Gagasan Komisi Kebenaran dan Rekonsilias

PENTINGNYA KKR PAPUA
Materi Kajian Oleh Bernard Agapa

I.LATAR BELAKANG
Tahun 1961 hingga 1963, Papua merupakan wilayah sengketa internasional antara
Belanda dan Indonesia, berbagai jalur diplomasi digunakan hingga Operasi Militer
untuk menguasai Papua. Pemerintah Indoesia pernah menerapkan Hukum Perang
(dektrit presiden) atas Papua oleh Presiden Soekarno di Alun-alun Yogyakarta pada
tanggal 19 Desember 1961, yang kemudian disertai dengan rangkaian Operasi Militer
yang telah menewaskan ratusan ribu rakyat Papua.
1 Mei 1963 badan PBB untuk dekolonisasi Papua (UNTEA) menyerahkan Papua
secara administratif ke pemerintah Indonesia untuk melaksanakan hak menentukan
nasib sendiri. Pada akhirnya tahun 1969 hak menentukan nasib sendiri atas Papua
dilakukan dengan cara Indonesia dengan cara musyawarah yaitu Penentuan Pendapat
Rakyat (PEPERA) dibawah pengawasan Militer Indonesia yang dikomando Panglima
Mandala.
PEPERA di Papua dilaksanakan tidak sesuai dengan mekanisme internasional “One
Man, One Vote” dan konvenan internasional hak sipil politik. Kecurangan yang
terjadi dalam proses PEPERA dilaporkan Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB,
yang berada di Papua untuk mengawasi pelaksanaan penentuan pendapat rakyat tahun
1969, dalam laporannya menyatakan penyesalannya karena pemerintah Indonesia

tidak melaksanakan isi Perjanjian New York Pasal XXII (22) tentang hak-hak dan
kebebasan orang-orang Papua1.
Sejak integrasi ribuan rakyat Papua telah dibunuh dalam berbagai Operasi Militer
Indonesia. Kekerasan terhadap rakyat Papua telah berlansung sejak tahun 1961
hingga 1998 pasca runtuhnya rezim Soeharto. Pengalaman traumatik atas rakyat
Papua ini terus diabaikan oleh pemerintah Indonesia hingga terus menciptakan
resistensi rakyat Papua yang merasa hak dan martabat tak dihargai. berdasarkan pada
proses ini pentingnya rekonsiliasi itu ada dalam bentuk yang resmi yaitu Komisi
Kebenaran dan Rekonsilisasi.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Papua sebenarnya sudah pernah dicoba
awal tahun 2000 di kalangan gereja-gereja Papua yang coba menangkap momen
politis yang terbuka saat Soeharto turun tahta. Tetapi wacana tersebut tidak sempat
berkembang karena komponen masyarakat lainnya sedang diserap perhatiannya dalam
mengungkapkan segala kekecewaan, kemarahan, dendam, ketidakpuasan, kepada
pemerintah, TNI, dan Polri. Yang secara politis akhirnya diakomodir dalam UU No.
21/2001 tentang Otonomi Khusus pasal 46 yang memberikan peluang hukum kepada
masyarakat Papua untuk mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Menurut
saya untuk merebut kesempatan politis itu tanpa pemahaman yang kuat mengenai inti
KKR yang menjadi paham umum dalam komunitas internasional.
1


John Saltford (2002) United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969: The Anatomy of Betrayal. Routledge

II.

Pentingnya KKR bagi Papua untuk bentuk mengobati pengalaman traumatik rakyat
Papua atas kekerasan militer yang telah berlansung puluhan tahun. Selain itu juga
untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi rakyat Papua.
KERANGKA DASAR KKR
Secara mendasar ada dua cara yang betul berbeda untuk menangani pengalaman masa
lalu yang pahit: jalur pengadilan HAM dan jalur KKR. Pengadilan HAM bertujuan
memeriksa fakta hukumnya, menuntut pertanggungjawaban seluruh sistem yang
terlibat, kemudian menjatuhkan vonis kepada pihak yang bersalah. KKR bertujuan
menggali fakta beserta konteks historis (akar masalah, konteks budaya, struktur
politik) berdasarkan kesaksian korban untuk mencari kebenaran dan akhirnya
pemulihan hubungan antara korban dengan pelaku. Karena itu sejak awal seluruh
unsur masyarakat Papua beserta Pemerintah, DPRD, TNI, dan Polri di Papua perlu
amat menyadari perbedaan ini.
Dalam konteks kerangka penyelesaian berdasarkan pada berbagai produk hukum yang
dibentuk berpijak dalam dua jalur, yakni pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi

melalui pembentukan KKR dan penghukuman kepada pelaku melalui pengadilan
HAM ad hoc.
i.

KEDUDUKAN HUKUM
Pada tahun 2001, melalui UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua,
negara juga berjanji kepada rakyat Papua akan mempertanggungjawabkan
berbagai bentuk pelanggaran HAM melalui dua instrumen, yaitu Pengadilan
HAM dan KKR. UU tersebut menyatakan menyatakan KKR dilakukan untuk
“melakukan klarifikasi sejarah dan merumuskan serta menetapkan langkahlangkah rekonsiliasi” dalam rangka menjaga persatuan bangsa.
Pembentukan KKR di Papua juga sudah sesuai dengan UU No.21 tahun 2001
tetang Otonomi Khusus Papua, UU No. 39 tahun 1998 tentang Hak Asasi
Manusia dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pembentukan KKR di tingkat nasional mendapatkan basis legalnya dalam
Ketetapan MPR No. V Tahun 2000 tentang tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan. Dalam Tap tersebut telah jelas dinyatakan bahwa pada masa lalu telah
terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang perlu
untuk diungkapkan demi menegakkan kebenaran, dan merekomendasikan untuk
memutuskan untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional
sebagai lembaga ekstra-yudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran

dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi
manusia pada masa lampau dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif
kepentingan bersama sebagai bangsa .
Pada tahun yang sama, negara membentuk UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM yang mengatur tentang pemeriksaan perkara-perkara
pelanggaran HAM yang berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Terhadap kejahatan-kejahatan yang masuk kategori pelanggaran
HAM yang berat yang terjadi sebelum tahun 2000, dilakukan melalui Pengadilan

HAM ad hoc. UU juga menyebut bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat
yang terjadi sebelum berlakunya UU ini, tidak menutup kemungkinan
penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yang dibentuk melalui UU.
Baru pada tahun 2004, mandat untuk membentuk KKR semakin jelas, dengan
terbentuknya UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
UU ini mengatur tentang pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM masa lalu,
mekanisme penyelesaian di luar pengadilan dan rehabilitasi kepada Korban.
Namun pada tahun 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU KKR
karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi, Hukum HAM Internasional dan
Hukum Humaniter Internasional, dan MK kemudian merekomendasikan untuk
membentuk UU KKR baru sesuai dengan UUD 1945, hukum humaniter dan

hukum hak asasi manusia internasional. Hingga pada tahun 2015 ini RUU KRR
yang dirancang pemerintah telah masuk prolegnas.
ii.

III.

PERANGKAT-PERANGKAT KOMISI
Dalam KKR biasanya terdapat sejumlah perangkat kerja yang disebut komisi dan
sub-komisi. Komisi berisikan anggota komisi (komisioner) yang memegang
tanggung jawab penuh terhadap kinerja komisi. Selain kekuatan hukum dan
politis, mutu dan wibawa komisi ditentukan oleh kredibilitas anggota komisi.
Karena itu komisioner mau tidak harus diisi oleh orang yang bobot moralnya
tidak dapat diragukan, dapat diterima oleh semua pihak (pelaku dan korban),
berwawasan luas, dan tidak didasarkan prinsip representasi (wilayah, kelompok,
kepentingan politis, agama, suku) karena komisioner harus dapat berdiri di atas
semua kepentingan dan melindungi semua kepentingan. Sub-komisi adalah
orang-orang dengan keahlian khusus yang bertugas membantu pekerjaan
komisioner tetapi tidak memegang tanggung jawab komisi. Ahli hukum, forensik,
bahasa, sejarah, medis, dan bidang lain yang dianggap relevan masuk sebagai
tenaga ahli yang membantu tugas Sub-komisi. Biasanya ada tiga sub-komisi:

[1] penyelidikan pelanggaran berat HAM,
[2] kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi,
[3] amnesti.
KENYATAAN DI PAPUA
Saat berbicara mengenai KKR di Papua, bertitik tolak dari pegangan umum di atas
yang de facto telah menjadi pengalaman banyak negara dan diteliti secara kritis oleh
banyak ahli.
i.

MENANGANI MASA LALU
Dengan gampang setiap orang Papua menceritakan berbagai macam peristiwa
tragis: “bapa dibunuh di kali, ibu dan adik perempuan diperkosa, kampungkampung dibumihanguskan, hutan sagu dihabiskan dan diganti dengan rumah-

rumah transmigrasi, perusahaan masuk tanpa bicara”, dsb. Ingatan penderitaan
(memoria passionis) itu begitu hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi
sehingga menjadi ingatan kolektif. Namun tidak semua ingatan tersebut
didokumentasikan atau dicatat secara tertulis sehingga dapat menjadi fakta-fakta
yang kuat dan tahan uji di hadapan hukum. Baru dalam tahun 1990-an sejumlah
kasus penting didokumentasikan oleh kalangan Gereja-gereja di Papua dan LSM.
Selain itu, selama puluhan tahun para korban atau saksi belum pernah mendapat

kesempatan untuk menyatakan kepedihannya atau pengalamannya di hadapan
siapapun juga. Sebagian kecil saksi atau saksi korban sekarang dapat memberikan
kesaksian entah di tingkat lokal, nasional dan internasional (misalnya kasus
pembunuhan Theys H. Eluay), tetapi hal itu tidak terjadi dengan kasus operasi
militer tahun 1977 di Wamena2 atau Akimuga. Saksi-saksi juga tidak terekam
dalam peristiwa pengungsian besar 1984-1988 dari wilayah Muyu, Pedalaman
Merauke, ke negara PNG3. Dengan demikian hingga kini data yang tersedia
mengenai fakta dan konteks pelanggaran berat HAM amat terbatas begitu juga
saksi yang telah mendapat pendampingan sehingga mampu mengungkapkan
pengalaman hidupnya secara akurat, lengkap, dan jujur. Secara ringkas terdapat
tiga unsur faktual yang turut melatarbelakangi persoalan di Papua dewasa ini:
1.
Suatu kompleks pengalaman selama puluhan tahun terakhir ini yang
lazimnya disebut “Memoria Passionis” yang kolektif, atau “ingatan
penderitaan sebangsa”. Pengalaman-pengalaman penderitaan bersumber
pada:
a. pada kebijaksanaan pembangunan yang diterapkan Pemerintah Indonesia
selama 38 tahun terakhir ini.
b. terjadinya puluhan pelanggaran HAM di wilayah Papua selama Papua
diintegrasikan kedalam Republik Indonesia.

c. kehadiran serta tingkahlaku ABRI di wilayah ini yang lazimnya ditandai
suatu sikap arogan dan main kuasa sewenang-wenang.
2.
Kejadian-kejadian selama sejarah Bangsa Papua seperti:
a.
Program pemerdekaan yang diprakarsai oleh Pemerintah Belanda
pada tanggal 1 Desember 1961, dengan:
 Mengangkat wakil-wakil masyarakat setempat menjadi 50%
dari jumlah anggota Nieuw Guinea Raad (DPR),
 Mengibarkan bendera Bintang Kejora berdampingan dengan
bendera Belanda, dan
 Mensosialisasikan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”.
b.
Penetapan “New York Agreement” (NYA) pada tahun 1962, yang
dijadikan dasar peralihan Nederlands Nieuw Guinea dari
kekuasaan pemerintah Belanda kepada kekuasaan pemerintah
2

Dr. Benny Giay telah mencoba mendokumentasikan operasi militer terhadap suku Dani tahun 1977 dengan mewawancarai sejumlah
saksi yang masih hidup. Usaha tersebut dicatat dalam sebuah catatan “Peristiwa Jayawijaya 1977”, Jayapura: Juli 2001.

3
SKP Keuskupan Jayapura pernah diminta oleh UNHCR untuk mengadakan penelitian mengenai pengungsi Muyu yang telah kembali
dari PNG ke kampung halamannya. Penelitian singkat itu dituangkan dalam laporan “Returnees from Papua New Guinea to Irian
Jaya, a survey report”, Jayapura: SKP Keuskupan Jayapura, 1999.

3.

Indonesia. Kesepakatan dasar ini ditetapkan tanpa pengambilan
bagian oleh Bangsa Papua sendiri didalam perundingan.
c.
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969, yang
dilaksanakan secara tidak benar karena disertai intimidasi,
paksaan, penganiayaan, dan dengan menafsirkan secara sepihak isi
persyaratan pelaksanaan sebagaimana tertuang dalam NYA,
hingga bercacat hukum.
Protes masyarakat selama ini yang tidak pernah didengar atau ditanggapi
dengan serius oleh pihak yang berkuasa, maka:
a.
Bangsa Papua tidak pernah merasa diri diakui martabat serta jati
dirinya sebagai manusia sejati.

b.
Bangsa Papua tidak pernah merasa diri diakui dan dilindungi
sebagai warga negara Indonesia sepenuhnya dengan segala hak
serta kewajibannya sebagai warga negara, seperti digariskan
dalam alinea ke-4 pembukaan konstitusi Republik Indonesia
(UUD 1945).

Pengalaman di atas akhirnya betul menjadikan rakyat Papua merasa tidak berdaya
karena terus-menerus diperlakukan bukan sebagai manusia yang memiliki harkat
dan martabat dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
ii.

IV.

KETERPECAHAN MASYARAKAT
Kenyataan lain yang dihadapi di Papua dewasa ini adalah keterpecahan antar
berbagai pihak yang terus makin tajam. Sejumlah kotak yang makin tak dapat
dipertemukan adalah Papua dengan non-Papua, pro-O dengan pro-M4, Kristen
dengan Islam. Masing-masing pihak cenderung menutup diri dalam
tempurungnya dan enggan untuk membuka hati dan pikiran guna mengusahakan

suasana baru secara bersama. Kenyataan sedemikian tidak membantu siapapun
juga untuk mengadakan dialog apalagi sampai dengan tahap rekonsiliasi.
Semboyang “Papua sebagai zona damai” memang terus dipajang dan
diomongkan tetapi belum sampai pada tahap untuk mengisinya hingga menjadi
pedoman kerja yang konkret dan operasional. Langkah dialog antar ghetto
tersebut menjadi prasyarat mutlak adanya proses rekonsiliasi yang sejati.

KEMAUAN POLITIS DAN PERANGKAT HUKUM
Kemauan politis pemerintah dan perangkat hukum menjadi prasyarat lain bagi
terciptanya rekonsiliasi yang tepat. Dalam UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus pasal 46, bahwa KKR “demi pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa”
berarti KKR sudah dipasung demi kepentingan integrasi negara. Hal yang sama terjadi
jika KKR diarahkan kepada referendum. KKR tidak bisa diabdikan kepada kepentingan
politis tetapi kepada kebenaran dan kepentingan korban. Masyarakat perlu amat kritis
4

Uraian mengenai keterpecahan antara kelompok O dan M dapat dibaca dalam tulisan Theo van den Broek ofm,
Mengatasi Keterpecahan yang Melumpuhkan, Jakarta: 2002

dengan ketentuan hukum yang mau tak mau mencerminkan sejauh mana kemauan
politis penyelenggara negara dalam KKR.
Dalam draft RUU KKR yang digagas pemerintah menjelaskan bahwa pembentukan
KKR di Papua berdasarkan Keputusan Presiden setelah mendapatkan usul dari
Gubernur, hal ini sesuai dengan UU Otsus sendiri.
V.

MENGGALI BUDAYA ‘PERDAMAIAN’ DALAM ADAT SUKU-SUKU DI
PAPUA
Dalam tradisi budaya suku-suku di Papua sebenarnya terdapat adat yang mengatur soal
pendamaian antara pihak-pihak yang berselisih, bertikai, bahkan berperang. Di
sejumlah wilayah (misalnya, Paniai, Asmat, Baliem, Beoga, Ilaga), adat tersebut masih
dihidupi oleh suku-suku yang bersangkutan dalam menyelesaikan konflik internal
mereka. Warisan adat tersebut dapat dipergunakan sebagai wahana simbolis dalam
proses rekonsiliasi juga. Dengan kemajemukan Papua dewasa ini kekayaan adat sukusuku Papua tetap dapat dipergunakan sebagai simbol pendamaian asalkan semua pihak
dihantar ke dalam pemahaman yang sama.

VI.

MEKANISME
AKUNTABILTITAS
REKONSILIASI

KOMISI

KEBENARAN

DAN

Kehadiran gagasan komisi kebenaran dan rekonsiliasi merupakan salah satu
mekanisme yang melengkapi proses akuntabilitas atas kejahatan pelanggaran ham
berat. Merefleksikan pengalaman berbagai negara sebagaimana dituliskan oleh
Priscillia Hayner, kehadiran komisi ini didasari oleh pentingnya melakukan catatan
yang akurat atas pengalaman masa lalu (historical record of past abuses)5. Melalui
pengungkapan praktek kekerasan dan pelanggaran ham berat di masa lalu ini, negara
dapat belajar untuk menghindarkan terjadinya perulangan praktek pelanggaran ham
berat serupa di masa yang akan datang. Dalam konteks ini, fungsi terpenting adalah
mendorong adanya pengakuan secara official atas rangkaian praktek pelanggaran ham
berat yang terjadi di masa lalu. Pengakuan ini mengandung konsekuensi pada negara
untuk secara publik mengakui kesalahannya atas praktekpraktek di masa lalu dan
dengan demikian menjadi bagian dari pengetahuan publik secara nyata. Untuk
pengakuan sangat penting dukungan publik baik nasional maupun lokal Papua sendiri.
i.

NASIONAL
Dalam Draft RUU KKR Nasional yang digagas pemerintah dan sudah masuk
prolegnas 2015 terlihat jelas bahwa pembentukan KKR di Papua atas Keputusan
Presiden setelah mendapatkan usul dari Gubernur Papua. Dalam proses

5

Unspeakable. Truths: Confronting. State Terror and Atroc- ity. By Priscilla B. Hayner.
New York, London: Routledge, 2001

rekonsiliasi sangat penting dukungan dari semua pihak baik pemerintah, NGO,
CSO bahkan lembaga-lembaga negara.

6

1.

KOMNAS HAM
Upaya untuk melakukan pengungkapan kembali kekerasan dan pelanggaran
hak asasi manusia di masa lalu, mendapatkan ruang setelah keluarnya UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 6. UU ini memberikan
mandat kepada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dan
pemeriksaan terhadap suatu peristiwa yang di dalamnya patut diduga telah
terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Berdasarkan mandat ini selanjutnya
Komnas HAM membentuk sejumlah Komisi Penyelidik Peristiwa
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM), untuk melakukan
penyelidikan atas dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
pada beberapa peristiwa, baik yang aktual maupun yang terjadi di masa
lalu.
Khusus untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, sesuai
dengan ketentuan di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, hasil penyelidikan Komnas HAM selanjutnya dilimpahkan ke
Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan dengan langkah penyidikan dan
penuntutan. Selain itu, hasil penyelidikan juga wajib diserahkan ke DPR
untuk dilakukan penelaahan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan
keluarnya rekomendasi DPR tentang langkah-langkah yang harus ditempuh
pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut, khususnya perlu tidaknya
pembentukan pengadilan ad hoc hak asasi manusia.

2.

MABES TNI/POLRI
Keterlibatan TNI/POLRI dalam proses rekonsiliasi di Papua merupakan
suatu kewajiban sebagai penyelenggara negara dan bentuk pemahaman
bersama untuk menentukan langkah strategis keamanan nasional. Pada
posisi untuk merubah cara pandang militer atas Papua secara keseluruhan,
dimana pada praktek hari ini Papua dianggap sebagai daerah rawan, padahal
Papua bukan zona perang tetapi bagian dari integrat NKRI. Dalam proses
penyelidikan hingga penyelesian keterlibatan TNI/POLRI merupakan hal
yang sangat penting untuk keterbukaan infomasi dan juga sebagai
keseimbangan sipil-militer untuk proses rekonsiliasi. Dan beberapa hal
yang penting diperhatikan dalam mekanisme akuntabilitas;

Pasal 89 ayat (3) huruf b UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan, “penyelidikan dan pemeriksaan
terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terhadap
pelanggaran hak asasi manusia”. Kewenangan ini diperkuat oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
yang memberikan wewenang pada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, seperti di tegaskan di dalam Pasal 18 ayat (1).

a.

b.
c.

ii.

TNI/POLRI sebagai aktor pelanggar HAM tidak lagi pada posisi
melindungi oknum anggota yang terindikasi keterlibatan kasus
pelanggaran HAM.
TNI/POLRI harus terbuka dalam membuka informasi keterlibatan
anggotanya dalam kasus masa lalu.
TNI/POLRI harus mempercayakan pada proses hukum sebagai
amanat dari reformasi.

DAERAH
1.

KOMDA HAM PAPUA
Komda HAM Papua dalam kerjanya memperbantukan Komnas HAM,
tetapi faktanya hingga hari ini tak satupun kasus pelanggaran HAM berat di
Papua yang diselidiki. Sejauh ini, belum ada "taring" perwakilan Komnas
HAM Papua. Penyebabnya antara lain :
1. Keputusan strategis masih harus diambil oleh komnas ham pusat
sehingga kewenangan perwakilan ini sangat terbatas.
2. Anggota perwakilan komnas ham papua bekerja berdasarkan sk
komnas ham pusat.
3. Karena statusnya yang "dibawah" komnas ham pusat maka
pemerintah provinsi papua tidak merasa berkewajiban untuk
membiayai operasionalnya.
4. Karena tidak ada kejelasan fungsi, peran dan kewenangannya,
perwakilan komnas ham tidak memiliki orientasi yang jelas.
Harapan yang sebagian besar agar lembaga ini bisa memberikan solusi
terhadap kasus-kasus HAM di Papua, ternyata tidak bisa terwujud.
Untuk mendukung proses rekonsiliasi Komda HAM papua perlu
diperbaharui baik dalam manajemen hingga kewenangannya.

2.

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT
Untuk mewujudkan rekonsiliasi keterlibatan Pemerintah provinsi Papua dan
Papua Barat merupakan “kunci” utama. Sebab sebagaimana tertera dalam
UU No.21 tahun 2001 dan Draf UU KKR bahwa pembentukan KKR Papua
merupakan atas usulan gubernur ke Presiden, yang akan ditindaklanjuti
melalui keputusan Presiden.
Sebagai bentuk mekanisme akuntabilitas pemerintah Provinsi Papua dan
Papua Barat melalukan konsultasi publik kepada masyarakat di seluruh
Papua. Dalam hal ini yang akan menjalankan adalah Majelis Rakyat Papua
(MRP) untuk mendengarkan pendapat dari seluruh elemen masyarakat di
Papua dan kemudian kesimpulannya diakomodir oleh DPR-Papua dan
DPR-Papua Barat untuk direkomendasikan ke Gubernur dan diserahkan
kepada presiden. Kedua Gubernur di Papua juga harus segera mengeluarkan
peraturan gubernur untuk mengkonsolidasikan masyrakat sebagai bentuk
awal niat politik untuk “demi persatuan dan kesatuan” bangsa.

VII.

KAJIAN KKR

7

i.

PEMAHAMAN REKONSILISASI
Rekonsiliasi adalah konsep yang begitu padat. Arti “rekonsiliasi” tidak semurah
dengan berjabat tangan atau memaafkan segala kesalahan setelah orang
bertengkar atau berkelahi. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai
pencapaian kesepakatan antara pihak korban dan pihak pelaku untuk
menyelesaikan konflik, untuk membuat damai, untuk memulihkan hubungan,
untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, serentak memberikan ganti rugi
atau pemulihan lainnya. Gambaran itu sederhana saja tetapi akan menjadi rumit
saat diterjemahkan dalam mekanisme hukum dan ditempatkan dalam konteks
politik Papua dewasa ini. Pemulihan itu menyangkut hubungan antar
orang/pribadi, struktur sosial, dan struktur politik. Dapat diringkaskan dengan
perkataan “forgive but don’t forget” (mengampuni namun jangan melupakan).
KKR dimaksudkan untuk memulihkan kembali suatu suasana masyarakat
dimana korban dan pelaku dapat berjumpa kembali dan menggariskan sejarah
masa depan yang baru. Dengan demikian inti KKR adalah untuk memperbaiki,
membantu siapa saja dan pihak mana saja untuk mengolah dan menyembuhkan
pengalaman yang pahit masa lampau sehingga tidak menjadi suatu beban berat
bagi masa depan.

ii.

PRAKTIK-PRAKTIK KKR
Saat gagasan rekonsiliasi atau pendamaian itu dituangkan dalam mekanisme
hukum, mau tidak mau paham tersebut berkaitan dengan konteks politik tertentu
dan perlakuan politik tertentu pula. Wujud nyata dari kemauan politik suatu
negara untuk menangani masa lampaunya yang pahit adalah pembentukan KKR.
Di Papua hendak dibentuk KKR seperti telah digariskan dalam pasal 46 UU No.
21/ 2001 tentang Otonomi Khusus. Kemauan politik tersebut akan sangat
menentukan kinerja KKR karena langsung menentukan sendi dasar KKR. Ambil
saja contoh dari sejumlah pengalaman KKR di sejumlah negara7. Afrika Selatan
misalnya mampu menangani pengalaman masa lampaunya dan mencegah
terjadinya tindak balas dendam massal kulit hitam terhadap kulit putih bukan
karena adanya UU yang mengatur hal itu tetapi karena pihak korban –yang
dilambangkan dalam diri Nelson Mandela—mampu membuka jalan baru:
pemulihan harkat kemanusiaan (konsep Afrika Selatan: ubuntu atau harkat
kemanusiaan sejati)8. Sikap ini mampu menjadi kemauan politik yang
mengalahkan segala nafsu balas dendam. Di Uganda (1974) pemerintah
membentuk KKR atas tekanan komunitas internasional dan kemudian
menerbitkan laporan 1.000 halaman tetapi tidak mampu mengumumkan kasus-

Daan Bronkhorst, Truth and Reconciliation: Obstacles and opportunities for Human Rights, Amsterdam: Amnesty
International Dutch Section, 1995, hlm. 85-89. Penulis itu meneliti berbagai kinerja KKR yang telah dibentuk di lima
benua sejak tahun 1971-1995.
8
Desmond Tutu, No Future without Forgiveness, London: Rider Book, 1999, hlm. 34-35

kasus individual sehingga gambaran masalah begitu umum, kabur dan diabaikan
oleh pemerintah Idi Amin yang berkuasa. Di Chile (1990-1991), kemauan politik
untuk menangani masa lalu tidaklah sungguh besar sehingga ketika laporan KKR
(1.800 hlm) diumumkan oleh Presiden Aylwin dan pemerintah meminta maaf
kepada keluarga korban, faksi militer mulai melakukan teror dan pembunuhan
politik terhadap senator terkemuka dari partai oposisi. Akibatnya seluruh proses
rekonsiliasi terhenti dan junta militer kembali berkuasa. Kelemahan yang terjadi
di Uganda terulang di Chad (1991-1992). KKR berhasil menerbitkan laporannya
tetapi oleh pemerintah laporan tersebut dijadikan sarana ampuh untuk cuci
tangan9 saja tanpa tindak lanjut yang memadai.
Berdasarkan penelitiannya, Priscilla B. Hayner akhirnya merumuskan bahwa
KKR yang bermutu memiliki empat kriteria fundamental:
a) memfokuskan diri pada masa lalu,
b) tidak memfokuskan diri pada kejadian khusus tetapi berusaha
menggambarkan seluruh potret pelanggaran hak asasi manusia atau
pelanggaran hukum humaniter internasional selama kurun waktu tertentu,
c) bekerja dalam kurun waktu tertentu (bersifat sementara) dan selesai
dengan terbitnya laporan fakta-fakta hasil temuan komisi,
d) memiliki kekuasaan yang memadai, dukungan dana, akses kepada
infromasi, jaminan keamanan untuk menggali masalah-masalah yang
peka, dan pengaruh yang luas saat menerbitkan laporan.
VIII.

KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas pentingnya KKR bagi Papua untuk bentuk mengobati
pengalaman traumatik rakyat Papua atas kekerasan militer yang telah berlansung
puluhan tahun. Juga untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat Papua. Dan
ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai bentuk rekonsiliasi:
i.

PEMBEBASAN TAHANAN POLITIK
Membebaskan Tahanan Politik Papua tanpa syarat sebagai bagian dari
rekonsiliasi dan berikan beasiswa pendidikan buat anak-anak Tapol/Napol,
sebagai upaya rekonsiliasi Negara dan anak-anak yang menanggung akibat
penahanan atau pun terbunuhnya orangtua mereka. hentikan stigma bagi anakanak Tapol/ Napol. Keempat, hentikan stigma OPM kepada Orang Papua yang
kritis kepada kebijakan pemerintah dan perlakukan mereka layaknya Orang
Indonesia yang kritis kepada pemerintahnya.
Mengapa Tapol/Napol, anak-anak Tapol/Napol dan stigma menjadi penting?
Karena Tapol/Napol dan anak-anak mereka adalah korban langsung dari konflik
yang terjadi di Papua.Mereka yang minta merdeka sehingga Otsus ini ada, sebab
itu mereka harus merasakan manfaat langsung dari Otonomi khusus agar tercipta
rekonsiliasi. Berikutnya adalah stigma. Stigma adalah label yang dengan mudah
diberikan kepada siapa saja yang mengkritisi pemerintah. Bukan rahasia lagi,

9

Ibid., hlm. 604

aksi-aksi protes masyarakat Papua terhadap eksploitasi SDA-nya seringkali
berakhir bentrok dengan aparat yang menjadi antek-antek perusahaan (investor).
Ketika terjadi bentrok, bukannya menyelesaikan akar bentrok, tetapi aparat
keamanan dan pemerintah dengan mudahnya memberikan stigma separatis
terhadap korban-korban kekerasan aparat.
ii.

10

DIALOG POLITIK
Menurut Bar-Tal (2000)10 rekonsiliasi harus mensyaratkan adanyaperubahanperubahan psikologis yang mendasar, yaitu proses transformasi beliefs dan sikap
yang menyokong hubungan yang damai (peacefull relation) antara pihak-pihak
yang bermusuhan. Yang dimaksud oleh Bar-Tal (2000), adalah harus terjadi
perubahan etos dari etos berkonflik (conflictive ethos) menjadi etos damai (peace
ethos). Perubahan etos ini hanya bisa terjadi jika adanya perubahan belief dalam
masyarakat.
Kepercayaan Orang Papua kepada pemerintah hingga saat ini sangat minim. Tak
heran jika hampir semua kebijakan pembangunan di Papua ditanggapi dengan
penolakan dan hal ini tentunya sangat menghambat usaha untuk membangun
Papua, apalagi menyejahterakan Orang Papua. Perubahan psikologi masyarakat
sangat penting jika kita ingin membicarakan kesejahteran. Kesejahteraan
bukanlah hal yang bersifat materiil saja, tetapi psikologis juga hal yang utama.
Usulan saya adalah langkah-langkah kecil yang dapat dilakukan Jakarta bagi
Orang Papua sebagai wujud niat baik dalam upaya rekonsiliasi, dengan
meluruskan sejarah dan juga hal nyata dirasakan oleh Orang Papua. Upaya ini
hanya memerlukan niat baik tetapi berdampak pada penyembuhan luka hati dan
meningkatkan kepercayaan Orang Papua. Niat baik itu mungkin akan ditanggapi
dengan kecurigaan dan belum tentu Orang Papua mau menerimanya. Tetapi
langkah aktif rekonsiliasi harus tetap diambil oleh Jakarta untuk menunjukkan
sebuah niat baik pemerintah, sebab Papua sudah secara proaktif membicarakan
rekonsiliasi lewat mekanisme dialog Jakarta – Papua.

Bar-Tal, D. (2000). Shared beliefs in a society: Social psychological analysis. Thousand Oaks, CA:
Sage.