makalah otonomi dan peraturan daerah ser

TUGAS MATA KULIAH ILMU NEGARA

OTONOMI DAERAH DAN PERMASALAHANNYA
DI INDONESIA

ALRISA EDELMAN
2013-050UNIKA ATMA JAYA
JAKARTA
2014

PENDAHULUAN
Otonomi daerah di Indonesia merupakan hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi Daerah sendiri dapat diartikan sebagai wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara
kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi.
Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi
segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah

Pusat seperti:
1. Hubungan luar negeri
2. Pengadilan
3. Moneter dan keuangan
4. Pertahanan dan keamanan
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi
tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang

lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan
menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di
masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon
tinggidari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri.
Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari
pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan
daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata. Kebijakankebijakan pemerintah daerah juga akan lebih tepat sasaran dan tidak membutuhkan waktu yang
lama sehingga akan lebih efisien.
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di
tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara
pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya

tinggi dangan daerah yang masih berkembang. Terdapat beberapa nilai dasar yang dikembangkan
berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1. Asas Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang
berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak
akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Asas desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah sebagai bentuk pelaksanaan otonomi daerah

3. Asas dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah sebagai wakil dari perwakilan pemerintah pusat di daerah otonom
4. Asas tugas pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintah yang ruang lingkup / wilayah
kekuasannya lebih luas kepada pemerintah yang ruang lingkup / wilayah kekuasaannya
lebih sempit untuk menjalankan suatu tugas tertentu yang disertai dengan pembiayaan,
sarana dan prasarana, dan sumber daya, serta pelimpahan kewajiban untuk melaporkan
pelaksanaan serta mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia
berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian
kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat

pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) atau yang sekarang disebut
sebagai Kabupaten dan Kota dengan beberapa dasar pertimbangan:
1. Dimensi Politik, Dati II (Kabupaten dan Kota) dipandang kurang mempunyai fanatisme
kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi
federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II (Kabupaten dan Kota) adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan
sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:

1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di
daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar
pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
maju
Menteri Dalam Negeri adalah jabatan dalam pemerintahan negera yang berdaulat dengan
tanggung jawab untuk urusan politik, keamanan dalam negeri, dan imigrasi. Jabatan ini dalam
kabinet juga biasa disebut dengan Menteri Urusan Dalam Negeri. Di beberapa negara Menteri

Dalam Negeri juga memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan hukum bersama dengan
Menteri Hukum dan HAM.
Dalam negara dengan bentuk negara federasi, keberadaan Menteri Dalam Negeri juga terdapat di
negara bagian. Sama halnya dengan daerah otonom dan Wilayah dependensi juga memiliki
Menteri Dalam Negeri sendiri.
Kementerian Dalam Negeri mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
negeri untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi:


perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pemerintahan dalam negeri;



pengelolaan barang milik/kekayaan negara;



pengawasan atas pelaksanaan tugas dibidang pemerintahan dalam negeri; dan




pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah

Dalam tugas mata kuliah Ilmu Negara ini, penulis akan menyajikan hasil penelitian yang
ditempuh dengan metode wawancara terkait dengan pelaksanaan pemerintahan daerah
berdasarkan otonomi daerah. Adapun narasumber dari wawancara ini adalah ibu Munziar, S.H,
yang merupakan Kepala Sub Bagian Pengkajian & Evaluasi Produk Hukum Wilayah III yang
bekerja di Biro Hukum Kementrian Dalam Negeri. Beliau, dengan dibantu oleh beberapa
stafnya, juga merupakan pengelola situs laman internet Jaringan Dokumentasi dan Informasi
Hukum di Biro Hukum Kementrian Dalam Negeri, yang menyajikan hampir keseluruhan
Peraturan Daerah, baik di tingkat Provinsi maupun di tingkat Kabupaten/Kota.
Di samping menyajikan hasil wawancara, Penulis juga akan memberikan sedikit analisa pada
bab terakhir dari makalah ini dan melampirkan surat pengantar dari Sekretariat Fakultas Hukum
UNIKA Atma Jaya Jakarta yang ditujukan kepada Kementrian Dalam Negeri RI dan telah
ditandatangani oleh Narasumber dari Kemendagri dan foto Penulis di beberapa bagian dari
gedung Kementrian Dalam Negeri RI yang beralamat di Jl. Medan Merdeka Raya No.7 Jakarta
Pusat. Lampiran tersebut dapat dianggap sebagai sebuah tanda bukti bahwa Penulis benar-benar
telah melakukan penelitian dengan metode wawancara di Kementrian Dalam Negeri RI.


HASIL WAWANCARA DAN ANALISA TERKAIT DENGAN
PERATURAN DAERAH DI REPUBLIK INDONESIA
Berikut ini akan ditampilkan hasil wawancara Penulis dengan Narasumber terkait dengan
pelaksanaan Otonomi dan Peraturan Daerah yang berlaku pada saat ini, dengan sedikit
perubahan dan penyesuaian.
Penulis

: Sudah berapa banyak Peraturan Daerah yang telah diundangkan

sampai sekarang? (wawancara dilakukan pada tanggal 24-03-2014)
Narasumber

: Apabila dijumlahkan semuanya, baik Peraturan Daerah Tingkat Provinsi

maupun Peraturan Daerah Tingkat Kabupaten/Kota, sudah ada 25.912 (dua puluh lima ribu
sembilan

ratus

dua


belas)

Perda

yang

dapat

diakses

melalui

situs

resmi

kami

(http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/ ). Sebetulnya masih banyak Perda lain yang belum bisa

diakses melalui situs tersebut terkait dengan sulitnya koordinasi dan kurang baiknya sistem
pengarsipan yang diterapkan serta teknologi di masing-masing daerah.
Penulis

: Masalah apa sajakah yang muncul terkait dengan Peraturan Daerah

yang ada di Indonesia?
Narasumber

: Ada banyak masalah yang muncul, baik dalam hal pengarsipan maupun

dalam hal hukum, dalam Peraturan Daerah di Indonesia. Terkait dengan pengarsipan, masalah
yang muncul antara lain:
1. kurangnya koordinasi antara (Pemerintah) Daerah dengan (Pemerintah) Pusat.
Sekali lagi, harus ditekankan bahwa di sini sikap koordinatif kurang ditunjukkan oleh Daerah

kepada Pusat, bukan Pusat kepada Daerah, karena Pusat selalu berupaya untuk keep in contact
atau menghubungi Daerah, tetapi ada kalanya Daerah tidak memberikan respon yang diharapkan
2. banyak Perda (baik di tingkat Provinsi maupun di tingkat Kabupaten/Kota) yang
disimpan dalam bentuk soft copy (data simpanan dalam perangkat keras komputer), yang hilang

dari pusat data (database) Pemerintah Daerah, seiring dengan pergantian Kepala Daerah.
3. banyak Perda yang sudah dibuat tetapi tidak diarsipkan dalam bentuk soft copy
(data simpanan dalam perangkat keras komputer), melainkan dalam bentuk hard copy (hasil
cetak), sehingga pengarsipan jadi sulit dilakukan karena Pemerintah Pusat, atau khususnya Biro
Hukum Kementrian Dalam Negeri, hanya bisa mengarsipkan Perda yang bentuknya soft copy,
berhubung keterbatasan ruang, sulitnya melakukan pengarsipan terhadap hard copy, dan
kurangnya transparansi kepada masyarakat apabila data disimpan dalam bentuk hard copy. Oleh
karena itu, setiap perwakilan atau utusan dari Daerah yang datang berkunjung ke Pusat, terlebih
lagi yang datang ke Kemendagri, diwajibkan untuk membawa soft copy dari Perda-Perda yang
telah dibuat di daerahnya.
4. keterbatasan anggaran dan teknologi di daerah. Seperti yang sama-sama kita
ketahui, pemerataan pembangunan belum terealisasi sepenuhnya di Negara Indonesia yang
sebegitu luasnya, sehingga bukan sebuah kejutan apabila ada daerah yang belum mendapatkan
akses listrik dan internet, atau ada daerah yang masih memandang komputer sebagai barang yang
mewah dan langka. Anggaran Daerah juga memiliki peran besar dalam hal pembangunan daerah.
Sementara itu, dalam segi hukum, kenyataannya sekarang banyak Perda yang dicabut karena
adanya ketidaksesuaian antara Perda dengan peraturan-peraturan lain yang (secara hierarkis)
berada lebih tinggi, misalnya Undang-Undang. Bahkan banyak Perda yang isinya berlawanan

atau melanggar isi peraturan-peraturan yang berada di atasnya. Hal ini sangat merepotkan karena

dengan demikian harus ada klarifikasi oleh lembaga-lembaga negara di Pusat.

KESIMPULAN
Seperti yang telah disajikan pada bab sebelumnya, sudah sangat jelas bahwa inti dari
permasalahan Perda di Indonesia adalah ketidakmerataan pembangunan. Berakar dari
ketidakmerataan pembangunan ini, muncullah masalah-masalah turunan, yaitu keterbatasan
anggaran di daerah yang berujung pada keterbatasan teknologi di daerah. Keterbatasan teknologi
mengakibatkan sulitnya Pemda untuk berkoordinasi dengan Pusat dalam hal pengarsipan. Selain
itu, Pemda juga tentunya akan kesulitan untuk mendapatkan informasi terbaru terkait dengan
perkembangan hukum di pemerintahan pusat, termasuk apabila ada produk-produk hukum baru
dari lembaga-lembaga negara di tingkat pusat. Hal ini menyebabkan banyak produk hukum
daerah yang tidak sesuai dengan produk hukum yang dibuat di ranah pusat, sehingga harus
dilakukan klarifikasi terhadap produk-produk hukum daerah yang berujung pada penghapusan
berbagai Perda.
Selain masalah yang sifatnya teknis, Penulis juga berpendapat bahwa masalah Perda di Indonesia
muncul karena individu-individu tertentu tidak bersikap kooperatif. Seperti yang diungkapkan
oleh Narasumber, salah satu persoalan utama terkait dengan Perda di Indonesia adalah kurangnya
koordinasi antara Daerah dengan Pusat dan hilangnya soft copy seiring dengan pergantian Kepala
Daerah. Dari sini, Penulis memandang bahwa masih banyak pejabat pemerintahan di Indonesia
yang tidak melaksanakan tanggung jawabnya secara maksimal dan masih kurang mampu untuk

menggunakan inisiatifnya dengan baik.
Meskipun memang dapat dipahami bahwa keterbatasan teknologi dan anggaran daerah memang
merupakan gangguan terhadap koordinasi antara Daerah dengan Pusat, tetapi seharusnya hal itu

tidak menyebabkan putusnya sama sekali hubungan antara keduanya. Masih banyak alternatif
lain yang dapat ditempuh guna menjaga kerjasama antara Daerah dengan Pusat, misalnya
melalui jalur pos atau dengan cara mengirimkan perwakilan-perwakilan dari daerah otonom ke
Pusat secara berkala.
Ketidakbertanggungjawaban individu-individu tertentu juga terlihat ketika soft copy Perda
banyak yang hilang. Perda, yang merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah melalui proses yang tidak mudah, seharusnya diperlakukan lebih serius mengingat
tingkat kepentingannya yang luar biasa dalam pelaksanaan pemerintahan negara di tingkat
daerah.

Referensi
http://tugas-akuntansi.blogspot.com/2011/12/ringkasan-otonomi-daerah.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Kementerian_Dalam_Negeri
http://www.kemendagri.go.id/
Sabon, Max Boli. 2009. Hukum otonomi daerah: bahan pendidikan untuk perguruan tinggi.
Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya.
Kuncoro. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan
Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga
Fahmi, Sudi. 2009. Hukum Otonomi Daerah. Yogyakarta: Kreasi Total Media.

Lampiran 1: FOTO PENULIS