Polmas dan Dinamika Politik Lokal

ARTIKEL LEPAS
Polmas dan Dinamika Politik Lokal
Drs. Wahyurudhanto, M.Si1

Abstrak:
Revisi terbatas atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah telah menegaskan mengenai diperbolehkannya calon
independen turut berlaga dalam pemilihan kepala daerah. Kehadiran calon
independen dalam pilkada dapat dipandang sebagai penyempurnaan sistem
politik di negeri ini. Selama ini yang dirasakan oleh publik bahwa pembatasan
calon di luar parpol merupakan reduksi yang dapat menghilangkan hakhak konstitusional bagi warga negara. Namun di sisi lain kehadiran calon
independen akan menjadi rival bagi calon yang diusung oleh partai politik.
Dalam suasana baru, persaingan ini rawan menimbulkan konlik sosial. Karena
dalam menarik dukungan, selain faktor ideologis, bisa juga faktor primordial
maupun uang ikut berbicara. Polri sebagai penanggung-jawab keamanan
dalam negeri berkepentingan dalam menjaga proses ini tetap dalam bingkai
kamtibmas. Polmas sebagai model perpolisian melalui deteksi dini akan
sangat berperan dalam melakukan fungsi mengantisipasi kerawanan konlik
yang bisa menjadi picu bagi tindakan kriminalitas.
Kata Kunci:
Dinamika politik lokal, calon independen, polmas, konlik, deteksi dini,

kamtibmas.
Selepas revisi terbatas kedua Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah maka dipastikan pemilihan kepala daerah
(Pilkada) secara langsung untuk tahun 2008 akan memasuki babak baru.
Revisi tersebut merupakan lampu hijau bagi calon independen untuk bisa
1

Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si, staf pengajar pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian untuk mata kuliah Polmas
dan Administrasi Pemerintahan.

Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008

83

memasuki babak laga, berkompetisi bersama dengan calon dari partai politik
atau calon dari gabungan partai politik. Kini tidak ada lagi hambatan bagi
calon independen untuk maju dalam Pilkada. Calon independen sebenarnya
bukan barang baru dalam proses pilkada secara langsung. Sebelum dilakukan
revisi peluang bagi calon independen sudah ada. UU No. 32/2004 menyatakan
calon independen bisa saja menjadi peserta pilkada, seperti disebutkan pada

Pasal 59 ayat (4) yakni : Dalam proses penetapan pasangan calon, partai
politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan
masyarakat. Namun fakta di lapangan berbicara lain. Calon independen tidak
bisa maju jika tidak mendapat dukungan dari partai politik atau gabungan
partai politik. Bagi partai politik, kesediaan untuk mengusung calon tentu
harus diikat dulu melalui “negosiasi” yang menguntungkan partai.
Tak bisa dimungkiri lagi bahwa diperbolehkannya kehadiran calon
independen dalam pilkada dapat dipandang sebagai penyempurnaan sistem
politik di negeri ini. Selama ini yang dirasakan oleh publik bahwa pembatasan
calon di luar parpol merupakan reduksi yang dapat menghilangkan hak-hak
konstitusional bagi warga negara. Politik dikatakan sehat jika pencalonan
secara perorangan dapat diakomodasi, karena hal tersebut merupakan hak
politik bagi setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Pengalaman selama
ini menunjukkan tabiat partai yang lebih bersikap pada kepentingannya dari
pada kepentingan masyarakat. Maka calon perseorangan yang mendaftar
melalui partai selalu terganjal ketika mereka tidak bisa mengakomodasi
kepentingan partai. Dan ini merupakan hal yang wajar jika kita berpijak
pada dasar bagi partai untuk mengusung calon. Sudah pasti karena nama
partai yang dimajukan, maka kepentingan partai yang dinomorsatukan.
Kepentingan ini bisa diartikan pada banyak hal, termasuknya adanya “janji”

untuk memberikan kontribusi pada partai. Kontribusi pada banyak tentunya,
termasuk materi, karena partai toh butuh biaya operasional yang tidak sedikit.
Dengan demikian, kata-kata pada pasal 59 UU nomor 32/2004 ayat (e) yang
menyatakan partai politik atau gabungan partai politik harus memperhatikan
pendapat dan tanggapan masyarakat, selama ini hanyalah merupakan
pemanis saja, agar ada kesan partai mau mendengarkan suara masyarakat.
Yang menarik dengan adanya revisi terhadap ketentuan ini, maka inilah
kesempatan untuk menguji sejauh mana apresiasi publik terhadap eksistensi
parpol. Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan dibolehkannya calon
84

Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008

independen pada tahun 2007 lalu, wacana mengenai ketakutan partai atas
putusan ini terus mengemuka dan wacana tersdebut terus bergulir hingga
sekarang.Kegembiraanmasyarakatterhadapcalonindependendalampilkada
diharapkandapatmendobrakpartai-partaipolitikyangmakinmenghegemoni
dan oligarkis. Fakta yang tidak bisa dibantah adalah pada kekalahan para
incumbent dalam pemilihan gubernur di beberapa provinsi, seperti Sulawesi
Selatan, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Barat.

Kekalahan incumbent menunjukkan kejenuhan rakyat terhadap kondisi
status quo. Apalagi jika calon independen dianggap publik lebih mumpuni
dan memberi harapan baru ketimbang igur yang diusung partai-partai, maka
tuntutan masyarakat untuk majunya calon independen ini diharapkan dapat
mendorong semangat demokratisasi internal di tubuh partai.
Dominasi Partai Politik
Jika kita mengikuti bagaimana dinamika politik lokal pemilihan kepala
daerah, baik itu pemilihan gubernur, bupati atau walikota, maka semangat
yang sangat kental terasa, yaitu adanya dominasi dari partai politik, terutama
partai-partai besar. Partai politik sebagai institusi yang seharusnya melakukan
rekrutmen dan pengkaderan pada kader atau simpatisannya, dalam proses
pilkada selama ini menunjukkan sikap yang tidak seharusnya dilakukan.
Seperti dikemukan oleh Andrik Purwasito (2008), demokrasi kita agaknya
memang masih menjadi kebutuhan partai politik, golongan, pribadi-pribadi
dan belum menjadi kebutuhan rakyat. Inilah demokrasi “waton sulaya”
(asal-asalan) yang terus dipraktekkan dalam sistem perpolitikan kita. Inilah
praktek demokrasi yang diarahkan untuk tujuan mempertahankan status
quo. Demokrasi memang mengatasnamakan rakyat, tetapi dalam prakteknya
rakyat dan demokrasi hanya sebuah cara melegitimasi kekuasaan.
Dalam proses pilkada kita bisa melihat (atau setidaknya merasakan)

bahwa kewenangan partai untuk melakukan seleksi calon kepala daerah yang
akandiusungnyadenganmelakukanrekrutmenbagikaderatausimpatisannya
ternyata telah disalahgunakan.Yang dilakukan oleh partai-partai politik adalah
melakukan “jual-beli” untuk mematikan proses demokrasi. Akibatnya, citra
partai sekarang ini tak ubahnya seperti ”broker politik” yang kerjanya hanya
memeras kandidat yang maju dalam pilkada. Masih segar dalam ingatan kita,
bagaimana Sarwono Kusumaatmadja, Djasri Marin, Bibit Waluyo, maupun
Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008

85

Agum Gumelar yang terlanjur ‘’membayar’’ ke partai, tetapi tidak bisa maju
dalam Pilgub DKI, lantaran tidak mendapat dukungan parpol (meski akhirnya
Agum mendapat dukungan PDIP dan PPP dalam Pilgub Jabar dan BibitWaluyo
yang didukung PDIP maju dalam Pilgub Jateng. Agum Gumelar akhirnya kalah
dalam pilgub Jabar, sedang BibitWaluyo ketika tulisan ini dibuat pilgub Jateng
belum dilangsungkan).
Kondisi tersebut tidak bisa dielakkan jika melihat telah terjadinya
kencenderungan baru dalam peta politik Indonesia. Kini peta politik di
Indonesia telah bergeser dari yang tadinya bureaucratic government

menjadi party government, executive heavy menjadi legislatine heavy dan
loating mass menjadi mass society. Konigurasi ini menjadikan iklim politik
di Indonesia menjadi “aneh”. Aneh dalam arti yang terjadi bukan lagi etika
politik yang berlangsung secara wajar, tetapi adalah bagaimana memaksakan
irama politik untuk kepentingan-kepentingan sesaat, dalam hal ini adalah
kepentingan-kepentingan partai. Maka yang terjadi bukanlah bagaimana
memperjuangkan nilai-nilai ideal jangka panjang dalam kultur politik yang
sehat, tetapi justru “atraksi-atraksi” demi memperjuangkan kepentingan
individu dan kelompok.
Akibat yang bisa kita lihat adalah aroma yang muncul menjadi tidak
sedap. Intrik, manipulasi, konspirasi, money politics menjadikan aroma yang
selalu menghiasi percaturan politik saat itu. Partisipasi masyarakat juga
tidak terbangun, karena semuanya dikendalikan oleh parlemen, yakni DPRD.
Media massa pun kemudian selalu dihiasi dengan fakta-fakta berlangsungnya
proses politik yang tidak sehat dan tidak beradab. Fakta yang kita temui,
pilkada sering menghasilkan kepala daerah yang bermasalah. Mulai dari
ijazah palsu, preman, pelaku kriminal, koruptor, sampai kepala daerah yang
tidak mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai. Hal ini menunjukkan
bahwa proses politik dalam mengusung calon kepala daerah oleh partai
tidak dilakukan secara benar, tetapi hanya pada bagaimana menyelaraskan

“kepuasan” bagi partai dan calon. Akibatnya sering fakta-fakta negatif
disembunyikan, dan menjadi terbongkar ketika dalam perjalanannya “bau
busuk” tersebut akhirnya tercium oleh publik dan direspon melalui proses
hukum.
Karena itu jika melihat proses pilkada, maka outcomes yang kita peroleh
adalah bahwa kepala daerah yang terpilih merupakan pejabat politik tetapi
86

Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008

juga pejabat publik. Sebagai pejabat publik nanti akan bertugas memimpin
birokrasi untuk menjalankan roda pemerintahan. Fungsi-fungsi pemerintahan
tersebut terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan
(protective, public services, dan development). Sehingga dalam konteks
struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah. Sebagai
pejabat publik, kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan
yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat (publik), berdampak
terhadap rakyat, dan dirasakan oleh rakyat.
Namun yang terjadi adalah titik berat nilai politis yang lebih dominan.
Setrelah terpilih sebagai kepala daerah, dalam banyak kasus yang muncul

ternyata kepala daerah lebih mementingkan kepentingan partai. Maka aroma
politisasi birokrasi pun dengan mudah tercium. Kepentingan rakyat akan
menjadi nomor kesekian, setelah kepentingan partai dan kepentingan para
“pengawas” yaitu para anggota DPRD terpenuhi. Inilah bukti nyata dominasi
partaoi politik pra dan pasca pemilihan daerah yang merupakan ciri khas
dinamika politik lokal saat ini.
Dinamika Politik Lokal
Pasca keputusan revisi terbatas UU Nomor 32 Tahun 2004 khususnya
mengenai diperbolehkannya calon perseorangan untuk ikut berkompetisi,
tentu saja akan membuat dinamika politik lokal mempunyai warna baru.
Ada hal yang sangat spesiik dalam pemilihan kepala daerah. Yang pertama,
kampanye Pilkada akan selalu mengangkat isu lokal Saat ini telah terjadi
pergeseran dalam paradigma kampanye di Indonesia. Jika dulu kampanye
hanyalah sarana untuk meyakinkan pemilih, kini kampanye sudah merupakan
komunikasi politik dan pendidikan politik. Karena itu isu kampanye dan
komunikasi politik dalam kampanye yang tidak tepat akan menyebabkan
ketersinggungan pada kelompok-kelompok di daerah. Hal ini ditunjukkan
dengan isu-isu yang diangkat selalu merupakan isu yang bisa membawa
kebanggaandaerah,baikdalamkesejahteraanmaupunsemangatkebanggaan
atas kepopuleran daerah.

Kedua adalah faktor pendeknya jarak isik dan jarak kepentingan antara
calon dan pemilih akan memberikan kecenderungan pada potensi konlik
antarpendukung. Pendukung calon berdomisili dan berionteraksi dalam suatu
komunitas besar di daerah, sehingga gesekan-gesekan yang muncul sangat
Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008

87

potensial menimbulkan konlik. Sehingga melihat pilkada kita harus melihat
dalam konteks bahwa konigurasi politik lokal akan sangat dipengaruhi oleh
bagaimana rakyat menanggapi proses pencalonan dan proses pemilihan,
sampai bagaimana calon terpilih nanti mampu menunjukkan kapabilitasnya
dengan kemampuan leadership yang memadai.
Dan ketiga adalah kenyataan yang seharusnya oloeh semua komponen
publik dipahami bahwa pilkada adalah proses jangka pendek. Hal inilah
yang seringkali menimbulkan pendapat bahwa kampanye adalah bagaimana
mengumbar janji, bahwa nanti janji tersebut tidak bisa ditepati itu soal lain.
Padahalseharusnyayanglebihpentingjustrupenyelenggaraanpemerintahan
lima tahun di bawah kepemimpinan kepala daerah. Pilkada harus dipahami
sebagai sebuah proses untuk membangun lokal good governance, karena di

sana ada partisipasi masyarakat, akuntabilitas, transparansi, dan reponsibilitas
pemerintah daerah.
Ketiga hal tersebut akan saling tarik-menarik, karena masing-masing
mempunyai kepentingan dengan kadar yang saling berlainan. Kepala daerah
akan berada di posisi yang harus mampu mengakomodasi sedmuanya.
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pendulum yang cenderung lebih
condong ke birokrasi ataupun ke legislatif, semuanya sama-sama tidak ideal.
Pilkada sesuai UU No. 32/2004 akan mencoba mewarnai dinamika politik
lokal. Ekperimen dalam kancah kehidupan demokrasi di Indonesia akan
dilakukan dalam kegiatan pilkada, baik pra pilkada maupun pasca pilkada.
Hadirnya calon perseorangan tentu saja akan menjadi rivalitas tersendiri bagi
calon yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Setidaknya
setelah keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007 mengenai calon
independen sangat terasa adanya suasana “ketakutan” dari kalangan partai
politik, terutama partai-partai besar.
Ketakutan itu mungkin muncul, terutama dengan pengalaman pendek
perjalanan demokrasi yang berbasiskan partai-partai politik sejak Pemilu 1999.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI)
pada Februari 2007, hanya 23% dari masyarakat Indonesia yang menyatakan
berailiasidenganpartai-partaipolitik.Selebihnyalebihmempercayaikalangan

lain, baik dari kelompok agamawan, kaum intelektual, ataupun perseorangan
yang mempunyai profesi lain. (Pilliang, 2008) Hasil penelitian LSI itu tentu
tidak bisa dijadikan acuan jangka menengah dan panjang. Bagaimanapun,
88

Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008

kehadiran dan popularitas calon perseorangan bisa diuji pascapemilu 2004
dengan melihat proses pilkada yang diikuti oleh para calon yang berasal dari
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sebagaimana diketahui bahwa mereka
dulunya adalah calon perseorangan yang tidak berailiasi dengan partai-partai
politik. Kenyataan yang bisa kita lihat adalah hampir seluruh anggota DPD RI
itu gagal merebut posisi gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati dan
wali kota-wakil wali kota, sekalipun juga didukung oleh partai-partai politik.
Mereka dikalahkan oleh para calon populis lain yang didukung oleh partaipartai politik yang lebih jeli melihat para potensi seorang tokoh.
Tentu saja jika kita merujuk pada kasus di Aceh, keberhasilan calon
perseorangan di Provinsi Aceh harus dilihat dari kacamata berbeda.
Bagaimanapun, Aceh adalah daerah bekas konlik. Pemberlakuan Aceh
sebagai daerah operasi militer dalam keadaan darurat militer, sampai tertib
sipil, telah menghilangkan kepercayaan kepada partai-partai politik nasional.
Bukan hanya itu, struktur pemerintahan daerah juga tidak lagi dipercaya.
Organisasi pergerakan seperti Gerakan Aceh Merdeka dan Sentra Informasi
Referendum Aceh lebih dipercaya memberikan perubahan. Sebagai daerah
pasca-konlik, tentunya dinamika seperti itu masuk akal. Keadaan itu berbeda
dari daerah-daerah normal lainnya. Kehadiran partai-partai politik sudah
berurat berakar dalam kehidupan masyarakat. Keluarga-keluarga tertentu
dikenal berailiasi dengan partai-partai politik yang sudah hadir sejak tahun
1955. Bahkan, partai-partai politik itu dikenal melahirkan kelompok oligarkis
lokal yang sangat kuat, sehingga sulit untuk mengotonomkan dirinya menjadi
bukan lagi bagian dari partai-partai politik. Para anggota DPRD adalah bagian
dari kelompok-kelompok sosial dan kekuatan ekonomi lokal yang sudah
memiliki basis partai politik yang kuat. Sehingga sebenarnya aneh kalau
ketakutan atas hilangnya partai-partai politik dijadikan sebagai rujukan.
Ketakutan itu justru menjadi tidak beralasan, kalau kita melihat konstruksi
sosial, ekonomi dan politik di Indonesia.
Jika kita menyimak mengenai proses pemilihan kepala daerah secara
langsung yang sudah dua tahun ini berjalan sesuai dengan UU No. 32 Tahun
2004 dan PP No. 6 tahun 2005, boleh dikatakan inilah produk perundangan
pertama dalam sejarah politik Indonesia yang mengatur pilkada langsung.
Pada ketentuan sebelumnya sudah ada undang-undang yang mengintrodusir
sistem pemilihan langsung, yakni UU No. 1/1957. Ketentuan pemilihan
Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008

89

langsung tertuang dalam Pasal 23 dan penjelasannya. Pasal itu membutuhkan
undang-undang pilkada langsung tersendiri, namun tidak ditindaklanjuti
sampai dikeluarkannya ketentuan perundang-undangan baru yang
menggantikannya, seperti Penetapan Presiden No. 6/1959, UU No. 18/1965,
dan UU No. 4/1975 yang didasarkan pada UUD 1945.
Karena itu bagi bagi politisi, aktivis partai, dan masyarakat, pilkada
langsung yang dimulai pada tahun 2005 dirasakan sebagai hal baru. Dalam
tradisi politik di Indonesia, setiap hal baru selalu menimbulkan suasana baru,
baik itu semangat, harapan, maupun persoalan baru. Karena itu, sama seperti
produk undang-undang lain yang mempengaruhi iklim politik di Indonesia,
pilkada langsung ternyata telah menimbulkan persoalan-persoalan baru. Isu
“dagangsapi”dalamprosesmengusungcalonkepaladaerahbukanlahisubaru.
Kendati sulit dibuktikan tetapi aromanya tercium dengan sangat menyengat.
Partai-partai besar pun mencoba berkilah dengan membentuk opini bahwa
persoalan “jual-beli” tidak mereka lakukan. Seperti Wakil Ketua DPD Golkar
Rully Chairul Azwar sampai-sampai mengemukakan bahwa partainya justru
pernah mengeluarkan dana yang tidak sedikit bagi kompensasi parpol lain
yang berkoalisi dengan Partai Golkar (Suara Pembaruan, 8 Januari 2008).
Tetapi statement seperti itu oleh publik dianggap saja seperti “maling teriak
maling”.
Memasuki era calon independen bisa maju dalam pemilihan kepala
daerah, maka yang harus diwaspadai adalah munculnya persoalan baru akibat
adanya ketentuan baru yang memberikan corak baru. Warna baru tersebut
adalah pudarnya semangat untuk melakukan pendekatan kepada partaipartai besar atau pada gabungan partai bagi calon independen yang merasa
siap bagi dari sisi mental, dukungan publik, maupun inansial. Dari perspektif
keamanan, maka yang harus diantisipasi adalah peluang munculnya riak-riak
kriminal akibat kebutuhan formalitas dalam rangka proses pemilihan kepala
daerah baik sebelum maupun sesudah pemilihan.
Polmas dan Dinamika Politik Lokal
Lalu apa kaitannya perpolisian masyarakat atau Polmas dengan dinamika
politiklokalsehubungandenganhadirnyacalonperseorangandalampemilihan
kepala daerah. Merujuk pada pengalaman pemilihan kepala daerah di negara
lain, bagi negara-negara yang sudah mapan sistem dan prosedur politiknya,
90

Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008

kehadiran calon perseorangan hanya bersifat penyeimbang untuk isu-isu
minoritas, misalnya masalah lingkungan hidup, hak-hak binatang, bahkan juga
pilihan atas lesbianisme dan homoseksualitas. Dalam kasus di Indonesia, bisa
saja isu tersebut bergeser kepada hak-hak masyarakat adat, tanah ulayat,
aliran kepercayaan, sampai kepada pengakuan atas mitologi tradisional yang
dimiliki oleh beragam kebudayaan lokal di Indonesia. Namun jangan lupa,
di Indonesia kepentingan memunculkan igur bisa berimbas pada fanatisme
atas isu-isu yang sangat mikro tersebut. Artinya bahwa dari masalah-masalah
kecil tersebut bisa menjadi besar ketika fanatisme “dibakar” dengan modal
sosial maupun modal kapital. Adalah fakta bahwa kelompok masyarakat
di Indonesia sangat mudah bertikai bahkan dengan mudah menggunakan
kekerasan hanya karena persoalan dukung-mendukung. Di situlah peranan
Polmas menjadi sangat penting. Apalagi dalam rangka syarat formalitas nanti
akan ada proses mengumpulkan dukungan. Manipulasi data, pembengkakan
penduduk, pemalsuan KTP adalah contoh-contoh bibit kriminalitas yang
sudah harus bisa mulai diantisipasi sejak sekarang.
Pemikiran tentang community policing yang di Indonesia dikenal dengan
sebutan Polmas atau perpolisian masyarakat kini terus dikembangkan oleh
banyak pihak termasuk di Indonesia. Asumsi dari perpolisian masyarakat
yaitu, pertama kamtibmas adalah tanggung jawab masyarakat, kedua adanya
institusi polisi tidak menghilangkan tanggung jawab masyarakat terhadap
pemeliharaan kamtibmas, dan ketiga perlu kemitraan polisi dengan warga
dalam pemolisian dan pemecahan masalah warga terutama pada masalahmasalah sosial. Dari berbagai literatur yang ada maupun penyimpulan
yang dikemukakan dalam Skep Kapolri Nomor 737 Tahun 2005 tentang
penyelenggraan Polmas, maka pengertian yang ada bisa disimpulkan pada
tiga poin utama, yaitu membangun kemitraan dengan masyarakat, melakukan
pemecahan masalah, dan perubahan internal polisi yaitu sikap pro aktif polisi
sendiridalammemberikandukunganbagikeberhasilanPolmas. Berdasarkaqn
Skep Kapolri, prinsip-prinsip Polmas adalah, transparansi dan akuntabilitas,
partisipasi dan kesetaraan, personalisasi, penugasan permanent, serta
desentralisasi dan otonomisasi.
Polri yang saat ini sedang melaksanakan proses reformasi untuk menjadi
kepolisian sipil, harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
kehidupan masyarakat dengan cara merubah paradigma dari menitikJurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008

91

beratkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan)
menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik dengan
mengedepankan kemitraan dalam rangka pemecahan masalah-masalah
sosial. (Sutanto, 2006) Polmas merupakan jalan untuk menuju kepolisian
sipil, yaitu cara bertindak polisi yang humanis, mengedepankan hak asasi
manusia, dan selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dalam
rangka implementasi Polmas, salah satu kemampuan yang harus dipunyai
oleh petugas Polmas adalah kemampuan deteksi dini. (Lampiran Skep
Kapolri No. Pol. : SKEP/433/VII/2006). Kemampuan deteksi dini ini dilakukan
dengan mencari dan mengumpulkan bahan keterangan / informasi, agar
bisa dipergunakan oleh pimpinan dalam proses pengambilan keputusan.
Tugas dan kegiatan yang dilakukan oleh petugas Polmas hanyalah merupakan
pelaksanaan fungsi intelijen terbatas, yaitu melakukan deteksi, identiikasi,
dan analisis terhadap gejala awal suatu kegiatan yang belum terjadi seiring
dengan dinamika dan perubahan masyarakat.
Terkait dengan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 perihal calon
independen, maka antisipasi konlik akibat dinamika politik lokal yang tidak
terkendali harus bisa sejak awal“dibaca”oleh Polri selaku penanggung-jawab
keamanan dalam negeri. Implementasi Polmas melalui optimalisasi deteksi
dini oleh petugas polmas dan masyarakat merupakan langkah yang tepat
dalam situasi seperti sekarang ini, karena petugas Polmas akan bisa secara
intensif berfungsi melakukan pengumpulan bahan keterangan terhadap
dinamika dan perubahan masyarakat yang meliputi aspek statis dan dinamis
dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk bisa menemukan
gejala awal yang dapat menimbulkan gangguan keamanan baik dari sumber
terbuka maupun tertutup. Deteksi dini menjadi sangat penting karena
informasi awal akan adanya peluang konlik apabila tidak dihambat bisa
menimbulkan gangguan keamanan.
Dalam rangka melakukan antisipasi untuk mengatasi konlik melalui
deteksi dini, maka yang dilakukan Polri adalah melakukan tindakan proaktif
agar potensi-potensi yang ada dalam setiap komuniti diaktifkan sebagai
mitra polisi dalam menciptakan rasa aman pada setiap warga dan kehidupan
sosial, untuk selanjutnya dapat diacu guna mendorong terciptanya kegiatankegiatan kondusif bagi produktivitas masyarakat. Jika kita melihat proses
ini, maka akan nampak adanya keterkaitan antara implementasi Polmas
92

Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008

dalam upaya mengatasi konlik. Terdapat tiga pilar dalam Polmas yaitu
kesetaraan (partnership), pemecahan masalah (problem solving) dan pro
aktif. Optimalisasi deteksi dini menunjukkan tiga hal tersebut, yaitu melalui
informasi yang diperoleh petugas Polmas akan ditindak lanjuti dengan
sikap pro aktif polisi untuk mengaktifkan potensi pada tingkat lokal. Potensi
tersebut akan menimbulkan partisipasi masyarakat untuk mau menjadi mitra
Polri yang merupakan sendiri kedua yaitu partnership. Tujuannya adalah
untuk memecahkan masalah dalam hal mengatasi konlik, bagian proses ini
merupakan bentuk dari problem solving. Deteksi dini diperlukan agar apabila
ada potensi konlik berupa penolakan atas perbedaan, bisa diantisipasi
sebelumnya. Antisipasi ini akan merupakan kebijakan atau kegiatan oleh Polri
untuk menciptakan situasi kondusif dalam kerangka kamtibmas.
Di sinilah kaitan Polmas dengan dinamika politik lokal. Proses Pilkada
selepas revisi terbatas UU Nomor 32/2004 tentang calon independen
memang akan menimbulkan kerawanan konlik yang akan berujung
pada gangguan kamtibmas. Polisi tidak bisa tinggal diam dalam rangka
menghadapi perubahan baru dalam dinamika politik lokal. Membaca peta
politik lokal dengan segala unsur yang mempengeruhinya harus dilakukan
secara serius, dan Polmas akan menjadi jawaban dalam melakukan tugas ini.
Jika konlik telah berkembang menjadi terbuka, maka polisi akan kerepotan
sendiri, sehingga sejak awal harus sudah dilakukan langkah-langkah dalam
menjaga suasana ini. Dalam pilkada yang melibatkan calon dari partai dan
calon independen, maka basis masa tidak hanya berdasarkan ideologi saja,
tetapi juga bisa karena dorongan material. Kekuatan massa bisa dibentuk
melalui pengaruh ideologi, atau semangat primordial, tetapi juga bisa melalui
kekuatan uang. Dan ini yang harus diantisipasi jauh-jauh hari. (***)
Bahan Bacaan
Andrik Purwasito, Elite Politikdan Demokrasi Waton Sulaya, Jurnal
Politika, Volume 4 No. 1, 2008.
Budi Setiyono, Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi,
Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2004.

Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008

93

Indra J, Pilliang, Catatan Kritis Calon Perseorangan, artikel di Suara
Merdeka, 24 Juli 2007.
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosoi, Sistem
dan Problema Penerapan di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar, 2005.
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Raja Graindo Persada, Jakarta, 2001.
Muhanto AQ, Potensi Konlik Sosial dalam Pelaksanaan Pilkada 2005,
makalah dalam diskusi.
Sutoro Eko, Pilkada Secara Langsung: Konteks, Proses dan Implikasi,
makalah dalam diskusi “Mendorong Partisipasi Publik dalam Proses
Penyempurnaan UU No 22/1999 di DPR RI”, 12 Januari 2004.
Syamsudin Harris, Otda Menuju Resentralisasi, artikel di Media
Indonesia, 22 Desember 2004.
Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah, penerbit
LIPI Press, Jakarta, cetakan ketiga, 2007.
Sutanto, et al (editor), Community Policing, Falsafah Baru Pemolisian,
Lemdiklat Polri dan Pensil-324, 2004.
Swantoro, FS, Kabar Baik bagi Calon Independen, artikel di Suara
Merdeka, 8 Januari 2008.
Wawan E, Koeswandono, Calon Independen dan Institusi Politik Baru,
artikel di Surabaya Post, 30 Juli 2007.

94

Jurnal Studi Kepolisian | Edisi 066 | Mei-Agustus 2008