Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintah

Tugas Makalah

PERUBAHAN SOSIAL DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
(Makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan)

Dosen Pengampu : Bambang Eka Cahya W, S.IP, M.Si

Oleh :
Nama
No. Mhs

: Canang Bagus Prahara Umpu
: 98520164

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKRTA
2003

PERUBAHAN SOSIAL DALAM

PERSPEKTIF BUDAYA
I.

Pendahuluan
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan yang
mana dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok.
Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas.
Ada pula perubahan-perubahan yang berjalan sangat lambat sekali, akan tetapi
ada pula perubahan yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan hanya
akan dapat diketemukan oleh seseorang yang sempat meneliti susunan dan
kehidupan suatu masyarakat pada kurun waktu tertentu dan membandingkan
dengan masa yang lampau. Seseorang yang tidak sempat menelaah susunan dan
kehidupan masyarakat desa di Indonesia misalnya, akan berpendapat bahwa
masyarakat tersebut statis, tidak maju dan tidak berubah. Pernyataan demikian
hanya pada pandangan sepintas yang tentu saja tidak mendalam dan teliti.
Karena tidak ada suatu masyarakatpun yang berhenti pada suatu titik tertentu
sepanjang masa. Orang-orang desa sudah mengenal perdagangan, alat transport
modern, bahkan sudah dapat mendengar radio dan melihat televisi yang dulu
belum dikenalnya sama sekali.
Perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma

sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisanlapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain
sebagainya.1
Perubahan dalam masyarakat memang telah ada dari zaman dahulu.
Namun dewasa ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat
cepatnya sehingga sering membingungkan manusia yang mengalaminya.
Perubahan-perubahan sering berjalan secara konstan, akan tetapi tetap memiliki
keterikatan dengan waktu dan tempat.

II. Pembahasan
Perubahan sosial adalah suatu perubahan yang terjadi pada sistem sosial
yang mencakup tata nilai sosial, sikap, dan pola perilaku kelompok. Perubahan
sosial merupakan perubahan kelembagaan masyarakat. Menurut Kingsley Davis

1

Soerjono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”,Rajawali Press, Jakarta, 1990, hal 333.

perubahan sosial merupakan bagian perubahan kebudayaan.2 Perubahan dalam
kebudayaan mencakup semua bagiannya yaitu : kesenian, ilmu pengetahuan,
teknologi, filsafat dan lain sebagainya, bahkan perubahan-perubahan dalam

bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Sebagai contoh dikemukakannya
perubahan pada logat suku Aria yang terpisah dari induknya. Akan tetapi
perubahan itu tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya.
Ada lima bentuk perubahan sosial, yaitu :3
1. Perubahan evolusioner.
2. Perubahan revolusioner.
3. Perubahan dialektikal.
4. Perubahan dipaksakan
5. Perubahan terkendali.
Sedangkan perubahan bentuk perubahan budaya adalah:
1. Alkulturasi.
2. Asimilasi.
3. Difusi.
4. Sinkretisme.
Dalam konteks pengelolaan lingkungan, masyarakat tradisional lebih
bersandar pada penyesuaian masyarakat pada lingkungannya. Sedangkan
masyarakat modern mengandung lebih banyak unsur yang berkaitan dengan
mengatasi atau merubah kendala lingkungan hidup. Sedangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan dapat dibagi dalam 2 sifat yaitu perubahan
endogenik (perubahan dari dalam), dan perubahan exogenik (dari luar).

Pada umumnya perubahan dari luar akan mempunyai dampak yang lebih
besar, dan lebih banyak berhubungan dengan aspek pembangunan, serta bersifat
revolusioner. Walaupun demikian tidak berarti bahwa perubahan dari dalam
tidak bisa serius. Di dalam suatu masyarakat yang sedang membangun, perlu
terjadi suatu perubahan sosial yang diberi nama modernisasi. Modernisasi dapat
diartikan sebagai penerapan pengetahuan ilmiah yang ada pada semua aktifitas,
semua bidang kehidupan, atau semua aspek-aspek masyarakat.
Untuk mendukung modernisasi perlu suatu tata nilai modern pada
individu, yang mencakup kualitas pribadi dan tersebarnya pengetahuan ilmiah
serta keterampilan teknis. Tata nilai modern pada individu harus melembaga
2

Kingdsley Davis, “Human Society”, Cetakan ke-13, The Macmillan.
Selo Soemardjan,”Setangkai Bunga Sosiologi”, Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta, 1964, 486-497.
3

pula pada suatu kelembagaan sosial yang modern. Mana yang menjadi unsur
utama, para akhli masih belum ada kesepakatan.
Sejak terbitnya buku Max Weber "Religious Sociology", perhatian

terhadap adanya hubungan antara keyakinan religius dan perilaku ekonomi
menjadi semakin menarik, baik dalam sejarah ekonomi mapun dalam sosiologi
agama. Karena hubungan tersebut sering dianggap terlalu luas, seringkali
perhatian tersebut kemudian dibatasi kepada keyakinan religius tertentu dan
perilaku ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik
antara struktur sosial dan agama atau sistem keagamaan untuk semua peradaban
selama perjalanan sejarahnya.
Agama, dalam hal ini, tidaklah diartikan sebagai sesuatu yang dengan
keniscayaannya, memiliki kebenaran absolut dan berada dalam ruang dan waktu
transendennya. Akan tetapi, agama diartikan sebagai bentuk pemahaman
manusia terhadap apa yang mereka lihat dalam kitab-kitab suci mereka. Kitab
suci sendiri merupakan wujud awal pendegradasian keniscayaan kebenaran
absolut di atas agar ia dapat ditangkap, dipahami, dan diamalkan oleh mereka
yang

mempercayainya

dalam

batas-batas


relativitas

yang

disebabkan

keterbatasan immanensi mereka.4
Batas-batas relativitas tersebut tampak semakin nyata manakala wujud
agama telah berubah menjadi fenomena sosiologis yang tentu saja lokal dan
temporal. Oleh karena itu, ditemukan banyak kesulitan untuk menjelaskan
pandangan pandangan Weber di atas ketika ia tidak dibatasi oleh waktu dan
tempat tertentu. Hal ini berarti adanya keharusan untuk membatasi fenomena
sosiologis yang hendak dijelaskan tersebut. Dengan demikian, analisis yang
diberikan mesti ditujukan kepada hal-hal yang lebih khusus, seperti unit-unit
sosial yang lebih kecil dan dalam kurun waktu tertentu.
Namun demikian, Durkheim mengatakan bahwa perubahan sosial itu
dimotori oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta dasar moralitas yang kuat.
Dasar moralitas bagi anak rabbi Yahudi ini bukannya wahyu, tetapi akal.
Keberatan mendasar Durkheim terhadap wahyu adalah karena ketika

dihadapkan kepada perubahan zaman, ia bersifat prapengalaman. Wahyu telah
dianggap benar sebelum dibuktikan, sebagaimana corak doktrin gereja abad
pertengahan. Baginya, moralitas bukanlah sesuatu yang deduktif, melainkan

4

Wibert E Moore,”Sosial Change”, Utrecth, Antwepen, 1965, hal 10

sesuatu yang berangkat dari kenyataan empiris. Dengan kata lain, moralitas
yang ilmiah bercorak pasca pengalaman.5
Dalam konteks ke-Indonesiaan, wahyu dan akal dapat dijadikan landasan
moralitas secara bergandengan dengan ilmu dan teknologi sebagai motor
perubahan sosial. Oleh karena itu, agama akan tetap dirasakan urgensinya,
seperti dikatakan Mukti Ali. Dengan alasan, agama memberikan penghargaan
positif dan kedudukan tinggi bagi akal. Dalam kerangka ilmu sosial, agama
haruslah kembali seperti pada awal kelahirannya dan bersifat profetik dalam arti
menggerakkan perubahan-perubahan masyarakat. Tidak kemudian, seperti
dalam perjalanannya setelah melembaga, agama kemudian menjadi rutinitas
dari sejumlah ritus dan bahkan menjadi kekuatan konservatif, seperti dikatakan
Koentowijoyo. Dalam hal itu, ia menilai, seperti dikatakan Dawam Raharjo,

ilmu-ilmu sosial sekarang sedang mengalami kemandegan. Ilmu-ilmu sosial
akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis sekarang ini fungsinya hanya terbatas
pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala sosial saja. Hal seperti ini
tidaklah cukup. Ilmu-ilmu sosial, di samping menjelaskan juga harus dapat
memberi petunjuk ke arah transformasi. Inilah operasionalisasi konsep amar
ma'ruf nahyi munkar (Ali Imran : 110).6
Ada dua fenomena di antara sejumlah fenomena sosiologis di Indonesia
yang dapat dengan relatif mudah dijadikan contoh diskursus agama dan
perubahan sosial. Contoh pertama adalah lembaga pesantren. Lembaga ini
dipilih karena di dalamnya dipelajari sumber-sumber informasi mengenai
keniscayaan kebenaran absolut (kitab suci, sabda-sabda nabi, dan karya tulis
para ulama sebagai pemegang akses otoritatif terhadap sumber-sumber
tersebut). Dalam hal itu, pesantren adalah sebuah lembaga yang memainkan
peranan penting dalam masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari kenyataan bahwa
pesantren selalu dijadikan contoh dan panutan dalam segala hal yang dilakukan
atau dianjurkan untuk dilaksanakan oleh masyarakat.
Seperti dikatakan Abdurrahman Wahid, pesantren juga berperan sebagai
pembimbing spiritual masyarakat, dalam arti adanya sejumlah anggota
masyarakat yang datang ke pesantren dengan maksud menanyakan masalah
yang sedang dihadapinya, seperti dalam soal-soal perdata-agama; masalahmasalah keluarga, seperti hukum perkawinan, waris, dan wakaf, seringkali

5

Robert A Dahl,”Modern Political Analysis”,New Jersey, Prientice Hall, 1965, hal 150.
Koentowijoyo,”Masyarakat Desa di Indonesia Dewasa Ini”,Yayasan Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964, hal 412.

6

diajukan masyarakat kepada pesantren untuk diketahui bagaimana status
hukumnya. Bahkan, masalah yang lebih dari itu pun bisa saja diajukan ke
pesantren. Seperti ketika menghadapi pemilu beberapa waktu yang lalu, meski
dilakukan dengan berbisik-bisik, ada sekelompok masyarakat yang bertanya
mulai dari apakah harus ikut berpartisipasi dalam pemilu atau tidak, sampai
kepada partai apa yang harus dipilih (atau partai apa yang didukung pesantren
tersebut).
Hal seperti itu telah menunjukkan cukup terbukanya peluang pesantren
untuk turut serta menciptakan dinamika masyarakat. Artinya, pengaruh
pesantren terhadap masyarakat di sekitarnya yang cukup besar itu, tinggal
dimanfaatkan sebagi-baiknya sehingga bisa saja pesantren berfungsi sebagai
tranformer nilai-nilai ideal pada masyarakat tersebut. Yang pada akhirnya akan

mewujudkan suatu proses dinamisasi sinergis kontinu yang terjadi pada
masyarakat pedesaan itu.
Selanjutnya Gus Dur mengatakan, dalam batas identifikasi sosiologis,
pesantren juga merupakan sebuah subkultur. Hal tersebut dapat dilihat dari
aspek-aspek kehidupan dalam pesantren itu sendiri. Di antara aspek kehidupan
tersebut adalah: eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan, meski
pesantren berada di tengah masyarakat, sedikit banyak berbeda dari pola
kehidupan masyarakat pada umumnya; terdapatnya sejumlah penunjang yang
menjadi tulang punggung kehidupan pesantren; berlangsungnya proses tata nilai
yang tersendiri dalam pesantren lengkap dengan simbol-simbolnya, adanya
daya tarik ke luar sehingga memungkinkan masyarakat sekitarnya menganggap
pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup masyarakat itu; dan
berkembangnya suatu proses pengaruh mempengaruhi antara pesantren dan
masyarakat di sekitarnya yang akan berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai
baru yang secara universal dapat diterima kedua belah pihak.7
Demikian halnya pesantren dipandang sebagai sebuah subkultur karena di
dalamnya telah terdapat realitas subkultur yang apabila disederhanakan, dapat
terlihat sebagai mana berikut ini: pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti;
cara hidup yang dianut, dan hierarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati
sepenuhnya. Dari uraian tersebut, paling tidak, terdapat dua hal yang menarik

untuk di tempatkan dalam kerangka diskursus agama dan perubahan sosial.

7

Kompas, 15 Januari 1999.

Pertama : Pesantren adalah sebuah lembaga yang dapat berfungsi sebagai media
untuk memunculkan dinamika masyarakat yang ada di sekitarnya. Hal
ini terlihat dari aspek-aspek kehidupan subkultur di atas. Hal inilah
yang

kemudian

melandasi

pemikiran

bahwa

harus

adanya

refungsionalisasi pesantren dari hanya sekadar lembaga pendidikan
agama menjadi salah satu pusat penting pembangunan masyarakat
secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukannya yang khas
inilah, menurut Azyumardi Azra, pesantren diharapkan menjadi suatu
alternatif model pembangunan pada skala yang lebih besar yang
berpusat pada masyarakat itu sendiri (people centered developmentt)
karena pesantren berada di tengah masyarakat dan sekaligus sebagai
pusat pengembangan pembangunan masyarakat yang berorientasi pada
nilai (value oriented development).8
Kedua : Dari realitasnya sebagai sebuah subkultur, mekanisme kehidupan
pesantren sebetulnya terletak pada pimpinannya yang kemudian
terlihat pada pandangan dan cara hidup yang bersumber pada nilainilai yang terdapat pada pesantren itu. Di lain pihak, pimpinan
pesantren itu pun seringkali memiliki karisma yang begitu besar di
mata masyarakat. Dengan demikian, dua hal itu bisa diformulasikan
dalam

wujud

sinergi-sosiologis

untuk

melahirkan

dinamika

masyarakat yang berada di sekitar pesentren tersebut dengan nilai-nilai
kehidupan ideal yang menjadi titik awal pembentukannya.
Kemudian lainnya adalah optimalisasi pendayagunaan ZIS (zakat, infak,
dan sadaqah). Masalah ini didasarkan pada pemikiran bahwa pemberdayaan
masyarakat pada hakikatnya merupakan usaha mendorong masyarakat
miskin/masyarakat prasejahtera menjadi masyarakat sejahtera. Di Jawa Barat,
juga di provinsi lain di Indonesia, masyarakat miskin pada umumnya adalah
penduduk daerah pedesaan. Namun demikian, di daerah perkotaan pun dewasa
ini sering ditemukan lokasi atau wilayah dengan kelompok masyarakat miskin
ditemukan. Persoalan anak jalanan, tuna wisma, dan fenomena sosiologis
lainnya, telah menjadi bagian potret masyarakat perkotaan. Hal ini berarti,
persoalan kemiskinan masyarakat telah menjadi persoalan regional, bahkan
nasional karena sebarannya tampak merata, mulai dari pedesaan hingga
perkotaan.
8

Kompas, 22 Agustus 1999

Jika jumlah penduduk di Jawa Barat tahun ini diperkirakan sekitar 50 juta
jiwa, sementara dilaporkan bahwa hingga tahun 1990 jumlah penduduk miskin
di provinsi ini adalah 4.786.478 jiwa dan dengan adalnya krismon jumlah ini
dipastikan bertambah, diperkirakan lebih dari 10 % penduduk Jawa Barat hidup
dalam keadaan miskin. Sementara dari jumlah tersebut juga dilaporkan bahwa
98%-nya adalah beragama Islam sehingga persoalan kemiskinan di Jawa Barat
ini adalah persoalan ummat Islam.
Islam, dengan ajarannya yang universal, telah menawarkan solusi untuk
memecahkan masalah tersebut. Zakat, infak, sadaqah, dan term-term
sosioreligius lainnya adalah wujud solusi tersebut, yang dipadukan dengan
semangat-semangat keagamaan lainnya secara historis telah berhasil mengubah
kehidupan masyarakat Arab pada masa awal Islam yang pada umumnya mereka
hidup di bawah garis kemiskinan. Jika semangat religiohistoris tersebut ditarik
ke dalam kehidupan masa kini, tidaklah mustahil, zakat, infak, dan sadaqah itu
akan menjadi problem solver yang efektif.
Dengan asumsi bahwa validitas laporan angka-angka tersebut dapat
dipertanggungjawabkan, maka terdapat tiga puluh juta jiwa lebih muzakki-fitrah
per tahun dan dengan perhitungan satu kepala keluarga sama dengan lima jiwa,
maka terdapat enam juta keluarga muzakki nonfitrah. Jika ditambah dengan
infak, sadaqah, dan aksi-aksi religio-expenditure lainnya, potensi agama sebagai
problem solver semakin tampak terlihat. Untuk zakat fitrah saja, perkiraan
angka yang bisa diperoleh adalah (misalnya) 30.000.000 jiwa x Rp 6000,00 =
Rp 180.000.000.000,00. Persoalannya sekarang, di samping mekanisme
pengumpulannya yang terletak pada upaya optimalisasi pengelolaannya,
langkah awalnya adalah memformulasikan sistem dan pola penggalian potensi
sumber-sumber zakat, infak, dan sadaqah tersebut.
Di Provinsi Jawa Barat terdapat dua sektor besar di luar zakat fitrah yang
dinilai berpotensi sebagai sumber ZIS, yaitu :9
1. Sektor Ekonomi Langsung.
Yang dimaksud dengan sektor ekonomi langsung, seperti dikatakan
Endang Sortari Ad, adalah sektor-sektor yang berkaitan langsung
dengan perusahaan, perdagangan, dan jasa. Sektor ini meliputi
industri, perhotelan, hiburan, restoran, ekspor impor, kontraktor,
percetakan, penerbitan, swalayan, usaha, perkebunan, perikanan,
9

Ibid.

peternakan, konsultan, notaris, travel biro, salon, transportasi,
pergudangan, perbengkelan, perbankan, akuntan, dokter, rumah sakit,
dan lain-lain. Sektor ini berada di bawah tema besar zakat al-tijarah.
2. Sektor Ekonomi Tak Langsung.
Yang dimaksud dengan sektor ini adalah orang-orang yang pendapatan
atau penghasilannya telah mencapai nisab. Sektor ini merupakan
gradasi langsung dari sektor pertama karena yang terlibat langsung
dalam sektor pertama tersebut tentu saja orang-orang atau manusia
yang dikategorikan sebagai salah satu faktor prodroduksinya. Dengan
demikian, sektor ini merupakan akumulasi orang-orang yang terdiri
dari para pengusaha, pegawai (negeri atau swasta), dan lain-lain.
Sektor ini berada di bawah tema besar zakat profesi.

III. Kesimpulan
Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari, acapkali tidak mudah untuk
menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan perubahan budaya.
Karena tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan begitu pula
tidak mungkin ada kebudayaan yang terbentuk dalam suatu hubungan sosial
masyarakat. Sehingga secara teoritis dan analisis pemisahan antara pengertianpengertian tersebut dapat dirumuskan, namun dalam kehidupan nyata, garis
pemisah tersebut sukar dapat dipertahankan. Yang jelas perubahan sosial dan
perubahan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama yaitu kedua-duanya
bersangkut-paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru.
Namun demikian -menurut uraian di atas- paling tidak sampai hari ini.
Kemiskinan yang tampak secara kasat mata, pada satu sisi, merupakan realitas
kehidupan yang harus segera diselesaikan secara serius melalui penanganan
yang komprehensif. Di sisi lain, terlihat sejumlah potensi ZIS yang dianggap
bisa menjadi problem solver alternatif bagi kemiskinan tersebut. Akan tetapi,
potensi ZIS tersebut tampak belum digali secara optimal.
Contoh-contoh di atas adalah sebagian kecil fenomena sosioreligius
yang dapat dilihat eksistensinya pada masyarakat. Contoh-contoh lain dapat
dilihat dan diformulasikan kerangka analisisnya sesuai dengan tempat dan
waktu munculnya fenomena tersebut. Intinya, agama memang memiliki potensi
untuk dijadikan pemecah masalah yang dihadapi masyarakat di samping juga
bertugas untuk menciptakan dinamisasi masyarakat itu sendiri.

Dinamisasi masyarakat pada dasarnya mencakup dua buah proses, yaitu
penggalakan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada di samping
mencakup pula penggantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang
dianggap lebih sempurna (al-muhafazhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi
al-jadid al-ashlah').
***

Daftar Pustaka

Buku
Davis, Kingsley, “Human Society”, Cetakan ke-13, The Macmillan.
Dahl, A, Robert,”Modern Political Analysis”,New Jersey, Prientice Hall,
1965.
Koentowijoyo,”Masyarakat Desa di Indonesia Dewasa Ini”,Yayasan Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964.
Moore, E, Wibert,”Sosial Change”, Utrecth, Antwepen, 1965.
Soemardjan, Selo,”Setangkai Bunga Sosiologi”, Yayasan Badan Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964.
Soekanto, Soerjono, “Sosiologi Suatu Pengantar”, Rajawali Press, Jakarta,
1990.

Surat Kabar
Kompas, 15 Januari 1999.
Kompas, 22 Agustus 1999.

Tugas Makalah
PERUBAHAN SOSIAL DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
(Makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan)

Dosen Pengampu : Bambang Eka Cahya W, S.IP, M.Si

Oleh :
Nama
No. Mhs

: Canang Bagus Prahara Umpu
: 98520164

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKRTA
2003