Gereja dan Pembaharuan Sosial kyai

Jurnal Transformasi 10/1 (Juni 2014)

GEREJA DAN PERUBAHAN SOSIAL:
Perspektif Perjanjian Baru
Chandra Gunawan
Abstrak
Perjanjian Baru adalah firman Allah yang berotoritas dimana
ajaran di dalamnya bersifat tidak terikat waktu (berlaku
sepanjang zaman). Di sisi yang lain, ajaran Perjanjian Baru
disampaikan dalam situasi dan kondisi tertentu yang menjadi
konteks atau bingkai sejarah dari pesan/ajaran yang bersifat
kekal tersebut; jika kita mengabaikan konteks atau bingkai
sejarah yang membungkus pesan/ajaran dari Perjanjian Baru,
kita dapat salah memahami ajaran dalamnya. Itulah sebabnya
penting bagi kita untuk memahami pergumulan sosial
masyarakat abad pertama masehi yang menjadi konteks dari
ajaran Perjanjian Baru, dan kita akan melihat bahwa
Perjanjian Baru bukan sekedar kumpulan rumusan ajaran,
namun rumusan ajaran yang diimplementasikan dalam
konteks pergumulan sosial zamannya.
Kata Kunci: Pergumulan sosial, ketegangan hubungan Yahudi

dan non-Yahudi, keterlibatan kaum perempuan, kemiskinan

T

ulisan-tulisan Perjanjian Baru (selanjutnya disingkat PB) pada
umumnya diterima oleh orang-orang Kristen sebagai tulisan
yang berotoritas. James D. G. Dunn (1987:1-2) menjelaskan
bahwa ada dua pemahaman yang berbeda dimiliki oleh baik orangorang Kristen maupun para ahli dalam memandang PB yakni (i)
melihat PB sebagai sebuah “historical document,” (ii) melihat PB
sebagai firman Allah. Meskipun terdapat dua pandangan yang berbeda,

10

namun − menurut penulis − orang-orang Kristen, khususnya di
Indonesia, lebih banyak memandang PB “sebagai” firman Allah;
orang-orang Kristen memang dapat berbeda pandangan dalam
mengartikan istilah “sebagai” pada saat membicarakan mengenai
hubungan Alkitab/PB dengan firman Allah, namun kebanyakan orang
Kristen percaya bahwa Alkitab/PB bukanlah sekedar dokumen sejarah,
namun tulisan yang berotoritas (firman Allah).

Tulisan-tulisan PB, walaupun diyakini sebagai firman Allah sebab
tulisan tersebut diilhami oleh Roh Kudus (lih. 2 Tim 3:16; 2 Pet. 1:2021), dituliskan dalam konteks tertentu; tulisan-tulisan tersebut
dituliskan dalam kebudayaan dan kehidupan sosial dari masyarakat
Yahudi, Yunani serta Romawi pada abad pertama masehi. Green
(2010:1-14) mengingatkan bahwa teks kitab suci--termasuk PB-memiliki konteks yang mempengaruhi baik penulis, teks, maupun
pembacanya. Itulah sebabnya, mengabaikan konteks baik dari penulis,
dari apa yang teks nyatakan, dan konteks dari pembacanya dapat
membuat kita salah dalam memahami pesan yang ingin disampaikan
Tuhan kepada kita.
Tulisan PB, termasuk dalamnya Injil, pada umumnya dituliskan
untuk merespons pergumulan tertentu dari jemaat yang menjadi
pembacanya (lih. Schreiner 1990:23-25; McKnight 1988: 22-23). Salah
satu pergumulan yang menjadi konteks tulisan PB adalah munculnya
isu-isu sosial tertentu dalam jemaat; munculnya isu teologis memang
dapat menjadi salah satu tujuan dari dituliskannya tulisan PB tertentu,
misalnya surat Kolose (bdk. DeMaris 1994:134-145); namun isu yang
sering kali muncul adalah isu yang terkait dengan pergumulan sosial
jemaat, misalnya saja isu-isu yang muncul dalam surat Korintus,
Galatia, Tesalonika, surat Yohanes dst; dalam tulisan yang terkait
dengan isu teologis sekalipun, seringkali isu tersebut muncul

bersamaan dengan isu pergumulan sosial dalam jemaat, misalnya saja
ajaran pembenaran dalam surat Galatia dan Roma (lih. Gunawan
2012:171-195). Itulah sebabnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa
kehidupan serta pergumulan sosial orang-orang yang hidup pada awal
abad pertama masehi di wilayah Yunani-Romawi menjadi salah satu
konteks yang membingkai tulisan PB (bdk. Barton 2010:40-42)

11

Pendekatan sosial memberikan kontribusi yang penting dan
berharga dalam memahami tulisan PB. Pendekatan ini memberikan
kontribusi dalam melihat kaitan antara tulisan-tulisan PB dengan
pergumulan sosial masyarakat zamannya. Dalam tulisan ini, penulis
akan menelaah mengenai kaitan pergumulan sosial dari masyarakat
Yahudi serta Yunani-Romawi era abad pertama masehi; hal ini
penting sebab hal tersebut akan menolong kita untuk melihat
beberapa konteks ril dari pergumulan gereja abad pertama masehi
yang menjadi penerima/pembaca tulisan PB; dan dengan mengetahui
adanya pengaruh dari pergumulan sosial dari gereja mula-mula dalam
tulisan PB, kita akan dibawa kepada pemahaman untuk melihat kitab

suci bukan hanya sebagai kumpulan rumusan ajaran, namun memahami rumusan ajaran tersebut dalam konteksnya yakni pergumulan
jemaat; pemahaman ini akan memberikan kontribusi bagi orang-orang
Kristen masa kini untuk membangun teologi dalam konteks.
Pergumulan sosial yang dialami oleh masyarakat Yahudi dan
Yunani-Romawi yang hidup di era abad pertama masehi tentunya
bersifat kompleks; terdapat beragam isu sosial--termasuk dalamnya isu
politik, hubungan antara anggota masyarakat, pajak, dst--yang muncul
pada waktu itu (lih. Jeffers 1999). Itulah sebabnya, kita perlu
menyempitkan pembahasan kita pada beberapa isu sosial yang secara
khusus dibicarakan/terindikasi dalam tulisan PB. Dalam artikel ini,
aspek pergumulan sosial yang dibicarakan akan terfokus pada (i)
hubungan Yahudi dan non-Yahudi/Gentile, (ii) sikap terhadap kaum
perempuan, dan (iii) sikap terhadap orang-orang miskin.
Pergumulan Sosial Masyarakat Abad Pertama Masehi
a. Hubungan Yahudi dan non-Yahudi abad pertama masehi
Literatur Yudaisme bait Allah kedua memperlihatkan indikasi
adanya dua sikap yang berbeda dari orang-orang Yahudi terhadap
kelompok orang non-Yahudi, yakni sikap tertutup dan sikap yang
terbuka/toleran (lih. McKnight1991:11; Scwartz 1998:38-60; Mach
1998:61-79). Sikap tertutup orang-orang Yahudi terhadap kelompok


12

non-Yahudi dapat terlihat dalam Letter of Aristeas 139 yang ditulis
sekitar abad ke-3 SM-1 M (lih.Shutt 1985: 22):1

in his wisdom the legislator, in a comprehensive survey of each
particular part, and being endowed by God for the knowledge
of universal truth, surrounded us with unbroken palisades and
iron walls to prevent our mixing with any of the other people in
any matter, being thus kept pure in body and soul…
McKnight (1991:27) melihat bahwa alasan utama penolakan
orang-orang Yahudi terhadap kelompok non-Yahudi bukanlah
disebabkan (i) mereka memiliki nasionalisme yang ekstrem terhadap
identitas diri mereka, dan juga bukan karena (2) kebencian rasial
terhadap kelompok non-Yahudi, namun karena cara hidup kelompok
non-Yahudi yang dipandang berdosa oleh orang-orang Yahudi.
Donaldson (1997:52-54) juga menjelaskan bahwa sikap yang tertutup
dari orang-orang Yahudi tidak berarti mereka benar-benar tidak
memberi “pintu masuk” bagi kelompok non-Yahudi sebab ada tempat

yang disediakan bagi mereka yang bertobat (bdk McKnight, 1991:12;
Boccaccini, 1991:252-256);2 ketertutupan sikap orang-orang Yahudi
1

Penolakan terhadap orang-orang bukan Yahudi juga nampak dalam Jubilees (ps.

15:26), Qumran (IQS 2.4-9), Testament of Moses (ps. 1.12-13) dan IV Ezra
(lih.Donaldson1997:52-54). Hayes (2002:73-81) menjelaskan bahwa dalam kitab
Jubilees, penulis kitab tersebut memiliki sikap yang ekstrem terhadap kelompok nonYahudi, bagi mereka kalaupun orang-orang bukan Yahudi dapat diterima dalam
komunitas Israel, namun orang Yahudi dilarang untuk menikah dengan mereka.
Literatur Joseph and Aseneth 15:3-4, Antiquities 20.2.3-4, Yudit 14:5-10,
memperlihatkan adanya keterbukaan orang Yahudi terhadap orang-orang non2

Yahudi. (Lih.Donaldson 1997:54-55);McKnight (1991:12-19) menjelaskan setidaknya
ada 8 aspek yang membuat orang-orang Yahudi terbuka dengan orang-orang bukan
Yahudi yakni: (i) Universalism, (ii) Friendliness, (iii) Gentiles participation in the

Jewish religion, (iv) Citizenship and official recognition, (v) Hellenistic education, (vi)
Intermarriage, (vii) Assimilation, (viii) Apostacy. Donaldson (1997:54-55) melihat
keterbukaan orang-orang Yahudi terhadap orang non-Yahudi, berakar dalam tradisi

PL mengenai penerimaan orang-orang non-Yahudi dalam masyarakat Yahudi,
kelompok tersebut dalam PL disebut dengan istilah “orang-orang asing.”

13

mengekspresikan rasa pesimis mereka terhadap pertobatan kelompok
non-Yahudi. Di sisi yang lain, kita juga menemukan bahwa ada
keterbukaan terhadap kaum non-Yahudi; hal tersebut dapat kita lihat
salah satunya dalam Sir.18:13 (ditulis sekitar abad ke-2 SM) “Belas
kasihan manusia hanya merangkum sesamanya, sedangkan belas
kasihan Tuhan melingkungi segala makhluk. Tuhan menegur,
menyiasati serta mengajar manusia, dan membawa kembali seperti
seorang gembala kepada kawanannya.”
Walaupun kita dapat menemukan adanya indikasi keterbukaan
dalam komunitas Yahudi terhadap kelompok non-Yahudi dimana hal
ini terlihat salah satunya melalui adanya tempat tertentu yang
diberikan kepada kelompok orang yang disebut sebagai “orang yang
takut akan Allah,” (Lih. Collins 2000: 264-270) namun secara umum
orang-orang Yahudi bersikap tertutup kepada bangsa bukan Yahudi
kecuali mereka yang menjadi seorang “proselyte” (bdk. Gunawan

2011:83-107). Dalam literatur PB, kita menemukan berbagai indikasi
yang memperlihatkan tertutupnya orang-orang Yahudi terhadap orang
non-Yahudi; hal ini dapat kita lihat salah satunya dalam insiden di
Antiokhia yang dibicarakan Paulus dalam Galatia 2:11-14 (bdk.
Gunawan 2009:233-258); dan sikap yang tertutup ini menimbulkan
masalah dalam gereja mula-mula.
Sikap yang tertutup bahkan bermusuhan pada dasarnya juga
dimiliki oleh orang-orang non-Yahudi terhadap orang-orang Yahudi.
Berbagai kesulitan yang dialami oleh orang-orang Yahudi baik
sebelum maupun pada abad pertama masehi memperlihatkan adanya
sikap yang tertutup bahkan bermusuhan dari orang-orang non-Yahudi
terhadap orang-orang Yahudi; salah satu contoh dari kesulitan yang
harus dihadapi oleh orang-orang Yahudi dari orang-orang non-Yahudi
adalah pengusiran orang-orang Yahudi dari Kota Roma (lih. Feldman
and Reinhold 1996: 313-314).
Ketegangan hubungan antara kelompok Yahudi dan non-Yahudi
tersebut menjadi salah satu konteks dari berbagai tulisan PB. Sebagai
contoh, surat Efesus yang kemungkinan besar dituliskan sekitar tahun
60-an masehi (bdk. Carson & Moo 2005:479-497) mengindikasikan


14

adanya usaha dari penulisnya--kemungkinan besar Paulus--untuk
mendamaikan relasi yang rusak antara kelompok orang Yahudi dan
non-Yahudi (Bdk. Carson & Moo 2005:479-497).
b. Sikap terhadap kaum perempuan dalam masyarakat abad pertama
masehi
Witherington III(1988:6-7) menjelaskan bahwa dalam masyarakat
Yunani, selain kaum perempuan yang menjadi pelacur dan budak,
kaum perempuan terbagi tiga kategori yakni “anthenians citizen,
concubines, and companions or foreign woman.”3 Pada umumnya
kaum perempuan Yunani dianggap lebih rendah statusnya dari kaum
pria, namun tidak semua kaum perempuan mengalami perendahan
status; ada kaum perempuan tertentu yang memiliki status sosial yang
tinggi dan dihormati dalam masyarakat (bdk.Oerke, 1968:777; Evans,
1983:39).4 Pembatasan-pembatasan yang diberikan kepada kaum
perempuan Yunani dapat terlihat dalam perlakukan mereka dimana
mereka terkadang tidak boleh ke pasar, tidak boleh bertemu sanak
familinya dan cenderung terisolir dalam rumahnya (lih.Keener
1992:23); bahkan untuk seorang perempuan yang menjadi warga

Athena sekalipun, mereka dibatasi haknya dengan tidak boleh menjadi
saksi di pengadilan, kecuali untuk kasus bunuh diri (bdk.Witherington
III 1988:8-9). Dalam hal keagamaan, kita sulit untuk melihat sikap
masyarakat Yunani terhadap kaum perempuan (bdk Conzelman
1975:184-185); kita memang melihat bahwa dalam ritual keagamaan
3

Yang dimaksudkan dengan “concubines” adalah kaum perempuan yang terikat

dengan seorang warga Yunani yang berperan sebagai “pelayan” yang mengurusi
kebutuhan pria berkewargaan Yunani tersebut, khususnya dalam hal kebutuhan
seksual. Sedangkan yang dimaksudkan dengan “ companions” atau “foreign woman:
adalah kaum perempuan yang memiliki hak-hak yang sangat terbatas, mereka berada
di atas budak namun lebih rendah dari “concubines,” misalnya saja: mereka tidak
boleh menikah dengan seorang pria warga Yunani.
4

Masyarakat Yunani pada mulanya memiliki sikap yang lebih baik terhadap kaum

perempuan khususnya warga Athena, namun hal tersebut tidak bertahan dan terjadi

penurunan sikap dan pembatasan hak terhadap kaum perempuan.(Lih. Witherington
III, 1988:6-7).

15

mereka ditemukan indikasi adanya keterlibatan kaum perempuan,
namun peran mereka adalah sebagai pelacur bakti (bdk.Stambauch &
Balch 1997:194-195).
Masyarakat Romawi memandang kaum perempuan lebih baik
dari pada orang-orang Yahudi maupun Yunani sebab mereka
memandang kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki
(bdk.Oerke 1968:779). Dalam budaya Romawi, kaum perempuan
memiliki hak-hak dalam ekonomi, politik, keagamaan dan dalam
perceraian (bdk. Oerke 1968:780; Evans 1983:39).5 Dalam hal
keagamaan kaum perempuan Romawi dipandang sederajat dengan
kaum laki-laki, hal ini nampak dalam salah satu ukiran batu di Museo
yang memperlihatkan adanya kaum perempuan dengan tudung di
kepalanya sedang membawa persembahan (lih.Witherington III 1995:
233; Keener 1993: 585).
Dalam masyarakat Yahudi, kaum perempuan seperti halnya dalam
masyarakat Yunani dipandang lebih rendah dari kaum laki-laki
(bdk.Oerke1968:761; Jewett 1975:93). Yosefus mengatakan bahwa
kaum perempuan dalam segala hal lebih inferior dibandingkan lakilaki (Lih.Evans 1983:33). Warisan tradisi yang diterima oleh orangorang Yahudi bahwa seseorang harus berbahagia karena tidak
dilahirkan sebagai perempuan memperlihatkan cara pandang yang
negatif terhadap kaum perempuan (Jewett1975:92). Dalam hal ibadah,
kaum perempuan juga menempati posisi kedua; hal ini nampak
misalnya saja dalam hal pemberian Taurat yang hanya diberikan
kepada kaum laki-laki, perempuan tidak diijinkan untuk menjadi
saksi, dan tempat kaum perempuan dipisahkan dari kaum laki-laki
(lih.Oerke 1968:775-778; Banks 1988: 128). Meskipun secara umum,
pandangan orang Yahudi terhahap perempuan adalah negatif, namun
ada juga yang memandang sebaliknya; sebagai contoh dalam literatur
Yudith, kita menemukan perspektif yang berbeda dari cara pandang
umum masyarakat Yahudi, tokoh yang kemudian diperlihatkan
Dalam masyarakat Romawi, kaum perempuan berhak menuntut cerai sama seperti
kaum laki-laki ketika mereka merasa dirinya dirugikan ataupun merasa suaminya

5

tidak lagi bertanggung jawab (Lih. Keener 2000:6).

16

sebagai pahlawan justru adalah kaum perempuan (bdk deSilva
2002:105-106).
Isu mengenai kaum perempuan yang diperlakukan lebih rendah
dari laki-laki memang tidak menjadi isu sepenting masalah ketegangan
hubungan orang Yahudi dan non-Yahudi; meskipun demikian, isu ini
turut, khususnya mengenai keterlibatan kaum perempuan dalam
pertemuan ibadah, menjadi persoalan dalam komunitas gereja mulamula. Dalam 1 Korintus 11:2-16; 14:34-40 kita menemukan adanya
indikasi persoalan dalam jemaat yang muncul karena isu keterlibatan
kaum perempuan dalam ibadah; isu ini jelas merupakan bagian dari isu
sosial dari masyarakat Yahudi, Yunani-Romawi pada abad pertama
masehi (bdk. Gunawan 2013:199-225).
c. Persoalan kemiskinan dalam masyarakat abad pertama masehi
Jeffers (1999: 180-189) memperlihatkan bahwa kelompok
masyarakat terbanyak di era abad pertama masehi (era pemerintahan
Romawi) adalah kelompok orang miskin. Kelompok orang miskin
dalam masyarakat abad pertama masehi terbagi ke dalam dua kategori
yakni kelompok orang-orang miskin yang bekerja setiap hari hanya
untuk memenuhkan kebutuhan harian mereka; dengan kata lain,
mereka adalah kelompok orang yang memiliki penghasilan, namun
penghasilan mereka tidak besar; kelompok kedua adalah orang-orang
yang tidak bekerja yang hidupnya bergantung pada sumbangan dari
orang lain, contohnya adalah para janda, anak yatim dan orang-orang
sakit (Jeffers 1999:188-189).
Kehidupan masyarakat abad pertama masehi juga membentuk
bukan hanya status sosial yang berbeda, namun juga membentuk
“ordo” sosial yang berbeda. Status sosial tertutama terkait dengan
kedudukan seseorang dalam masyarakat yang sifatnya bisa berubah,
misalnya saja perubahan status sosial dari seorang budak menjadi
orang merdeka; di sisi yang lain “ordo” sosial terutama terkait dengan
pembagian kelompok masyarakat yang didasarkan atas kelahiran orang
tersebut yang kemungkinan besar tidak akan berubah bahkan sampai
ia mati; sebagai contoh seseorang yang lahir dari keluarga bangsawan
memiliki ordo/kelas sosial yang tidak akan berubah (bdk. Jeffers 1999:

17

181-182). Isu mengenai kemiskinan terkait dengan baik persoalan
status maupun “ordo sosial seseorang”; walaupun secara “ordo”
seseorang sulit untuk berubah, namun karena status sosial seseorang
dapat berubah, maka kepemilikan harta dan pendidikan menjadi hal
yang dipandang penting oleh masyarakat.
Dalam tulisan PB, kita melihat bahwa kemiskinan merupakan
bagian dari pergumulan masyarakat Yahudi maupun komunitas
Kristen. Pelayanan yang Yesus lakukan terhadap orang-orang sakit,
dan perhatian dari gereja mula-mula terhadap kaum janda, pada
dasarnya memperlihatkan respons dari baik Yesus maupun gereja
mula-mula terhadap kelompok orang yang bukan hanya miskin,
namun kelompok orang yang “tidak berdaya” yang hidupnya
bergantung pada sumbangan atau sokongan orang lain. Ucapan
“berbahagialah mereka yang miskin di hadapan Allah,” pastilah
disampaikan Yesus dalam konteks kemiskinan seperti yang dialami
oleh para janda, anak yatim dan orang sakit, dimana mereka bukan
hanya miskin dalam hal materi, namun mereka adalah kelompok
orang yang tidak berdaya.
Sikap Gereja Terhadap Pergumulan Sosial Abad Pertama Masehi
a. Respons gereja mula-mula terhadap isu ketegangan hubungan
antar Yahudi dan non-Yahudi
Dalam gereja mula-mula terdapat berbagai komunitas, salah
satunya adalah komunitas murid Matius. Komunitas murid Matius
adalah komunitas orang Kristen yang kemungkinan besar berlatar
belakang Yahudi (lih.Brooks 1987:120-122); sebagai komunitas yang
berlatar belakang demikian, mereka tentu dibesarkan dalam sebuah
tradisi dan kebiasaan yang cenderung bersikap tertutup dan menolak
untuk menerima komunitas non-Yahudi. Injil Matius dituliskan
sekitar tahun 70-an masehi (bdk Carson & Moo 2005:152-156), dan di
tahun-tahun ini (menjelang atau setelah dihancurkannya bait Allah),
hubungan orang Yahudi dan non-Yahudi sebenarnya dalam kondisi
yang tidak harmonis (bdk. Vander Kam 2001:41-49). Meskipun
demikian, Matius dan komunitasnya memiliki sikap yang berbeda
dengan komunitas Yahudi zamannya terhadap orang-orang non-

18

Yahudi; kita melihat bahwa komunitas Matius nampaknya menolak
sikap yang eksklusif dari orang Yahudi dan menuntut sikap yang
terbuka dari komunitas Matius terhadap orang-orang non-Yahudi.
Injil Matius diawali (contohnya dalam bagian silsilah Yesus dan
kunjungan dari orang-orang Majus) dan diakhiri (lih. matius 28:18-20)
dengan penekanan yang sama bahwa bangsa bukan Yahudi
mendapatkan tempat dalam komunitas umat Tuhan (bdk. McKnight
1992:261-262), dan hal ini mengindikasikan respons dari gereja mulamula yang membuka dirinya terhadap kehadiran kelompok nonYahudi dalam komunitas mereka. Dilihat dari konteks sosiologisnya,
jelas komunitas Matius sebagai bagian dari orang-orang Yahudi
bergumul dengan kehadiran dari orang-orang non-Yahudi dalam
komunitas mereka, namun mereka merespons pergumulan sosiologis
tersebut bukan dengan menutup diri terhadap orang-orang bukan
Yahudi, malah membuka pintu komunitas mereka bagi kehadiran
orang-orang non-Yahudi; alasan mereka melakukan hal ini pastilah
karena mereka mewarisi tradisi/ajaran mengenai “sejarah keselamatan”
yang menekankan bahwa kehancuran bait Allah merupakan fase baru
bagi dibukanya pintu keselamatan bagi bangsa bukan Yahudi (lih.
McKnight 1992:262).
Selain dari Matius dan komunitasnya, kita juga dapat melihat
respons Paulus dalam menyelesaikan persoalan hubungan Yahudi dan
bukan Yahudi. Paulus memiliki sikap yang berbeda terhadap kaum
Gentile; sebelum pertobatannya dan panggilannya, Paulus jelas
memiliiki sikap yang cenderung tertutup terhadap orang-orang nonYahudi; setelah pertobatan dan panggilannya, Paulus mengalami
perubahan sikap dimana ia bukan saja terbuka dengan orang-orang
bukan Yahudi, Paulus bahkan menjadi rasul bagi orang-orang nonYahudi (bdk.Wright. 1997:25-37). Surat Galatia kemungkinan adalah
surat paling awal dari tulisan Paulus, dan dalam surat ini kita
menemukan indikasi yang sangat jelas dari sikap dan ajaran Paulus
bahwa orang non-Yahudi yang percaya kepada Kristus adalah umat
Allah sepenuhnya seperti hanya dengan orang Yahudi yang percaya
kepada Kristus, itulah sebabnya mereka tidak perlu disunatkan (lih.
Gunawan 2011:1-26). Gagasan penolakan sunat dan penekanan bahwa

19

dalam Kristus baik Yahudi maupun bukan Yahudi adalah satu (lih.Gal.
3:28-29) menegaskan penolakan Paulus terhadap eksklusifisme
keyahudian dan keterbukaannya terhadap kaum non-Yahudi
(bdk.Dunn 1993:205-206); dengan demikian kita melihat bahwa ajaran
Paulus mengenai pembenaran disampaikan justru untuk menjawab
persoalan status orang non-Yahudi yang sudah percaya kepada Tuhan
dalam komunitas Kristen Yahudi.Surat Efesus (lih. ps. 2:11-22) adalah
surat yang dituliskan sekitar tahun 60-an masehi dipertengahan
pelayanan Paulus (bdk. Carson & Moo 2005:486-487); dalam surat ini
pun kita menemukan adanya indikasi yang sangat jelas bagaimana
Paulus mengimplementasikan ajaran mengenai pendamaian dengan
isu sosiologis dari jemaat penerima surat tersebut yakni mengenai
kesatuan relasi dari orang-orang Kristen Yahudi dan non-Yahudi (bdk.
Bruce 1984:295-301).
b. Sikap gereja terhadap kaum perempuan
Sikap Yesus terhadap kaum perempuan berbeda dari sikap
masyarakat Yahudi pada umumnya. Sikap yang berbeda dari Yesus
terhadap kaum perempuan terlihat dalam Lukas 8:1-3. Menurut
Marshall (1978: 316-317), sikap Yesus dalam menempatkan kaum
perempuan dalam kumpulan murid-muridnya tidaklah dianggap lazim
oleh orang-orang zamannya; jika kita membandingkan dengan
penjelasan yang diberikan oleh Kroeger (2000:1276-1280) bahwa
kaum perempuan di Palestina pada umumnya hanya hidup dalam
lingkup tempat tinggalnya (rumah), maka tindakan Yesus untuk
menyertakan kaum perempuan dalam perjalanan misinya bukanlah
hal yang dianggap lazim oleh masyarakat Yahudi abad pertama
masehi. Menurut Marshall (1978: 315), tujuan dari dituliskannya
bagian ini oleh Lukas adalah untuk memperlihatkan kualifikasi dari
dapat dipercayanya kesaksian kaum wanita yang menjadi saksi
kebangkitan Yesus sebab mereka adalah orang-orang yang sedari awal
menyertai pelayanan Yesus, selain itu bagian ini juga dituliskan serta
untuk memberikan dorongan kepada kaum perempuan dalam gereja

20

mula-mula untuk terlibat aktif dalam pelayanan di gereja.6 Apa yang
Lukas lakukan tentunya bertentangan dengan budaya Yahudi dan
Yunani sebab dalam kehidupan orang Yahudi, kesaksian kaum
perempuan tidak dapat diterima dan dalam kebudayaan Yahudi serta
Yunani, kaum perempuan tidaklah memiliki kebebasan dalam
pelayanan keagamaan; itulah sebabnya jika Lukas kemudian
menuliskan kisah mengenai kaum perempuan yang dilibatkan dalam
pelayanan sekaligus diberikan tugas untuk menjadi saksi kebangkitan
Kristus seperti halnya kaum laki-laki, maka hal ini jelas menunjukkan
sikap yang berbeda dari Lukas, seperti halnya Yesus, dari komunitas
zamannya yang cenderung merendahkan kaum perempuan, dalam
memandang status serta kedudukan kaum perempuan dalam pekerjaan
Tuhan.
Injil Matius dituliskan dalam kerangka berpikir yang bersifat
Yahudi; dan sebagai orang-orang Yahudi mereka terbentuk dengan
pemikiran dan kebiasaan yang menempatkan kaum perempuan sebagai
kaum yang dipandang berbeda bahkan lebih rendah dari kaum lakilaki. Meskipun demikian, dalam injil Matius, kita menemukan indikasi
bahwa Matius dan komunitas yang dilayaninya menolak tradisi dan
kebiasaan orang Yahudi tersebut; dalam kisah silsilah Tuhan Yesus,
Matius memperlihatkan para wanita yang kemudian dimasukkan
dalam silsilah Yesus (Mat. 1:3,5-6); dalam peristiwa pengadilan Yesus,
Matius menyebutkan mengenai istri dari Pontius Pilatus yang
menasehati suaminya untuk tidak terlibat dalam pembunuhan Yesus;
dalam injil Matius kita juga menemukan kaum wanita yang dijadikan
murid oleh Yesus (Mat 12:49-50).

Scholer (1992:885-886) menjelaskan bahwa dibandingkan dengan injil yang lain, injil
Lukas lebih banyak berbicara mengenai kaum perempuan. Kita memang tidak

6

mengetahui dengan jelas alasan utama dari kecenderungan ini, apakah hal tersebut
disebabkan karena latar belakang Lukas yang adalah seorang Romawi yang memiliki
cara pandang yang lebih positif terhadap kaum perempuan, ataukah karena situasi dan
kondisi dari jemaat yang menjadi pembaca Injil Lukas membuat Lukas memberikan
penekanan khusus bagi kaum perempuan.

21

Sikap Paulus terhadap kaum perempuan pada dasarnya bersifat
positif, hanya saja dalam tulisannya sikap Paulus terlihat seolah-olah
tidak konsisten. Dalam 1 Kor. 11:2-16 Paulus mengijinkan perempuan
untuk terlibat aktif dalam pelayanan baik untuk berdoa bahkan untuk
menyampaikan nubuat; namun dalam 1 Kor. 14: 34-40 seperti halnya
dalam 1 Tim. 2:12 Paulus menolak perempuan untuk berbicara dalam
pertemuan ibadah. Untuk memahami sikap Paulus terhadap
perempuan, kita harus memulainya dari Gal. 3:28 dimana Paulus
mempararelkan antara hubungan Yahudi dan non-Yahudi dalam
Tuhan dengan hubungan laki-laki dan perempuan; sama seperti dalam
konteks hubungan Yahudi dan bukan Yahudi bahwa mereka adalah
sederajat, demikianlah kedudukan laki-laki dan perempuan dalam
Tuhan (bdk. Dunn 1993:204-208). Dengan demikian kita melihat
bahwa walaupun dilihat dari konteks sosial zamannya, kaum
perempuan tidaklah dinilai dan diperlakukan sama seperti halnya
kaum laki-laki, namun Paulus jelas menolak hal tersebut. Meskipun
demikian, kita masih berhadapan dengan pertanyaan “mengapa Paulus
kemudian melarang perempuan untuk berbicara dalam pertemuan
ibadah?” Paulus sebenarnya tidak melarang kaum perempuan untuk
berbicara dalam pertemuan ibadah; dalam 1 Korintus 11 kita melihat
bahwa Paulus --seperti halnya dalam PL-- dapat menerima bahwa
kaum perempuan dapat menerima panggilan dan karunia dari Tuhan
untuk menjadi penyampai pesan Allah (bernubuat/berkotbah) (bdk.
Gunawan 2013:199-225). Itulah sebabnya kalaupun Paulus melarang
perempuan berbicara dalam 1 Kor. 14:34-40, hal tersebut pasti bukan
disebabkan karena natur orang tersebut sebagai seorang perempuan;
Paulus melarang perempuan dalam konteks 1 Kor. 14:34-40 mungkin
karena apa yang dia lakukan mengganggu ketertiban dari ibadah atau
mungkin karena dia melakukan apa yang bukan menjadi kewenangan
atau panggilan atau karunianya yakni mengevaluasi nubuat yang
disampaikan oleh salah satu jemaat (bdk Grudem 2000:183-192);hal
yang sama kemungkinan menjadi latar belakang nasehat Paulus dalam
1 Tim. 2:12.

22

c. Sikap gereja mula-mula terhadap orang-orang miskin
Sikap dan ajaran Yesus terhadap isu mengenai kemiskinan terbagi
kedalam dua kategori yakni sikap dan ajaran Yesus mengenai kekayaan
dan sikap dan ajaran Yesus mengenai orang-orang miskin; Davids
(1992:704-708) membagi ajaran Yesus mengenai kemiskinan kedalam
beberapa aspek yakni (i) bahaya dari kekayaan; (ii) penggunaan
kekayaan yang benar adalah melalui melayani orang-orang miskin;
(iii) Allah memperhatikan orang-orang miskin; (iv) perhatian bagi
orang-orang miskin akan mendatangkan upah di sorga; (v) iman yang
total kepada Allah adalah kunci untuk dapat menyerahkan harta
kekayaan; (vi) praktek utama dari hidup yang tidak terikat dengan
harta ada dalam komunitas gereja.
Seperti halnya Yesus, Paulus memandang bahwa orang-orang
miskin perlu untuk diperhatikan oleh gereja. Namun, berbeda dengan
Yesus, Paulus jarang membicarakan mengenai isu kekayaan ataupun
kemiskinan; hal ini tentu terjadi bukan karena jemaat Kristen tidak
mengalami kesulitan ekonomi; sebab terdapat berbagai indikasi bahwa
orang-orang Kristen abad pertama masehi mengalami kesulitan secara
ekonomi. Sayangnya, kita tidak mengetahui dengan jelas alasan Paulus
terkait dengan sikapnya tersebut, apakah mungkin karena isu
mengenai kekayaan dan kemiskinan merupakan isu yang sangat
sensitif untuk dituliskan sehingga Paulus memilih untuk
membicarakannya secara langsung, atau apakah sikap Paulus
merupakan representasi dari pemikirannya yang memandang bahwa
baik kekayaan ataupun kemiskinan bukanlah sebagai hal yang utama
sehingga ia tidak mau membicarakan hal tersebut secara panjang lebar,
kita sulit untuk memastikannya (bdk. Schmidt 1993:826-827).
Meskipun Paulus tidak membicarakan secara khusus mengenai
kemiskinan, namun Paulus sebenarnya berbicara mengenai hal
tersebut dalam bahasa yang berbeda. Dihampir semua suratnya Paulus
banyak berbicara mengenai kasih terhadap sesama yang menjadi
ukuran dari kedewasaan rohani jemaat; sebagai contoh, dalam 1
Tesalonika 1:2-4 Paulus menyebutkan bahwa jemaat tersebut memiliki
“pekerjaan iman, usaha kasih, dan ketekunan pengharapan” yang
menjadi indikasi dari jati diri mereka sebagai umat pilihan Tuhan;

23

Wanamaker
(1990:76)
menjelaskan
bahwa
istilah
usaha
kasih/pekerjaan kasih digunakan Paulus untuk menegaskan bahwa
kasih itu selalu menghasilkan perbuatan/karya tertentu; kasih kepada
Allah, bagi Paulus, tidaklah terpisahkan dari kasih kepada sesama
manusia dan harus nyata dalam kehidupan berjemaat. Itulah sebabnya,
ajaran mengenai kasih pada dasarnya meliputi nasehat kepada orangorang Kristen untuk memperhatikan kekurangan dari sesama jemaat
Tuhan. Di sisi yang lainnya, Paulus juga memberikan nasehat supaya
seseorang yang bertobat mereka memperhatikan orang-orang yang
miskin; dalam Efesus 4:28 ia menasehatkan bahwa seseorang perlu
menjalankan usaha yang bersih dalam bekerja dan kemudian ia bukan
saja menikmati hasil usahanya sendiri, namun ia hendaknya juga
membaginya dengan orang-orang miskin; dalam 1 Timotius 5:3-16,
Paulus menghimbau supaya janda yang benar-benar membutuhkan
bantuan, mereka diperhatikan oleh gereja.
Selain Yesus dan Paulus, kita pun dapat melihat perhatian yang
sama juga diberikan oleh para penulis PB lainnya baik itu Yohanes
(contohnya dalam 1 Yoh. 3:11-18), Yakobus (contohnya dalam Yak.
5:1-11), dst. Dalam Kisah Para Rasul (contohnya dalam ps. 6:1-7), kita
mendapatkan kesaksian bagaimana gereja mula-mula menjadikan
pelayanan terhadap orang-orang miskin sebagai hal yang utama.
Perhatian dari gereja mula-mula terhadap orang-orang miskin di
zamannya memperlihatkan perhatian yang besar dari orang-orang
Kristen terhadap pergumulan sosial masyarakat zaman mereka.
Kesimpulan & Aplikasi
Kita sudah melihat bahwa gereja dalam pertumbuhan dan
perkembangannya tidaklah lepas dari isu pergumulan sosial zamannya;
gereja bergumul dengan ketegangan hubungan antar suku yang tidak
harmonis, bergumul juga dengan sikap terhadap kaum perempun yang
diskriminatif, serta kondisi kemiskinan yang menjerat masyarakat baik
Kristen ataupun bukan. Gereja bukanlah komunitas yang hidup di
sorga, namun hidup di dunia; itulah sebabnya gereja tidak dapat
menutup mata terhadap pergumulan sosial zamannya dan itulah juga
yang kita lihat dari kesaksian gereja mula-mula, bagaimana mereka

24

mengintegrasikan dan mengimplementasikan ajaran yang benar
dengan konteks pergumulan ril jemaat yang salah satunya adalah
pergumulan sosial mereka.
Yesus, para rasul dan gereja mula-mula memberikan teladan
mengenai bagaimana kita perlu untuk mengintegrasikan dan
mengimplementasikan ajaran Alkitab dengan pergumulan ril jemaat
yang hidup di zaman sekarang termasuk dalam pergumulan sosial masa
kini. Di Asia, kita berhadapan dengan berbagai isu sosial yang penting;
selain berhadapan dengan isu mengenai pluralisme agama, kita
berhadapan dengan masalah fragmentasi sosial dan kemiskinan (bdk.
Aloysius Pieris 1996). Fragmentasi sosial yang terjadi melibatkan
berbagai aspek termasuk dalam gender dan suku dan hal ini bahkan
terjadi dalam gereja. Kaum perempuan belum sepenuhnya diberi
kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam pelayanan gereja;
perlakukan terhadap pendeta perempuan sering kali berbeda dari
pendeta laki-laki; unsur suku juga sering menjadi persoalan/hambatan
dalam pemilihan majelis gereja. Di sisi yang lain, kita berhadapan
dengan realitas bahwa Indonesia adalah negara yang terkategori
miskin; jemaat pun banyak yang hidup dalam kemiskinan; kemiskinan
bahkan bukan hanya menyentuh aspek materi, namun juga
menyentuh aspek utama lainnya yakni kesehatan, pendidikan bahkan
moralitas. Di sinilah gereja terpanggil untuk mengintegrasikan ajaran
Alkitab yang kita yakini sebagai jawaban dari pergumulan manusia
dengan situasi dan kondisi ril zaman kita.

Daftar Pustaka
Barton, Stephen C.
2010 “Historical Criticism and Social-Scientific Perspectives
in New Testament Studies.”Hearing the New Testament: Strategies for
Interpretation.2nd.ed. Grand Rapids: Eerdmans.
Boccaccini, Gabriele.
1991 Midle Judaism: Jewish Thought, 300 B.C.E to 200 C.E.
Minneapolis: Fortress.

25

Brooks, Stephenson H.

Matthew‟s Community: The Evidance of His Speacial
Sayings Material. JSNTSS 16.Sheffield: Sheffield Academic Press.
1987

Bruce, F. F.
1984 The Epistles to the Colossians To Philemon And To The
Ephesians. NICNT. Grand Rapids: Eerdmans.
Collins, John J.
2000 Between Athens and Jerusalem: Jewish Identity in
Hellenistic Diaspora. 2nd.ed. Grand Rapids: Eerdmans.
Conzelmann, Hanz.
1975

1 Corinthians.Hermeneia. Philadelphia: Fortress.

Davids, P. H.
1992 “Rich and
Gospels.Illinois: IVP.

Poor,”Dictionary

of

Jesus

and

the

DeMaris, Richard E.
1994 The Colossian Controversy: Wisdom in Dispute at
Colossae.JSNTSS 96. Sheffield: Sheffield Academic Press.
desilva, David.
2002

A. Introducing the Apocrypha. Grand Rapids: Baker.

Donaldson, Terence L.
1997 Paul and the Gentile: Remapping the Apostle‟s
Convictional World. Minneapolis: Fortress.
Dunn, James D. G., James P. Mackey.
1987 New Testament Theology in Dialogue: Christology &
Ministry. Philadelphia: Westminster.
Dunn, James D. G.
1993 The Epistle To The Galatians. BNTC. Peabody:
Hendrickson.

26

Evans, Marry J.
1983

Woman in the Bible. Exerter: Paternoster.

Feldmann, Louis H. & Meyer Reinhold
1996 Jewish Life And Thought Among Greeks and Romans.
Edinburg: T & T Clark.
Green, Joel B.
“The Challenge of Hearing the New Testament,”
Hearing the New Testament: Strategies for Interpretation. 2nd.ed.
Grand Rapids: Eerdmans.
2010

Grudem, Wayne
2000 The Gift of Prophecy in the New Testament and Today.
Rev.ed. Illinois: Crossway.
Gunawan, Chandra.
2009 “Rekonstruksi Terhadap Insiden Galatia Dan
Aplikasinya Bagi Pergumulan Gereja Masa Kini Mengenai Perbedaan
Etnis.”Stulos 8.2 (September): 233-258.
Gunawan, Chandra.
2011 “Ketegangan Hubungan Yahudi Dan Bukan Yahudi
Dalam Yudaisme Bait Allah Kedua Dan Dalam Surat Galatia.”Veritas
12.1 (April): 83-107.
Gunawan, Chandra
2011 “Sunat Sebagai έργω
Deum 1.1 (Juli-Desember): 1-26.

ου: Studi Galatia 2:16.” Te

Gunawan, Chandra
2012 “Forensic JustificationDalam Teologi Paulus.”Stulos 11.2
(September):171-195.

27

Gunawan, Chandra.
2013 “Kaum Perempuan Dalam Keluarga dan Gereja: Etika
Paulus Tentang Perempuan Dalam 1 Korintus 11:2-16.” Te Deum 2.2
(Januari-Juli): 199-225.
Hayes, Christin E.
2002 Gentile Impurities and Jewish Identities. Oxford:
Oxford University Press.
Jeffers, James S.

The Greco-roman World of the New Testament Era:
Exploring the Background of Early Christianity. Illinois: IVP.
1999

Jewett, Paul K.

Man as Male and Female: A Study of Sexual
Relationship from a Theological Point of View. Grand Rapids:
1975

Eerdmans.
Keener, Craig S.
1992

Paul, Woman and Wife. Peabody: Hendrickson.

Keener, Craig S.
1993

Bible Bacground Commentary. Illinois: IVP.

Keener, Craig S.
“Adultery, Divorce,” Dictionary of New Testament
Background.Illionois: IVP.
2000

Kroeger, C. C.
1993

“head.”Dictionary of Paul and His Letter.Illinois: IVP.

Marshall, I. Howard
1978

The Gospel of Luke. NIGTC. Grand Rapids: Eerdmans.

McKnight, Scott.
1988

Interpreting the Synoptic Gospels. Grand Rapids: Baker.

28

McKnight, Scott.
1991

A Light among the Gentiles. Minneapolis: Fortress.

McKnight, Scott
1992

“Gentiles.”Dictionary of Jesus and the Gospels.Illinois:

IVP.
Mach, Michael.
1998 “Conservative Revolution?The Intolerant Innovations
of Qumran,” Tolerance and Intolerance in Early Judaism and
Christianity.Cambridge: Cambridge University Press.
Oerke, A.
1968

“γ

η” in TDNT.Grand Rapids: Eerdmans.

Pieris, Aloysius.
1996
Kanisius.

Berteologi Dalam Konteks Asia.Terj. Yogyakarta:

Scholer, D. M.
1992

“Woman.”Dictionary of Jesus and the Gospels.Illinois:

IVP.
Schreiner, Thomas.
1990

Interpreting the Pauline Epistles. Grand Rapids: Baker.

Scwartz, Daniel R.
1998 “The Other in 1 and 2 Maccabees” in Tolerance and
Intolerance in Early Judaism and Christianity. Cambridge: Cambridge
University Press.
Shutt, R. J. H.
1985

“Letter of Aristeas” The Old Testament Pseudepigrapha

Vol 2: Expansions of the „Old Testament‟ and Legends, Wisdom and
Philosophical Literature, Prayers, Psalms and Odes, Fragments of Lost
Judeo-Hellenistic Works.Ed. James H. Charlesworth. London: Darton,
Longman & Todd.

29

Stambauch, John.,& David Balch.
1997

Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula.Terj. Jakarta: BPK,

1997
VanderKam, James C.
2002
Eerdmans.

An Introduction to Early Judaism. Grand Rapids:

Wanamaker, Charles A.
1990 The Epistles to the Thessalonians.NIGTC. Grand
Rapids: Eerdmans.
Witherington III, Ben.
1988
University.

Woman in the Earliest Church. Cambridge: Cambridge

Witherington III, Ben.
1995 Conflic and Community in Corinthians: A SocioRhetorical Commentary 1 and 2 Corinthians. Grand Rapids:
Eerdmans.
Wright, N. T

What Saint Paul Really Said: Was Paul of Tarsus the
Real Founder of Christianity?.Grands Rapids: Eerdmans.
1997

30