada argumentasi tentang pentingnya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara
nasional dan pendorong atau motivator bagi peserta didik dan penyelenggara
pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
c. UN perlu dilaksanakan dalam rangka menegakkan akuntabilitas pengelola dan
penyelenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat
pada umumnya. Secara konseptual