Aksi Bela Islam Konservatisme dan Fragme (1)

Ahmad Najib Burhani

Aksi Bela Islam: Konservatisme dan
Fragmentasi Otoritas Keagamaan1
Ahmad Najib Burhani

Abstrak1
Apakah Aksi Bela Islam menunjukkan adanya peta baru keberagamaan
di Indonesia? Apakah aksi ini merupakan indikasi dari konservatisme yang
dianggap sebagai ancaman terhadap “Islam moderat”? Pasca aksi tersebut, masih
relevankah melihat NU dan Muhammadiyah sebagai dua model Islam Indonesia
dan tidak ada model lain yang cukup berpengaruh? Tulisan ini ingin membahas
tiga pertanyaan tersebut dengan memfokuskan kajian pada peran ulama dan
organisasi Islam, terutama NU dan Muhammadiyah. Tulisan ini menunjukkan
bahwa, pertama, fragmentasi otoritas keagamaan telah terjadi sebelum Aksi
Bela Islam. Namun peta itu menjadi semakin terang paska aksi. Meski masih
berperan signifikan, NU dan Muhammadiyah bukan lagi pemegang otoritas
tunggal dalam persoalan agama di Indonesia. Kedua, fragmentasi ini terutama
didukung oleh sosia media. Ketiga, keberhasilan Bksi Bela Islam itu terutama
karena kemampuannya mentransformasikan konservatisme menjadi pop-culture
serta kemampuannya mempergunakan psikologi kegamangan dan ketakutan

umat Islam terhadap ancaman kelompok yang berbeda.
Kata Kunci: Aksi Bela Islam, konservatisme, otoritas keagamaan, fragmentasi,
Rizieq Syihab, NU, Muhammadiyah, marginalisasi.

1

Sebagian dari isi tulisan ini pernah dimuat dengan judul “Aksi Bela Islam dan Fragmentasi Otoritas
Keagamaan” di Koran Sindo, Jum’at, 6 Januari 2017, h. 7.

15

Aksi Bela Islam:
Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan

“Hatred isn’t something you’re born with. It gets taught.
At school, they said segregation what’s said in the Bible. Genesis 9 verse 27.
At 7 years of age, you get told it enough times, you believe it.
You believe the hatred. You live it… you breathe it. You marry it.”
—Mrs. Pell dalam Mississippi Burning, 1988—


Pendahuluan
Aksi Bela Islam I, II, dan III yang dilakukan pada 14 Oktober 2016, 4 November
2016, dan 2 Desember 2016 merupakan critical events (peristiwa yang sangat
penting) untuk melihat perkembangan keagamaan di Indonesia. Salah satunya
berkaitan dengan fragmentation of religious authority (fragmentasi atau terpecahpecahnya otoritas keagamaan).
Ini diantaranya bisa dilihat dari anjuran dari Said Agil Siradj, Ketua Umum
PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), yang tidak diindahkan oleh sebagian
warga NU. Siradj menganjurkan warga NU untuk tidak bergabung dalam Aksi
Bela Islam III dan NU mengeluarkan fatwa bahwa sholat Jum’at di jalan raya
adalah tidak sah. Alih-alih mengikuti anjuran ini, beberapa pesantren di Jawa
Barat seperti Ciamis dan Tasikmalaya justru mengirimkan santri-santrinya untuk
pergi ke Monas dengan berjalan kaki. Tentu afiliasi keormasan dari pesantrenpesantren itu perlu dilihat kembali. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa banyak
dari warga NU yang bergabung atau mendukung Aksi Bela Islam 212.
Apa yang terjadi di NU itu juga terjadi di Muhammadiyah. Anjuran Haedar
Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, kepada warganya untuk tidak turun
aksi seperti fell on deaf ears, tak dihiraukan oleh anggota Muhammadiyah. Alihalih mengikuti anjuran ketua umumnya, banyak warga NU dan Muhammadiyah
yang memilih bergabung dengan Rizieq Syihab, Abdullah Gymnastiar, Arifin
Ilham, Bachtiar Nasir, dan Zaitun Rasmin untuk melakukan aksi yang terpusat
di tugu Monas (Monumen Nasional) Jakarta.
NU dan Muhammadiyah yang selama ini sering dipandang sebagai dua sayap

atau representasi utama dari Islam di Indonesia. Namun dalam Aksi Bela Islam
I, II, dan III, dua sayap itu seperti tak berfungsi, baik sebagai representasi dari
Islam Indonesia maupun sebagai balancing antara radikalisme dan liberalisme.
Ada warna Islam lain yang selama ini tidak terlalu diperhatikan atau cenderung
diabaikan atau bahkan dipandang sebagai benalu yang justru tampil. Maka
pertanyaannya adalah: Masih relevankah melihat NU dan Muhammadiyah
sebagai dua model Islam Indonesia dan tidak ada model lain yang cukup

16

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Ahmad Najib Burhani

berpengaruh? Apakah Rizieq Syihab akan terus memiliki peran besar, pengaruh
luas, dan dipandang sebagai tokoh nasional yang diikuti setelah peristiwa ini?
Apakah aksi ini merupakan indikasi dari konservatisme yang dianggap sebagai
ancaman terhadap “Islam moderat”? Apakah ini merupakan gerakan ideologis,
politis, atau hanya kejadian tiba-tiba dan akan meredup segera?
Aksi Bela Islam itu seakan ingin menunjukkan peta baru keagamaan di

Indonesia yang selama ini terlihat agak kabur, sepertinya menjadi semakin jelas.
Warna Islam non-NU dan Muhammadiyah seperti semakin besar dan terus
berkembang. Ia menggerogoti dua warna Islam lain yang selama ini dominan di
Indonesia. Untuk mendiskusikan fragmentasi otoritas keagamaan di Indonesia
pasca Aksi Bela Islam, tulisan ini akan dibagi dalam beberapa bagian. Pertama,
tentang Aksi Bela Islam I, II, dan III. Kedua, Rizieq Syihab dan otoritas
keagamaan. Ketiga, analisis tentang relevansi NU dan Muhammadiyah dalam
persaingannya dengan kekuatan keagamaan baru di Indonesia.

Aksi Bela Islam I, II, dan III
Aksi Bela Islam I, II, dan III bermula dari tuntutan agar Basuki Tjahaya Purnama
(Ahok) dipenjarakan karena dianggap telah melecehkan Islam dalam salah
satu kalimat pidatonya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Dalam
pidato tersebut Ahok pada intinya berbicara tentang kebijakan dan program
pemberdayaan budi daya kerapu. Ia meyakinkan warga Kepulauan Seribu
bahwa program ini akan tetap dilaksanakan meski ia tak terpilih lagi menjadi
gubernur DKI Jakarta pada Pilkada Februari 2017. Karena itu, masyarakat harus
tetap menjaganya. “Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya
karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak
Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka,

dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu...
Program ini jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa nggak enak karena
nuraninya nggak bisa pilih Ahok,” demikian kutipan beberapa kalimat yang
disampaikan Ahok dalam pidato itu.
Pidato yang berdurasi 1 jam 48 menit itu diunggah di Youtube oleh Pemda
DKI Jakarta pada 28 September 2016. Tidak ada reaksi apa-apa dari masyarakat
dengan video tersebut. Namun setelah Buni Yani mengunggah potongan video
itu sepanjang 30 detik di akun Facebooknya pada 6 Oktober 2016, maka isu ini
menjadi viral. Judul status facebook Yani adalah “Penistaan terhadap Agama?”
dan melampirkan potongan transkipsi pidato sebagai berikut:

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

17

Aksi Bela Islam:
Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan

“’Bapak-Ibu [pemilih Muslim]... dibohongi Surat Al-Maidah 51’ [dan]
‘masuk neraka juga [Bapak-Ibu] dibodohi’. Kelihatannya akan terjadi

sesuatu yang kurang baik dengan video ini.”
Pernyataan kontroversial Ahok ini ada di menit ke-24. Namun demikian,
transkripsi yang diunggah Buni Yani ini berbeda dari pidato aslinya karena ada
satu kata yang hilang, yaitu kata “pake (pakai)”. Status Buni Yani itu lantas
di-share oleh puluhan ribu orang dan pidato asli Ahok yang hampir dua jam
(1:48:32 jam) tak terlalu diperhatikan.
Bola liar kemarahan dan kecaman terhadap Ahok terus bergulir dan bahkan
membesar. Beberapa orang semisal Izzul Muslimin, mantan Ketua Umum
Pemuda Muhammadiyah, mendesak agar Ahok segera meminta maaf atas
ucapannya itu agar kasus ini segera selesai dan keadaan menjadi normal. Ahok
pun meminta maaf di Balai Kota DKI Jakarta pada Senin 10 Oktober 2016.
“Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang tersinggung, saya
sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau
apa,” demikian pernyataan Ahok (Rudi 2016).
Rupanya protes dan kemarahan terhadap Ahok tak berhenti setelah ia meminta
maaf. Beberapa kelompok yang mengajukannya ke pengadilan, semisal Pemuda
Muhammadiyah, tetap saja melakukan tuntutan agar Ahok diadili. Bahkan,
aksi protes di berbagai wilayah semakin ramai. Terlebih lagi setelah MUI
mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tentang Penistaan Agama,
Penghinaan pada Ulama dan Penodaan Al-Qur’an oleh Ahok pada 11 Oktober

2016 yang diantaranya menyatakan bahwa “pernyataan Gubernur DKI Jakarta
dikategorikan: (1) Menghina Al-Qur’an dan atau (2) menghina ulama yang
memiliki konsekuensi hukum”.2 Setelah keluarnya Pendapat dan Sikap, yang
sering dipahami sebagai fatwa, inilah lantas muncul GNPF-MUI (Gerakan
Nasional Pengawal Fatwa MUI) yang kemudian menjadi motor Aksi Bela Islam.
Kasus ini menjadi lebih besar dari sekadar isu agama. Ada unsur politik,
terutama pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, dimana Ahok menjadi salah satu
kandidatnya. Ada unsur kepemimpinan non-Muslim dan China di Indonesia.
Juga terkait dengan isu penggusuran daerah kumuh atau pinggir bantaran
2

18

Menurut KH Ma’ruf Amin, apa yang dikeluarkan MUI itu bukan hanya fatwa. Memang fatwa adalah salah
satu produk utamanya dan ini memiliki elemen hukum di dalamnya. Selain fatwa, MUI juga mengeluarkan
rekomendasi atau semacam harapan-harapan dan juga tausyiyah atau semacam pendapat dan nasehat
yang berkaitan dengan kasus tertentu. Wawancara dengan KH Ma’ruf Amin pada 4 Agustus 2012 di Koja,
Jakarta Utara. Pembahasan detail mengenai hal ini dalpat dibaca dalam tulisan Moh. Nur Ichwan (2005).
Apa yang dikeluarkan MUI berkaitan dengan Ahok ini bukan masuk kategori fatwa. Ia adalah pendapat
atau tausyiyah.


MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Ahmad Najib Burhani

sungai, reklamasi, dan marjinalisasi. Ini diantaranya yang menyebabkan kasus
ini tidak berhenti dengan permintaan maaf. Ini yang menjadi latar belakang
Aksi Bela Islam I pada 14 Oktober 2016.
Aksi Bela Islam I dipimpin oleh Rizieq Shihab, Zaitun Rasmin, Arifin Ilham,
Bachtiar Nasir, dan lain-lain. Aksi ini belum begitu besar, diikuti oleh puluhan
ribu orang saja. Penyebutan bahwa itu adalah Aksi Bela Islam I adalah post
factum atau terjadi setelah adanya Aksi Bela Islam II dan III. Sebelumnya ia
hanya disebut sebagai “Aksi Bela Islam” saja atau tanpa ada kata-kata “I”.
Jika Aksi Bela Islam I, lebih identik dengan demonstrasi FPI (Front Pembela
Islam) yang mendapat dukungan dari kalangan Islam radikal dan konservatif,
maka Aksi Bela Islam II melibatkan elemen umat Islam yang lebih luas, termasuk
Muhammadiyah. Dalam demonstrasi 4 November 2016 itu, secara diplomatis
Muhammadiyah melarang peserta aksi untuk menggunakan atribut organisasi.
Seperti tertulis dalam sikap resminya yang dikeluarkan pada1 November 2016
dan ditandatangani oleh Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti, Muhammadiyah

tidak secara langsung melarang anggotanya terlibat dan berpartisipasi dalam
aksi itu karena itu dianggap bagian dari ekspresi demokrasi, namun sebagai
organisasi Muhammadiyah tak ingin terlibat langsung.
“Muhammadiyah secara kelembagaan tidak ikut serta dan terlibat dalam
aksi unjuk rasa 4 November. Adapun warga Muhammadiyah memiliki
hak demokrasi untuk demo selaras dengan misi dakwah amar makruf
nahi munkar yang pelaksanaannya harus sejalan dengan Khittah dan
Kepribadian. Karena itu bagi warga Muhammadiyah yang mengikuti
aksi demonstrasi harus memahami sepenuhnya bahwa keikutsertaannya
merupakan sikap pribadi sehingga tidak diperkenankan membawa
atribut Muhammadiyah, terutama bendera, menggunakan fasilitas dan
dana Persyarikatan untuk kepentingan demonstrasi.”
Pimpinan dan warga Muhammadiyah sendiri terlihat terbelah dalam aksi ini.
Sebagian, seperti Ahmad Syafii Maarif, menentangnya dan menganggap kasus
ini mestinya sudah ditutup dengan permintaan maaf Ahok. Namun sebagian
yang lain, semisal Amien Rais, justru ikut aktif mendukungnya. Rais bahkan
memimpin sendiri aksi massa yang berangkat dari kantor PP Muhammadiyah
di Jl. Menteng Raya 62.
Dalam khutbahnya yang disampaikan sebelum aksi yang juga dihadiri penulis,
Amien Rais menyebutkan kasus ini atau pernyataan Ahok tentang Al-Maidah


MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

19

Aksi Bela Islam:
Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan

51 itu adalah “momentum yang diberikan Allah kepada umat Islam” untuk
mengalahkannya dalam Pilkada dan momentum kebangkitan umat Islam.
Aksi Bela Islam II mendapat dukungan besar dari umat Islam. Sekitar satu juta
orang berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia dan sekitarnya. Meski terdapat
kericuhan dan bentrokan kecil pada malam harinya, namun secara umum aksi
itu bisa dikatakan berjalan damai dan tertib.
Bila Aksi Bela Islam II mendapat dukungan besar dari umat Islam, maka Aksi
Bela Islam III yang berlangsung pada 2 Desember 2016 bisa dikatakan fenomenal.
Pemerintah, melalui pihak kepolisian, berusaha untuk menggembosi aksi ini.
Demikian pula dengan pimpinan dari NU dan Muhammadiyah. Fatwa larangan
sholat Jum’at di jalan pun dikeluarkan. Namun, di tengah berbagai hambatan
itu, lebih dari sejuta umat Islam berpartisipasi dalam aksi yang dipusatkan di

Monas (Monumen Nasional). Beberapa tokoh nasional, semisal Hidayat Nur
Wahid, wakil ketua DPR, hadir dan memberikan pidato di arena demonstrasi.
Banyak yang menyangka, termasuk penulis, aksi ketiga ini paling besar hanya
dihadiri oleh puluhan ribu orang, tidak akan mencapai angka satu juta. Namun
yang terjadi justru di luar perkiraan; mendapat dukungan massa yang luar biasa
dan berlangsung dengan aman dan tertib.
Kehadiran Jokowi dan pimpinan pemerintah pada Sholat Jum’at di Monas dan
mendengarkan khutbah Jum’at dari Rizieq Syihab bisa jadi merupakan blunder
atau langkah yang seharusnya tidak dilakukan dalam posisinya sebagai pemimpin
negara. Kalaulah ia harus ke sana, maka akan lebih aman bila dilakukan seusai
sholat Jum’at. Mengapa? Ini mengulang kesalahan yang pernah dilakukan
Jokowi ketika ia membentangkan karpet merah kepada pimpinan GIDI (Gereja
Injili di Indonesia) di Istana Merdeka pada Jum’at 24 Juli 2015 atau tak lama
setelah peristiwa Tolikara (Aditya 2015). Sama seperti tindakannya terhadap
pimpinan GIDI, kehadirannya di Monas seperti memberikan legitimasi
terhadap Rizieq Syihab dan Aksi Bela Islam. Bagaimana mungkin presiden
mau duduk dan mendengar orang yang sering mengajak masyarakat melawan
konstitusi, menganggap hukum Tuhan lebih tinggi dari hukum negara (Marcus
Mietzner dan Devin T. Stewart 2016). Banyak pemberitaan dan juga komentar
yang menyebutkan bahwa Jokowi berhasil “steals the stage” (mencuri panggung)
dengan hadir di Monas. Namun secara simbolik kenegaraaan, itu adalah
langkah yang tidak pas. Ia justru membesarkan Rizieq Syihab dan kelompoknya.
Dilihat dari massa yang hadir, ada beragam elemen masyarakat dan kepentingan
yang berbeda. Seperti yang disampaikan oleh Zuly Qodir dan Muhammad
Wildan yang tulisannya ada dalam edisi ini, ada yang bergabung karena khawatir

20

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Ahmad Najib Burhani

dituduh anti-Islam atau dituduh menjadi pembela penghina Al-Qur’an. Ada
juga yang terlibat karena tak mau ketinggalan kereta dalam arus massa. Sebagian
lagi hadir karena menganggap acara ini sebagai party atau festival dan karena itu
kesibukan mereka dalam demonstrasi adalah melakukan beragam foto selfie.
Ada pula yang hadir karena motivasi ideologis, merasa aksi ini sebagai bagian
dari jihad. Ada pula yang didasarkan pada kepentingan politik pilkada karena
merupakan pendukung atau tim sukses dari kandidat gubernur tertentu dalam
Pilkada DKI Jakarta.

Rizieq Syihab dan Otoritas Keagamaan
Sebelum peristiwa Aksi Bela Islam, Rizieq Syihab, jika dianggap sebagai ulama,
maka ia adalah bagian ulama pinggiran. Dalam istilah akademik, ia biasanya
disebut low-brow ulama dan sering dikontraskan dengan high-brow ulama
semisal Quraish Shihab dan Ma’ruf Amin. Artinya, ia adalah ulama yang
kurang didukung oleh penguasaan ilmu keagamaan yang luas dan pendidikan
keagamaan yang panjang. Tentu saja bila dibandingkan dengan para dai
selebritis, Syihab jauh memiliki ilmu agama. Pendidikan SMA-nya di tempuh
di pesantren di Tangerang. Ia kemudian melanjutkan ke LIPIA (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta dan Universitas Imam Muhammad ibn
Saud, Riyadh, Saudi Arabia. Di Saudi Arabia ia menyelesaikan S1 dalam bidang
hukum Islam (Syari’ah) tahun 1990.3
Amin Abdullah sering menyebut Shihab dan FPI yang dipimpinnya sebagai noisy
minority (kelompok kecil yang berisik). Buya Ahmad Syafii Maarif sama sekali
tak menganggapnya sebagai ulama. Istilah Buya untuk FPI adalah para “preman
berjubah”, yaitu mereka yang suka melakukan aksi teror dengan “membajak”
Tuhan sebagai dalih (Maarif 2005). Lebih keras dari Abdullah dan Maarif
adalah pernyataan Mark Woodward. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh
Maarif Institute di Yogyakarta pada 20 Januari 2017, Woodward menyebut FPI
sebagai terrorist organization dan menyejajarkan gerakan ini dengan Ku Klux
Klan di Amerika Serikat. Apapun pandangan orang terhadap Rizieq Shihab
dan FPI, Aksi Bela Islam I, II, dan III telah mengubahnya dari orang marjinal
dan peripheral menjadi salah satu tokoh nasional.
Pada Aksi Bela Islam III, Rizieq Syihab menjadi khatib dalam sholat Jum’at
yang berpusat di Monas yang secara tak terencana, namun terjadi, dihadiri oleh
Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Agama Lukman Hakim
3

Ulasan lebih lengkap tentang Habib Rizieq Syihab dan FPI bisa dibaca di Bamualim (2005).

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

21

Aksi Bela Islam:
Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan

Saefuddin, Menteri Polkam Wiranto, Panglima TNI Gatot Nurmanto, Kapolri
Tito Karnavian, dan pimpinan negara yang lain. Pada hari itu, ia seperti menjadi
pimpinan dari jutaan umat Islam Indonesia. Aksi Bela Islam III seperti telah
menyulapnya menjadi tokoh yang tak bisa dikecilkan atau diabaikan.
Sebelum Aksi Bela Islam III atau disebut juga sebagai Aksi 212, pemerintah dan
juga banyak dari elemen umat Islam bukan hanya tak memandang Rizieq Syihab.
Pemerintah cenderung mengacuhkan dan mengabaikannya. Jokowi berusaha
mengontrol suasana dengan mengundang ulama dari NU, Muhammadiyah,
dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) datang ke istana negara. Jokowi bahkan
mendatangi kantor PP Muhammadiyah di Menteng dan kantor PBNU di
Kramat untuk bertemu dengan pimpinan kedua organisasi tersebut. Ia bahkan
membuat peristiwa penting dengan menghadiri penutupan Tanwir I Pemuda
Muhammadiyah di Tangerang pada 30 November 2016.4 Namun Presiden
mengabaikan atau tidak mau mengadakan pertemuan dengan pimpinan Aksi
Bela Islam yang tergabung dalam GNPF (Gerakan Nasional Pembela Fatwa).
Setelah peristiwa 212, Rizieq Syihab dan GNPF-MUI seperti tak ingin kehilangan
panggung dan momentum yang telah mengangkat mereka ke panggung nasional.
Diadakanlah Aksi Sholat Subuh Berjamaah pada 12 Desember 2016. Mereka
juga sempat merancang Aksi Bela Islam IV atau yang dalam beberapa meme
disebut sebagai Aksi Lempar Jumrah pada 6 Januari 2017 jika tuntutan mereka
agar Ahok dipenjarakan karena dianggap melecehkan Islam tidak terpenuhi.
Berbeda dari NU dan Muhammadiyah yang memiliki berbagai amal usaha
semisal rumah sakit, sekolah, dan pesantren yang harus selalu diurus, Syihab
dan FPI tidak memiliki lembaga-lembaga semisal itu. Gerakan utamanya adalah
melakukan demonstrasi dan sweeping tindakan yang dianggap sebagai maksiat
dengan menggunakan semboyan “amar ma’ruf nahi mungkar”. Karena itu tak
punya amal usaha, maka tak ada kesibukan yang menyita pikiran dan tenaganya
selain untuk aksi demo dan sweeping.
Selama ini dalam melakukan aksi-aksinya, Syihab lebih banyak mendapat
kecaman dari masyarakat, termasuk dari umat Islam. Momentum 212 seperti
telah mengubahnya dari zero to hero, dari seorang pecundang menjadi pahlawan.
Bahkan beberapa meme yang tersebut di media sosial telah mempersonifikasi
sosok Syihab seperti sosok Umar bin Khattab, sahabat Nabi Muhammad
4

22

Ini adalah peristiwa langka atau belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya presiden hanya datang
pada forum Muktamar Muhammadiyah dan itu pun dalam pembukaan, bukan penutupan. Presiden tidak
pernah datang pada acara pembukaan ataupun penutupan acara yang diselenggarakan oleh Pemuda
Muhammadiyah, salah satu sayap dari Muhammadiyah.

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Ahmad Najib Burhani

dan khalifah kedua dalam sejarah Islam yang terkenal dengan ketegasan dan
keberaniannya. Karena itulah, ia ingin terus memelihara momentum tersebut
dan membuat gerakan ini terus bergulir atau jika memungkinkan seperti snow
ball yang semakin membesar.
Selain Aksi Sholat Subuh berjamaah pada 12 Desember, Shihab dan GNPF
juga menjadikan semangat 212 sebagai alat kebangkitan ekonomi umat Islam
dengan mengadakan FGD bertema “Revolusi Ekonomi, Terobosan Ekonomi
Umat”, pengoperasian Channel 212 dan pendirian Koperasi Syariah 212 yang
diantara unit usahanya adalah 212mart. Masih dengan semangat 212, ketika
MUI mengeluarkan fatwa tentang atribut yang berkaitan dengan natal, maka
sweeping pun dilakukan oleh anggota-anggota FPI di berbagai toko, swalayan,
dan kantor-kantor.
Dalam hal otoritas keagamaan, belakangan ini Rizieq Syihab bahkan
memproklamirkan dirinya bukan saja menjadi Imam Besar FPI, tapi Imam
Besar Umat Islam Indonesia. FPI mengirimkan surat bai’at (janji setia) itu
ke berbagai individu dan pesantren. Isinya adalah kesediaan dan janji setia
untuk “mengangkat Dr. Habib Muhammad Rizieq Syihab, Lc, MA, DPMSS,
sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia dan berjanji setia atas perintah dan
larangannya yang sesuai dengan syari’ah Allah SWT dan Rosul-Nya”. Sebagian
orang melihat hal ini masih sebagai bahan tertawaan dan olok-olokan, namun
sebagian lagi telah menerima ajakan ini dengan terbuka dan menganggapnya
sebagai sesuatu yang serius. Bahkan, ada aktivis Muhammadiyah di beberapa
grup diskusi yang belakangan ini dengan lantang memuji Syihab sebagai “our
leader, our imam”.

Peran NU-Muhammadiyah dan Perkembangan Konservatisme
Ada beberapa yang bisa dibaca dari Aksi Bela Islam dan gerakan Rizieq Syihab.
Pertama, bahwa fragmentasi otoritas keagamaan itu ada. Jika sebelumnya
NU, Muhammadiyah, dan MUI (yang dulu didominasi oleh orang NU dan
Muhammadiyah) adalah pemegang otoritas keagamaan secara nasional, kini
muncul tokoh dan lembaga baru di luar NU dan Muhammadiyah. Rizieq
Syihab adalah satu nama yang menjadi pusat baru dari otoritas keagamaan
setelah Aksi Bela Islam.
Memang tak semua peserta Aksi Bela Islam mengakui Rizieq Syihab sebagai
pemimpin mereka. Sebagian dari mereka bahkan menyangkal anggapan bahkan

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

23

Aksi Bela Islam:
Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan

keikutsertaannya dalam aksi itu adalah karena panggilan dari Syihab. Pasca Aksi
Bela Islam III, salah seorang ketua PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah),
misalnya, menjelaskan kepada penulis bahwa hal yang membuat dirinya dan
orang lain hadir ke Monas pada 2 Desember bukanlah sosok Habib Rizieq
Shihab, Aa Gym, Rasmin Zaitun, al-Khattat, Bachtiar Nasir, atau pimpinan
GNPF-MUI yang lain, tapi perasaan psikologis dan kepentingan politik yang
sama dengan Syihab. “Massa 411 dan 212 memiliki psikologi politik yang sama
dengan Rizieq Syihab. Akan tetapi ia bukan pemimpin mereka,” jelasnya.
Ada rasa benci terhadap Ahok yang menyebar ke masyarakat. Kebencian itu
berasal, misalnya, dari ucapan-ucapannya yang kadang kasar dan seperti preman.
Kebencian itu yang terus di-reproduksi dan disebarluaskan melalui media
sosial dan ceramah-ceramah keagamaan.5 Lantas ditanamkan keyakinan bahwa
ketidakmampuan berkata-kata halus itu merupakan indikator dari pemimpin
yang buruk. Seperti dalam kutipan kata-kata di film Mississippi Burning di epigraf
tulisan ini, setelah ditanamkan terus-menerus kebencian terhadap Ahok, maka
masyarakat lantas menerimanya dan bergerak bersama untuk menentangnya
dengan hadir ke Monas pada aksi 212. Psikologi kebencian inilah yang
berdasarkan penjelasan Ketua PDM itu yang menjadi penggerak orang untuk
ikut bersama Rizieq Syihab menuntut dipenjarakannya Ahok. Seorang peserta
lain (EAE) menjelaskan psikologi ini dalam akun twitternya dengan menyatakan,
“Saya ikut aksi 411 dan 212 bukan karena Rizieq Syihab tapi ingin berkumpul
jamaah se-Indonesia untuk menolak keberadaan Ahoak”. Kebencian terhadap
Ahok ini sedemikian dalamnya yang seandainya ia dihukum 400 tahun pun
bisa jadi masyarakat masih belum merasa puas (Maarif 2016a).
Sementara aspek politik yang menyatukan umat Islam tentu saja adalah
upaya untuk menjegal Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta. Demonstrasi 212
mengintimidasi mereka yang selama ini ingin memilih Ahok atau mereka yang
masih ragu-ragu bahwa suara umat Islam dan hukum Islam itu seakan kompak,
menolak pemimpin non-Muslim di DKI Jakarta. Demo itu ingin menegaskan
bahwa Ahok tidak pantas dipilih bukan hanya karena dia non-Muslim, tapi
karena dia non-Muslim yang membenci Islam. Berkaitan dengan Rizieq Syihab,
ia menjadi pemimpin dalam berbagai aksi itu adalah karena kebetulan saja
dan, dalam keyakinan ketua PDM itu, ia tidak akan bisa mempertahankan
peran itu pasca aksi tersebut. Dia hanyalah, meminjam istilah ketua PDM tadi,
“accidental” atau “incidental” hero saja.
5

24

Syaii Maarif yang membela Ahok dalam kasus Al-Maidah 51 pun mengakui “liarnya mulut Ahok” (Maarif
2016c). Pernyataan sikap dari PBNU juga menggarisbawahi persoalan ini dan bahkan mengutip kata-kata
mutiara salamatul insan i hifdzil lisan (keselamatan seseorang adalah dengan menjaga lisannya).

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Ahmad Najib Burhani

Psikologi dan politik kebencian sebagai penyatu dari aksi umat Islam ini
mengingatkan kepada apa yang pernah terjadi di Pakistan pada 29 Februari 2016
ketika lebih dari 100 ribu orang berkumpul di Rawalpindi untuk penguburan
Malik Mumtaz Hussain Qadri. Qadri adalah bodyguard yang membunuh tuannya,
Salman Taseer, gubernur Punjab, tahun 2011 karena dianggap membela orang
Kristen, Asia Bibi. Dalam tulisan Aatish Taseer (2016), kehadiran orang pada
penguburan itu adalah, “motivated not by love for the man who was dead but by hatred
for the man he killed”. Demikian pula dalam Aksi Bela Islam, dalam analisis ini,
umat berkumpul bukan karena cinta atau mendengarkan ajakan Rizieq Syihab,
tetapi karena kebencian terhadap Ahok.
Meski sebagian peserta aksi menolak kepemimpinan Rizieq Syihab dan
perannya dalam Aksi 411 dan 212, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Syihab
terus membangun otoritasnya dan kredibilitasnya sebagai pemimpin umat
Islam dari peristiwa itu. Dan sejak peristiwa itu semakin tampak adanya otoritas
keagamaan baru di luar dari NU dan Muhammadiyah yang didengarkan oleh
umat Islam Indonesia. Selain instruksi Haedar Nashir dan Said Agil Siradj yang
tak diperhatikan oleh umatnya, pergeseran otoritas keagamaan atau perubahan
peta otoritas keagamaan di Indonesia itu bisa dilihat pada kasus yang menimpa
Ahmad Syafii Maarif. Dalam beberapa tulisannya (Maarif 2016abcdef), Maarif
berusaha mengkritik sikap umat Islam dalam menyikapi kasus Ahok. Alih-alih
didengarkan, ia malah dikutuk dan di-bully di berbagai tempat, terutama di
media sosial. Jika Rizieq Syihab yang menyerang Ahok terus dipuji, Maarif yang
mencoba mengkritisi sikap itu terus dicaci.
Tentu saja kehadiran Rizieq Syihab belum bisa dikatakan menggeser atau
menandingi peran dari NU dan Muhammadiyah di Indonesia. Meski Syihab
telah mengembangkan aktivitas dari FPI tidak hanya pada aksi sweeping dan
menyerang bar dan diskotik, tapi juga pada aksi-aksi kemanusiaan dan ekonomi,
namun apa yang dilakukannya belum bisa disejajarkan dengan aktivitas NU
dan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Kehadirannya
baru pada batas memberikan alternatif dan tantangan pada persoalan otoritas
berbicara mengenai persoalan agama. Ini yang kemudian menjadi tantangan
serius bagi NU dan Muhammadiyah.
Selain fragmentasi otoritas keagamaan, ada persoalan lain juga terbaca dari Aksi
Bela Islam, yaitu: Transformasi konservatisme menjadi pop-culture. Kategori
iman dan kafir serta sesat-menyesatkan bukan sebagai sesuatu taboo atau untuk
wilayah tertutup dan perlu disikapi dengan hati-hati. Seperti terjadi beberapa
waktu yang lalu, kebencian kepada seseorang pun bisa lantas berubah menjadi
MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

25

Aksi Bela Islam:
Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan

festival yang menghadirkan jutaan orang. Orang yang hadir dalam Aksi Bela
Islam tak semuanya didorong oleh motif politik atau ekonomi. Ada yang, seperti
dikemukakan Hilman Latief, karena solidaritas ke-Islaman untuk berkumpul
bersama melawan orang “kafir”. Mereka yang suka party dan festival, seperti
dikemukakan Zuly Qodir, menjadikan momen ini juga sebagai tempat party
dan festival. Karena itu, mereka sibuk mengambil foto selfie dan membaginya di
berbagai media sosial.
Konservatisme yang menjadi pop-culture ini bahkan menyebar hampir di seluruh
elemen masyarakat. Tidak hanya pada kelompok yang selama ini kita sebut
radikal, tapi juga pada organisasi semisal NU dan Muhammadiyah. Kebencian
terhadap mereka yang berbeda, gerakan anti-intelektualisme, dan sikap yang
terlalu memuja simbol-simbol agama serta lupa terhadap substansi menjadi
gejala umum di masyarakat. Pejabat pemerintah, akademisi, artis, dan bahkan
di kehakiman serta kepolisian, orang beramai-ramai memakai celana cingkrang,
memilih bekas sujud di kening, dan memiliki jenggot tebal. Jika kita pergi ke
mal-mal di Jakarta, maka pengajian-pengajian dengan warna keagamaan cukup
keras seperti menjadi trend.
Konservatisme yang dulu dianggap sebagai sesuatu yang out of date, tiba-tiba
sebagian berkolaborasi dengan kapitalisme dalam aktivitas semisal fashion
show, festival film Islam, sertifikasi makanan halal, perbankan syariah, trend
berpakaian, dan sebagainya. Yang bisa berkolaborasi dan kadang menundukkan
konservatisme itu ternyata bukan moderatisme, tapi kapitalisme. Gambaran
konservatisme yang menjadi pop-culture ini, misalnya ditampilkan Eko Prasetyo
(2017) yang membanding film Catatan Si Boy dan Ayat-ayat Cinta: “Jika dulu
pada masa Orba itu muncul dalam figur Catatan Si Boy: ganteng, kaya dan punya
banyak pacar, kini hadir dalam figur Fahri-tokoh dalam Ayat-ayat Cinta --yang
menanggapi apapun dalam tolak ukur Iman. Iman itulah yang jadi predikat
untuk menilai situasi apapun, terutama situasi politik” (Prasetyo 2017, 30).
Terakhir, Aksi Bela Islam merupakan multi-layered movement. Ada pertarungan
politik oligarki antara mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, presiden
Jokowi yang didukung mantan presiden Megawati, dan calon presiden Prabowo
Subianto. Ini adalah satu layer yang ada dalam aksi tersebut. Layer kedua bisa
disebut sebagai kelompok vested interest yang mencoba mempertahankan akses
sosial, ekonomi, dan politik dengan pemerintah atau mereka yang selama ini
terputus dan berusaha mendapatkannya. Para penggerak Aksi Bela Islam dan
tandingannya banyak berada pada layer kedua ini. Sementara layer terakhir
adalah massa pendukung yang seperti dijelaskan di atas memiliki motif yang

26

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Ahmad Najib Burhani

beragam. Motornya dan yang paling sering tampil adalah kelompok kedua.
Mereka adalah orang yang gamang dan takut mengalami marjinalisasi dan
karena itulah mereka bergerak.

Penutup
Dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi, terutama dengan
keberadaan internet dan media sosial, masyarakat bisa dengan mudah belajar
dan mencari informasi yang berkaitan dengan persoalan keagamaan. Informasi
yang sebelumnya hanya bisa diakses melalui buku-buku atau dengan belajar di
pesantren, kini bisa dengan mudah ditanyakan kepada Habib Google. Teknologi
infomasi ini juga yang memberi peluang seseorang untuk menjadi mufti atau
kyai atau ulama tanpa harus belajar agama berpuluh-puluh tahun. Kondisi
ini sebetulnya secara teoritis telah menunjukkan adanya fragmentasi otoritas
keagamaan, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia dan di seluruh
tradisi keagamaan.
Namun fragmentasi otoritas keagamaan yang terjadi di masyarakat baru terasa
menghenyakkan pada Aksi Bela Islam I, II, dan III ketika tokoh yang selama
ini dianggap otoritatif berbicara tentang agama dan patut diikuti instruksinya
ternyata justru diabaikan oleh umat Islam. Mereka lebih memilih bergabung
dengan celebrity preachers dan low-brow ulama. Tentu tidak sepenuhnya ini bisa
dibaca sebagai perubahan total ketaatan umat kepada ulama tradisional, namun
ini menunjukkan bahwa mereka bukan satu-satunya referensi dalam isu agama.
Hal lain yang bisa dibaca dari fenomena itu adalah bahwa umat telah memiliki
pilihan politis dan emosional sendiri yang didukung oleh peluang mengakses
informasi dan kadang pilihan itu berbeda dari pikiran ulama. Mereka memilih
bergabung dengan siapa yang sesuai dengan pikirannya tanpa melihat apakah
ulama itu dari high-brow atau low-brow. Inilah yang terjadi pada Aksi Bela Islam
I, II, dan III.
Terakhir, NU dan Muhammadiyah tentu saja masih akan menjadi representasi
dari Islam Indonesia pada tahun-tahun yang akan datang. Namun peta keIslaman di Indonesia tidak lagi bisa direduksi atau direpresentasikan oleh dua
organisasi itu. Ada warna Islam lain seperti yang diwakili oleh FPI yang terus
tumbuh dan menjadi penantang dari keberadaan dua ormas tertua dan terbesar
itu.

vwv

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

27

Aksi Bela Islam:
Konservatisme dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan

Daftar Pustaka
Aditya, Reza. 2015. “Jokowi Undang Ketua GIDI Papua ke Istana
Negara”. Tempo, Jum’at, 24 Juli. https://m.tempo.co/read/
news/2015/07/24/078686307/jokowi-undang-ketua-gidi-papua-keistana-negara
Bamualim, Chaider S. 2011. “Islamic militancy and resentment against
Hadhriamis in post-Suharto Indonesia: a case study of Habib Rizieq
Syihab and his Islamic Defenders Front”. Comparative Studies of South
Asia, Africa and the Middle East. 31 (2): 267-281.
Ichwan, Moch. Nur. 2005. “’Ulamā’, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia
After Suharto”. Islamic Law and Society. 12 (1): 45-72.
Maarif, Ahmad Syafii. 2016a. “400 Tahun untuk Ahok”. Koran Tempo, kolom
Opini. Jum’at, 2 Desember.
-----. 2016b. “Energi Bangsa Habis Terkuras”. Republika, kolom Resonansi. Selasa,
22 November.
-----. 2016c. “Liarnya Lidah Ahok dan Pintu Masuk”. Republika, kolom Resonansi.
Selasa, 15 November.
-----. 2016d. “Ahok Tidak Menghina Al-Qur’an”. Radar Banyumas. Rabu, 9
November. http://radarbanyumas.co.id/ahok-tidak-menghina-al-quran/
-----. 2016e. “Ahok Tidak Menghina Al-Qur’an”. Rmol.co. Sabtu, 5 November.
http://politik.rmol.co/read/2016/11/05/267191/Buya-Syafii-Maarif:Ahok-Tidak-Menghina-Al-Quran-----. 2016f. “Tidak Mengutuk, Malah Dikutuk”. Republika, kolom Resonansi.
Selasa, 25 Oktober.
-----. 2005. “Preman Berjubah”. Republika, kolom Resonansi, Selasa, 9 Agustus.
Mietzner, Marcus dan Devin T. Stewart. 2016. “Indonesia’s Growing Islamist
Populism.” Asia Dialogues, Carnegie Council for Ethics in International
Affairs, 19 December. http://www.carnegiecouncil.org/studio/
multimedia/20161219/index.html
Prasetyo, Eko. 2017. “Kelas Menengah Islam: Wajah Keagamaan Tanpa Ide
Populis”, dalam Dede Mulyanto dan Coen Husain Pontoh (eds.). Bela
Islam atau Bela Oligarki? Pertalian Agama, Politik, dan Kapitalisme di
Indonesia. Jakarta: Pustaka IndoPROGRESS & Islam Bergerak.
Pernyataan Pers Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Rencana Aksi 4
November 2016. Nomor: 552/PER/1.0/A/2016. Dikeluarkan di Jakarta,
1 November 2016. Ditandatangani oleh Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti
selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum.
Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tentang Penistaan Agama, Penghinaan
pada Ulama dan Penodaan Al-Qur’an oleh Ahok. Dikeluarkan di Jakarta,
11 Oktober 2016. Ditandatangani oleh Ma’ruf Amin dan Anwar Abbas
Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.

28

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Ahmad Najib Burhani

Pernyataan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor: 570/PER/1.0/A/2016
tentang “Aksi Damai 4 November dan Aspirasi Umat Islam”. Dikeluarkan
di Jakarta, 8 November 2016. Ditandatangani oleh Haedar Nashir dan
Abdul Mu’ti selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum.
Pernyataan dan Sikap Resmi PBNU Pasca Aksi Demo 4 November 2016.
“Saatnya Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat”. Dikeluarkan di Jakarta,
7 November 2016. Ditandatangani oleh Said Aqil Siroj dan Helmy
Faishal Zaini selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.
Rudi, Alsadad. 2016. “Ahok Minta Maaf kepada Umat Islam”. Kompas, News,
Megapolitan. Senin, 10 Oktober. http://megapolitan.kompas.com/
read/2016/10/10/09245441/ahok.minta.maaf.kepada.umat.islam
Taseer, Aatish. 2016. “My Father’s Killer’s Funeral.” The New York Times, op-ed.
11 Maret. https://www.nytimes.com/2016/03/13/opinion/sunday/myfathers-killers-funeral.html?_r=0

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

29