Dinamika Konflik Iran dan Amerika Antara

Indra Pratama P S
Mahasiswa S2 Manajemen dan Kebijakan Publik,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gajah Mada
Dinamika Konflik Iran dan Amerika : Antara Ideologi dan Sumber Daya.

Dinamika Konflik Iran dan Amerika : Antara Ideologi dan Sumber Daya
Stabilitas politik umat muslim dari pelbagai negara di Timur Tengah saat ini tengah
memasuki babak yang sangat krusial. Goncangan isu terkait kerjasama energi nuklir, distrust
hubungan multilateral antar negara, hingga konflik ideologi yang berlanjut pada perang
menjadi sebuah ancaman. Bukan hanya di wilayah Timur Tengah saja, dunia di belahan barat
(Amerika dan Eropa) dan beberapa negara kuat di Asia yang notabene bukan siapa-siapa
dalam lingkup kedekatan geografis di Timur Tengah pun ikut gencar untuk ambil bagian
dalam konflik yang ada. Sangat mustahil jika campur tangan yang dilakukan oleh negaranegara barat seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Cina atau Rusia merupakan uluran tangan
tanpa kepentingan besar, atau minimal memiliki upaya peningkatan bargain di dunia Timur
Tengah. Bukan hanya stabilitas politik internal yang terganggu atas konflik yang ada, namun
kondisi hubungan internasional campur tangan dari pelbagai negara diluar Timur Tengah juga
berkontribusi dalam proses konflik yang ada.
Dua negara yang sedang mengalami konflik dalam stabilitas politik luar negeri adalah
Republik Islam Iran dengan Amerika Serikat. Permasalahan kontroversial terkait nuklir,
ideologi, dan saling tuduh terkait politik luar negeri sangat identik dengan Iran dan Amerika

Serikat. Iran sebagai negara Syi’ah dan anti-Amerika dan menganggap Amerika sebagai
musuh utama dalam tatanan politik luar negeri serta menyebut Amerika sebagai The Great
Satan (Setan Besar). Selain itu, upaya pengembangan nuklir oleh Iran merupakan upaya yang
sangat ditakuti oleh Amerika Serikat. Bagaimana dengan Amerika? Amerika sendiri
menganggap Iran sebagai sebuah kerikil dalam upaya menguasai Sumber Daya yang ada di
Timur Tengah.
Bentuk konflik dari kedua negara yang ada dapat dilihat dari sejarah kisruh dari
masing-masing kebijakan dalam dan luar negeri antara Iran dengan Amerika Serikat selama
25 (dua puluh lima) tahun terakhir dimana dapat sedikit disimpulkan bahwa terdapat sebuah
i

Penulis merupakan Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah
Mada

1

“strategi permainan” semacam “konflik spiral” antar komponen-komponen yang ada, dimana
masing-masing pihak mencoba untuk menahan diri namun secara sangat agresif saling
menampakkan hubungan yang sangat buruk1. Dalam berbagai media, Iran dan Amerika
merupakan dua negara yang bermusuhan. Iran merupakan negara yang sangat stabil dan

berani menentang berbagai hegemoni yang dilakukan Amerika, berani untuk terus
mengembangkan energi nuklir yang dimiliki, serta mempertahankan ideologi meski
semuanya ditentang oleh Amerika. Amerika melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terus
melakukan upaya untuk menggembosi segala upaya yang dilakukan oleh Iran guna
memperoleh kejayaan. Dua negara yakni Iran dan Amerika Serikat secara ideologi keduanya
sangat kontras berbeda namun sama-sama mencoba menjadi garda terdepan dalam
pengembangan pertahanan yang dimiliki. Dari keadaan yang ada, kedua negara mencoba
untuk berlomba dalam kemajuan politik, ekonomi, dan militer.
I.

Upaya Determinasi dan Propaganda oleh Amerika
Dalam adanya invasi Irak pada Maret 2003, Amerika pada saat itu kembali coba untuk
memperluas upaya invasi awal yang dimiliki ke Iran. Pada saat itu pula muncul sebuah
pertanyaan ,“Apakah Iran yang selanjutnya?” perwakilan dari pemerintahan Presiden Bush
coba untuk mengembangkan alasan sederhana terkait sederetan peristiwa terkait mengapa
pula pemerintahan Iran sebaiknya melalui “perubahan rezim” seperti pengambilalihan
kekuasaan di Irak2. Beberapa serangkaian tuduhan yang diluncurkan oleh Amerika yakni Iran
telah dituduh sebagai lokasi berlabuhnya para teroris, sebagai lokasi pengembangan senjata
nuklir yang kemungkinan besar sangat ditakuti oleh pihak Amerika, dan sebagai dalang atas
serangan beberapa fasilitas sarana yang dimiliki oleh Amerika di berbagai negara. Iran pada

saat yang bersamaan juga menjawab tuduhan bahwasannya tuduhan yang diluncurkan
Amerika sangatlah tidak berdasar dan hanya tuduhan yang memiliki muatan politik 3. Hal ini
juga memiliki kemungkinan bahwasannya terdapat permainan intervensi Amerika Serikat
dalam sistem politik di Irak.
Melihat kondisi yang ada tentunya akan muncul pertanyaan bahwasannya motif
apakah yang mendasari manuver Amerika melncurkan berbagai tuduhan ke Iran, padahal
notabene Amerika merupakan negara adidaya yang besar dan kuat, memiliki modal
persenjataan yang canggih dalam hal militer, sistem politik serta perekonomian negara yang
maju. Sebenarnya sederhana ketika muncul pertanyaan terkait motif dibalik tuduhan yang
ada. Motif yang dimiliki Amerika sebenarnya belum sampai pada tahap kepentingan
penguasaan sumber daya terbesar yang dimiliki oleh Iran yakni minyak. Memang benar motif
1

Lubna Abid Ali. Historic US – Iran Relations: Revisiting Ideology and Geostrategy. Pakistan Journal of American Studies, Vol. 26,
Nos. 1 & 2, Spring & Fall. 2008.
2
Beeman, William O. Iran and The United States : Postmodern Culture Conflict in action. Anthropological Quarterly; Fall 2003; 76,
4; ProQuest pg.671.
3
Kompas edisi 12 April 2014. “Akankah dituntaskan di Selat Hormus?”. Diakses pada tanggal 14 April 2015.


2

yang dimiliki Amerika sebenarnya adalah minyak, namun kemudian Amerika memanfaatkan
situasi dahulu melalui propaganda terhadap Iran dan mencoba melakukan dominasi
bargaining position di wilayah Timur Tengah. Dari situlah salah satu penyebab kemudian
muncul berbagai kebijakan yang saling menahan diri namun secara agresif sangat kontras
saling menunjukkan kekuatan masing-masing pihak. Modus determinasi dan propaganda
itulah yang kemudian berlanjut pada kepentingan ekonomi dari Amerika Serikat.
Selama ini, Iran merupakan salah satu penyuplai minyak terbesar bagi India dan Cina.
India dan Cina inilah yang kemudian menjadi salah satu ketakutan Amerika untuk kemudian
mampu menguasai perekonomian dunia mengingat; pertama, India dan Cina secara
geopolitik lebih dekat dengan Iran; kedua, terdapat pertukaran perdagangan antara Iran
dengan India dan Cina4. India dan Cina merupakan negara yang pada saat ini dapat dikatakan
memiliki program pengembangan teknologi yang sangat bagus. Sebagai penopang atas
pengembangan teknologi yang ada, Iran menyuplai minyak yang dimiliki ke India dan Cina
untuk kebutuhan roda perekonomian dan militer. Pada tahun 2004 saja misalnya, kebutuhan
minyak di Cina mencapai 100 juta ton dan 32% dari keseluruhan diambil dari Timur Tengah.
Dan pada 2008, 58% dari total kebutuhan diimpor dari Timur Tengah khususnya Iran5.
II.


Pengembangan Nuklir Iran dan Stabilitas Politik
Program pengembangan energi nuklir di Iran bukanlah aktivitas baru, aktivitas ini
telah dimulai oleh Syah dalam kepemimpinannya pada awal 1970an6. Namun, upaya untuk
memperoleh manfaat program pengembangan energi nuklir secara penuh sempat tertunda
melalui berbagai situasi yang menjadi permasalahan besar bagi Iran, dalam kondisi internal
berupa penggulingan rezim Syah oleh Khomeini dan dalam lingkup eksternal berupa
peperangan dengan Irak7. Stabilitas politik di Iran sempat terganggu melalui perang yang
terjadi. Perang yang berlangsung selama 8 (delapan) tahun bermula dari Teluk Persia.
Adanya dugaan bahwasannya terdapat intervensi oleh Amerika terhadap konflik IranIrak sangatlah tidak mengejutkan. Ini mengingat sifat dari negara adidaya seperti Amerika
Serikat tentunya akan cenderung mempertahankan status quo. Sebagai negara yang akan
tetap memegang kendali penuh, Amerika Serikat akan tetap memperkuat kekuatan terhadap
dominasi yang dimiliki dalam lingkup global, sehingga ketika muncul pengembangan
kekuatan baru semacam nuklir pastinya akan disikapi dengan serius dan penuh kecurigaan
mengingat pengembangan tersebut memiliki kemungkinan sebagai peluang ancaman besar
terhadap dominasi yang dimiliki oleh Amerika Serikat sendiri8.

4

Lihat : George H. Quester, “The Shah and the bomb,” Policy Sciences 8, no. 1 (March 1977): 21-32; dalam Iran and instability in the

Middle East. Imad Mansour. International Journals : ProQuest. 2008.
5
Fatkurrohman. 2010. “Cina Incar Minyak Iran” (hal.20-21) dalam Isu dan Realita Konflik Kawasan. Jogjakarta : Gadjah Mada University
Press.
6
Lihat : Colin Dueck and Ray Takeyh, “Iran’s nuclear challenge,” Political Science Quarterly 122 no. 2 (summer 2007): 189–205 ; dalam
Iran and instability in the Middle East. Imad Mansour. International Journals : ProQuest. 2008.
7
Connaughton, Richard. 2002. Military Intervention and Peacekeeping: The Reality.UK : Ashgate Publishing.
8
Rourke, John T.. 2005. International Politics on the World Stage, 10th ed. Boston et al: McGraw-Hill.

3

Dalam perjanjian yang ada, justifikasi yang ada memang telah diberikan seiring
dengan adanya legalitas untuk riset energi nuklir oleh masyarakat sipil di Iran. Namun
pembebasan yang ada terkait perjanjian yang ada tersebut akan memperlemah daya tawar
yang sah dalam kekuatan Iran serta telah terdapat pada beberapa isu ini, memicu reaksi yang
memiliki kemungkinan untuk menyebar luaskan penolakan dari berbagai negara ketika mulai
berdampak buruk, lebih jauh lagi akan cenderung di asingkan dalam hubungan diplomatik

yang ada, mendapatkan sanksi, atau bahkan serangan militer. Anggota yang terdapat pada
akta perjanjian juga akan tetap memberikan justifikasi moral, sejak negara ini masih lekat
dengan status negara yang mengembangkan energi nuklir, penguatan justifikasi yang ada juga
didukung oleh berbagai negara yang tidak mengembangkan energi nuklir di wilayah yang
dimiliki9. Namun, agenda pengembangan nuklir Iran dan pelaksanaannya dengan peraturan
IAEA tidak diterima secara universal. Hal ini dikarenakan ketidakterbukaan dan transparansi
yang dimiliki oleh Iran ketika muncul banyak pertanyaan dari berbagai negara yang ada 9.
Dengan demikian melalui pengembangan nuklir yang ada, melalui Teheran diyakini secara
penuh memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengendalikan panggung internasional
secara terus menerus10. Masih menjadi pertanyaan besar terkait mengapa dan seberapa besar
pengembangan energi nuklir mampu menjadi ancaman bagi pertahanan dan keamanan di
dunia. Ketika memang merupakan sebuah ancaman yang besar, tentunya hal ini juga
sekaligus akan mengancam sistem politik dan ekonomi serta keamanan dari berbagai negara
yang ada.
III.

Diskusi : Iran vs Amerika Serikat, Antara Ideologi dan Sumber Daya
Kondisi di Timur Tengah saat ini dalam kondisi sangat paradoks. Iran di satu sisi
mempertahankan ideologi konvensional yang dimiliki yakni Syi’ah, namun di sisi yang lain
Iran juga terus mengembangkan teknologi Nuklir yang dimiliki. Dalam kasus ideologi yang

dimiliki Iran sendiri, yakni Syi’ah, perkembangan demokrasi yang dimiliki dalam
pengambilan sikap sangat rendah serta cenderung memiliki keyakinan ekstrimis akan hal-hal
baru yang sangat tidak sesuai dengan pengembangan kemajuan energi nuklir yang dilakukan,
namun pada kenyataannya hal tersebut mampu menjadi kekuatan stabilitas negara. Iran dapat
dikatakan sebagai negara Timur Tengah yang memiliki stabilitas sangat baik. Pada sisi yang
bersamaan, Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya memiliki sistem politik
pemerintahan dan perekonomian, serta keamanan militer yang sangat mumpuni. Namun
paham anti-Islam yang dimiliki Amerika Serikat menjadi bumerang bagi Amerika sendiri.
Amerika tidak sadar bahwasannya Amerika menganut paham demokrasi liberal yang secara

9

Lihat. “Implementation of the NPT safeguards agreement in the Islamic Republic of Iran,” IAEA. 2006. On compliance, see Farideh Farhi,
“Iran’s nuclear file: The uncertain endgame,” Middle East Report Online, 2005. For an Iranian perspective on the nuclear program, see Kaveh
L. Afrasiabi, “Iran: Nuclear Challenges,” ; dalam Iran and instability in the Middle East. Imad Mansour. International Journals : ProQuest.
2008.
10
The Iranian Journal of International Affairs, spring 2007, online edition. 5 Robert J. Einhorn, “A transatlantic strategy on Iran’s nuclear
program,” Washington Quarterly 27, no. 4 (autumn 2004): 21–32.


4

penuh harus siap untuk menghormati kepentingan di berbagai negara, termasuk kepentingan
Iran dalam program pengembangan nuklir yang dimiliki.
Kondisi paradoks yang ada menimbulkan tanda tanya besar mengapa Amerika
menolak pengembangan nuklir yang dilakukan oleh Iran padahal Amerika merupakan negara
adidaya dengan paham demokrasi yang sangat diakui dunia. Selain itu, seringkali Amerika
turut campur dalam stabilitas politik di berbagai negara. Dalam kaitannya dengan hegemoni
Amerika beserta kekuatan yang dimiliki di dunia, terdapat dua aspek terkait penolakan atas
demokrasi yang ada, yang walaupun terdapat kaitan dalam beberapa ukuran yang terpisah11.
Kesepakatan pertama dengan apakah yang sesungguhnya diambil: berapa banyak negara
yang benar-benar demokratis? Apakah jumlah mereka benar-benar meningkat atau justru
menurun seiring perkembangan zaman? Kondisi apakah yang kemudian mampu menjadi
perhatian untuk bentuk demokrasi-liberal sebagai kebebasan atas tekanan, aturan hukum,
pemilihan yang bebas dan adil, dan bentuk lainnya? ; Kedua, yang lebih subjektif lagi, aspek
yang menjadi perhatian dalam berdirinya sistem demokrasi dunia: bagaimana hal ini dapat
digambarkan dalam kondisi yang diakui dan menarik sementara belum ada ukuran yang pasti
tekait demokrasi?.
Ideologi, Nuklir, dan Sumber Daya di Iran
Jika menggunakan sudut pandang ideologi, tidak ada yang salah dengan ideologi yang

diterapkan oleh Iran mengingat proses tersebut merupakan keyakinan pribadi yang diterapkan
di regional wilayah dan dengan catatan selama ideologi yang ada tidak melanggar batas-batas
hak asasi manusia dengan ideologi yang berbeda maka tidak ada masalah. Namun kadangkala
sangat sulit mengingat hal ini merupakan aspek nilai yang tidak dapat diukur dengan ukuran
pasti. Syi’ah di Irak seringkali dipandang sebagai ideologi yang mainstream, ekstrimis, keras,
dan bahkan radikal. Tetapi jika dihadapkan pada kontribusi pemimpin syi’ah di Iran saat ini
yakni Ahmdinejad, dia mampu meyelamatkan Iran dari tekanan internasional terkait dengan
program yang oleh masyarakat internasional dinilai prestisius akan justifikasi dan kecaman
yang ada. Ketangguhan Ahmadinejad dalam memimpin dan melindungi masyarakat
memberikan kontribusi yang amat sangat besar dari mayoritas masyarakat syi’ah. Bahkan
ketangguhan kepemimpinan politik Ahmadinejad bukan hanya mendapat dukungan yang
fantastis dari masyarakat, pemimpin spiritual tertinggi Iran yakni Ayatollah Ali Khamenei
memberikan legitimasi kepada Ahmadinejad. Jika dibandingkan dengan hasil persentase
Indonesia yang notabene merupakan negara yang sangat demokratis, perolehan persentase
suara Ahmadinejad dalam pemilihan masih diatas persentase dari keterpilihan SBY 12. Hal ini
membuktikan bahwasannya negara dengan ideologi yang tidak demokratis, belum tentu lebih
Plattner , Marc F. 2015. Is Democracy in Decline? (pg.6-7). International Journals : Journal of Democracy.
Fatkurrohman. 2010. “Singh, Ahmadinejad, dan SBY”(hal.73-74) dalam Isu dan Realita Konflik Kawasan. Jogjakarta : Gadjah Mada
University Press.
11

12

5

buruk dibanding negara-negara demokratis. Dan pada saat ini, Iran dipimpin oleh pemimpin
yang berkarakter mirip dengan Ahmadinejad dalam hal kedaulatan politik antar negara, yakni
Rouhani.
Terkait dengan urusan nuklir yang sedang dikembangkan oleh Iran, seperti
pemberitaan lama yang ada bahwasannya Amerika tetaplah negara adidaya yang selalu ikut
campur dalam urusan luar negeri. Keberhasilan dari menteri luar negeri Iran yakni
Mohammad Javad Zarif beserta tim negosiator dalam wacana menciptakan kerangka kerja
dengan negara-negara P5+1 (Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Cina, dan Jerman) telah
membuka harapan namun tetap saja kesepakatan yang akan dibuat terdapat celah yang rapuh
untuk kubu Iran13. Di satu sisi, embargo atas Iran oleh PBB memiliki harapan untuk segera
dicabut. Namun di sisi lain, kesepakatan kerja yang ada masih sangat rapuh. Kerapuhan
tersebut berupa adanya upaya Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang memiliki akses
untuk masuk secara rutin dalam semua instalasi nuklir milik Iran, termasuk akses tehadap
militer milik Iran. Artinya, hal ini akan memperlemah pengembangan energi nuklir yang
dimiliki oleh Iran.
Pemanfaatan sumber daya yang dimiliki oleh Iran tentunya tak lepas dari konflik
politik luar negeri yang sedang berlangsung. Amerika Serikat beserta sekutunya trus mencoba
untuk memperlemah kekuatan yang dimiliki oleh Iran. Salah satu bentuk yakni adanya
embargo yang diberlakukan di Iran dan nota kesepakatan yang dimiliki oleh negara 5P+1 pun
juga cenderung memiliki kepentingan yang lebih besar. Keuntungan bagi Iran memang
memiliki peluang yang baik dalam pembangunan ekonomi, namun bagi Amerika beserta
sekutunya dalam negara-negara P5+1 akan menjadi semakin kuat dengan peluang
ketersediaan akses masuk pada semua instalasi nuklir milik Iran. Hal ini sangatlah tidak
seimbang jika dilihat dari sudut pandang geopolitik dimana Iran yang hanya mendapat
keuntungan dalam hal pembangunan ekonomi sedangkan Amerika Serikat beserta sekutunya
mendapat keuntungan kekuatan yang sangat besar dalam hal penguasaan keamanan dan
energi.
IV.

Kesimpulan
Konflik yang berlangsung antara Iran dengan Amerika Serikat merupakan konflik
internasional yang telah berlangsung cukup lama. Selama puluhan tahun dan sudah sangat
mengendap bagi masing-masing pihak. Iran yang memiliki ideologi dan kepentingan dalam
hal kebesaran pengembangan energi nuklir untuk masa depan negaranya menjadi momok
yang menakutkan bagi pihak Amerika Serikat beserta sekutunya. Konflik yang tercipta bukan

13

Negosiasi Nuklir Iran : Berpijak pada Kerangka Perjanjian yang Rapuh. 12 April 2015(hal.4). Kompas.

6

hanya sekedar konflik perebutan sumber daya minyak dan permasalahan pembangunan
perekonomian Iran saja, namun lebih jauh lagi terkait kedaulatan politik antar negara dan
sumber energi nuklir yang dimiliki. Sangat jelas bahwa kekhawatiran Amerika Serikat
sebenarnya bukan ketakutan yang mendasar, namun merupakan bentuk lain dari keinginan
untuk menguasai sumber energi nuklir yang ada dan mempertahankannya. Sangat tidak
mungkin jika negara sebesar Amerika yang memiliki sekutu negara-negara hebat namun
memiliki kakhawatiran terhadap Iran. konflik yang ada diharapkan tidak berlanjut pada
peperangan yang menelan korban.
Dalam prosesnya, resolusi yang harus diambil adalah langkah-langkah yang
mementingkan kebutuhan bersama serta memiliki keuntungan yang sama bagi kedua belah
pihak14. Artinya mampu melakukan upaya damai dalam demokrasi dan penghargaan atas
ideologi antar negara selama tidak merusak aspek hak asasi manusia baik oleh Iran maupun
Amerika Serikat, mengurangi tindakan represif bagi kedua belah pihak dalam diplomasi
kenegaraan, serta negosiasi akan peluang ancaman yang membahayakan.

14

Nobel: Women's Initiative Calls for Peace between, Human Rights within, Iran and the US Anonymous Peacework; Jul/Aug 2006; 33,
367; ProQuest Research Library. pg. 25.

7

Daftar pustaka
Beeman, William O. Iran and The United States : Postmodern Culture Conflict in
action. Anthropological Quarterly; Fall 2003; 76, 4; ProQuest pg.671.
Connaughton, Richard. 2002. Military Intervention and Peacekeeping: The
Reality.UK : Ashgate Publishing.
Dueck, Colin and Ray Takeyh, “Iran’s nuclear challenge,” Political Science Quarterly
122 no. 2, (summer 2007): 189–205 ; dalam Iran and instability in the Middle East. Imad
Mansour. International Journals : ProQuest. 2008.
Einhorn, Robert J. The Iranian Journal of International Affairs, spring 2007, online
edition. 5 : “A transatlantic strategy on Iran’s nuclear program,” Washington Quarterly
27, no. 4 (autumn 2004): 21–32.
Fatkurrohman. 2010. “Cina Incar Minyak Iran” (hal.20-21) dalam Isu dan Realita
Konflik Kawasan. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.
Fatkurrohman. 2010. “Singh, Ahmadinejad, dan SBY”(hal.73-74) dalam Isu dan
Realita Konflik Kawasan. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.
IAEA. “Implementation of the NPT safeguards agreement in the Islamic Republic of
Iran,” IAEA. 2006. On compliance, see Farideh Farhi, “Iran’s nuclear file: The uncertain
endgame,” Middle East Report Online, 2005. For an Iranian perspective on the nuclear
program, see Kaveh L. Afrasiabi, “Iran: Nuclear Challenges,” ; dalam Iran and instability
in the Middle East. Imad Mansour. International Journals : ProQuest. 2008.
Kompas edisi 12 April 2014. “Akankah dituntaskan di Selat Hormus?”. Diakses pada
tanggal 14 April 2015.
Lubna Abid Ali. Historic US – Iran Relations: Revisiting Ideology and Geostrategy.
Pakistan Journal of American Studies, Vol. 26, Nos. 1 & 2, Spring & Fall. 2008.
Negosiasi Nuklir Iran : Berpijak pada Kerangka Perjanjian yang Rapuh. 12 April
2015(hal.4). Kompas.
Nobel Women's Initiative Calls for Peace between, Human Rights within, Iran and the
US Anonymous Peacework; Jul/Aug 2006; 33, 367; ProQuest Research Library. pg. 25.
Plattner , Marc F. 2015. Is Democracy in Decline? (pg.6-7).
International Journals : Journal of Democracy.
Quester, George H. “The Shah and the bomb,” Policy Sciences 8, no. 1 (March 1977):
21-32; dalam Iran and instability in the Middle East. Imad Mansour. International
Journals : ProQuest. 2008.
Rourke, John T. 2005. International Politics on the World Stage, 10 th ed. Boston et al:
McGraw-Hill.

8