Yang bergoyang Estetika dan Pengalaman R

“Yang Bergoyang, yang Menantang, yang Elusif”
Sebuah Dialog Estetika dengan Pengalaman Religius
oleh Hendar Putranto
pengajar Mata Kuliah Religiositas dan Logika di Universitas Multimedia Nusantara

Apa yang muncul di benak Anda ketika melihat foto berikut ini?

[sumber gambar 1: http://img401.imageshack.us/img401/1718/i1406970dewipersik003xe4.jpg ]

Bagaimana dengan yang ini?

[sumber gambar 2:
http://duckhenge.uoregon.edu/io/images/cache/750-http___duckhenge.uoregon.edu_io_images_story_dance.jpg-orig.jpg ]

1

Dalam foto 1, kita melihat artis Dewi Persik yang sedang manggung dan mempertontonkan
kebolehannya bergoyang. Di foto kedua, kita melihat sekelompok anak muda sedang
memperagakan koreografi dance kontemporer. Dua foto ini berbicara tentang aktivitas kesenian
manusia, dalam hal ini seni tari kontemporer, yaitu “goyang dangdut” dan “modern dance.” Saat
melihat kedua foto ini, mungkin kita menangkap ada nuansa yang berbeda. Lebih jauh lagi, jika kita

mengetahui konteks sosial-politis-budaya yang mana di dalamnya aktivitas kesenian ini
berlangsung (dipertunjukkan), besar kemungkinan kita akan lebih mengenali dan memahami
sejumlah hal yang berbeda. Satu hal yang pasti: tidak setiap orang menanggapi kedua foto di atas
secara seragam. Reaksi yang mungkin timbul setelah melihat foto yang pertama bisa jadi akan lebih
beragam daripada saat melihat foto yang kedua. Familiaritas dengan wajah dan setting yang
dipaparkan lewat foto 1 diandaikan hadir dan menjadi latar-belakang pengenalan. Para pembaca
yang budiman tentu mengenali sosok yang tampil dalam foto 1. Ya, tidak salah lagi. Itulah foto
Dewi Persik, artis dangdut yang sedang naik daun beberapa tahun terakhir ini.
Akan tetapi, malang bagi Dewi Persik, penyanyi dan penari dangdut asal Jember (Jawa
Timur) yang terkenal dengan „goyang gergaji”- nya ini, karena beberapa waktu yang lalu, ia dicekal
(dilarang) tampil di wilayah kabupaten Tangerang karena penampilannya saat manggung dinilai
seronok dan mengumbar aurat sehingga dikhawatirkan dapat membangkitkan birahi (gairah seks)
kaum lelaki, khususnya anak-anak dan remaja. Itulah pernyataan sikap yang disampaikan oleh
Walikota Tangerang, H. Wahidin Halim kepada wartawan pada Senin, 24 Maret 2008.1 Pencekalan
terhadap aktivitas goyang dangdut Dewi Persik ini ternyata tidak hanya terjadi di satu tempat saja
(Tangerang), namun juga meluas ke beberapa daerah lainnya, seperti di kota Bandung, Kabupaten
Probolinggo, juga di Sukabumi. 2
Beberapa tahun sebelumnya (tahun 2003), seorang penyanyi dan penari dangdut yang
mentas ke jajaran selebritis papan atas di blantika musik Indonesia, Inul Daratista, juga pernah
mengalami perlakuan yang sama seperti Dewi Persik, yaitu dicekal manggung di sejumlah wilayah

di pulau Jawa, bahkan “goyang Inul menjadi pembicaraan hangat dan sempat dibahas dalam dengar
1

Sebagaimana dilansir http://www.rileks.com/seleb/?act=detail&artid=31102006118854 yang direkam pada 15 Mei
2008 11:11:14 GMT, Walikota Tangerang, H. Wahidin Halim, mengatakan bahwa "Bila ada penyanyi dangdut yang
manggung menggunakan pakaian seksi, dapat menimbulkan birahi terutama bagi anak-anak dan remaja, maka akan
berbahaya." Dia mengatakan, dalam beberapa kali pertemuan dengan tokoh ulama maupun pemuka masyarakat
diperoleh kesimpulan bahwa daerah tersebut tertutup bagi penyanyi yang goyang erotis apalagi mengenakan pakaian
seksi yang mengumbar aurat. Pernyataan walikota tersebut terkait dengan pencekalan pihak Pemkot Tangerang kepada
penyanyi dangdut Dewi Persik untuk manggung di Tangerang karena dalam setiap penampilan Dewi Persik selalu
mengenakan pakaian yang seksi dan aksi goyangnya dicemaskan dapat mengundang birahi kau m adam. Bandingkan
berita ini dengan “pembelaan” Dewi Persik sendiri tentang kasus pencekalan dirinya tersebut, yang bisa diakses di
http://www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id= 39316.
2
Lihat laporan Herman Tjahja, "Dewi Persik Dicekal di Su kabumi," Ju mat, 18 April 2008 yang edisi onlinenya dimuat
di http://www.wartakota.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2985

2

pendapat umum antara Badan Legislasi (Baleg) dan para artis dangdut yang tergabung dalam

Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI).” 3 Menurut Ketua PAMMI, Rhoma Irama,
goyangan Inul sudah mengacu pada erotisme dan sensualitas, sehingga banyak ditentang. Bukan
hanya para artis dangdut, tetapi juga mayoritas kalangan umat Islam menentangnya. "Indikasi
erotisme sensualitas itu adalah gerakan yang sengaja menggoyangkan, maaf, pantat dan alat
reproduksi kepada penonton dengan gerakan erotis yang menimbulkan rangsangan birahi. Ini jauh
dari estetika," 4 demikian ditegaskan Rhoma Irama. Meskipun gelombang protes menerpa sosok
yang terkenal dengan goyang “ngebor” dan “molen”- nya ini, Inul tidak sendirian. Ada beberapa
tokoh artis, wartawan5 , maupun akademisi yang “membela” goyang Inul6 . Salah satunya adalah Dr
Ayu Sutarto, ahli humaniora pada Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember. Dalam tulisannya
“Goyang Inul, Pasar, dan Pengadilan Budaya” 7 , Ayu Sutarto menegaskan bahwa
“Pengadilan budaya dalam kasus Inul berangkat dari dua pendekatan, yakni
etno estetik dan religio estetik. Dari kaca mata etno estetik, apa yang
dilakukan Inul dipandang sebagai hal biasa-biasa saja. Sebab, ekspresi estetik
simbolik seperti itu dapat ditemukan dalam berbagai jenis tari di Indonesia ,
misalnya, jaipong, tayub, gandrung, lengger, dan lain-lain. Karena itu, huku m
positif akan sulit d iterapkan terhadap ekspresi berkesenian Inul. Apalagi, jika
gerakan tubuh itu dikaitkan dengan masalah erotika, pornografi, atau perusak
moral bangsa. Agaknya, dakwaan itu terlalu dicari-cari. Tetapi, bila penilaian
itu berangkat dari relig io estetik, persoalannya akan menjad i lain. Sebab,
agama memang sudah mempunyai patokan tertentu mengenai aurat dan batas batas ekpresi politik tubuh yang dapat mengundang syahwat. Religio estetik

tidak akan memberi ruang sedikit pun kepada Inul.”

[sumber gambar 3: http://www.bp3.blogger.co m/.../h YKg6lBj5Dc/s320/inul-01.jpg]

3

Lihat laporannya di http://www.gatra.co m/ 2003-05-12/art ikel.php?id=28341.
ibid.
5
Lih. tulisan Adi Ekopriyono (wartawan Suara Merdeka di Semara ng), “Inulisasi” yang bisa diakses di
http://www.suaramerdeka.com/harian/0305/03/kha2.ht m
6
Lihat jurnal BASIS Ed isi Khusus, Mei 2003, yang mengupas tuntas goyang Inul ini dari beberapa perspektif, seperti
etika, studi kebudayaan, antropologi, politik, dan sebagainya. Bandingkan dengan tulisan Lembaga Pengkajian Ilmu
Keislaman (LPIK) yang menyoroti kasus Inul ini secara cukup berimbang “Goyang Inul: Mantra, Tafsir dan Dangdut
„Pinggiran‟” dalam http://lpik.mu ltiply.co m/ journal/item/ 67
7
Bisa
diakses
di

http://www.geocit ies.com/inuldangdut/pol_tubuh.html
atau
http://mail2.factsoft.de/pipermail/national/2003-February/013483.ht ml
4

3

Dari himpunan berita dan peristiwa menyangkut kasus pencekalan terhadap aktivitas
berkesenian dari para penyanyi dan penari dangdut seperti Dewi Persik dan Inul Daratista di atas,
juga beberapa artis lainnya (seperti seniman, penyanyi, pemusik) 8 yang ekspresi kebebasan dan
kreativitas penghayatan seni mereka juga diprotes dan dikecam, teramat mungkin kita merasa
terusik dan bertanya, mengapa sampai terjadi semua pelarangan, pencekalan, pemberangusan ini?
Atas dasar apa ini dilakukan? Apakah pencekalan itu bisa dibenarkan secara “budaya” (di mana seni
termasuk di dalamnya)? Apakah seni yang sesuai “akidah” berarti si seniman (artis), terutama artis
perempuan, harus membungkus auratnya rapat-rapat? Bagaimana jika pencekalan ini menjadi tren
yang lantas diikuti oleh sebagian besar pejabat pemerintah di kabupaten-kabupaten atau propinsipropinsi lainnya di Indonesia? Dalam keterbatasan ruang pemaparan, dan kemungkinan
kemajemukan penafsiran serta sudut pandang, izinkan penulis mengajukan menganalisis dan
menafsirkan gugus peristiwa di atas dengan menggunakan pendekatan yang jarang diangkat oleh
para pemikir dan komentator sosial-budaya di Indonesia, yaitu dengan pendekatan „filsafat seni‟
(estetika) yang didialogkan dengan pendekatan fenomenologi kesadaran beragama sebagaimana

diuraikan filsuf besar Jerman, G. W. F. Hegel dalam adi-karyanya yang terbit pertama kali pada
1807, yaitu “Fenomenologi Roh” (Phänomenology des Geistes) 9 . Adapun argumen yang akan saya
pertahankan dalam esei ini kurang lebih berbunyi sebagai berikut:
“Jika seni dipahami sebagai wahana ekspresi diri, dan filsafat seni (estetika) berarti penilaian
(evaluation, judgment) tentang baik dan buruknya, tinggi dan rendahnya „kualitas‟ wahana ekspresi diri
tersebut dengan mengacu pada sejumlah kriteria yang bersifat intersubjektif, maka, dilihat dari terang
pemahaman atas fenomena kesadaran religius yang salah satu momen manifestasinya adalah agama seni
(sebagaimana dipahami Hegel), „goyang dangdut‟ adalah salah satu manifestasi dari seni sebagai wahana
ekspresi diri yang menubuhkan keinderawian dan kesegeraan (sense-immediacy) sekaligus cuatan dari
pengalaman artistik serta kesadaran religius tertentu yang keberadaannya (penampakan dan
pertunjukannya) tidak seyogianya dibatasi, dilarang, apalagi dicekal atas dasar ketakutan „dapat merusak
moral bangsa‟ atau atas dasar kriteria tafsir serta pemahaman agama yang sempit dan yang cenderung
sarat muatan politis, namun (goyang dangdut) juga hendaknya tidak dimuliakan sebagai bentuk satusatunya dari seni sebagai wahana ekspresi-diri dan manifestasi Roh dalam sejarah.”
Untuk lebih jelasnya, marilah sekarang kita masuk ke dalam pokok bahasan filsafat seni
guna meletakkan argumen di atas pada tempatnya.

8

Seperti perintah boikot Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Nusa Tenggara Barat, H Lalu Suhaemi I s my,
terhadap peredaran album Kamasutra dari penyanyi muda yang sedang naik daun, Julia Perez. (lihat liputan dari

Pingkan
Ulaan,
“Kena
Cekal,”
Sabtu,
26
April
2008
di
bandingkan
juga
http://www.wartakota.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3313&Itemid=77),
peristiwa yang beberapa tahun lalu terjadi yaitu protes Front Pembela Islam (FPI) terhadap artis Anjas mara dan Issabele
Yahya yang berpose telanjang dalam CP Biennale Jakarta September 2005 d i Museum Bank Indonesia.
9
Penulis menggunakan edisi bahasa Inggris dari Phänomenology des Geistes, yang diterjemahkan oleh A. V. Miller
dengan Analisis Teks dan Kata Pengantar oleh J. N. Findlay, yaitu Phenomenology of Spirit, Oxford, New York,
Toronto, Melbourne: Oxford University Press, 1977.

4


Tentang Seni dan Estetika
Ketika berbicara tentang seni, karya seni dan ekspresi artistik manusia, kita tidak bisa
melepaskan diri dari hal- ihwal „penilaian cita-rasa‟ (judgment of taste), refleksi atas ide keindahan
(the idea of beauty), dan cara-cara mencipta (kreasi) serta menghargai (apresiasi) karya seni.10
Dalam esei ini, kita tidak akan masuk ke dalam problematika dan perdebatan panjang tentang
definisi seni, estetika, konsep keindahan dan nilai dalam seni, namun cukuplah untuk
menggarisbawahi sejumlah gagasan yang berfungsi untuk menopang argumen utama dalam esei ini.
Bagaimana keterkaitan antara seni dengan estetika (filsafat seni)? Menurut Chris Barker dalam
bukunya The Sage Dictionary of Cultural Studies (2004) 11 , estetika adalah cabang dari filsafat yang
berurusan dengan pertanyaan tentang Seni dan keindahan. Estetika dalam pengertian tradisional
mencoba mencari pendasaran dan kriteria universal untuk mendefinisikan Seni, misalnya nampak
dalam karya Immanuel Kant tentang Seni dan Estetika, Kritik der Urteilskraft (The Critique of
Judgment)12 , dan dengan demikian estetika tradisional cenderung bercorak esensialisme. Penilaian
estetis mencoba membedakan antara Seni dan bukan Seni, dan juga Seni yang baik dan Seni yang
buruk. Dengan melakukan ini, penilaian estetis menggarisbawahi pentingnya membedakan kanon
artistik atau susastra dengan yang bukan-kanon. Filsafat keindahan (nama lain dari „estetika‟) juga
menjelaskan relasi antara Seni dengan ranah aktivitas manusia lainnya seperti moralitas, politik, dan
perdagangan.
Berbeda dari Kant yang menekankan segi otonomi seni dari ranah-ranah aktivitas manusia

lainnya (seperti sains dan moralitas), Hegel mencoba menempatkan seni di bawah perspektif
historis dan budaya 13 . Sebagai objek dan pengalaman, seni harus dipahami dalam perspektif sejarah,
artinya, bentuk-bentuk seni akan berbeda seturut periode penciptaan dan „semangat‟ (Geist)

10
Lih. Richard Kearney and Dav id Rasmussen (tim editor), Continental Aesthetics: Romanticism to Postmodernism, An
Anthology, Oxford (UK) and Malden (USA): Blackwell Publishers, 2001. Bdk. Mudji Sutrisno, dkk, Teks-teks Kunci
Estetika (Filsafat Seni), Yogyakarta: Galang Press, 2005. Lihat juga konsep “estetika” sebagaimana dipaparkan Barry
Hartley Slater (University of Western Australia ) dalam the Internet Encyclopedia of Philosophy (yang bisa diakses di
http://www.iep.utm.edu//a/aestheti.htm) yang memberikan gambaran yang cukup lengkap dan terklasifikasi tentang
konsep-konsep, nilai-nilai, sikap-sikap estetis serta intensi, definisi, ekspresi, representasi dan objek-objek seni. Dalam
wikipedia (http://en.wikipedia.o rg/wiki/Aesthetics ), tercatat bahwa estetika (aesthetics) pada umumnya disepakati
sebagai studi tentang hal-ihwal keinderawian (sensory) atau nilai-nilai yang melekat pada indera dan rasa-perasaan
(sensori-emotional values), yang biasanya disebut dengan „penilaian perasaan dan cita-rasa‟ (judgments of sentiment
and taste) atau refleksi krit is tentang seni, kultur, dan alam (critical reflection on art, culture and nature). Meskipun ada
sejumlah ahli yang mengidentikkan estetika dengan „filsafat seni‟ (the philosophy of art), namun jika d ilihat secara
lebih cermat lagi, keduanya memiliki beberapa perbedaan, di mana estetika lebih berpusat pada pertanyaan -pertanyaan
tentang kategori-kategori yang bersifat abstrak untuk melihat dan menilai dunia in i (misalnya dari segi keindahannya)--jadi, estetika bergerak di level metafisik, ontologi dan teori nilai---sementara filsafat seni lebih berpusat pada kritik dan
apresiasi terhadap objek-objek atau karya-karya seni yang sudah termanifestasi.
11

Barker, Chris, The SAGE Dictionary of Cultural Studies, London, Thousand Oaks, dan New Delh i: Sage, 2004.
12
Dalam karya monumental di b idang seni dan estetika ini, Kant berargumen bahwa estetika adalah bentuk otonom
yang terpisah dari penyelid ikan sains dan prinsip-prinsip moralitas.
13
Lih. bagian Introduction dalam Richard Kearney and David Ras mussen (tim ed itor), Continental Aesthetics:
Romanticism to Postmodernism, An Anthology, ibid., hlm. 3.

5

zamannya 14 . Maka, dilihat dari perspektif sejarah, menurut Hegel ada tiga jenis hubungan antara Ide
dan penampakannya secara inderawi, yang muncul dalam bentuk-bentuk seni, yaitu seni simbolik,
seni klasik, dan seni romantik 15 . Masing- masing momen (tahapan) dalam perjalanan manifestasi Ide
tentang seni secara inderawi ini mempunyai puncak-puncaknya yang khas. Pada seni simbolik,
puncaknya adalah seni arsitektur. Pada seni klasik, puncaknya adalah seni patung, dan pada seni
romantik, puncaknya adalah seni puisi.
Dalam tulisannya, Lectures on Aesthetics 16 , Hegel membuat klasifikasi ide-ide tentang karya
seni ke dalam tiga judul besar, yaitu (1) karya seni bukanlah produk alamiah melainkan produk
aktivitas manusia, (2) karya seni dibuat untuk „dipahami‟ (apprehension) manusia, dan secara
khusus, karya seni diciptakan serta diinspirasikan oleh ranah inderawi (senses), (3) karya seni

mempunyai tujuan pada dirinya sendiri. Dua pertimbangan yang pertama saya kira sudah cukup
jelas. Namun untuk hal nomor (3), saya merasa perlu menjelaskannya sedikit lebih jauh. Apa tujuan
seni pada dirinya sendiri? Secara panjang lebar, Hegel menguraikan tujuan seni pada dirinya sendiri
yaitu bahwa “tujuan seni seharusnya terdiri dari (upaya) membangkitkan dan menghidupkan
perasaan-perasaan, juga kecenderungan-kecenderungan, serta hasrat- hasrat kita yang tertidur, dalam
memenuhi hati kita dengan beraneka macam rasa-perasaan yang...dapat menggerakkan hati kita ...
untuk merasakan dan mengkontemplasikan kenikmatan yang dicecap oleh roh kita ... agar manusia
terbiasa (bergaul) dengan yang menegangkan dan mengerikan, juga yang menyenangkan dan
membahagiakan... dan akhirnya membiarkan imajinasi mengembara dan bermain- main dengan
imaji, pikiran, perasaan, yang sarat pesona dan godaan inderawi dalam visi dan perasaan.”17
Terkait dengan penjelasan Hegel di atas tentang tujuan dari seni pada dirinya sendiri, tentu
kita bisa sepakat bahwa seni tari dan gerak (dance, movement) adalah sebuah bentuk seni yang amat
berpusat pada dimensi keinderawian, dalam hal ini tubuh sebagai media ekspresi yang simbolis,
simbol dari ide keindahan yang coba diwujudkan dan ditampilkan. Dikatakan sebagai „media
ekspresi yang simbolis‟ karena lewat gerak dan tari, si penari tidak hanya menggerakkan anggota
14

Untuk uraian panjang lebar dan tersistematisasi dengan baik menyangkut pokok in i, lihat tulisan Fit zgerald K.
Sitorus, “Estetika Hegel” dalam Mudji Sutrisno, dkk, Teks-teks Kunci Estetika (Filsafat Seni), Yogyakarta: Galang
Press, 2005, h lm. 11 – 39, khususnya hlm. 22 – 29.
15

Hegel, G. W. F., “Lectures on Aesthetics” dikutip dari Lectures on Fine Art, diterjemahkan oleh T. M. Kno x, Oxfo rd
and New York: Oxfo rd University Press , 1975, sebagaimana direpresentasikan oleh Kearney dan Rasmussen (tim
editor), ibid., hlm. 104.
17
Hegel, loc.cit., dalam Kearney dan Rasmussen (tim editor), ibid., hlm. 114. Lengkapnya berbunyi sebagai berikut,
“Its aim therefore is supposed to consist in awakening and vivifying our slumbering feelings, inclinations, and passions
of every kind, in filling the heart, in forcing the human being, educated or not, to go through the whole gamut of
feelings which the human heart in its inmost and secret recesses can bear, experience, and produce through what can
move and stir the human breast in its depths and manifold possibilities and aspects, and to deliver to feeling and
contemplation for its enjoyment whatever the spirit possesses of the essential and lofty in its thinking and in the Idea--the splendor of the noble, eternal, and true: moreover to make misfortune and misery, evil and guilt intelligib le, to make
men intimately acquainted with all that is horrible and shocking, as well as with all that is pleasu rable and felicitous,
and finally to let fancy loose in the idle plays of imag ination and plunge it into the seductive magic of sensuously
bewitching visions and feelings.”

16

6

tubuhnya, namun lebih bahwa gerak dan tari menjadi ekspresi dari bisikan dan inspirasi yang dapat
menggerakkan hati mereka yang menontonnya sekaligus membuat pikiran dan perasaan kita larut
dalam „kontemplasi akan Yang Indah dan Yang Harmonis.‟ Mari kita perhatikan beberapa gambar
di bawah ini yang kiranya dapat menjadi contoh dari pernyataan di atas.

(4)

(5)

[sumber gambar 4 = http://imcradiodotnet.files.wordpress.com/2008/03/ mythological -themes-krishna-2004-1.jpg]
[sumber gambar 5 = http://www.mongolart .mn/bimeges/photo/religious_dance_large.jpg ]

Dilihat secara historis, seni tari dan gerak mempunyai tempat yang signifikan, tidak hanya
dalam ranah seni dan budaya, namun juga, misalnya, dalam ekspresi religius individu maupun
kelompok. Sebagaimana diamati oleh Rev. Nalbandian, meskipun asal- usul religious dancing tidak
bisa dikatakan secara pasti, namun yang jelas ia sudah ada sejak zaman dulu kala, sejak masa purba.

(6)
[sumber gambar (6): http://www.4to40.co m/images/culture/Shiva_Tandava_dance/Shiva_Tandava_dance_image.gif ]

7

Pada suatu masa dalam sejarah umat manusia, tari dan gerak yang bernuansa religius
(religious dancing) tidak bisa dipisahkan dari penghayatan religiositas, dan bahkan seni gerak dan
tari dianggap sebagai ekspresi dari keyakinan dan dunia batin dari para pemeluk dan penghayat
agama-agama. Religious dance tidak pernah berdiri sendiri sebagai aktivitas tunggal, namun selalu
diiringi oleh lagu (gita), tepuk tangan, dan bunyi-bunyian instrumen musik seperti gendang,
seruling, dan lain- lain [lihat gambar 5 di atas]. Sebagaimana musik menyatakan ekspresi terdalam
jiwa manusia, begitu juga tari, yang dapat mengekspresikan dunia batin, emosi-emosi spiritual dan
kepribadian seseorang. Lewat gerakannya, tari dapat membawa keluar dan membuat kesedihan dan
sukacita seseorang dikenali. 18 Paparan ini sedikit banyak menggemakan apa yang dikatakan oleh
Hegel di bagian awal tadi. Jadi, sebagai kesimpulannya, seni (di dalamnya termasuk seni tari)
adalah ekspresi diri yang intim dari para senimannya, yang mengungkapkan kekayaan dunia batin,
kehalusan budi dan perasaan, mengkomunikasikan segi-segi pengalaman yang mungkin tidak dapat
diungkapkan lewat bahasa verbal (diskursus).

Seni, Agama, dan Pengalaman Religius
Sekarang marilah kita tinjau aspek seni yang berbentuk tari (dancing) ini dan keterkaitannya
dengan pengalaman religius. Sekali lagi kita akan berguru pada Hegel yang menyampaikan
pandangannya tentang keterkaitan antara seni, agama, kesadaran, dan perjalanan Roh yang ia
rangkum dalam judul “Agama Seni.”19
Pertama-tama, baik jika kita mencermati tabel berikut untuk mendapatkan gambaran
keseluruhan tentang letak „agama seni‟ dalam skema berpikir dialektis Hegel menyangkut momenmomen perjalanan Roh memanifestasikan dan mengenali dirinya kembali dalam sejarah umat
manusia 20 .

Letak dalam skema
dialektis
Contoh manifestasi
The Being of God
Sikap penghayat
yang menonjol
Deskripsi singkat

AGAMA ALAM

AGAMA SENI

AGAMA WAHYU

Universalitas

Partikularitas

Individualitas

Panteisme, dinamisme,
animisme
Imanen total

Agama Ibrani, Agama
Yunani, Agama Romawi
Transenden
Sense of beauty and
appreciation
Tuhan berbeda dari
manusia, ada jarak, objek
kontemplasi; manusia
mulai aktif-partisipatif

Pasif, ketakutan
Segala sesuatu adalah
Allah; Allah hadir dalam
segala sesuatu (meresapi
segalanya)

Agama Kristen
Imanen sekaligus Transenden
Kebebasan
Tuhan ada dalam loh hati
manusia sekaligus Ia juga
bertahta dalam surga ;
Panenteisme

Lih.
Nalbandian,
Zenob,
“The
Shepherd
and
His
Flock"
yang
bisa
diakses
di
http://www.armenianheritage.co m/darelig.ht m
19
Hegel, Phenomenology of Spirit, op.cit., par. 699 – 747.
20
Skema in i pernah penulis sampaikan dalam makalah yang merefleksikan karya Hegel “Fenomenologi Ro h” bagian
“Agama Seni” (paragraf 699 – 726) dalam rangkaian diskusi di Ko mun itas Hegel STF Driyarkara, Senin, 5 Mei 2008.
18

8

Produk yang
dihasilkan

Ritus, sesajen, untuk
„mencegah‟ amarah dewa
dan dengan demikian
menjaga keharmonisan
alam dan manusia

dalam hidup beragama
Tuhan atau dewa
dituangkan dalam bentuk
objek sesembahan yang
berupa patung, ukirukiran, gubahan lagu

Aktif partisipatoris, non-utopis;
“politik” menciptakan dan
menghadirkan surga di bumi

Berbicara tentang fenomena kesadaran religius 21 , secara sederhana Hegel membaginya
menjadi tiga tahapan perkembangan, yaitu dari agama alam (natural religion)  agama seni
(religion in the form of art), dan  akhirnya berpuncak pada „agama wahyu‟ (revealed religion).
Lewat paparannya di bagian “Agama” 22 , Hegel berikhtiar menjelaskan fenomenologi kesadaran
religius dalam skema dialektika perkembangan spiritual (baca: perjalanan Roh absolut untuk
memanifestasikan dan mengenali dirinya) yaitu kesadaran (agama alam), kesadaran-diri (agama
seni), dan akal budi (agama wahyu) sambil menunjukkan paralelnya dengan tiga tahapan kesadaran
yaitu kepastian inderawi, persepsi dan pemahaman. 23 Perlu juga dipahami sejak awal bahwa dengan
mengulas “agama seni” Hegel tidak memaksudkannya sebagai sebuah traktat filosofis (estetis)
tentang seni klasik (Yunani dan Romawi), namun lebih sebagai refleksi historis atas kesadaran
religius yang mengekspresikan dirinya dalam seni. Hegel mencoba memahami transisi dari agama
alam ke agama seni dengan mengamati dan menganalisis tahapan peralihan agama dari agama
Mesir (kuno) ke agama Yunani. Sudah cukup lama Hegel terpesona pada kebudayaan Yunani,
khususnya kemajuan dan pencapaian di bidang seni dan agama. Dalam agama Mesir, keilahian
masih menempati skema yang kasar atau buram dalam konstelasi pikiran dan tindakan manusia.
Relasi yang Ilahi dengan yang manusiawi masih bernuansa kepasifan dan ketakutan di pihak
manusia, dan kemahakuasaan serta kesewenang-wenangan di pihak yang Ilahi. Akan tetapi, dengan
mentasnya agama Yunani, yang Ilahi “diturunkan” ke bumi dan diberi tempat bermukim. Dewa
yang bermukim dalam patung-patung adalah dewa yang dipenuhi (dijalari) oleh terang kesadaran.
Inilah agama yang mengalami transisi dari tahap “kontemplasi alam” ke “kesadaran-diri” yang
cukup 24 . Menyangkut periode transisi ini, tesis yang diajukan Hegel kira-kira berbunyi sebagai
berikut: Roh Ilahi (Roh Absolut) berbicara secara lebih otentik dalam karya tangan manusia yang
disarati roh artistik daripada dalam kejadian-kejadian alam.
Dalam momen „agama seni‟, Hegel membagi karya seni (work of art) menjadi tiga jenis,
yaitu: karya seni yang abstrak (the abstract work of art), karya seni yang hidup (the living work of
art) dan karya seni yang spiritual (the spiritual work of art). Ciri dari karya seni yang bersifat

Secara ringkas, Hegel memahami „agama‟ (religion) sebagai kesadaran akan „Pengada Yang Absolut‟ yang
menampakkan dirinya. Lih. 21 Hegel, Phenomenology of Spirit, op.cit., par. 672.
22
Hegel, Phenomenology of Spirit, ibid., par. 672 – 787.
23
Lauer, Quentin, A Reading of Hegel’s Phenomenology of Spirit, New York: Fordham Un iversity Press, 1993, hlm.
267. Selanjutnya akan disingkat menjad i Lauer, A Reading, hlm. (…)
24
Lauer, A Reading of Hegel’s Phenomenology of Spirit, ibid., hlm.266.
21

9

abstrak (“abstrak” dalam terminologi Hegel tentu saja) adalah kesegeraan dan langsung
(immediacy)-nya. Dari sudut pandang religius, patung-patung yang disembah dalam agama seni
(seperti dalam agama orang Yunani dan Romawi), di mana dewa dipercaya hadir di dalamnya dan
yang sekaligus menjadi objek sesembahan (cultic object) adalah “benda” „yang tak bernyawa‟
(inanimate); (patung-patung tersebut) baru bernyawa (animated) ketika ia meletak dalam aktivitas
„pemujaan‟ (cult). Dalam bahasa khas Hegel, inilah proses „penubuhan‟ (Behausung) yang bersifat
individual dari objek universal yang mau digambarkan. 25 Perjalanan Roh memanifestasikan dirinya
dan manusia merealisasikan kebebasannya tidak berhenti pada ritual di kuil-kuil pemujaan dan
karya ciptaan seniman yaitu patung, namun ia melangkah lebih jauh lagi, yaitu pada karya seni yang
hidup (the living work of art). Dalam arti apa “hidup” di sini? Yang dimaksud dengan karya seni
yang hidup adalah bahwa kehadiran dewata tidak lagi dilihat dan dialami sebagai penanda dan
pengingat yang berjarak yang dihidupkan oleh aktivitas pemujaan namun yang setelahnya tetap
tinggal sebagai patung-patung yang mati, namun sebagai dia yang ikut serta dialami dan berbagi
hidupnya dengan manusia. Jadi, ringkasnya, yang Ilahi berbagi hidupnya dengan yang manusiawi
dan yang manusiawi berpartisipasi dalam karya yang Ilahi. Apa saja bentuk-bentuk dari karya seni
yang hidup ini? Lauer mendokumentasikan empat bentuk karya seni yang hidup 26 , yaitu (1) pesta
perjamuan, saat perjamuan makan bersama dengan dewata, orang berbagi keilahiannya, (2) misteri,
di mana individu secara lebih intim bersatu dengan dewata, entah secara rahasia maupun secara
terbuka, (3) tari (dance), di mana gerak tubuh manusia mengekspresikan kehadiran yang ilahi, dan
(4) ekstasi, di mana kata menjadi niscaya untuk mengekspresikan perasaan yang sifatnya ilahisekaligus-manusiawi.
Berikut bagan yang merangkum paparan Hegel tentang tiga momen karya seni yang
termasuk ke dalam „agama seni‟:
Abstract work of art Living work of art
Letak dalam skema
dialektis
Contoh manifestasi
atau produk yang
dihasilkan

The Being of God

25
26

Kesadaran saja
Patung-patung dan
pahatan yang dipersepsi
sebagai “tempat Roh
yang Ilahi bermukim”
dalam aktivitas
pemujaan
Kesadaran diri dan roh
artistik si artificer yang
tertuang lewat patung
dan pahatan hasil
karyanya dalam

Spiritual work of art

Kesadaran diri sudah
mulai namun belum
amat terdiferensiasi

Kesadaran diri yang terdiferensiasi
dan terjadi pola pengindividualan
dewa-dewa

Aktivitas pemujaan
(the Cult ) lewat pesta
perjamuan, misteri,
dansa dan ecstasy

Ekspresi kesadaran diri yang tertinggi
yang terepresentasi lewat bahasa
puisi: Epos, Tragedi dan Komedi

Ia yang semakin
mendekati manusia
dan manusia yang
mengaktualkan
(acting-out) pemujaan

Kesadaran diri umat (jemaat) yang
diproyeksikan (projected selfconsciousness of a people)

Lauer, A Reading, hlm. 268
Lauer, A Reading, hlm. 269.

10

perjumpaan dengan
yang Ilahi yang
memanifestasikan
dirinya dalam hasil karya
tersebut

Sikap penghayat
yang menonjol

Pemujaan pasif;
penyembahan patung

mereka dalam
ekspresi bersama

Aksi dan gerak
bersama yang
dipimpin oleh para
imam

Pemberontakan, refleksi, keputusan
sadar dan bebas (penentuan diri)

Butir-butir Refleksi
Dari uraian teoretis di atas, saya mengajukan lima butir refleksi sejauh menyangkut pokok
bahasan serta argumen utama yang saya angkat di bagian awal esai ini (halaman 4).

(1) Dalam pandangan Hegel, Roh memanifestasikan dan mengenali dirinya setela h melewati
tahapan-tahapan perjalanan, di mana salah satu tahapannya adalah mewujud dalam agama seni.
Sebagai tanggapan dari perwujudan Roh dalam sejarah, manusia merealisasikan kebebasannya
sekaligus mencipta (to create) sebagai buah dari kesadaran-dirinya dalam kebersatuan dengan yang
Ilahi. Sampai di titik ini, kita bisa bertanya sebagai berikut: apakah agama seni berarti juga sebuah
seni beragama? Jika seni dipahami tidak saja sebagai seperangkat kecakapan untuk menciptakan
sesuatu atau karya cipta (produk) yang lahir dari daya-daya kreatif manusia yang diwujudkan dalam
dan lewat materi (kayu, batu, kain, tanah, dll) namun juga berarti berpartisipasinya seseorang ke
dalam realitas adi- inderawi (yang indah, yang „sublim‟, yang transenden, yang tak lekang oleh
zaman tak lapuk digerus waktu), maka tahapan agama seni sebagaimana dipahami Hegel juga
memuat karakteristik seni beragama atau persisnya seni menghayati agama (the art of practising
religion). Yang saya maksud dengan seni menghayati agama di sini ada lah sikap hidup seseorang
yang tidak menuhankan sesuatu benda apapun (Idols dalam terminologi Francis Bacon, Idée fixée
dalam terminologi Friedrich Nietzsche) tanpa ia sendiri ikut berpartisipasi, berkreasi, sadar-diri di
dalamnya. Agama yang dihayati tanpa hati, perasaan dan daya cipta (sebagaimana ditunjukkan
secara kuat lewat seni), adalah agama yang miskin dan penghayatannya adalah penghayatan yang
kaku, abstrak, dan „mati.‟
(2) Menyangkut karya seni yang menggunakan tubuh sebagai media ekspresinya (dancing,
theatre, seni instalasi, dan sebagainya), menurut hemat saya, akan lebih tepat jika kita
menempatkannya dalam proporsinya yang tepat, menyangkut multi-dimensionalitas kapasitas dan
kapabilitas manusia sebagai makhluk yang merajut makna dan simbol27 . Dalam terang pengertian
yang seimbang, tubuh, gerak dalam tari dan ekspresi simbolisnya, berbagi tempat dan makna dalam
konteks keseluruhan dimensi mengada manusia, seperti kemampuan berpikir dan mencipta imaji
27

Lih. Cassirer, Ernst, An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture , Yale University Press,
1944.

11

(pictorial thinking), bertutur lewat bahasa dan puisi, menciptakan alat-alat dan perkakas untuk
bertahan hidup dan mengubah dunianya, dan sebagainya. Berdasarkan pengamatan dan refleksi
filsuf Hans Jonas 28 , yang membedakan manusia dari binatang adalah kemampuan manusia untuk
menciptakan benda (tool), imaji (image), dan berpikir tentang kematiannya (grave). Ketiga artefak
ini menjadi ciri khas kualitas manusia sebagai makhluk pembentuk (homo faber), makhluk yang
dapat membentuk citra atau imaji (homo pictor), dan makhluk yang dapat merenungkan
kematiannya sendiri dan mempersiapkan kuburannya. Tahapan yang lebih rendah adalah toolmaking, lalu berlanjut ke tahap yang lebih tinggi yaitu image-making, dan terakhir adalah ciri
konstitutif yang jelas-jelas membedakan manusia dengan binatang, yaitu bahwa ia dapat
menjadikan kuburan sebagai simbol kemampuannya untuk melampaui (transendensi) lingkungan
hidupnya yang serba segera dan langsung (immediate), menuju ke ranah yang kasat mata (invisible)
dan immaterial. Danse macabre 29 atau tarian kematian adalah ikhtiar sadar manusia Abad
Pertengahan untuk mengakrabi sekaligus menjinakkan ketakutan mereka terhadap maut yang secara
acak memilih korbannya, tanpa membedakan status sosial. Namun, danse macabre juga bisa
ditafsirkan sebagai persiapan rohaniah manusia untuk me nyongsong datangnya kematian, dan inilah
yang menjadi kekhasan manusia.

(7)
[sumber gambar (7): http://cache.eb.com/eb/image?id=68741&rendTypeId=4]

28

Lih. Jonas, Hans, Mortality and Morality: A Search for the Good after Auschwitz, second paperback printing
Evanston, Illinois: Northwestern University Press, 1999, hlm. 85, dst.
29
Bd k. Bau man, Zygmunt, Mortality, Immortality and Other Life Strategies, Camb ridge dan Oxford (UK): Polity Press,
1992, h lm. 95-96.

12

Jika dilihat dalam terang refleksi ini, seni tari dan gerak menempati level ekspresi roh
artistik manusia yang sifatnya masih „segera dan langsung‟ (immediate), di mana dimensi pancaindera masih memainkan peranan yang amat menentukan.
(3) Mengomentari argumentasi Dr. Ayu Sutarto yang saya kutip di bagian awal esei ini
(hlm. 3), “bila penilaian (terhadap goyang Inul) itu berangkat dari religio estetik, persoalannya akan
menjadi lain. Sebab, agama memang sudah mempunyai patokan tertentu mengenai aurat dan batasbatas ekpresi politik tubuh yang dapat mengundang syahwat. Religio estetik tidak akan memberi
ruang sedikit pun kepada Inul,” jika dilihat dari perspektif Hegelian, terminologi „religio estetik‟
yang dimaksud Ayu Sutarto tentu religio estetik dalam pengertian tertentu dan terbatas. Artinya,
religio estetik dalam periode sejarah (ruang dan waktu) tertentu, yang dalam hal ini berlaku atau
terjadi di Indonesia, di masa sekarang, dengan melibatkan perspektif agama tertentu, dan berangkat
dari tafsir ajaran-ajaran atau akidah-akidah agama yang juga partikular. Mengapa demikian?
Dengan mengacu pada estetika struktur candi Borobudur 30 yang menjadi kebanggaan budaya
bangsa Indonesia dan diakui sebagai warisan budaya dunia (world cultural heritage), misalnya, kita
menyaksikan mosaik- mosaik (ukiran, pahatan) yang menggambarkan proses ziarah religius yang
dialami Siddharta Gautama dalam tahap kamadhatu. Dalam tahap ini, manusia digambarkan masih
mengumbar dan mengejar pemenuhan hasrat „kedagingan‟ atau nafsunya sendiri, naluri-naluri liar.
Yang nikmat, enak dan meriah dirayakan dan diberi tempat sebagai bagian dari proses yang niscaya
dalam proses pemurnian batin manusia yang berkhtiar untuk menggapai penghayatan religiositas
yang lebih tinggi dan lebih murni. Tahapan „peziarahan rohani‟ yang masih melekat pada
keinderawian ini diafirmasi dan diterima, namun tidak lantas berhenti di sini, melainkan diupayakan
untuk terus dilampaui, ditransendensi. Maka, kita juga dapat mencermati tahapan-tahapan
rupadhatu dan arupadhatu dalam estetika struktur candi Borobudur, sebagai tahapan yang lebih
tinggi dari tahapan kamadhatu. Kriteria religio estetik bukanlah kriteria yang baku dan final karena
bagaimanapun baik agama maupun seni (estetika) adalah sesuatu yang dinamis, yang masih terus
berkembang seiring dan sejalan dengan gerak pemahaman atas kenyataan dan realisasi kebebasan
manusia. Kalaupun „goyang dangdut‟ pada masa sekarang „dicekal‟ karena alasan melanggar
kriteria agama (tertentu) atau kaidah kesopanan, penulis percaya bahwa inipun masih akan berubah
mengingat Roh Ilahi (Roh Absolut) berbicara secara lebih otentik dalam karya tangan manusia yang
disarati roh artistik daripada dalam belenggu penafsiran agama yang beku dan kaku. Secara
alamiah, sifat elusif (mengelak, licin) dari seni sebagai ekspresi kesadaran, kebebasan dan
penentuan diri, di hadapan rezim yang otoriter dalam penafsiran, akan semakin menguat alih-alih
surut dan padam. „Goyang dangdut‟ sebagai salah satu manifestasi dari seni sebagai wahana
Lih. Mudji Sutrisno, “Estetika dan Religiositas” dalam Mudji Sutrisno, dkk, Teks-teks Kunci Estetika (Filsafat Seni),
op.cit., hlm. 184 – 186.
30

13

ekspresi diri yang menubuhkan keinderawian dan kesegeraan (sense-immediacy) sekaligus cuatan
dari pengalaman artistik serta kesadaran religius tertentu memang tidak seyogianya dibatasi,
dilarang, apalagi dicekal atas dasar ketakutan „dapat merusak moral bangsa‟ karena, sebagaimana
sudah penulis jelaskan di atas, merupakan satu tahapan perjalanan Roh dalam memanifestasikan
dan mengenali dirinya, dan ini hanya bisa dijustifikasi dalam kerangka penafsiran yang historis.
(4) Meskipun kebebasan berekspresi menjadi salah satu nilai yang dijunjung tinggi dalam
aktivitas berkesenian, namun „kebebasan berekspresi‟ bukanlah nilai yang meletak di ruang hampa
udara. Mudji Sutrisno, seorang budayawan, agamawan, penggiat seni kontemporer, sekaligus
pelukis, pujangga dan pengajar filsafat, menegaskan posisi para seniman dalam pentas kehidupan
masyarakat. Menurutnya, “para seniman harus memilik i kesadaran untuk menjadi komentator
kehidupan sosial atau mengajak masyarakat untuk tidak hanya (hidup) pada satu arus nilai hedonismaterialistis dan kembali pada nilai dasar religiositas, solidaritas pada yang sengsara dan apa dari
sesama dan hormat pada martabatsesama manusia. Namun, semua ini tidak akan bisa terolah
matang sebagai ucapan kejujuran nurani seniman-seniman, jika proses kreatif dibatasi. Jika dibatasi,
seni yang kreatif akan sama posisinya dengan kesenian pesanan yang telah diatur dan direkayasa
oleh pengaturnya.” 31 Dengan demikian, dimensi subjektivitas dan kreativitas para penggiat seni,
sekalipun dilindungi dan diperjuangkan sebagai nilai, tidak bisa dimutlakkan saat karya seni
tersebut dipresentasikan di hadapan khalayak ramai, di tengah masyarakat. Mengapa? Karena persis
pada saat ditampilkan dan ditonton pemirsa, terjadilah perjumpaan antara segi subjektivitas dengan
segi sosialitas dan objektivitas seni. Yang satu membela kebebasan dan hak atas kreativitas, yang
lain menjaga tatanan, ketertiban, kesusilaan dan norma. Kedua-duanya membela nilai- nilai yang
berharga dan dijunjung tinggi dalam hidup manusia. Agar tidak terjadi konflik nilai yang menjurus
pada pemberangusan, peniadaan, pelenyapan salah satunya, perlu diupayakan dan diciptakan
suasana dialog yang berbasis pada kesediaan untuk mendengarkan dan memahami titik pijak serta
horison masing- masing pihak.
(5) Kriteria estetik yang cenderung elitis (digariskan dan ditentukan oleh para ahli seni atau
kritikus seni) bukannya tanpa tandingan. Salah satu tandingan atau tantangan terhadap kriteria
estetik yang elitis tersebut datang dari ranah studi-studi budaya (cultural studies). Studi-studi
budaya sebagian berkembang lewat kritik terhadap gagasan kriteria estetis yang bersifat universal
dan elitisme budaya yang berbasis klas yang ada di dalamnya 32 . Pemahaman budaya sebagai „hal
yang biasa‟ (ordinary) dikembangkan sebagai tandingan dari budaya yang dipahami sebagai
„budaya luhur‟ (high culture) yaitu bentuk-bentuk budaya yang didefinisikan oleh para elit kritikus
Seni sebagai „yang baik secara estetis‟ (aesthetically good). Praktik penarikan garis batas kanon
Lih. Mudji Sutrisno, “Seni, Cipta, dan Politik” dalam Mudji Sutrisno, dkk, Teks-teks Kunci Estetika (Filsafat Seni),
ibid.., hlm. 95.
32
Bag ian in i diinspirasikan oleh Barker, Chris, The SAGE Dictionary of Cultural Studies, op.cit., hlm. 4.

31

14

„karya-karya yang baik‟ oleh teori estetika pada gilirannya melahirkan penyingkiran (eksklusi)
terhadap budaya populer (di antaranya tentu saja „goyang dangdut‟!). Akan tetapi, para pembela
budaya populer tidak kehabisan akal. Mereka berargumen bahwa yang namanya landasan universal
untuk menarik batas antara yang berharga dan yang tidak berharga itu tidak ada, sehingga,
implikasinya, mengevaluasi (membuat penilaian „baik‟ dan „buruk‟ terhadap karya seni) bukan lagi
tugas dari para kritikus Seni. Kewajiban para kritikus bukanlah membuat penilaian estetis
melainkan memerinci dan menganalisis proses produksi makna secara budaya. Pendirian semacam
ini lantas menjadi pembuka jalan untuk berkembangnya diskusi yang hangat dan sah tentang teksteks budaya populer yang beraneka macam. Seni kemudian bisa dipahami sebagai kategori yang
diciptakan secara sosial yang dilekatkan pada sejumlah penanda-penanda eksternal dan internal
tertentu yang lewatnya seni bisa dikenali, seperti misalnya „galeri seni‟ dan teater. Seni bukanlah
hasil dari kegiatan mistik para jenius atau dunia (tatanan) yang berbeda sama sekali dari budaya
populer melainkan sebuah industri dengan beragam pemilik, manajer, dan pekerja. Studi-studi
budaya membantu kita untuk mengembangkan seperangkat argumen yang berkisar pada
konsekuensi-konsekuensi politis dan sosial dari terciptanya dan tersebarnya pandangan dunia yang
dihasilkan oleh wacana tertentu sekaligus memahami cara-cara bagaimana proses-proses simbolis
dan kultural tidak bisa lepas dari kekuasaan, entah itu kekuasaan berbasis kedaulatan teritori dan
hukum (negara, misalnya), atau kekuasaan berbasis agama (klaim atas otoritas yang „datang dari
langit‟), atau kekuasaan berbasis ilmu pengetahuan (klaim yang dibuat oleh sains dan iptek,
misalnya), atau kekuasaan fundamentalisme pasar. Sebagaimana ditunjukkan oleh Arjun
Appadurai 33 dalam karyanya Modernity at Large (1996), praktik-praktik estetis tidak lagi memadai
jika dipahami sebagai sesuatu yang eksklusif dilakukan oleh para artis dan seniman. Estetika di era
sekarang teramat erat dikaitkan dengan karya imajinasi orang-orang biasa (contohnya Inul, Dewi
Persik, Elvi Sukaesih, dan banyak lagi „artis populer lainnya‟ yang sebelumnya berasal dari klas
sosial-ekonomi menengah ke bawah, yang lahir dan dibesarkan di kalangan akar-rumput) dan
(estetika) semakin lengket dengan gerak kerja sekaligus ekspansi kapitalisme dalam skala global.
Pemahaman yang memadai tentang ciri-ciri dan kelindan antara ekspresi seni dan jejaring
kekuasaan sosial, ekonomi, politik, budaya, agama, sains dan pengetahuan, yang melingkupi,
mempengaruhi dan, untuk beberapa bagian, menentukannya, dapat mempertajam daya-daya kritis
serta memperluas cakrawala kita dalam menilai suatu gejala, dan tidak hanya melulu
mengklasifikasikan (dan implisit: „memenjarakan‟!) sesuatu ke dalam sekat-sekat entitas kolektif
tradisional, seperti agama, atau ras, atau etnis, atau budaya.
33

Appadurai, A., Modernity at Large: The Cultural Dimensions of Globalization, Minneapolis: University of M innesota
Press, 1996, sebagaimana d ikutip o leh Cameron McCarthy (Un iversity of Illinois at Urbana -Champaign), “Afterword:
Understanding the Work of Aesthetics in Modern Life” dalam Cultural Studies ↔ Critical Methodologies, Volume 3
Number 1, 2003, hlm. 96, DOI: 10.1177/1532708602239270, © 2003 Sage Publications.

15