Antara kiri dan kanan menguji ideologi.

kiri dan kanan ; antara liberalisme dan marxisme
Pendahuluan
Abad ke-20, dari sudut sejarah pertarungan ide-ide barangkali bisa dilihat sebagai abad
puncak pertarungan antara ideology sosialisme dan liberalism. Tentu tanpa bermaksud
meminggirkan perdebatan yang lain, perdebatan kedua ideology ini menjadi semacam payung
besar bagi lahirnya banyak perdebatan lainnya. Perdebatan Marxisme dan Liberalisme, tentu
tidak hanya tentang individualism dan kolektivisme. Karena ada banyak tokoh-tokoh pemikir
dari kedua aliran tersebut, yang mengkonstruksi ideology tersebut menjadi mapan. Marxisme
tidak bisa hanya semata dilihat sebagai buah pikiran Karl Marx. Walau memang pokok
pikirannya tentang metode dialektis adalah dasar dari ide marxisme. Liberalisme pun tidak
terbentuk dalam satu kurun waktu tentu, atau dilahirkan oleh satu tokoh tertentu. Banyak pemikir
yang berkontribusi dalam membentuk perspektif tersebut. Karenanya kadang ada kemiripan
dalam dua kutub pemikiran tersebut. Popper misalnya melihat bahwa ada kemiripan antara
historisme Marx dan Historisime J.S Mill 1[1]. Persamaan lainnya adalah keduanya kecewa
dengan liberalism laissez-faire, dan mencoba membuat fondasi yang lebih baik untuk
mewujudkan ide fundamental tentang kebebasan.
Tapi dalam hal metodologi, ada satu perbedaan yang paling kentara dalam pemikiran
keduanya. Bagi Mill perkembangan harus dapat dijelaskan oleh progresifitas manusia, yang
menurutnya merupakan pondasi bagi penegakkan ilmu social. Ia mencoba untuk membangun
metodologi psikologisme. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Marx, yang menegaskan bahwa
hubungan legal dan berbagai struktur politik tidak dapat dijelaskan dengan apa yang telah

disebut sebagai ‘progresifitas umum pikiran manusia’2[2]. Hal itu jelas terlihat dalam
epigramnya yang terkenal ‘bahwa bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya tapi
eksistensi sosialnya lah yang menentukan kesadarannya.
Revolusi Prancis 1789 sebagai sebuah revolusi politik dan revolusi industri pada awal
abad 19 dan 20 adalah dua momentum besar dalam pembentukan teori sosial. Keduanya
bukanlah peristiwa tunggal yang tidak saling terkait. Keduanya mengarahkan proses transformasi
1[1]. Karl. R. Popper, The Open Society and Its Enemies, edisi Bahasa Indonesia, Masyarakat Terbuka dan Musuhmusuhnya, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2008, p.356

2[2]. Ibid, p.356

dunia barat dari sistem pertanian menuju industri. Periode tersebut merupakan tonggak lahirnya
kapitalisme yang kemudian dijawab dengan kemunculan sosialisme, selain itu urbanisasi sebagai
ekses lainnya melahirkan mazhab Chigago. Aufkalarung adalah titik tolak usaha untuk
membangun dunia yang lebih baik dan rasional. Dengan menekankan pada rasio, para filsuf pada
era ini cenderung menafikan nilai dan institusi tradisional, karena dianggap irrasional. Selain
dianggap berlawanan dengan sifat manusia juga menghambat pertumbuhan dan perkembangan
manusia. Karl Marx adalah salah satu teoritisi yang dipengaruhi oleh pemikir pencerahan,
walaupun dia membangun teoritis awalnya di Jerman. Dua filsuf besar yang tidak bisa
dipisahkan dari pemikiran Karl Marx adalah G.W.F. Hegel dan Ludwig Feurbach. Salah satu
varian yang membedakan Marx dengan para konservatif adalah pada dialektikanya, kerangkan

pikir dialektis berbeda dengan gagasan kausalitas yang dikembangkan pemikir konservatif.
Dialektika mengarahkan pemikiran pada efek respirokal kekuatan-kekuatan sosial.
Perdebatan kedua kutub besar pemikiran tersebut pernah tercermin dari perseteruan blok
barat dan timur, sempat mereda setelah runtuhnya Uni Soviet . hal tersebut bisa diilihat dari
klaim Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man. Namun, hal tersebut
kembali menguat setelah terjadinya krisis ekonomi global saat ini. Kembali ada pertanyaan
apakah kita on the right side of history? Krisis global saat ini telah mengingatkan dunia pada
depresi besar pada 1930-an. Krisis global ini mengarahkan perdebatan pada kegagalan liberalism
dan kapitalisme dan memalingkan pandangan pada sosialisme dan marxisme. Menarik juga
untuk mengulang kembali pertanyaan Marshall Berman : Bagaimana Das Capital berakhir
sementara capital itu sendiri hidup terus?3[3]
Namun, bagi para pembela liberalisme – kapitalisme, perdebatan ini bukanlah antara
kapitalisme dan sosialisme melainkan diarahkan pada perdebatan antara Keynes dan Hayek.
Perdebatan yang diarahkan bukan untuk merestrukturasi system liberalism yang kapitalistik
melainkan mencoba untuk menyesuaikan system kapitalisme dengan konteks zamannya Tapi
tentu kita akan mengingat pernyataan dari Mazimilien Robespierre, “On ne saurait pas faire une
omelette sans casser des oeufs”, bahwa seseorang tidak dapat berharap membuat omelet tanpa
memecahkan telur4[4].
3[3]. Francis Wheen, Marx’s Das Capital : A Biography, edisi bahasa Indonesia Das Kapital : Kisah Sebuah Buku
yang Mengubah Dunia, diterjemahkan oleh Ronny Agustinus, PT. Wahana Aksi Kritika, 20012, p. 7


4[4]. Lawrence W.Reed, Pengantar Aku, Pensil Silsilah Keluarga Sebuah Pensil, Sebagaimana Dikisahkan Kepada
Leonard Read, Friedrich-Naumann-Stiftung, Freedom Institute dan Liberal Society,p.6

Kiri dan Kanan
Bicara akan liberalism dan marxisme adalah bicara tentang polarisasi “kiri”dan “kanan”.
Hal tersebut dikarenakan seperti jamak diketahui, bahwa dalam perspektif marxisme penindasan
berawal dari pemilikan pribadi yang terlalu luas. Liberalism kapitalisme hadir untuk terus
mendominasi dengan mendidik dan memilih insane-insan yang dibutuhkannya melalui suatu
proses “survival of the fittest”5[5]Pemilikan yang kemudian menjadi awal dari akumulasi capital
yang kapitallistik. Maka untuk mencapai kondisi masyarakat yang lebih baik, yang harus
dilakukan adalah merestrukturisasi pondasi tersebut. Restrukturisasi kepemilikan ini yang
kemudian menjadi indikasi kekirian.
Komunis hadir dengan wacana penghilangan kepemilikan pribadi secara toral. Kelompok
yang lebih moderat hadir dengan tawaran nasionalisasi. Pandangan diataslah yang kemudian
mengalamatkan revolusi social menjadi milik kelompok kiri. Implikasinya adalah jikapun ada
tindakan penghilangan milik pribadi seperti yang dilakukan oleh Stalin dan Polpot, maka itu
adalah buah dari teori revolusioner semacam marxisme. Namun, perdebatan tentang ini juga
belum selesai di intern kaum marxis itu sendiri. Perdebatannya adalah jika perjuangan kelas
proletar hanya dimengerti sebagai alat, dengan nasionalisasi sebagai tujuan Jika disadarkan itu

sebagai preskripsi, dengan menyerahkan kuasa pengelolaan pada birokrasi Negara. Itu tentu
menjadi alamat kritik jelas dari John Stuart Mill dalam tulisannya yang berjudul On Liberty..
Kita akan mencoba untuk melihat itu dalam perspektif Marxist dengan mengutip apa yang
diharapkan oleh marxisme dalam Manifesto Komunis :
Semua kelas terdahulu yang memperoleh kekuasaan, berusaha memperkuat kedudukan yang
telah diperolehnya dengan menundukkan seluruh masyarakat kepada syarat-syarat kepemilikan
mereka. Kaum proletar tidak dapat menjadi tuan atas tenaga-tenaga produktif dalam masyarakat,
kecuali denganm enghapuskan cara kepemilikan mereka sendiri terlebih dahulu atas tenagatenaga produktif, dan dengan begitu menghapuskan juga segala cara kepemilikan terlebih dahulu
lainnya. Mereka tidak mempunyai sesuatupun yang harus dilindungi dand ipertahankan, tugas
mereka ialah menghancurkan segala perlindungan dan jaminan terdahulu atas milik
perseorangan.
Marx percaya bahwa pada dasarnya manusia itu adalah makhluk produktif, manusia
adalah makhluk yang untuk bertahan hidup bekerja mengolah alam. Produktivitas mereka adalah
dengan cara yang sangat alamiah yang mereka gunakan untuk mengekspresikan dorongan
kreativ dasar mereka. Selain itu, dorongan-dorongan ini diekspresikan secara bersama-sama
5[5]. Max Weber, The Protestant Ethic Spirit of Capitalism, edisi Bahasa Indonesia Etika Protestan dan Spirit
Kapitalisme, diterjemahkan oleh TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, p.29

dengan manusia yang lain, dengan kata lain Marx juga mengasumsikan bahwa manusia adalah
makhluk yang bersifat sosial, dengan saling bekerjasama untuk bertahan hidup. Manusia

menurut Marx juga merupakan suatu ‘ansambel relasi-relasi sosial’ dengan sifat dasarnya yang
dinamis, bukan sesuatu yang statis. Yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang sosial dan
historis. Sehingga untuk memahami sifat dasar manusia kita harus memahami sejarah sosial,
karena dia dibentuk oleh kontradiksi-kontradiksi yang dialektis.
Di pembukan ‘communist manifesto’ Marx menegaskan bahwa sejarah manusia adalah
sejarah penindasan, inilah yang kemudian menjadi salah satu kontradiksi dalam sejarah manusia
menurutnya. Varian yang kemudian membedakan manusia dengan makhluk lain adalah dengan
konsepsi ‘species being’ yang konsepsi tentang potensi-potensi dan kekuatan-kekuatan yang unik
yang membedakan kita dengan spesiaes yang lain. Karena bagi Marx yang penting adalah
bagaimana sifat dasar tersebut dimodifikasi pada masing-masing tahapan sejarah. Namun, Louis
Althuisser menerjemahkan ini sebagai ketidakyakinan adanya sifat dasar manusia, karena
konsepsi tentang sifat dasar manusia adalah sesuatu yang konservatif. Menurutnya jika
permasalahan-permasalahan manusia lebih diakibatkan oleh sifat dasar manusia, maka sebaiknya
manusia membiasakan dirinya untuk mencoba mengubah sesuatu. Konsepsi Althuisser tersebut
dibantah oleh pemikir Marxis lainnya, semisal Gasser (1983). Manurutnya kurang masuk akal
untuk mengatakan bahwa manusia tidak memiliki sifat dasar. Kotak kapur saja harus memiliki
bekas kapur untuk menandakan bahwa ianya adalah kotak kapur. Hal tersebut juga dipertegas
oleh para pemikir marxis kekinian semisal Harvey ; “kecuali jika kita menentang ide,
bagaimanapun berbahayanya, tentang sifat dasar manusia dan spesies kita sebagai manusia dan
memperoleh pemahaman tentangnya, maka kita tidak bisa mengetahui dari apa kita teralienasi

dan tersingkir atau apa makna emansipasi.
Kita juga tidak bisa menentukan “kekuatan-kekuatan tidak aktif” kita yang mana yang
harus dibangunkan untuk mencapai tujuan-tujuan pembebasan. Pekerjaan mendefinisikan sifat
dasar manusia, bagaimanapun tentatif dan tidak kokohnya definisi itu nantinya, merupakan
langkah penting dalam penelitian tentang kenyataan sebagai lawan terhadap alternativealternative fantasis. Suatu gambaran tentang “spesies” kita sebagai manusia mutlak diperlukan
(Harvey, 2000 ; 207). Penting untuk dilihat bahwa apa yang ditekankan oleh Marx adalah bukan
kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, namun sebaliknya keberadaan social
mereka yang menentukan keberadaan mereka.

Dari pemahaman Marx tentang kerja dan sifat dasar manusia akan lahir berbagai kritikan
dan teori sebagai pengejawantahan dari dialektika Marx. Karena kapitalisme adalah sebuah
system yang terbentuk dari struktur yang menghalangi manusia dari sumber-sumber produksi
untuk melakukan kerja. Beberapa konsepsi yang lahir sebagai antitesa dari marxisme adalah,
alienasi, komoditas dan fetisisme komoditas-komoditas, dan eksploitasi. Alienasi dimaknai oleh
Marx sehagi penyelewengan kapitalisme terhadap hubungan yang inheren antara kerja dan sifat
dasar manusia. Alienasi terdiri dari empat unsure dasar. Pertama, para pekerja didalam
masyarakat kapitalis teralienasi dati aktivitas-aktivitas produktif mereka. Kedua, tidak hanya
teralienasi dari aktivitas produktif, pekerja juga teralienasi dari produk yang merupakan tujuan
dari aktivitas-aktivitas produktif. Ketiga, para pekerja juga teralienasi dari sesame pekerja.
Keempat, para pekerja dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari ‘potensi kemanusiaan’ mereka.

Pandangan Marx tentang komoditas berakar pada orientasi materialismenya, dengan focus pada
aktivitas-aktivitas produktif para actor. Pandangan Marx akan komoditas berakar pada nilai guna
dan nilai tukar komoditas serta produksi nilai. Fetisime komoditas-komoditas Marx
diterjemahkan oleh Georg Lukacs dalam konsep reifikasi, yang bisa diartikan dengan
‘thingification’. Penerjemahan Marx tentang eksploitasi dapat dilihat pada argumentasinya
berikut, “ untuk mengubah uangnya menjadi capital…pemilik uang harus bertemu dipasar
dengan buruh-buruh yang bebas, bebas dalam dua pengertian, disatu sisi sebagai seseorang yang
bebas dia bisa mengatur tenaganya sebagai komoditasnya sendiri dan disisi yang lain sebagai
seseorang yang tidak memiliki komoditas lain untuk dijual, dia kekurangan segala sesuatu yang
penting untuk merealisasikan tenaganya”. Gambaran ini juga terlihat dalam konsepsi marx
tentang nilai-surplus, yang dari nilai-surplus para kapitalis semakin mematangkan strukturnya.
Materialism historis
Didalam proses produksi social yang dilakukannya, manusia memasuki relasi-relasi tertentu
yang niscaya dan tidak bergantung pada keinginan mereka. Relasi-relasi produksi ini tergantung
pada suatu langkah tertentu dari perkembangan kekuatan-kekuatan produksi material mereka.
Totalitas hubungan-hubungan produksi ini membentuk struktur ekonomi masyarakat, yang
merupakan pondasi sebenarnya dari suatu superstruktur hokum dan politik yang berhubungan
satu banding satu dengan benatuk-bentuk kesadaran social yang jelas. Pada tahap tertentu dari
perkembangan mereka, kekuatan-kekuatan produksi material di dalam masyarakat berkonflik
dengan relasi-relasi produksi yang ada atau –apalagi kalau bukan ekspresi legal dari hal yang

sama- dengan relasi property tempat mereka bekerja sebelumnya. Dari bentuk-bentuk
perkembangan kekuatan-kekuatan produksi ini, relasi-relasi tersebut berubah menjadi kendalakendala yang mengikat. Kemudian muncullah suatu periode revolusi social. Ketika fondasi

ekonomi mengalami perubahan, keseluruhan superstruktur juga mengalami perubahan yang lebih
kurang sama (Marx, 1859/1970 : 20-21)
Disebelah kanan, ada kelompok liberal yang dianggap sebagai kelompok yang
menjunjung tinggi hak-hak kepemilikan. Pemikiran yang membela toleransi beragama,
menganggap perang agama sebagai kebodohan. Liberalism menghargai perdagangan dan
industry serta lebih mendukung bangkitnya kelas menengah daripada monarki dan
aristokrasi6[6]. Secara implicit, kecendrungan liberalism awal mengarah ke demokrasi yang
dikuatkan dengan hak-hak kepemilikan. Bagi Liberalisme, semua manusia dilahirkan sama, dan
ketidakadilan yang mengikutinya adalah produk dari lingkungan. Karenanya liberalism bercorak
optimistis, energy dan filosopis, kehadirannya untuk mengakhiri perselisihan politik dan
ideologis dengan mengarahkan energy manusia pada kegiatan perdagangan dan sains. Liberalism
awal bercirikan individualistic dalam perkara-perkara intelektual, juga dalam bidang ekonomi,
tetapi tidak mementingkan diri sendiri secara emosional dan etis7[7].
Salah seorang pemikir yang masyhur sebagai pemikir liberal adalah John Locke. Salah
satu cirri khasnya yang merembes keseluruh gerakan liberalism adalah kurangnya dogmatism.
Ciri pemikiran ini jelas terlihat pada seluruh maksim system liberalism, seperti, laissez-faire,
demokrasi dan preskripsi manusia rasional. Locke mengarahkan akal budi hanya dengan nilai

instrumentalnya semata, artinya akal budi semata-mata menjadi alat dan diperalat untuk
membangun manusia rasional semata. Pemikiran ini kemudian mulai dikritik oleh banyak
teoritisi, salah satunya adalah Hokheimer. Pemikir teori kritis yang berakar dari marxisme.
Horkheimer membangun akal budi obyektif, sebagai antitesa dari akal budi subyektif –nya
Locke. Jika akal budi subyektif semata-mata dipakai sebagai ssarana atau alat untuk
memperhitungkan segala sesuatu dan berasal dari hanya dan untuk kepentingan individu tertentu.
Maka akal budi subyektif, adaalah akal budi yang tidak hanya berasal dari dan ada dalam diri
individu. Sifatnya universal, meliputi seluruh manusia dalam hubungannya satu sama lainnya.
Pergeseran akal budi obyektif ke akal budi instrumentalis adalah usaha manusia rasional8[8]
6[6]. Bertrand Russel,History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from
the Earliest Times to the Present Day, edisi Bahasa Indonesia Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta,2007, p.783

7[7]. Ibid. p.786
8[8]. Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat Modern oleh Marx Horkheimer dalam
Rangka Sekolah Frankfurt, Penerbit Gramedia, 1983, p.101

Pembelaan para liberalis terhadap akal budi subyektif adalah bahwa manusia tidak akan
kunjung matang jika terus diberi pilihan-pilihan diluar dirinya. Usaha-usaha tersebut juga tidak

akan melahirkan sikap individualistic tapi justru akan membuat manusia menjadi otonom dan
dewasa. Kaum liberal percaya bahwa setiap manusia punya kecendrungan untuk melihat dunia
dengan kacamata yang dia miliki, dan melihat kepentingan yang ada disekelilingnya melalui
kepentingannya sendiri. Dimanapun manusia berada dia akan terus begitu, dia tidak akan bisam
melihat diluar kacamata yang digunakannya. Karena itu individualism bukanlah sebuah paham.
Ia adalah kenyataan9[9]
Dikutub yang berbeda, disebelah kiri ada marxisme, dan marxisme bukanlah sebuah
dogma melainkan panduan aksi. Teori yang dianggap terus hidup dan berkembang. Marxisme
bukanlah hanya telaah tekstual terhadap karya Karl Marx semata. Seperti apa yang ditulis Leon
Trotsky bahwa pada pokoknya Marxisme adalah metode-metode analisis-bukan analisis akan
teks-teks ssaja, melainkan terutama akan hubungan sosial10[10]. Walaupun memang tidak dapat
dilepas bahwa marxisme adalah paham yang berakar dari pemikiran bahwa manusia adalah
makhluk materi. Yang dalam sejarahnya berakar pada penindasan dan untuk mereduksinya harus
ada teori yang melahirkan tindakan praxis. Bertolak belakang dengan liberalism yang
individualism, marxisme hadir dengan basis kolektivitas. Karena menurut mereka, setiap
individu berjuang untuk memperoleh materi sebanyak mungkin dan menutupi akses bagi
kelompok rentan. Berbeda dengan kaum liberalis yang memandang bahwa system perekonomian
adalah positive sum game. Dimana kerjasama adalah sesuatu yang penting dan itu akan terus
saling menguntungkan, namun bagi kaum marxis perekonomian adalah zero sum game.
Namun, kritik dari marxisme berbeda dengan corak anti liberalism dari para pemikir

kanan itu sendiri, seperti Maistre dan Schmitt. Kritik dari pemikir kanan adalah menampik era
pencerahan itu sendiri. Para pemikir tersebut menolak tema pemikiran yang mengusung tema
pembebasan manusia dan menjunjung tinggi kebebasan. Sedangkan Marxis menampik
Liberalisme yang dianggap sebagai pemikiran pro-pemilik modal yang hadir untuk
menyembunyikan dan melanggengkan eksploitasi atas kelas proletar. Dimana kebebasan
individu yang menjadi tema inti dari liberalism, hanyalah kebebasan kaum borjuasi.liberalisme.
9[9]. Rizal Malaranggeng, Dari Langit: Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat, dan Kekuasaan, Jakarta: KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia), 2008, p.29

10[10]. John Molyneux, What is the Real Marxist Tradition?

Kedua paham ini merupakan anak kandung dari pencerahan, yang jadi titik tengkar keduanya
adalah soal bagaimana ide-ide pencerahan direalisasikan.
Indivualisme Vs.Komunalisme
Kapitalisme adalah praktek bejat, yang mengarah pada egoism ekstrem. Pada individualism,
pada kebencian. Kapitalisme adalah penyebab invasi di Irak dan kudeta di Venezuela. Setelah
menyaksikan dalam beberapa tahun terakhir, aku yakin bahwa jalan Kapitalisme, tidak mungkin
menyelamatkan dunia. (Hugo Chaves)11[11]
Penggalan kalimat diatas adalah statement dari salah seorang tokoh sosialisme abad ini.
Baginya, kapitalisme merupakan jalan menuju penghancuran oleh satu kelompok atas kelompok
yang lain atas nama individualism. Namun, Bagi para penganut Individualism, sosialisme yang
menjunjung komunalisme bermakna perbudakan, sebagai mana yang diutarakan pemikir abad ke
19 semacama de Tocqueville dan Lord Acton 12[12]. Sosialisme telah mereduksi individualism
menjadi sesuatu yang dihubungkan dengan egoism dan keserakahan, yang itu berpotensi
menindas. Akan tetapi, secara objektif kita juga harus melihat bahwa ada perbedaan antara
individualism dan egoism. Keduanya memang sama-sama mementingkan dirinya sendiri, akan
tetapi dengan implikasi sosial yang berbeda. Dalam egoism orang mementingkan dirinya tanpa
memperhatikan kepentingan orang lain. Dalam individualism orang yang mementingkan diri
sendiri memaksanya untuk ikut memperhatikan kepentingan orang lain. Pembelaan yang
dilakukan oleh J.S Mill adalah bahwa orang bisa memperhatikan orang lain saat kebutuhan
pribadinya telah terpenuhi.
Namun, bagi para pemikir individualism, makna sesungguhnya individualism adalah
penghargaan terhadap manusia sebagai manusia dengan mengakui pandangan-pandangannya
sebagai individu-individu. Mereka yang kemudian hadir dengan ide-ide kolektivitasnya seperti
Marxisme, dianggap utopis oleh para liberalis. Salah satu kesalahan tersebesarnya kemudian
adalah dengan menyamakan Marxisme atau paham revolusioner lainnya dengan fasisme. Hayek
menganalogikan utopia ini dengan mengutip F.Hoelderlin ; Yang selalu membuat negara jadi
neraka di bumi ini adalah manusia yang justru ingin mengubahnya jadi surga baginya.
Pemikir Yunani kuno semisal Plato dan Mandeville juga percaya bahwa pada hakikatnya
manusia rakus, egoistis, selalu ingin mementingkan diri sendiri. Mandeville mennganggap sifat
rakus manusia yang selalu lebih mementingkan diri sendiri memberikan dampak sosial-ekonomi
11[11].

No Volveran : The Venezuelan Revolution
uJscUE4&feature=relmfu>, diakses tanggal 23 Juni 2012

12[12]. The Servile State, 1913, edisi ketiga, 1927, p. xiv

Now,