Fenomena Sekolah Alam dan Teori Kritis P

Fenomena Sekolah Alam dan Teori Kritis Paulo Freire…
By Harry Santosa in Millenial Learning Center (Files)

Saya mencoba menelaah fenomena kemunculan sekolah alam sebagai suatu antitesis yang muncul
karena ada ‘ketidakberesan’ dalam sistem pendidikan yang terwujud dalam bentuk sekolah-sekolah
konvensional. Berdasar dari filosofi dan pemikiran seorang Paulo Freire serta melihat latar belakang
masalah yang ada, saya mencoba melihat bahwa kemunculan Sekolah Alam sebagai lembaga
pendidikan alternatif adalah sebuah reaksi dari terjadinya ‘dehumanisasi’ akibat ‘penindasan’ yang
sudah membudaya di sekolah-sekolah konvensional.
Dalam bahasa Freire, dehumanisasi berarti keadaan dimana seseorang kurang dari manusia atau tidak
lagi manusia (Freire dalam Naomi,1998; 434) yang terjadi sebagai bentuk ungkapan nyata dari proses
alienasi dan dominasi karena eksistensi seorang individu menjadi kabur dan hilang disebabkan
sempitnya pola pikir (Freire, 2000; 188), sehingga ‘bahasa’ –yang merupakan refleksi dari kemampuan
berpikir seseorang- untuk merepresentasikan realita yang dialami telah menjadi kebisuan.
Dehumanisasi bukan hanya menandai mereka yang tidak sadar bahwa kebebasan dan kemanusiaannya
telah dirampas, tidak sadar bahwa mereka bisu dan dibisukan, melainkan (dalam cara yang berlainan)
menandai pihak yang telah merampas kemanusiaan itu, dan merupakan pembengkokan cita-cita untuk
menjadi manusia utuh sebagai individu yang merdeka, baik dalam proses berpikir serta berperilaku
(Freire dalam Naomi, 1998; 434).
Secara garis besar, dehumanisasi yang terjadi pada seseorang atau dalam suatu masyarakat ditandai
dengan :

1. Kebudayaan bisu. Menurut Freire, digambarkan sebagai suatu kondisi kultural sekelompok
masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidakberdayaan dan ketakutan umum untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri, sehingga “diam” nyaris dianggap sesuatu yang
sakral, sikap yang sopan dan harus ditaati.
2. Ketergantungan. Ketergantungan yang dimaksud disini adalah ketidakmampuan golongan bawah
untuk menjadi pelaku sejarah sebagai pelaku atau subjek dan bukan objek penderita. Ini terjadi
karena golongan bawah dibuat tidak berdaya sehingga tidak mampu berbuat apa-apa dan seakan
tergantung terhadap nasib (fatalisitis) serta bergantung kepada golongan yang lebih tinggi. Individu
menjadi tergantung kepada pihak penindas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Menggantungkan dirinya pada penguasa karena dianggap penguasa sebagai pihak yang kebal dari
kuasa ‘supranatural’ yang mengukung kaum tertindas. “Serahkan saja pada penguasa”, “ikuti kata
mereka”, “sayalah yang salah”.
3.

Kesadaran kritis yang terkekang – karena memang seakan tidak diperbolehkan untuk ada -.
Masyarakat di’proteksi’ untuk tidak boleh berpikir kritis karena dikhawatirkan oleh penguasa akan
mengganggu status quo mereka. Masyarakat yang hanya bisa ‘nrimo dan tidak mampu berpikir
kritis.

4.


Dalam situasi yang fatal, bahkan mereka – golongan yang tertindas – takut untuk berpikir kalau
sebenarnya mereka tertindas.

Dalam tesisnya, Freire menyusun tipologi kesadaran sebagai kerangka penjelasan dehumanisasi dengan
berdasarkan kerangka filsafat bahwa manusia adalah subjek aktif kehidupan. Freire menjelaskan proses
tersebut dengan analisis kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri yang
digolongkan menjadi 3 tipologi kesadaran, yaitu :
Pertama, kesadaran magis (magical consciousness). Adalah sebuah keadaan dimana seorang manusia
tidak mampu memahami realitas disekitarnya sekaligus dirinya sendiri. Bahkan dalam menghadapi
kehidupan sehari-harinya ia lebih percaya pada kekuatan takdir yang telah menentukan dan melihat
kebenaran sebagai dogma (fatalis). Semua adalah kehendak Tuhan. Dalam kesadaran magis, orang
hanya melihat hubungan antara dua hal yang akan saling mempengaruhi, bersifat linear. Mereka yang

berada di kesadaran magis tidak mampu melihat hal lain yang menyebabkan mengapa mereka
mengalami sesuatu.
Mereka sadar mereka melakukan sesuatu tetapi tidak mengetahui apa yang harus dilakukan untuk
mengubahnya. Akibatnya, bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup, mereka
justru menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Terima saja apa yang ada dan berharap pada
kebaikan ’kaum penindas’, jangan mempertanyakan di luar hubungan linear tadi. ”Mengapa bodoh,

karena tidak bersekolah”. ”Mengapa tidak bersekolah, karena tidak ada uang”. Dalam kesadaran ini,
’mereka menganggap dirinya sebagai obyek yang dikenai perlakuan, bukannya subyek yang mampu
melakukan sesuatu’. Individu meyakini bahwa kebodohan adalah sesuatu yang sudah melekat pada
dirinya.
Kedua, kesadaran naif (naival consciousness). Adalah keadaan dimana seseorang mulai mengerti akan
adanya permasalahan namun kurang bisa menganalisa persoalan-persoalan sosial tersebut secara
sistematis. Individu mulai tidak menerima semua yang selama ini telah terjadi begitu saja dan mulai
pada proses berpikir dan mengidentifikasi terhadinya masalah-masalah. Proses identifikasi oleh individu
tertindas ini kemudian menuju kepada proses ’menyalahkan’. Menyalahkan mengapa ini bisa terjadi
pada dirinya, dan fokus jawaban berkisar kepada kesalahan penindas yang bergerak secara berlebihan di
luar jalur, baik jalur norma atau hukum. Fokus dari kegiatan ’menyalahkan’ adalah pada diri individu
penindas, bukan pada sesuatu yang lebih luas lagi, belum melihat kepada kesalahan sistem.
Dalam tahap ini individu sudah mulai bergerak dari kesadaran ’menyalahkan’ obyek (uang, tanah,
pendapatan) dan keadaan yang tidak bisa dirubah lagi, menjadi sebuah kesadaran untuk ’menyalahkan’
orang-orang (penindas) yang bertindak ’menyeleweng’. Walaupun demikian, individu tetap mengikuti
sistem, penguasa dan kata-katanya, juga terjadi proses peniruan yang dilakukan oleh individu tertindas
untuk menjadi sama dengan penindas. Dalam kesadaran ini, individu-individu yang tertindas kemudian
berusaha membentuk kelompok untuk mencari kekuatan dan dukungan, dan ini menjadi embrio yang
nantinya akan melahirkan kesadaran yang lebih tinggi. Apabila dikaitkan dengan pendidikan, maka
pendidikan dalam konteks ini tidak pernah mempertanyakan keabsahan sebuah sistem dan struktur

yang salah.
Ketiga, kesadaran kritis (critical consciouness). Adalah sebuah keadaan dimana seseorang mampu
berpikir dan mengidentifikasi bahwa masalah yang dihadapi harus ditelaah secara lebih dalam, bukan
berfokus kepada individu-individu penindas yang menyimpang, tetapi kepada sistem yang menindas.
Dalam tahap ini, individu memperoleh kesadaran bahwa dirinya tidak bisa dan tidak ingin untuk
menyerupai penindas. Harus ada perubahan sebuah sistem secara menyeluruh, bukan pada pembaruan
atau bahkan penghancuran individu-individu tertentu.
Ada proses ’humanisasi’ di mana seorang individu ingin menunjukkan eksistensinya sebagai seorang
manusia yang bebas menetukan dan berbeda. Dengan demikian, individu-individu yang terkumpul tadi
telah terfokus pada etnisitasnya sendiri, ’bukan karena mereka membenci penindas dan sekedar ingin
tampil beda, tetapi karena mereka ingin menjadi dirinya sendiri sebagai manusia yang unik dan jujur
terhadap tradisi dan kebiasaan mereka sendiri’ (Smith, 2001 ; 81). Untuk mencapai kesadaran ini,
individu memerlukan model ataupun peristiwa yang menjadi trigger atau panutan yang bisa mendorong
dan menghantarkan seseorang bertransformasi dari kesadaran naif menjadi kesadaran kritis.
Dalam tahap ini, ada kesadaran untuk ’memberontak’ dari sistem yang selama ini menindas dan
mendirikan sistem baru yang lebih berkeadilan dan ’menghindari konsep-konsep’ yang telah diterima
sebelumnya dalam menganalisis sesuatu. Poin yang perlu disadari adalah penindasan dan dehumanisasi
bukanlah fitrah sejarah sehingga bisa dirubah.
Berdasarkan pengertian dan tipologi di atas, dehumanisasi dapat terjadi sebagai akibat dari perilaku
sistem yang tidak adil dan menindas sehingga pada akhirnya selalu menempatkan seseorang berada

dalam kesadaran magis.
Lebih lanjut, pemikiran pendidikan Freire juga timbul sebagai reaksi dari konstruksi pendidikan ‘gaya
bank’ (banking concept of education). Pendidikan ‘gaya bank’ dikritik oleh Freire dikarenakan
menganggap peserta didik / nara didik sebagai objek, bukan subjek atau pelaku. Dalam konsep

kesadaran, peserta didik ditempatkan dalam kesadaran magis dimana peserta didik hanya menjadi
obyek dan pasif menerima apa yang diberikan guru. Dalam sebuah ruangan kelas, guru hanya
memindahkan dalil, rumus-rumus dan sejumlah ketentuan- ketentuan lainnya yang sering kali tidak bisa
dipertanyakan ke nara didik. Semakin banyak ‘wadah’ ini menerima dan menyimpan, maka semakin
bagus gurunya. Semakin patuh nara didik ini, maka semakin baguslah ia. Hal ini sebenarnya merupakan
proses dehumanisasi karena seorang nara didik sudah tidak dianggap dan tidak dididik sebagai manusia
yang memiliki kemampuan untuk menganalisa dan berpikir kritis, tetapi sebagai sebuah jaringan biologis
yang mekanis, ditekan untuk tidak memiliki kesadaran subyektif tentang sesuatu. Mengetahui tanpa
memahami.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, pemikiran dan prinsip Paulo Freire dapat digunakan untuk
menelaah terjadinya pola ‘penindasan’ dalam sistem pendidikan di Indonesia yang terjadi melalui tiga
unsur; yaitu kurikulum, guru dan paradigma dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Lebih konkrit,
‘penindasan’ secara struktural dari kelompok atas ke kelompok yang lebih rendah pada ‘tingkat pertama’
dimanifestasikan dalam bentuk kurikulum, dan kemudian menurun ke dalam institusi sekolah yang
selanjutnya termanifestasi dalam kegiatan belajar di sebuah ruangan kelas, antara guru dan murid.

Walalupun dengan latar belakang yang cukup berbeda, ada beberapa pola persamaan mengenai
‘penindasan’ yang dikemukakan oleh Freire di dunia Brasil dengan yang terjadi di Indonesia.
Dalam sistem pendidikan yang selama ini ada di Indonesia, disadari atau tidak, telah terjadi
dehumanisasi dalam proses pendidikan dan aktivitas belajar di sekolah-sekolah –di dalam ruangan
kelas-, dengan ciri-ciri seperti yang sudah dikemukakan di atas, adanya ketergantungan (murid terhadap
guru sebagai sumber ilmu), membudayanya budaya bisu, kesadaran kritis yang terkekang, individuindividu yang hanya bisa ‘nrimo dan tidak mampu berpikir kritis-analitis, dan sebagai komunitas yang
tidak sadar bahwa sebenarnya mereka mengalami penindasan.
Melihat dari tipologi kesadaran Freire, kemunculan Sekolah Alam dapat dilihat sebagai reaksi dari
dehumanisasi yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia karena sudah membudayanya model
pendidikan ‘gaya bank’ dimana anak didik ‘disuapi’ dengan materi pelajaran sebanyak mungkin tanpa
perlu mempertanyakan mengapa mereka harus belajar ini dan itu. Istilah sederhananya, “terima saja
apa yang telah ‘digariskan’ oleh pemerintah dan guru, jangan banyak tanya kenapa”. Anak-anak
ditempatkan pada kesadaran magis, dimana mereka menjadi penerima, obyek yang mengetahui, tetapi
tidak memahami.
Menyadari bahwa dirinya berbuat sesuatu, tapi tidak mengetahui mengapa harus berbuat demikian.
Terjadi verbalisme dimana peserta didik hanya mengulang-ulang apa yang telah dikatakan oleh gurunya
dan dari buku teksnya. Buku teks dibuat dengan konsep ‘transfusi pengetahuan’ dimana kata-kata yang
ada di buku teks menjadi sedemikian klise karena menjadi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Dengan demikian, selama peserta didik dan guru selalu berpegang ‘mati’ kepada buku, maka peserta
didik hanya menulis kembali sesuatu yang tidak dipahaminya.

Sekolah Alam muncul sebagai bentuk perkembangan kesadaran sehingga mampu mencapai apa yang
disebut sebagai ‘kesadaran kritis’ dimana salah satu cirinya ditandai dengan menciptakan sebuah sistem
baru yang berbeda dengan sistem yang lama. Ada kesadaran yang muncul bahwa ‘ada yang harus
dilakukan untuk mengubah sistem pendidikan yang seperti ini’, tidak bisa terus mengikuti dan berperang
ideologi saja, meneriakkan protes, ketidakpuasan dan ketidaksenangan terhadap pemerintah, atau
kebijakan dari menteri pendidikan secara terus menerus tanpa melakukan tindakan praktis sebagai
contoh nyata, reaksi dari sistem pendidikan nasional. Tidak bisa terus mengkritik pemerintah tanpa
melakukan langkah konkret untuk memperbaiki keadaan dan masalah.
Poin yang perlu digarisbawahi adalah transformasi dari pola kesadaran magis, naïf ke kesadaran kritis
tidak akan cukup ‘membebaskan’ apabila tidak disertai dengan pengorganisasian ke dalam bentuk
nyata. Perubahan harus terjadi dari perbuatan-perbuatan yang sekedar menyalahkan pemerintah
ataupun menteri pendidikan –sebagai ciri dari kesadaran naïf-, menjadi kesadaran kritis yang dilakukan
dengan melakukan perubahan sistem yang ‘menindas’ dengan sistem lain yang lebih adil, dalam hal ini
lahirnya sebuah sekolah formal yang bernama “Sekolah Alam” sebagai reaksi dari pendidikan nasional
yang diwakili oleh sekolah konvensional.

Telah dicantumkan di atas bahwa untuk bergerak mencapai kesadaran kritis, maka diperlukan model
yang mampu menyadarkan dan mendorong perubahan kesadaran naïf menjadi kesadaran kritis. Jika
dihubungkan dengan latar belakang Sekolah Alam, kemunculan Sekolah Alam sewaktu itu juga didorong
oleh konsep dan wawasan ‘education for all’ yang sedang ramai terjadi di luar negeri. Sekolah Alam

sebagai sistem yang berbeda bukan berarti menolak yang lama sama sekali karena ke’kuno’annya dan
menerima ke’baru’an karena kemodernan-nya, berbeda disini berarti bisa menerima apa yang baik dari
pandangan yang lama, juga mengambil yang baik dari pandangan yang baru.
“Kesadaran transitif yang kritis ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah;
digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan kausalitas; dengan mencoba penemuan-penemuan
yang dihasilkan seseorang; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan usaha untuk
menghindari distorsi ketika memahami masalah dan menghindari konsep-konsep yang telah diterima
sebelumnya ketika menganalisis masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung jawab; dengan
menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat; dengan mengedepankan dialog daripada
polemik; dengan menerima pandangan baru tetapi bukan sekedar karena sifat kebaruannya dan dengan
keinginan untuk tidak menolak pandangan kuno hanya karena sifat kekunoannya –yakni dengan
menerima apa yang benar menurut pandangan kuno dan baru. (Freire dalam Smith, 2001 ; 81)
Kesadaran kritis juga membuat orang untuk terfokus pada etnisitasnya sendiri, bukan karena mereka
membenci penindas dan sekedar ingin tampil beda, tetapi karena ingin menjadi diri sendiri sebagai
manusia yang unik dan jujur terhadap tradisi dan kebiasaan mereka sendiri. Berbeda bukan atas dasar
ketidaksukaan dan ingin ‘menyombongkan’ diri bahwa diri yang tertindas berbeda dengan penindas,
tetapi ada kesadaran untuk menjadi ‘asli’, menjadi diri sendiri sesuai dengan apa yang diyakini.
Hal ini tergambar dari keyakinan Sekolah Alam untuk tidak membebankan penggunaan baju seragam
kepada anak didik seperti di sekolah konvensional. Bukan karena itu simbol perlawanan terhadap pola
sekolah konvensional, tetapi Sekolah Alam percaya bahwa dengan adanya pola penyamarataan lewat

penggunaan baju seragam, maka akan membuat pola pikir dan sisi psikologis anak akan seragam juga,
takut untuk berbeda dari yang lainnya, terbelenggu dalam kesamaan.
Padahal, sedari dini manusia sudah harus mengetahui dan belajar tentang adanya perbedaan kemudian
belajar menerimanya sebagai realitas dari hidupnya.
Sekolah Alam tidak serta merta menggunakan sistem pendidikan yang berbeda secara keseluruhan dari
sistem pendidikan nasional. Mereka mengambil pandangan baik dari sistem lama dan dari pandangan
baru. Praktisnya, Sekolah Alam tidak secara ekstrim langsung menolak kurikulum dan mata pelajaran
dari kebijakan pendidikan nasional, tetapi Sekolah Alam memodifikasinya dengan pandangan baru,
contoh praktisnya dalam hal ini adalah penggunaan kurikulum, peran guru, pelaksanaan metode
pembelajaran dan ketrelibatan stakeholder selain guru dalam kegiatan pembelajaran.
Sekolah Alam tidak serta merta ‘membuang’ kurikulum depdiknas, tetapi tetap menggunakan kurikulum
nasional yang kemudian dimodifikasi sendiri untuk mencapai formulasi yang dirasa tepat. Selain itu,
pelaksanaan kegiatan pembelajaran tidak menggunakan metode pembelajaran di sekolah konvensional,
tetapi menggunakan metode pembelajaran british yang dirasa lebih variatif karena menggunakan
banyak media yang atraktif dalam pembelajaran.
Sekolah Alam adalah reaksi pemunculan pendidikan kritis yang menjadikan peserta didik sebagai subyek
aktif pembelajaran, bukan ‘beo’ dari kata-kata gurunya ataupun dari buku teks. Pendidikan bukan hanya
soal transfer pengetahuan, tetapi sebagai deskripsi atas realitas, pendidikan yang menghubungkan
antara ‘mengetahui’ dan kemudian ‘merubah’ realitas. Pada akhirnya, proses pendidikan mampu
menghantarkan anak didik dalam menemukan jawaban-jawaban dari masalah yang dihadapi yang belum

terpikir solusinya –pendidikan ‘hadap masalah’.
Dalam sistem pendidikan Sekolah Alam, anak-anak tidak ‘disuapi’ materi-materi pengetahuan begitu
saja, ketika akan membahas materi pelajaran, terlebih dahulu anak-anak akan diberikan lembar kerja
(worksheet) kemudian mereka diharuskan mencari informasi tentang materi pelajaran tersebut, setelah
itu baru didiskusikan di kelas bersama-sama. Sumber informasi tidak berasal dari satu buku teks sebagai

pedoman materi, karena Sekolah Alam memang tidak menggunakan satu buku teks tertentu dengan
alasan agar ilmu yang diperoleh tidak sempit dari satu sumber saja.
Anak-anak bebas mencari dari sumber manapun, baik dari buku, internet, bertanya, ensiklopedia,
perpustakaan, dan dari sumber lainnya, sehingga pengetahuan serta pemahaman anak mengenai suatu
materi akan lebih kaya serta mendalam. Selain itu, hal ini dilakukan agar guru tidak menjadi sumber ilmu
yang dianggap selalu benar, anak diajak untuk mengkritisi guru, bertanya dan mengemukakan pendapat
apabila yang diajarkan guru berbeda dari yang anak-anak dapatkan.
Sistem pembelajaran dalam Sekolah Alam tidak melulu bersifat pembelajaran teoritis. Anak-anak dibawa
ke ‘alam’ untuk melihat secara langsung materi pelajaran yang perlu diketahui sehingga ilmu yang
diperoleh bisa aplikatif. Kenapa harus? Bukan untuk ‘menyaingi’ dan menyatakan diri berbeda dari pola
pendidikan konvensional, karena lewat pembelajaran langsung (experiential learning), anak-anak dilatih
untuk berpikir dan menyelesaikan masalah menggunakan ilmu yang mereka peroleh. Mereka menjadi
subyek berpikir yang mencari tahu dan menyadari kegunaan materi yang dipelajari.
“Jika kita tidak mentransendensikan gagasan tentang pendidikan yang dianggap sebagai transfer

pengetahuan sebagai deskripsi atas realitas, kita tidak akan mempunyai kesadaran kritis…kita harus
mentransendenkan semua model pendidikan sehingga diperoleh model pendidikan di mana mengetahui
(to know) dan merubah (to transform) realitas merupakan syarat yang timbal balik. (Freire. 2000 ; 180)
Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa ‘kesadaran’ bukanlah sebuah proses transformasi
keterampilan ataupun transfer informasi, tetapi sebuah ‘proses dialogis yang menghantarkan individuindividu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah eksistensial mereka’ (Smith, 2001 ; 4).
Dengan demikian, proses penyadaran dalam pendidikan tidak mungkin terjadi apabila tidak terjadi
suasana dialog yang membangun kesadaran antara guru dan murid. Paradigma yang digunakan tidak
bisa ‘belajar-mengajar’, tetapi ‘belajar-pembelajaran’. Dialog dan telaah lebih dalam merupakan ciri
terjadinya kesadaran kritis. Paradigma yang lama (konvensional) terlalu menempatkan guru sebagai
sumber ilmu yang pasti sehingga tugasnya hanya ‘mengajar’ dan murid ‘belajar’ saja, sedangkan di
paradigma yang lain menempatkan murid ‘belajar’ dan guru juga melakukan ‘pembelajaran’.
Artinya, guru harus mendorong murid untuk selalu belajar dan hal ini akan menjadi mungkin apabila
guru juga selalu belajar dan menambah ilmu karena perlu dipahami bahwa guru juga adalah mahluk
yang belum selesai belajar, unfinished creature. Proses memperkaya dan menambah ilmu ini akan
mungkin terjadi apabila ada proses dialogis antara guru dan murid dalam memandang dan menghadapi
suatu masalah –materi pelajaran-, kemudian membahasnya secara bersama-sama. Tidak ada pihak yang
benar absolut, tidak bisa diganggu gugat kebenaran –versi-nya, karena keduanya merupakan pihak yang
sama-sama belajar. Dengan demikian, terjadi pendidikan yang membebaskan anak untuk mengeluarkan
dan mendengar suaranya sendiri, bukan suara dari buku teks yang tidak mereka pahami, suara
temannya, bahkan suara gurunya. Mereka berkata-kata dengan bahasa mereka sendiri sebagai subyek
belajar yang mempunyai pemikiran. Pendidikan harus membebaskan anak dari kesadaran magis ke
kesadaran kritis dimana anak mempertanyakan realitas yang mereka temui.
Dengan menggunakan teori dan pemikiran mengenai tipologi kesadaran dari Paulo Freire, maka
penjelasan di atas dapat digunakan sebagai dasar untuk menerjemahkan fenomena munculnya sekolah
alam sebagai lembaga pendidikan alternatif.