1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti
kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitur
(pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang
berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau
mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi hutangnya.
Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan
menyalahgunakan barang jaminan yang berada pada kekuasaannya. Pranata Jaminan
Fidusia telah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat umum Romawi. Ada 2
(dua) bentuk Jaminan Fidusia yaitu jaminan fiducia cum creditore dan fiducia cum
amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian
diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio.1
Fiducia cum creditore adalah suatu penyerahan hak milik dari debitur kepada
kreditur karena adanya hutang dari debitur tersebut dan penyerahan hak milik
tersebut dilakukan berdasarkan asas kepercayaan sebagai jaminan hutang debitur
tersebut. Sedangkan Fiducia cum amico adalah suatu penyerahan hak milik dari
seseorang kepada orang lain berdasarkan kepercayaan untuk dititipkan sementara
tanpa adanya hutang dari pemberi titipan tersebut. Fiducia cum amico disebut juga

1

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni,
Bandung, 2007, hal. 6

1

Universitas Sumatera Utara

2

dengan penitipan barang untuk sementara waktu. Pactum fiduciaea adalah perjanjian
berdasarkan asas kepercayaan. In iure cessio maksudnya adalah perpindahan hak
kepemilikan dari suatu benda yang pada awalnya merupakan penyerahan hak milik
asas kepercayaan. 2
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) No. 42 Tahun 1999
menyebutkan bahwa, “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas
dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Jaminan Fidusia adalah hak
jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud dan tidak berwujud, terdaftar

maupun tidak terdaftar dan juga bergerak maupun tidak bergerak dengan syarat
bahwa benda tersebut tidak dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atau hipotek
sebagaimana dimaksud pada Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang Jis Pasal 1162 KUH
Perdata.3
Pengertian fidusia juga dapat disimpulkan dari beberapa arti yang dijadikan
sumber hukum Jaminan Fidusia (Keputusan HR. 21-6-1929) 29-10-1096), yaitu
perjanjian dimana salah satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan hak milik
atas benda bergerak sebagai jaminan, penyerahan hak milik dimaksud merupakan
titel yang sempurna dari penyerahan bersifat abstrak. Dalam pelaksanaan yang terjadi
di masyarakat timbulnya perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia pada umumnya
2
3

Deny Lukman Hadi, Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia, Liberty, Yogyakarta, 2011, hal. 76
Sri Soedewi Masjoen Sofyan, Hukum dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1995,

hal. 40

Universitas Sumatera Utara


3

berawal dari adanya perjanjian hutang-piutang antara kreditur dengan debitur dimana
perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia itu bertujuan sebagai tindakan antisipasi bagi
kreditur apabila ternyata debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk melunasi
hutangnya sebagaimana yang telah termuat dan disepakati dalam perjanjian utang
piutang tersebut. Adanya kewajiban menyerahkan sesuatu hak kebendaan barang
bergerak kepada pihak lain, membuktikan bahwa perjanjian pengikatan Jaminan
Fidusia merupakan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijk).4 Tidak berbeda
dengan jaminan kebendaan yang lain, Jaminan Fidusia lahir dari terwujudnya
perjanjian utang piutang yang diikuti dengan perjanjian secara fidusia. Para sarjana
pada umumnya menyepakati sifat perjanjian Jaminan Fidusia yang accesoir yang
menginduk pada perjanjian utang piutang selaku perjanjian pokoknya. Namun
demikian ada sebagian sarjana yang menyanggupi perjanjian tersebut sebagai
perjanjian yang berdiri sendiri, sehingga lahir dan berakhirnya penyerahan hak milik
secara fidusia harus melalui perbuatan hukum itu sendiri. Mengingat bentuknya,
perjanjian fidusia lazimnya dituangkan dalam bentuk tertulis, bahkan tidak jarang
dituangkan dalam akta notaris dengan tujuan untuk memberikan kepastian dan
perlindungan hukum kreditur.

Perjanjian fidusia dilakukan secara tertulis dengan tujuan agar kreditur
pemegang fidusia demi kepentingannya akan menuntut cara yang paling mudah untuk
membuktikan adanya penyerahan jaminannya tersebut terhadap debitur. Hal paling

4

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan Penjelasannya,
Bandung, Alumni, 1993, hal. 92

Universitas Sumatera Utara

4

penting lainnya dibuatnya perjanjian fidusia secara tertulis adalah untuk
mengantisipasi hal-hal diluar dugaan dan diluar kekuasaan manusia seperti debitur
meninggal dunia, sebelum kreditur memperoleh haknya. Tanpa akta Jaminan Fidusia
yang sah akan sulit bagi kreditur untuk membuktikan hak-haknya terhadap ahli waris
debitur.5
Menurut Pasal 5 ayat (1) UUJF No. 42 Tahun 1999 bahwa, “Pembebanan
benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia

dan merupakan akta jaminan fidusia”. Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) UUJF No. 42
Tahun 1999 terhadap pembuatan akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) tersebut di atas dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Pasal 11 ayat (1) UUJF No. 42 Tahun 1999
menyebutkan bahwa, “Benda dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”.
Pendaftaran akta fidusia dilakukan dengan melalui sistem online sebagaimana diatur
di dalam Permenkumham Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran
Jaminan Fidusia Secara Elektronik dimana pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa,
“Pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik adalah pendaftaran Jaminan Fidusia
yang dilakukan oleh pemohon dengan mengisi aplikasi secara elektronik. Selanjutnya
Pasal 2 ayat (1) Permenkumham Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan
Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik menyebutkan bahwa, “Pendaftaran
fidusia secara elektronik meliputi a. pendaftaran permohonan jaminan fidusia, b.

5

Tiong Oey Hoey, Fudusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2006, hal. 47

Universitas Sumatera Utara


5

pendaftaran perubahan Jaminan Fidusia dan c. penghapusan fidusia yang dilakukan
melalui kios pelayanan pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik di seluruh
kantor pendaftaran fidusia”. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam
pembebanan benda yang diikat dengan Jaminan Fidusia maka pembebanan tersebut
wajib dilaksanakan dengan menggunakan akta autentik notaris secara manual,
sedangkan pendaftaran akta Jaminan Fidusia tersebut dilaksanakan secara online
melalui sistem elektronik di kios-kios tempat pendaftaran Jaminan Fidusia secara
elektronik tersebut.
Dalam fidusia debitur melakukan penyerahan benda bergerak secara hak
kepemilikan dimana debitur tetap menguasai barang jaminan tersebut. Mengenai
penguasaan ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama bila yang difudisiakan
adalah barang-barang inventaris maka debitur menguasai barang jaminan atas dasar
jaminan pinjam pakai dengan kreditur, yang kedua bila yang difudusiakan adalah
barang-barang dagangan maka debitur menguasai barang jaminan atas dasar
konsinyasi (consignatie) atau penitipan.6
Dalam pelaksanaan pelaksanaannya di masyarakat pengikatan objek agunan
dengan menggunakan lembaga Jaminan Fidusia sering digunakan oleh bank maupun

perusahaan-perusahaan pembiayaan kendaraann bermotor (mobil) dalam suatu
perjanjian kredit. Pada prinsipnya dalam suatu perjanjian kredit baik oleh bank
maupun

oleh

perusahaan

pembiayaan,

pengikatan

objek

agunan

dengan

6


Gunadi Rahman, Pengertian Fidusia dan Pelaksanaannya dalam Perjanjian Kredit
Perbankan, Salemba IV, Jakarta, 2009, hal. 53

Universitas Sumatera Utara

6

menggunakan lembaga Jaminan Fidusia adalah dengan tujuan mengamankan aset
bank/perusahaan yang diberikan kepada debitur melalui suatu perjanjian kredit dari
resiko debitur tidak mampu mengembalikan hutang-hutangnya kepada pihak bank
atau perusahaan pembiayaan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan pengikatan
objek agunan dengan menggunakan lembaga Jaminan Fidusia merupakan suatu
perjanjian accesoir, dimana perjanjian kredit yang terlebih dahulu dilaksanakan
sebagai perjanjian pokoknya.7
Di dalam dunia bank penyaluran kredit baik untuk kepentingan usaha maupun
untuk kepentingan konsumtif dilaksanakan oleh bank kepada para nasabah peminjam
dengan mewajibkan nasabah peminjam menyerahkan benda jaminan baik bergerak
maupun tidak bergerak kepada bank untuk diikat sebagai Jaminan Fidusia dalam hal
pengamanan penyaluran kreditnya. Salah satu jaminan yang sering digunakan bank
dalam suatu perjanjian kredit tersebut adalah penyerahan benda bergerak dengan

melaksanakan pembebanan Jaminan Fidusia yang diikat melalui suatu akta notaris
serta didaftarkan secara online sesuai ketentuan Permenkumham Nomor 9 Tahun
2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik.
Perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia merupakan salah satu aspek yang
sangat penting dalam pengamanan pemberian kredit tersebut sesuai dengan ketentuan
yang termuat dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Bank yang
merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Perjanjian kredit

7

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,

hal. 104

Universitas Sumatera Utara

7

tidak ada pengaturannya apakah dilakukan secara tertulis atau lisan. Pada umumnya
di dalam pelaksanaan pelaksanaan perjanjian kredit debitur yang mengajukan

permohonan kredit kepada bank harus membuat permohonan kredit secara tertulis
dan juga setelah kreditur tersebut telah disetujui oleh bank maka akan dilakukan
perjanjian kredit juga dalam bentuk tertulis.
Perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia timbul karena adanya perjanjian
pokok, yang berupa perjanjian hutang piutang /pinjam meminjam uang antara bank
selaku kreditur dan debitur pemberi jaminan fidusia. Dengan demikian perjanjian
Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan (accesoir) dari perjanjian pokok yang
bergantung sepenuhnya terhadap perjanjian pokok. Apabila perjanjian pokok berakhir
atau telah hapus maka perjanjian jaminan dengan sendirinya juga akan berakhir atau
hapus. 8
Barang-barang yang termasuk ke dalam benda bergerak yang dapat diikat
dengan Jaminan Fidusia diantaranya adanya kendaraan bermotor, truck/alat-alat
berat, peralatan kantor, emas, dan barang-barang berharga lainnya yang sifatnya
bergerak (mobile). Perjanjian jaminan terhadap benda bergerak dalam suatu
perjanjian kredit umumnya debitur sebagai pemilik jaminan tetap ingin mengusai
bendanya untuk digunakan dalam menjalankan aktivitas dan kegiatan usahanya. Oleh
karena itu menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
bahwa pemberian fidusia dilakukan melalui proses yang disebut dengan “Constitutum
Prossesorium” (penyerahan kepemilihan benda tanpa menyerahkan fisik bendanya).9


88

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2008, hal. 26
9
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005, hal. 36

Universitas Sumatera Utara

8

Perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia yang terjadi antara bank selaku
kreditur dengan debitur pemberi Jaminan Fidusia dalam pelaksanaannya ada kalanya
objek Jaminan Fidusia tersebut musnah karena sesuatu hal pada saat pelaksanaan
perjanjian kredit antara bank selaku kreditur dan debitur pemberi Jaminan Fidusia
masih berlangsung. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan bagi pihak bank karena
objek jaminan yang seharusnya dijadikan pegangan bagi bank dalam pengamanan
penyaluran kreditnya maupun dalam hal pengambilan pelunasan piutangnya apabila
debitur pemberi Jaminan Fidusia wanprestasi dalam melaksanakan pembayaran
hutang-hutangnya kepada bank, tidak dapat lagi dieksekusi oleh pihak bank selaku
kreditur karena telah musnah.
Dalam suatu perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia pada umumnya di
dalam klausul perjanjian kredit yang telah disepakati oleh pihak bank selaku kreditur
dan debitur pemberi Jaminan Fidusia bank mewajibkan debitur pemberi Jaminan
Fidusia untuk mengasuransikan benda Jaminan Fidusia tersebut terhadap pihak ketiga
yaitu pihak asuransi. Kewajiban mengasuransikan benda yang telah dibebani Jaminan
Fidusia adalah bertujuan untuk mengamankan objek Jaminan Fidusia tersebut dari
resiko musnahnya benda Jaminan Fidusia akibat sesuatu hal yang diluar kekuasaan
manusia (force majeure).
Syarat untuk mengasuransikan benda yang telah diikat dengan Jaminan
Fidusia tersebut sudah merupakan syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh pelaku
usaha agar kreditnya dapat disetujui oleh bank yang memberikan pinjaman/kredit.

Universitas Sumatera Utara

9

Oleh karena itu dalam mengantisipasi kemungkinan rusak atau hilangnya barang
yang dijadikan objek Jaminan Fidusia akibat bencana alam atau kesengajaan dari
pihak debitur pemberi jaminan fidusia, maka pihak bank selaku kreditur
mengatisipasinya dengan cara menambahkan atau menyertakan perjanjian asuransi
atas benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia dalam perjanjian kredit tersebut.
Perjanjian untuk mengasuransikan benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia dalam
suatu perjanjian kredit dilakukan saat pengikatan atau penandatanganan perjanjian
kredit yang telah disepakati oleh para pihak yakni pelaku usaha sebagai debitur
pemberi Jaminan Fidusia dan bank sebagai kreditur pemegang sertipikat jaminan
fidusia.10
Pihak bank sebagai kreditur menyerahkan sepenuhnya terhadap debitur untuk
memilih perusahaan asuransi yang akan digunakan dalam mengasuransikan benda
yang yang dijadikan objek Jaminan Fidusia pada perjanjian kredit tersebut. Namun
ada kalanya pihak bank sebagai kreditur telah menetapkan perusahaan asuransi
sebagai tempat mengasuransikan benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia tersebut.
Tujuan diasuransikan benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia tersebut
adalah untuk mengalihkan resiko kepada pihak ketiga yaitu pihak asuransi atas
musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut. Dengan ditandatanganinya polis asuransi
oleh debitur dan perusahaan asuransi dalam perjanjian asuransi, maka pihak debitur
telah terikat untuk membayar sejumlah premi sedangkan pihak perusahaan asuransi

10

HMN Purwo Sujipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid VIII (Asuransi),
Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 27.

Universitas Sumatera Utara

10

terikat untuk bertanggung jawab melakukan ganti rugi terhadap barang bergerak yang
dijadikan objek Jaminan Fidusia apabila mengalami kerusakan atau musnah akibat
bencana alam atau hal-hal yang diluar kekuasaan manusia (force majeure).11
Namun demikian ada juga musnahnya objek Jaminan Fidusia disebabkan oleh
kesalahan dari debitur atau debitur dengan sengaja menghilangkan objek jaminan
fidusia sehingga bank selaku kreditur tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap
objek jaminan fidusia tersebut dalam permasalahan dimana debitur pemberi Jaminan
Fidusia melakukan kesalahan atau dengan sengaja mengakibatkan musnahnya
Jaminan Fidusia sehingga tidak dapat lagi dieksekusi bank selaku kreditur. Apabila
hal tersebut terbukti dalam penyelidikan pihak asuransi maka pihak asuransi tidak
akan melakukan ganti rugi terhadap objek jaminan fidusia yang telah diasuransikan
tersebut. Tanggung jawab terhadap penggantian objek jaminan fidusia tersebut
sepenuhnya berada di tangan debitur pemberi jaminan fidusia.
Dalam hal ini debitur wajib mengganti objek jaminan fidusia dengan nilai
yang sama dengan objek jaminan fidusia yang telah musnah sebelumnya tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam musnahnya objek jaminan fidusia
dapat dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu :
1. Musnahnya objek Jaminan Fidusia disebabkan bukan karena kesalahan dari
debitur pemberi jaminan fidusia atau diluar kekuasaan pemberi Jaminan
Fidusia (force majeure).

11

Salim Abas, Dasar-dasar Perasuransian, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hal. 63

Universitas Sumatera Utara

11

2. Musnahnya objek Jaminan Fidusia disebabkan karena kesalahan sepenuhnya
dari debitur pemberi Jaminan Fidusia atau debitur pemberi jaminan fidusia
dengan sengaja memusnahkan atau menghilangkan objek jaminan fidusia
tersebut sehingga tidak dapat lagi dieksekusi oleh bank selaku kreditur
pemegang jaminan fidusia.
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
mengatur sebagai berikut :
(1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia; atau
c. Musnahnya Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia.
(2) Musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan
klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
mengatur tentang pengecualian terhadap pembebanan jaminan atas benda atau
piutang yang diperoleh dengan perjanjian jaminan tersendiri yaitu pada huruf (b)
yaitu Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia diasuransikan. Jika mengkaji Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tersebut di atas, maka tidak jelas atau adanya
kekaburan pengaturan tentang indikator musnahnya Jaminan Fidusia dan lebih lanjut
juga terjadi ketidakjelasan pengaturan tentang tanggung jawab pihak-pihak dalam
perjanjian khususnya dalam hal perjanjian kredit di bank. Selain itu, tidak jelas
perlindungan hukum bagi para pihak karena musnahnya jaminan fidusia. Dengan
demikian, penting untuk melakukan penelitian terkait dengan adanya kekaburan

Universitas Sumatera Utara

12

norma (Vague van Normen) terhadap tanggung jawab debitur terhadap musnahnya
benda Jaminan Fidusia dalam perjanjian kredit bank.12
Apabila pada saat pelaksanaan perjanjian kredit antara debitur pemberi
Jaminan Fidusia dan bank selaku kreditur masih berlangsung, sedangkan objek
Jaminan Fidusia yang dijaminkan dalam perjanjian kredit tersebut telah musnah,
maka sesuai ketentuan yang telah termuat baik dalam perjanjian kredit maupun dalam
perjanjian polis asuransi maka pihak yang menanggung resiko atas musnahnya benda
Jaminan Fidusia tersebut adalah pihak perusahaan asuransi. Meskipun dalam UUJF
No. 42 Tahun 1999 tidak diatur secara tegas dan jelas tentang akibat hukum apabila
benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia musnah karena hal-hal yang berada di
luar kekuasaan manusia.
UUJF No. 42 Tahun 1999 khususnya pada Pasal 25 hanya mengatur tentang
hapusnya Jaminan Fidusia apabila hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia,
pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia dan musnahnya benda
yang menjadi Objek Jaminan Fidusia. Dengan demikian dapat dikatakan Jaminan
Fidusia akan hapus apabila benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia telah musnah
namun demikian ketentuan Pasal 25 ayat (2) UUJF No. 42 Tahun 1999 mengatur
secara jelas bahwa musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak
menghapuskan klaim asuransi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun
objek Jaminan Fidusia telah musnah yang mengakibatkan hapusnya Jaminan Fidusia

12

Hartoni Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty,
Yogyakarta, 2010, hal. 18

Universitas Sumatera Utara

13

namun debitur pemberi Jaminan Fidusia tetap memiliki hak untuk menuntut pihak
asuransi mengganti kerugian atas musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut
didasarkan kepada perjanjian asuransi yang telah dilaksanakan oleh pihak debitur
pemberi Jaminan Fidusia dengan pihak perusahaan asuransi tersebut. Oleh karena itu
musnahnya benda Jaminan Fidusia tidak menghapus klaim asuransi terhadap
perusahaan asuransi yang menjadi hak dari debitur pemberi Jaminan Fidusia atas
objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengikatan jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank?
2. Bagaimanakah tanggung jawab debitur benda jaminan fidusia yang musnah
dalam perjanjian kredit bank?
3. Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit
bank terhadap musnahnya benda Jaminan Fidusia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, tujuan yang ingin
dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui praktek pelaksanaan pengikatan jaminan fidusia dalam
suatu perjanjian kredit bank

Universitas Sumatera Utara

14

2. Untuk mengetahui tanggung jawab debitur benda jaminan fidusia yang
musnah dalam perjanjian kredit bank
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian
kredit bank terhadap musnahnya benda Jaminan Fidusia
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atas kegunaan baik
secara teoritis dan praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi
maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberikan manfaat guna
menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan pembebanan Jaminan Fidusia
serta pendaftarannya serta bagaimana pertanggung jawaban dan perlindungan
hukum terhadap para pihak berkaitan dengan musnahnya objek Jaminan Fidusia
secara khusus dalam suatu perjanjian kredit bank.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Bank dalam mengantisipasi apabila
objek Jaminan Fidusia tersebut musnah dalam masa perjanjian kredit dan
bagaimana pertanggung jawaban debitur serta perlindungan hukum bagi para
pihak tersebut dalam perjanjian kredit bank;
b. Sebagai informasi dan inspirasi bagi para praktisi bank dalam melaksanakan
perjanjian kredit dengan menggunakan Jaminan Fidusia dimana objek

Universitas Sumatera Utara

15

Jaminan Fidusia tersebut musnah dalam masa perjanjian kredit tersebut
berlangsung;
c. Sebagai bahan kajian bagi masyarakat yang dapat mengambil poin-poin atau
modul-modul pembelajaran dan penelitian ini dan diharapkan dapat
menambah ilmu pengetahuan dalam pelaksanaan perjanjian kredit dengan
Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank apabila objek Jaminan
Fidusia tersebut musnah dalam masa perjanjian kredit tersebut.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi
dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah
Pasca Sarjana universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang dilakukan
dengan judul “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan
Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” belum pernah dilakukan, namun demikian
terdapat beberapa judul yang membahas tentang perjanjian tanpa agunan, antara lain
oleh:
1. Kemala Atika Hayati, 097011042/MKn, dengan judul tesis “Perlindungan Hukum
Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia Terhadap Eksekusi Yang Diumumkan Oleh
Kreditor Lain Atas Debitor Yang Dinyatakan Pailit”.
Pemasalahan yang dibahas :
a. Bagaimanakah kedudukan benda Jaminan Fidusia dengan pailitnya pemberi
fidusia pada Bank CIMB Niaga?

Universitas Sumatera Utara

16

b. Bagaimana kedudukan penerima fidusia (kreditur) pemegang Jaminan Fidusia
yang pemberi fidusianya pailit pada Bank CIMB Niaga?
c. Bagaimana eksekusi benda jaminan yang memberi fidusianya pailit pada
Bank CIMB Niaga?
2. Mirza Prima Kusumaningayu NIM. 127011166 /M.Kn dengan dengan judul tesis,
“Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Hak Fidusia Terhadap Objek Jaminan
Fidusia Yang Disita Pengadilan Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencucian
Uang (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 1607 K/PID.SUS/2012)”
Pemasalahan yang dibahas
a. Bagaimana kriteria penilaian kreditur terhadap debitur yang dipandang layak
dalam suatu perjanjian kredit mobil yang diikat dengan jaminan fidusia?
b. Bagaimana status hukum objek Jaminan Fidusia yang dirampas/disita oleh
negara melalui suatu putusan pengadilan berkaitan dengan kasus tindak
pidana pencucian uang dalam hal debitur tidak mampu membayar hutangnya?
c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur penerima Jaminan Fidusia
terhadap objek Jaminan Fidusia yang disita oleh negara melalui putusan
pengadilan berkaitan dengan kasus tindak pidana pencucian uang?
3. Martinus Tjipto, NIM. 077011079/MKn, dengan judul tesis “Perlindungan
Hukum Terhadap Kreditor Dalam Perjanjian Fidusia Secara Di Bawah Tangan
(Penelitian Pada PT Olympindo Multi Finance Cabang Medan Dan PT ORIX
Indonesia Finance Cabang Medan)”.

Universitas Sumatera Utara

17

Pemasalahan yang dibahas
a. Apakah faktor-faktor penyebab lembaga pembiayaan melakukan perjanjian
fidusia yang dibuat secara di bawah tangan?
b. Bagaimana kedudukan hukum perjanjian fidusia yang dibuat secara di bawah
tangan?
c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur dalam perjanjian fidusia
yang dibuat secara di bawah tangan jika terjadi wanprestasi?
Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang
penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga
penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori,
thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan,
pegangan teoritis.13 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan
pedoman/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14
Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini
adalah teori kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua)
pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa
13
14

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80
Lexy Molloeng, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,

hal. 35

Universitas Sumatera Utara

18

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
aturan hukum yang bersifat umum iitu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan
hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi
dalam putusan hukum antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya
untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.15
Hukum

pada

hakikatnya

adalah

bersifat

abstrak

meskipun

dalam

manifestasinya bisa berwujud konkret. Dalam suatu perjanjian kredit dengan
menggunakan Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh bank selaku kreditur dan debitur
pemberi jainan fidusia pada prinsipnya agar kedua belah pihak memperoleh kepastian
hukum atas perbuatan hukum yang telah dilakukannya. Pihak bank selaku kreditur
pemegang sertipikat Jaminan Fidusia memperoleh kepastian hukum dalam hal
mengamankan aset yang berupa penyaluran dana yang dilakukannya terhadap debitur
pemberi Jaminan Fidusia dengan adanya pengikatan Jaminan Fidusia tersebut. Benda
yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia tersebut akan sepenuhnya berada di tangan
penguasaan pihak bank selaku kreditur apabila dikemudian hari ternyata debitur
pemberi hak tanggungan wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya untuk
membayar hutang-hutangnya kepada bank selaku kreditur tersebut.
Disamping itu pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia juga memperoleh
kepastian hukum atas hak dan kewajibannya dalam suatu perjanjian kredit dengan

15

Meter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta,
2008, hal. 158

Universitas Sumatera Utara

19

pengikatan Jaminan Fidusia tersebut. Pihak bank selaku kreditur akan melakukan
eksekusi terhadap objek Jaminan Fidusia apabila debitur pemberi Jaminan Fidusia
wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya dan pihak bank selaku kreditur
memiliki hak untuk mengambil pelunasan atas piutangnya kepada debitur pemberi
Jaminan Fidusia dengan melakukan penjualan melalui lelang atas objek Jaminan
Fidusia tersebut. Apabila ada sisa dari penjualan objek Jaminan Fidusia tersebut maka
sisa penjualan tersebut wajib dikembalikan kepada debitur pemberi jaminan fidusia.
Dalam suatu perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia untuk memberikan
perlindungan hukum kepada bank selaku kreditur atas objek Jaminan Fidusia tersebut
maka bank selaku kreditur mewajibkan debitur pemberi Jaminan Fidusia untuk
mengasuransikan objek Jaminan Fidusia tersebut kepada pihak ketiga (perusahaan
asuransi) dengan tujuan melaksanakan pengalihan resiko dari pihak debitur pemberi
Jaminan Fidusia maupun pihak bank selaku kreditur kepada pihak asuransi apabila
dikemudian hari objek Jaminan Fidusia tersebut musnah akibat sesuatu hal yang
berada disuatu kekuasaan manusia. Apabila objek Jaminan Fidusia tersebut ternyata
dikemudian hari musnah akibat sesuatu hal yang berada di luar kekuasaan manusia
maka pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia memiliki kepastian hukum untuk
menuntut (mengklaim) perusahaan asuransi dalam hal mengganti kerugian atas objek
Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut.16
Pelaksanaan perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia yang diatur di dalam
UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak memuat ketentuan yang jelas dan tegas tentang hal

16

Sri Rezeky Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta,
2001, hal. 34

Universitas Sumatera Utara

20

yang menyangkut musnahnya benda yang telah diikat dengan jaminan fidusia. UUJF
No. 42 Tahun 1999 hanya mengatur tentang hapusnya perjanjian Jaminan Fidusia
apabila hutang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia tersebut telah lunas, hak atas
Jaminan Fidusia dilepaskan oleh penerima fidusia atau benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia musnah. Dalam hal ini UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak menjelaskan
secara rinci bagaimana bila benda yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia dalam
suatu perjanjian kredit musnah, akan tetapi musnahnya benda Jaminan Fidusia tidak
menghilangkan hak untuk menuntut klaim asuransi terhadap musnahnya objek
Jaminan Fidusia tersebut.
Dari uraian di atas dapat dikatakan meskipun objek Jaminan Fidusia tersebut
telah musnah namun pihak pemberi Jaminan Fidusia yang telah melakukan perjanjian
asuransi terhadap objek Jaminan Fidusia tersebut kepada pihak ketiga yaitu
perusahaan asuransi tetap memiliki hak untuk menuntut / mengklaim asuransi yang
telah disepakati dan telah ditandatangani debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan
pihak perusahaan asuransi tersebut.17 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kepastian hukum atas musnahnya benda Jaminan Fidusia terhadap perlindungan
hukum bagi pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia adalah debitur dapat melakukan
tuntutan / klaim terhadap perusahaan asuransi untuk mengganti kerugian atas nilai
ekonomi objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut. Apabila debitur pemberi
Jaminan Fidusia tidak dapat lagi melunasi kewajibannya terhadap bank selaku
kreditur maka pelaksanaan klaim / tuntutan ganti rugi atas objek Jaminan Fidusia
17

Salim Abas, Dasar-dasar Perasuransian, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hal. 63

Universitas Sumatera Utara

21

yang telah musnah tersebut dilakukan oleh debitur pemberi Jaminan Fidusia atas
nama bank selaku kreditur, atau bank selaku kreditur juga berhak melakukan klaim /
tuntutan atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut kepada perusahaan
asuransi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati di dalam polis asuransi
tersebut.
Peristiwa musnahnya objek Jaminan Fidusia yang diakibatkan sesuatu hal
yang berada di luar kekuasaan manusia tersebut akan menimbulkan suatu
ketidakpastian hukum atas siapa yang bertanggung jawab terhadap musnahnya objek
Jaminan Fidusia tersebut. Namun demikian dengan dilaksanakannya perjanjian
asuransi terhadap objek jaminan fidusia, maka dalam hal ini telah terjadi pengalihan
resiko dari pihak pemberi Jaminan Fidusia dan pihak bank selaku kreditur terhadap
pihak ketiga yaitu perusahaan asuransi. Apabila objek Jaminan Fidusia tersebut
musnah dikemudian hari pada saat perjanjian kredit masih berlangsung, maka
kepastian pertanggung jawaban terhadap penggantian rugi atas objek Jaminan Fidusia
yang telah musnah tersebut telah dialihkan kepada perusahaan asuransi sebagai
perusahaan penanggung ganti rugi atas musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut.18
Dari uraian di atas dapat dikatakan meskipun UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak
mengatur secara tegas dan jelas tentang pertanggung jawaban terhadap musnahnya
objek jaminan fidusia, namun dalam pelaksanaan pelaksanaan perjanjian kredit
dengan Jaminan Fidusia yang dilaksanakan oleh bank dalam upaya mengamankan

18

Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta,
2003. hal. 125

Universitas Sumatera Utara

22

objek Jaminan Fidusia tersebut dan memberikan kepastian hukum atas pertanggung
jawaban musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut maka pihak bank sesuai dengan
ketentuan peraturan tentang perjanjian kredit maka pihak bank mewajibkan debitur
pemberi Jaminan Fidusia tersebut untuk mengasuransikan objek Jaminan Fidusia
tersebut kepada pihak ketiga (perusahaan asuransi) agar kepastian siapa yang
bertanggung jawab atas musnahnya benda Jaminan Fidusia tersebut menjadi jelas
dengan dialilhkannya resiko kerugian terhadap pihak ketiga yaitu pihak perusahaan
asuransi.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi
diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang
konkrit, yang disebut dengan operational defenition.19 Pentingnya definisi
operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran
mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar
secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan, yaitu :
1. Tanggung jawab adalah suatu keadaan dimana seseorang harus bertanggung
jawab dalam hal terjadinya kerugian terhadap orang lain yang diakibatkan
adanya unsur kesalahan oleh dirinya maupun semua orang, hewan dan benda
lainnya yang berada dalam pengawasan dan perlindungannya.

19

Sutan Reny Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia¸Jakarta, 1993, hal. 10

Universitas Sumatera Utara

23

2. Debitur adalah pihak yang berhutang ke pihak lain yang pada umumnya
menerima sesuatu dari pihak lain (kreditur) yang dijanjikan debitur untuk
dibayar kembali pada masa yang akan datang.
3. Kreditur adalah pihak (perorangan maupun kelompok organisasi, perusahaan)
yang memiliki piutang kepada pihak lain yang disebut dengan debitur dalam
bentuk benda atau uang dalam suatu perjanjian dimana diperjanjikan bahwa
pihak yang berhutang tersebut akan mengembalikan hutangnya kepada pihak
yang berpiutang (kreditur) dalam waktu tertentu sebagaimana termuat dalam
perjanjian tersebut.
4. Musnah adalah suatu keadaan dimana suatu benda yang pada mulanya dapat
kelihatan atau berwujud atau dapat digunakan dengan baik menjadi hilang /
lenyap atau tidak dapat dipergunakan lagi sebagaimana mestinya.
5. Objek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang dapat berupa mobil,
sepeda motor, alat-alat kantor yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia
melalui suatu akta otentik notariil dan telah didaftarkan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia adalah suatu perjanjian pengikatan
barang bergerak sebagai objek Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh bank
selaku kreditur dengan menggunakan akta notaris dimana pemberi fidusia
adalah konsumen selaku debitur dan penerima fidusia adalah perusahaan
pembiayaan selaku kreditur dengan tujuan sebagai jaminan hutang dan

Universitas Sumatera Utara

24

jaminan pelunasan hutang debitur apabila debitur tak mampu membayar
hutangnya.
7. Perjanjian kredit adalah suatu kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dalam bentuk akta di bawah tangan maupun autentik mengenai
perjanjian pinjam meminjam sejumlah dana antara bank selaku kreditur dan
debitur dimana di dalam perjanjian tersebut termuat suatu ketentuan hak dan
kewajiban masing-masing pihak yakni penyaluran dana oleh bank selaku
kreditur kepada debitur dan juga pembayaran pinjaman tersebut oleh debitur
dalam jangka waktu tertentu dengan pengembalian secara angsuran hingga
pinjaman tersebut lunas dibayar oleh debitur.

G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah,
sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap
suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian metode
penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.20
Jenis penelitian ini adalah penelitian ilmu hukum normatif, dimana pendekatan
terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan
yang berlaku mengenai hukum jaminan fidusia, ketentuan tentang perjanjian kreit

20

Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, ANDI, Yogyakarta, 2000, hal. 4

Universitas Sumatera Utara

25

bank dengan Jaminan Fidusia dimana objek Jaminan Fidusia tersebut musnah pada
masa perjanjian kredit tersebut berlangsung, dimana debitur pemberi Jaminan Fidusia
wajib bertanggung jawab secara terbatas apabila musnahnya objek Jaminan Fidusia
tersebut disebabkan karena kesalahan, kelalaianatau kekurang hati-hatian dari debitur
pemberi Jaminan Fidusia dalam menjaga objek Jaminan Fidusia tersebut.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian
ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan
yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh
dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam
menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut. Penarikan
kesimpulan dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan analisa terhadap hal-hal
yang bersifat umum (deduktif) untuk kemudian disimpulkan ke dalam hal-hal yang
bersifat khusus induktif.21
2. Sumber Data
Data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum
primer, sekunder maupun tertier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan
kepustakaan yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum perjanjian pada umumnya
dan hukum Jaminan Fidusia pada khususnya serta ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang pengaturan hukum musnahnya objek Jaminan Fidusia pada saat
21

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rienika Cipta, Jakarta, 2008, hal 27.

Universitas Sumatera Utara

26

perjanjian kredit tersebut berlangsung dimana debitur memiliki tanggung jawab
terbatas atas musnahnya Jaminan Fidusia tersebut. Dalam penelitian ini bahan
hukum primer adalah UUJF No. 42 Tahun 1999, Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Bank, KUH Perdata.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya
ilmiah hukum tentang hukum jaminan perjanjian pada umumnya dan hukum
Jaminan Fidusia pada umumnya, serta ketentuan hukum lainnya yang berkaitan
dengan pengaturan pertanggung jawaban debitur secara terbatas terhadap
musnahnya objek Jaminan Fidusia dalam masa perjanjian kredit sebagaimana
termuat di dalam KUH Perdata.
c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum,
ensiklopedia, dan lain sebagainya.22
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan
yaitu studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca,
mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa data primer, sekunder
maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini.23

22

Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi Intitama
Sejahtera, 2010, hal 16.
23
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2011,
hal.8.

Universitas Sumatera Utara

27

4. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan
data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data. 24 Di dalam
penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk
mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang
berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk
memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.25 Sebelum dilakukan analisis,
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang
dikumpulkan baik melalui studi dokumen. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan
dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif. Metode kualitatif merupakan
metode penelitian yang digunakan untuk menyediliki, menemukan, menggambarkan
dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari suatu penelitian yang dilakukan
dengan cara menjelaskan dengan kalimat sendiri semua kenyataan yang terungkap
dari data yang ada baik primer, sekunder maupun tertier, sehingga

menghasilkan

klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini,
dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula yaitu mengenai tanggung
jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam suatu perjanjian
kredit bank, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat dengan metode
deduktif, yaitu melakukan penarikan kesimpulan diawali dari hal-hal yang bersifat
umum untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, sebagai jawaban
yang benar dalam pembahasan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.

24

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal 106.

25

SoerJono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 25.

Universitas Sumatera Utara