BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. NYERI 1.1 Definisi Nyeri - Pengalaman Nyeri Kronis pada Pasien Kanker di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. NYERI

  1.1 Definisi Nyeri

  Menurut The Interntional Association for the Study of Pain (1979, dalam Potter Perry, 2005), nyeri didefinisikan sebagai perasaan sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yan menyebabkan kerusakan jaringan.

  Kozier & Erb (1983) mendefinisikan nyeri sebagai sensasi ketidaknyamanann yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman dan fantasi luka. Nyeri diperkenalkan sebagai suatu pengalaman emosional yang penatalaksanaannya tidak hanya pada pengelolaan fisik semata, namun penting juga untuk melakukan manipulasi (tindakan) psikologis untuk mengatasi nyeri (Tamsuri, 2012).

  1.2 Klasifikasi Nyeri

1.2.1 Nyeri Berdasarkan Tempatnya a.

  Peripheral Pain Peripheral pain adalah nyeri yang terasa pada permukaan tubuh.

  Nyeri ini termasuk nyeri pada kulit dan permukaan kulit. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering

  6

  6 dirasakan sebagai menyengat, tajam, meringis, atau seperti terbakar (Price & Wilson, 2002).

  b.

  Deep Pain

  Deep pain adalah yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam

  (nyeri somatik) atau pada organ tubuh visceal (nyeri visceral). Nyeri somatis mengacu pada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas (Price & Wilson, 2002).

  Demikian juga pada nyeri visceral, lokalisasinya tidak dapat ditentukan. Nyeri visceral ini meliputi apendisitis akut, cholecysitis, penyakit kardiovaskuler, dan gagal ginjal (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

  c.

  Reffered Pain

  Reffered pain adalah nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit

  organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan dari daerah asal nyeri. Misalnya, nyeri pada lengan kiri atau rahang berkaitan dengan iskemia jantung atau serangan jantung (Brunner & Suddarth, 2001).

  d.

  Central Pain

  Central pain adalah nyeri yang terjadi karena perangsangan pada

  sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus, dan lain-lain (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

  1.2.2 Nyeri Berdasarkan Sifatnya Nyeri diklasifikasikan berdasarkan sifatnya menurut Asmadi (2009) meliputi: a.

  Incidental Pain

  Incidental pain adalah nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.

  b.

  Steady Pain

  Steady pain adalah nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan

  dalam waktu yang lama. Tingkatan nyeri yang konstan pada obstruksi dan distensi.

  c.

  Paroxymal Pain

  Paroxymal pain adalah nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan

  kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ±10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.

  1.2.3 Nyeri Berdasarkan Awitan Nyeri berdasarkan awitan (waktu serangan) menurut Prasetyo (2010) diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: a.

  Nyeri Akut Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariatif ( ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan), memiliki onset yang tiba-tiba, dan terlokalisir. Nyeri akut biasanya diakibatkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi. Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi sistem saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti: peningkatan tekanan darah, peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan dilatasi pupil. Klien yang mengalami nyeri akut akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai serta akan melaporkan secara verbal adanya ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang dirasakan.

  b.

  Nyeri Kronik Nyeri kronik berlangsung lebih lama daripada nyeri akut, intensitasnya bervariasi (ringan sampai berat) dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri kronis dibagi menjadi dua yaitu nyeri kronik malignan dan nyeri kronik non-malignan. Nyeri kronik malignan dapat dirasakan oleh klien hampir setiap harinya dalam suatu periode yang panjang (beberapa bulan atau bahkan tahun), akan tetapi juga mempunyai probabilitas yang tinggi untuk berakhir. Pada kasus tertentu, nyeri berakhir dengan berakhirnya kehidupan klien seperti pada kasus klien dengan kanker stadium terminal. Nyeri kronik non-malignan adalah nyeri yang dirasakan selama lebih dari 6 bulan dengan intensitas ringan sampai berat. Contoh nyeri kronik non-malignan seperti low back pain, rheumatoid arthritis, ankylosing spondilitis, nyeri phantom dan myofascial pain syndrom. Klien yang mengalami nyeri kronis memperlihatkan keputusasaan, depresi, mudah tersinggung / marah dan menarik diri, kelesuan, kelemahan, keterbatasan gerak, penurunan libido dan melaporkan adanya nyeri ketika dikaji / ditanyakan.

1.2.4 Nyeri Berdasarkan Ringan Beratnya

  Nyeri berdasarkan ringan beratnya menurut Asmadi (2009) diklasifikasikan menjadi 3, antara lain: a.

  Nyeri Ringan Nyeri ringan adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang rendah.

  Pada nyeri ringan biasanya pasien secara obyektif dapat berkomunikasi dengan baik.

  b.

  Nyeri Sedang Nyeri sedang adalah nyeri yang timbul dengan intensitas sedang dan menimbulkan reaksi. Pada nyeri sedang secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri dan dapat mendeskripsikannya serta dapat mengikuti perintah dengan baik.

  c.

  Nyeri Berat Nyeri berat adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang berat.

  Pada nyeri berat secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih berespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi.

1.3 Fisiologi Nyeri

  Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon terhadap nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu: tranduksi/transduction, transmisi/transmission, modulasi/modulation, dan persepsi/perception (McGuire & Sheilder, 1993; Turk & Flor, 1999). Keempat proses tesebut dijelaskan oleh Ardinata (2007) sebagai berikut: a. Transduksi/Transduction

  Transduksi adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang dapat diakses oleh otak (Turk & Flor, 1999). Proses transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan.

  b. Transmisi/Transmission Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen yang berbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar (Davis, 2003). Saraf aferen akan ber-

  axon pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan

  melali sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex cerebral.

  c. Modulasi/Modulation Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur transmisi nociceptor tersebut (Turk & Flor, 1999). Proses modulasi melibatkan system neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari sistem saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor.

  d. Persepsi/Perception Persepsi adalah proses yang subjective (Turk & Flor, 1999). Proses persepsi ini tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja (McGuire & Sheider, 1993), akan tetapi juga meliputi

  

cognition (pengenalan) dan memory (mengingat) (Davis, 2003). Oleh karena

  itu, faktor psikologis, emosional, dan behavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan multidimensional.

1.4 Teori Nyeri

1.4.1 Teori Spesifik (Specivicity Theory)

  Teori spesifik dikemukakan oleh Descrates pada abad 17. Teori ini didasari oleh adanya jalur-jalur tertentu transmisi nyeri. Adanya ujung- ujung saraf bebas pada perifer bertindak sebagai reseptor nyeri, dimana saraf-saraf ini diyakini mampu untuk menerima stimulus nyeri dan menghantarkan impuls nyeri ke susunan saraf pusat. Impuls kemudian ditransmisikan melalui dorsal horn (akar belakang) dan substansia gelatinosa ke thalamus dan terakhir pada area korteks. Nyeri kemudian dapat diinterpretasikan dan muncul respon terhadap nyeri. Teori ini tidak menunjukkan karakteristik multidimensi dari nyeri, teori ini hanya melihat nyeri secara sederhana yaitu melihat nyeri dari paparan biologis saja, tanpa melihat variasi dari efek psikologis individu (Prasetyo, 2010).

  1.4.2 Teori Pola (Pattern Theory) Teori ini diperkenalkan pada tahun 1989 oleh Goldscheider. Teori pola menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang dirangsang oleh pola tertentu. Nyeri merupakan akibat stimulus yang menghasilkan pola tertentu dari impuls saraf. Pada sejumlah kausalgia, nyeri pantom, dan neuralgia, teori pola ini bertujuan bahwa rangsangan yang kuat mengakibatkan berkembangnya gaung terus menerus pada spinal cord sehingga saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif dimana rangsangan dengan intensitas rendah dapat menghasilkan transmisi nyeri (Lewis, 1983).

  1.4.3 Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory) Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Mezack dan Wall pada tahun

  1965. Dijelaskan bahwa sistem saraf pusat adalah suatu filter yang mengintegrasikan berbagai informasi sensoris, dan hanya sebagian kecil dari informasi itu akan mencapai level of consciousness. Sebagian informasi itu dibuang dan sebagian lagi digunakan dalam aktivitas autonomik yang tidak disadari oleh kita. Prosesnya integrasinya dianalogkan dengan sebuah gerbang. Jika gerbangnya terbuka, aktivitas sensoris yang datang akan bisa masuk dan terus ke level berikutnya. Substrat anatomik bagi mekanisme gerbang nyeri ini berada di tanduk dorsal materia alba khorda spinalis dan batang otak. Gerbang berfungsi menghambat atau mendorong aktivitas sel transmisi yang menghantarkan aktivitas lebih jauh sepanjang jalur saraf.

  Satu faktor penting adalah derajat relatif dari aktivitas dalam serabut A-beta yang besar dan serabut C serta A-delta yang kecil. Aktivitas serabut besar cenderung menutup gerbang, sedangkan aktivitas serabut kecil cenderung membuka gerbang. Jika gerbang terbuka dan aktivitas pada serabut aferen yang masuk cukup untuk mengaktifkan sistem transmisi maka selanjutnya akan terjadi pengaktifan, dua jalur utama. Jalur diskriminatif sensoris adalah jalur yang memungkinkan terdeteksinya lokasi nyeri, yang menyambung ke korteks somatosensoris melalui thalamus ventroposterior. Jalur naik kedua adalah jalur yang melibatkan informasi retikulum melalui thalamus medial dan sistem limbus untuk masalah aspek emosi, aversi, dan ketidaknyamanan nyeri. Jalur turun juga bekerjasama dengan dua jalur ini yang salah satu dari jalur turun ini menggunakan peptidlir-opioid yang disekresi secara endogen, misalnya endorfin, untuk menekan atau mengurangi transmisi dalam jalur nyeri (Sumawinata, 1995).

1.5 Pengalaman Nyeri

  McCaffery (1980 dalam Prasetyo, 2010) menyatakan bahwa nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja saat seseorang mengatakan merasakan nyeri. Definisi ini menempatkan seorang pasien sebagai expert (ahli) di bidang nyeri, karena hanya pasienlah yang tahu tentang nyeri yang ia rasakan.

  Mahon (1994) menyatakan ada empat atribut pasti untuk pengalaman nyeri, yaitu: nyeri bersifat individu, tidak menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang mendominasi, dan bersifat tidak berkesudahan. Pengalaman nyeri harus dipahami sebagaimana nyeri itu berlangsung dengan menggunakan cara pandang yang holistik oleh perawat (Prasetyo, 2010).

1.6 Fase Pengalaman Nyeri

  Meinhart dan McCaffery pada tahun 1983 menyatakan bahwa ada tiga fase dalam pengalaman nyeri yaitu, antisipasi, sensasi, dan akibat (aftermath). Penjelasan mengenai fase tersebut dijelaskan dalam Potter dan Perry (2005) sebagai berikut: a.

  Fase Antisipasi (anticipatory phase) Fase antisipasi terjadi sebelum mempersepsikan nyeri. Fase antisipasi mungkin bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase tersebut dapat mempengaruhi dua fase yang lain. Dalam situasi cedera traumatik atau dalam prosedur nyeri yang tidak terlihat, individu tidak akan dapat mengantisipasi nyeri. Antisipasi terhadap nyeri memungkinkan individu untuk belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkannya. Dengan instruksi dan dukungan yang adekuat, klien belajar untuk memahami nyeri dan mengontrol ansietas sebelum nyeri terjadi.

  b.

  Fase Sensasi (sensation phase) Fase sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Individu berekasi terhadap nyeri dengan cara yang berbeda-beda. Toleransi individu terhadap nyeri merupakan titik yaitu terdapat suatu ketidakinginan untuk menerima nyeri dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama. Toleransi bergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini seseorang. Klien yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan. Sebaliknya, klien yang memiliki toleransi nyeri yang rendah dapat mencari upaya untuk menghilangkan nyeri sebelum nyeri terjadi.

  c.

  Fase Akibat (aftermath) Fase akibat (aftermath) nyeri terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti.

  Bahkan walaupun sumber nyeri dikontrol, seorang klien mungkin masih memerlukan perhatian perawat. Nyeri merupakan suatu krisis. Setelah mengalami nyeri, klien mungkin memperlihatkan gejala-gejala fisik, seperti menggigil, mual, muntah, marah, atau depresi. Jika klien mengalami serangkaian episode nyeri yang berulang, maka respons akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.

1.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengalaman Nyeri

  Berbagai faktor dapat mempengaruhi persepsi dan reaksi seseorang terhadap nyeri.

  a.

  Usia Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada individu. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan prosedur pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan dalam mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang tuanya ataupun pada perawat (Prasetyo, 2010).

  Menurut Eberselo dan Hess (1994 dalam Potter dan Perry, 2005) menjelaskan bahwa Pada lansia yang mengalami nyeri, perlu dilakukan pengkajian, diagnosis, dan penatalaksanaan secara agresif. Individu yang berusia lanjut memiliki risiko tinggi mengalami situasi-situasi yang membuat mereka merasakan nyeri. Sekali klien lansia menderita nyeri, maka ia dapat mengalami gangguan status fungsi yang serius. Mobilisasi, aktivitas perawatan-diri, sosialisasi di lingkungan luar rumah, dan toleransi aktivitas dapat mengalami penurunan.

  Menurut Herr dan Mobily (1991 dalam Potter & Perry, 2005) mencatat bahwa klien lansia tidak melaporkan nyeri karena klien lansia yakin bahwa nyeri merupakan sesuatu yang mereka harus terima dan nyeri merupakan akibat alamiah dari proses penuaan, sehingga keluhan seringkali diabaikan.

  Hal ini membuat klien lansia menjadi marah, sehingga mereka tidak melaporkan nyeri yang mereka rasakan. Klien lansia mungkin menyangkal bahwa mereka merasakan nyeri karena takut akan konsekuensi yang tidak diketahui. Mereka sangat takut akan kehilangan kebebasan mereka. Apabila mereka mengakui bahwa mereka merasakan nyeri, maka akan mengarah kepada proses diagnostik yang mahal dan tidak menyenangkan serta tindakan yang terapeutik. Klien lansia memilih untuk tidak mengakui bahwa mereka merasakan nyeri karena ketakutan akan mengalami penyakit berat atau meninggal. Klien lansia menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk mendeskripsikan pengalaman nyeri seperti ketidaknyamanan, sakit, atau disakiti untuk menyangkal bahwa mereka merasakan nyeri. Banyak klien lansia yakin bahwa merupakan hal yang tidak dapat diterima apabila memperlihatkan respon nyeri. Seringkali klien lansia menggunakan berbagai cara untuk mengalihkan perhatian dari nyeri (McCaffery dan Beebe, 1989 dalam Potter & Perry, 2005).

  b.

  Jenis Kelamin Pada umumnya wanita menunjukkan ekspresi emosional yang lebih kuat pada saat mengalami nyeri. Menangis misalnya, adalah hal atau perilaku yang sudah dapat diterima pada wanita sementara pada laki-laki. Hal ini dianggap hal yang memalukan (Lewis, 1983).

  c.

  Budaya Budaya mempunyai pengaruh bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri (Brunner & Suddarth, 2001). Beberapa budaya dapat berbicara mengenai sakit psikik hanya dalam istilah nyeri fisik, sementara yang lain akan memberikan lebih banyak penekanan pada tetap diam atau menahan keinginan untuk menyatakan perasaan psikik ataupun fisik yang tidak enak (Maulany, 1994).

  Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keberagaman suku dan budaya. Setiap suku memiliki cara yang unik dalam persepsi tentang kesehatan dan respon terhadap penyakit. Suku Batak adalah suku yang paling besar di Sumatera Utara; selain Melayu Deli dan Nias. Suku Batak terdiri dari sub suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing (Irmawati, 2007).

  Pengalaman nyeri pada pasien Batak sangat unik. Pasien Batak jauh lebih ekspresif dibanding pasien suku Jawa, meskipun kedua suku tersebut berasal dari Indonesia (Suza, 2007). d.

  Makna Nyeri Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, kehilangan, hukuman, dan tantangan.

  Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri (Priharjo, 1993).

  e.

  Perhatian Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan penurunan respon nyeri (Prasetyo, 2010).

  f.

  Kecemasan dan Stres Kecemasan sering disertai nyeri. Ancaman karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan mengontrol nyeri atau kejadian disekitarnya sering menambah persepsi nyeri. Orang yang sedang mengalami nyeri tetapi percaya bahwa mereka dapat mengontrol nyerinya dapat menurunkan rasa takut dan kecemasannya sehingga menurunkan persepsi nyeri. Persepsi kurangnya kontrol terhadap nyeri atau merasa tidak berdaya cenderung meningkatkan persepsi nyeri (Kozier, 2009).

  g.

  Gaya Koping Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun keseluruhan/total. Klien seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologi nyeri. Penting untuk memahami sumber-sumber koping klien selama ia mengalami nyeri.

  Sumber-sumber seperti berkomunikasi dengan keluarga pendukung, melakukan latihan, atau menyanyi dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalam upaya mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu (Potter & Perry, 2005).

  h.

  Pengalaman Sebelumnya Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama mengalami serangkaian episode nyeri tidak pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka ansietas dan rasa takut dapat muncul (Brunner & Suddarth, 2001). i.

  Lingkungan dan Individu Pendukung Lingkungan yang asing seperti rumah sakit, dengan kebisingan, cahaya, dan aktivitasnya, dapat menambah nyeri. Selain itu, orang yang kesepian yang tidak mempunyai individu pendukung dapat merasakan nyeri hebat, sebaliknya orang yang memiliki individu pendukung disekitarnya merasakan sedikit nyeri. Keluarga yang menjadi pemberi asuhan dan dapat menjadi pendukung yang penting untuk orang yang sedang merasakan nyeri (Kozier, 2009).

  1.8 Komponen Pengalaman Nyeri

  Cohen (2005) menjelaskan bahwa pengalaman nyeri memiliki beberapa komponen antara lain tingkat keparahan (intensitas) nyeri, indeks manajemen nyeri, gangguan nyeri, gejala keparahan, pengetahuan, sikap terhadap nyeri dan kontrol nyeri, sedangkan menurut Baker (2014) komponen pengalaman nyeri antara lain tingkat keparahan (intensitas) nyeri, pengetahuan, pengalaman dengan nyeri kanker, self-efficacy untuk terapi nyeri, kepuasan dengan terapi nyeri, sosial serta kesehatan.

  Komponen pengalaman nyeri yang dikaji pada penelitian ini adalah lokasi nyeri, tingkat keparahan (intensitas) nyeri, gangguan terhadap fungsi (aktivitas) sehari-hari akibat nyeri, pengetahuan penggunaan obat nyeri dan pengalaman dengan nyeri kanker.

  1.9 Pengukuran Pengalaman Nyeri

  Pengalaman nyeri diukur dengan menggunakan BPI (Brief Pain

  

Inventory ) dan PPQ (Patient Pain Questionnaire) yang dimodifikasi. BPI

  mengkaji lokasi nyeri, mengukur tingkat keparahan (intensitas) nyeri berdasarkan nyeri paling buruk, nyeri paling ringan, nyeri sedang (rata-rata) dan nyeri saat ini. BPI juga mengukur sejauh mana nyeri mengganggu fungsi (aktivitas) sehari-hari termasuk hubungan dengan orang lain, menikmati hidup, suasana hati, tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari- hari, dan bekerja. Tingkat keparahan (intensitas) nyeri dan gangguan terhadap fungsi (aktivitas) sehari-hari dinilai dengan menggunakan skala numerik dengan skala 0-10 (Cleeland, 1991).

  PPQ terdiri dari pernyataan untuk mengukur pengetahuan pasien tentang penggunaan obat nyeri dan pengalaman dengan nyeri kanker untuk mengetahui dukungan keluarga, kesanggupan mengontrol nyeri serta harapan terhadap nyeri yang dialami. Pengetahuan dan pengalaman dengan nyeri kanker dinilai dengan mengunakan skala numerik dengan skala 0-10 (Ferrel, 1994).

2. KANKER

2.1 Definisi Kanker

  Kanker adalah pertumbuhan maligna disertai dengan pembelahan sel abnormal, invasi jaringan sekitar, dan metastasis ke sisi yang jauh (Tambayong, 1999). Kanker dapat timbul akibat kondisi fisik yang tidak normal, pola hidup yang tidak sehat dan genetik. Penyakit kanker dapat menyerang semua lapisan masyarakat tanpa mengenal status sosial, umur dan jenis kelamin (Mardiana, 2007).

  Menurut Porth (1994 dalam Brunner & Suddarth, 2001) karakteristik neoplasma malignan, yaitu: (1) sel-sel biasanya mempunyai sedikit kemiripan dengan sel-sel jaringan normal darimana jaringan tersebut berasal, (2) tumbuh pada perifer dan menyebarkan proses yang menginfiltrasi dan merusak jaringan sekitar, (3) laju pertumbuhan beragam dan bergantung pada tingkat diferensiasi; makin bersifat anaplastik tumor tersebut makin cepat pertumbuhannya, (4) memperoleh akses ke saluran darah dan limfe dan bermetastasis ke area tubuh lainnya, (5) sering menyebabkan efek yang sama seperti anemia, kelemahan dan penurunan berat badan, (6) sering menyebabkan kerusakan jaringan yang luas saat pertumbuhan tumor melebihi pasokan darah atau memotong aliran darah ke area tertentu; juga dapat menghasilkan substansi yang menyebabkan kerusakan sel, (7) biasanya akan menyebabkan kematian kecuali pertumbuhannya dapat dikendalikan.

2.2 Penyebab Kanker

  Menurut Lubis dan Hasnida (2009), ada empat faktor utama penyebab kanker seperti lingkungan, makanan, biologis dan psikologis. Berikut ini adalah penjelasan mengenai keempat faktor penyebab kanker tersebut, yaitu:

2.2.1 Lingkungan a.

  Bahan Kimia Family’s doctor (2006) menjelaskan bahwa zat yang terdapat pada asap rokok yang dapat menyebabkan kanker paru pada perokok aktif dan perokok pasif (orang yang bukan perokok atau tidak sengaja menghirup asap rokok orang lain) dalam jangka waktu yang lama. Bahan kimia untuk industri serta asap yang mengandung senyawa karbon dapat meningkatkan kemungkinan seorang pekerja industri menderita kanker.

  b.

  Penyinaran yang Berlebihan Family’s doctor (2006) menjelaskan bahwa sinar ultra violet yang berasal dari matahari dapat menimbulkan kanker kulit. Sinar radio aktif sinar X yang berlebihan atau radiasi dapat menimbulkan kanker kulit dan leukimia. c.

  Merokok Merokok meningkatkan risiko terkena penyakit jantung dan pembuluh darah serta berbagai kanker. Pada saat merokok, terbentuk tar-yang sebagian terdiri atas produk ampas dari daun tembakau dan sebagian lagi ampas dari saos yang digunakan pada saat pembuatan rokok. Bahaya utamanya terletak pada tar-produk tembakau yang langsung berkontak dengan selaput lendir mulut, hidung, tenggorokan, jakun dan jalan pernapasan hingga ke semua percabangan paru. Bahaya kedua terletak pada nikotin beracun yang diserap oleh darah. Tar di dalam asap rokok, mengandung puluhan komponen agresif yang masing-masing bersifat merusak. Komponen ini akan diserap ke dalam darah dan menyebabkan meningkatnya risiko kanker pada organ- organ tertentu (pankreas, piala ginjal, dan kandung kemih) (Jong, 2004).

  d.

  Polusi Udara Menurut Chen Zichou mengatakan penyebab utama meningkatnya jumlah kanker di China disebabkan polusi udara, lingkungan, kondisi air yang kian hari kian memburuk. Banyak perusahaan kimia industri yang membuang limbahnya ke sungai dengan mudah. Hal ini menyebabkan air yang ada di sungai terkontaminasi oleh limbah yang berasal dari perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar sungai. Akibatnya air yang terkontaminasi tersebut secara langsung berakibat terhadap tumbuh- tumbuhan dan makanan.

  2.2.2 Makanan Para ilmuwan mendapatkan bahwa makanan-makanan tertentu adalah sumber kanker. Makanan-makanan tersebut menjadi sumber kanker oleh sebab adanya zat-zat kimia tertentu. Makanan yang dapat menyebabkan kanker adalah: a.

  Daging yang mengandung hormon sex buatan (DES or Diethylstilbestrol).

  b.

  Bahan pemanis buatan seperti biang gula dan saccharin.

  c.

  Nitrosamines pada bahan-bahan pengawet buatan, dan pewarna buatan, yang umumnya dipakai dalam produk makanan kaleng.

  d.

  Zat pewarna yang ada dalam makanan, minuman, kosmetik, maupun obat obatan.

  e.

  Zat radioaktif yang sekarang ini terdapat hampir di seluruh bulatan bumi sebagai akibat dari percobaan bom atom serta peledakan bom, yang masuk dalam tubuh manusia melalui makanan, khususnya susu.

  f.

  Kebanyakan makan garam.

  g.

  Makanan yang sudah menjadi tengik.

  2.2.3 Biologi

  a. Virus Beberapa virus tertentu, seperti virus papiloma, yakni virus penyebab kutil / tumor di jaringan epitel (sel pembentuk lapisan penutup permukaan yang terbuka, contohnya epitel lendir saluran pencernaan) (Mangan, 2003). b.

  Hormon Family’s doctor (2006) menjelaskan bahwa hormon adalah zat yang dihasilkan kelenjar tubuh dan selaput tertentu. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa pemberian hormon tertentu secara berlebihan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan beberapa jenis kanker seperti kanker payudara, rahim, indung telur dan prostat (kelenjar kelamin pria).

  c.

  Keturunan Faktor genetik menyebabkan beberapa keluarga memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita kanker tertentu bila dibandingkan dengan keluarga lainnya. Jenis kanker yang cenderung diturunkan dalam keluarga adalah kanker payudara, kanker indung telur, kanker kulit dan kanker usus besar.

  Sebagai contoh, resiko wanita untuk menderita kanker meningkat 1,5 sampai dengan 3 kali ibunya atau saudara perempuannya menderita kanker payudara (Junaidi, 2007).

  2.2.4 Psikologis

  a. Kepribadian Orang dengan tipe kepribadian tertutup termasuk tipe yang mudah terkena stres. Umumnya orang dengan tipe kepribadian ini akan mudah menderita gangguan emosi dan secara sadar berusaha menekan perasaan tersebut. Akibatnya mereka akan memiliki resiko tinggi untuk terkena penyakit kanker dan jantung. b.

  Stres Salah satu sebab menurunya kekebalan tubuh (immunitas) adalah adanya stres dan kondisi stres ini akan melemahkan respon imunitas. Dalam keadaan stres atau emosi seperti marah dan sedih, hypothalamus yang merupakan pusat emosi akan terangsang dan kemudian akan merangsang kelenjar pituitari yang selanjutnya akan merangsang kelenjar adrenal, sehingga keluarlah hormon glukokortikoid. Jika hormon tersebut keluar secara berlebihan akan terjadi kerusakan pada tubuh yang mengakibatkan antibodi dan respon pandangan menurun. Menurunnya sistem imunitas mempermudah masuknya sel-sel kanker menyerang tubuh, karena kemampuan sel tersebut untuk mengenal dan melawan musuh tidak dapat berfungsi secara baik. Stres psikologis berpengaruh terhadap rusaknya kemampuan pembunuhan sel secara alami untuk penghancuran sel tumor atau sel kanker.

2.3 Patofisiologi Kanker a.

  Fase 1 (Persiapan) Beberapa faktor penyebab kanker yaitu genetik (herediter), infeksi, radikal bebas, perilaku, faktor lingkungan, gaya hidup dan virus akan memicu terjadinya mutasi gen (Dalimartha, 2004). Mutasi gen ini bukan hanya disebabkan oleh suatu agensia karsinogen tetapi beberapa agensia karsinogen sekaligus sehingga pengaruh-pengaruh yang berbeda ini akan saling menambah atau saling memperkuat jadi mutasi gen pada kanker merupakan multikausal (Jong, 2004). Proses mutasi gen terjadi dalam beberapa stadium yaitu, inisiasi (induksi) dan promosi. Selama induksi sel pembawa mutasi menjadi matang atau lebih peka terhadap perubahan lebih lanjut. Pada fase promosi, terjadi mutasi baru. Perubahan ini merupakan dasar langsung untuk penyimpangan ganas. Pada fase ini perubahan- perubahan yang terjadi masih bersifat reversibel (Dalimartha, 2004).

  b.

  Fase 2 (Stadium Pendahuluan Menjelang Kanker) Pada kanker tertentu, terkadang ada semacam stadium pendahuluan menjelang kanker. Keadaaan “pra-ganas” semacam ini terdiri atas sel-sel yang berubah, jelas ataupun tidak jelas dapat dilihat di bawah mikroskop. Sel ini bukan sel kanker, karena tidak ada tanda-tanda pertumbuhan infiltratif. Sesudah periode tertentu, terkadang selama bertahun-tahun, gambarannya dapat berubah dan kelainannya dapat berubah menjadi ganas; terjadi pertumbuhan infiltratif, diikuti ataupun tidak oleh penyebaran.

  Penanganan yang memadai dimungkinkan sebelum timbul kanker (Jong, 2004).

  c.

  Fase 3 (Praklinis) Fase ini disebut juga fase lokal (in situ). Membutuhkan waktu yang cukup lama sebelum mengadakan invasi keluar organ (metastasis)

  (Dalimartha, 2004). Apabila sudah ada keluhan atau gejala penyakit, hal ini biasanya merupakan alasan memeriksakan diri guna memastikan penyebab keluhan atau simtom tersebut (Jong, 2004). d.

  Fase 4 (Klinis) Fase ini merupakan fase terakhir dari proses kanker. Fase klinis dimulai ketika pasien mulai merasakan tanda, gejala atau keluhan. Pada fase ini kanker sering dijumpai telah mengalami metastasis. Pembentukan metastasis dapat terjadi pada stadium dini pertumbuhan kanker (Jong, 2004). Metastasis terdiri atas sel-sel kanker yang lepas atau gumpalan sel- sel ganas yang berasal dari tumor induk (Brunner & Suddarth, 2001).

2.4 Manifestasi Klinis

  Secara umum pada stadium dini, kanker biasanya belum menimbulkan keluhan atau rasa sakit. Biasanya penderita menyadari bahwa tubuhnya telah terserang kanker ketika sudah timbul rasa sakit, padahal saat ada keluhan tersebut kanker sudah memasuki stadium lebih lanjut.

  Pengenalan gejala kanker dilakukan sedini mungkin, meskipun tidak ada rasa gangguan atau rasa sakit. Pengenalan gejala kanker dapat dilakukan sendiri dengan cara WASPADA yaitu waktu buang air besar atau kecil ada perubahan kebiasaan atau gangguan, alat pencernaan terganggu dan susah menelan, suara serak dan batuk yang tidak kunjung sembuh, payudara atau di tempat lain ada benjolan, andeng-andeng atau tahi lalat berubah sifat, menjadi semakin besar dan gatal, darah atau lendir yang tidak normal keluar dari lubang-lubang tubuh, ada koreng atau borok yang tidak bisa sembuh (Mangan, 2003).

2.5 Klasifikasi Kanker

  Stadium tumor suatu parameter histologi. Tumor sering ditentukan stadiumnya sebagai stadium I, II, III atau IV, dengan stadium I yang berdiferensiasi paling tinggi dan stadium IV yang berdiferensiasi paling buruk.

  Komite Gabungan Amerika bagi Penentuan Stadium Kanker dan Pelaporan Hasil Akhir telah mengembangkan sistem penentuan stadium yang dinamai Sistem TNM, yang menandai luas anatomi keganasan pada waktu diagnosis (Sabiston, 1991).

  a.

  T (Tumor Primer) TX: tumor tak dapat dinilai TO: tanpa bukti tumor primer TIS: karsinoma in situ T1, T2, T3, T4: peningkatan progresif ukuran tumor dan keterlibatan regional b.

  N (Nodi Lymphatici Regional) NX: nodi lymphatici regional tak dapat dinilai secara klinik NO: nodi lymphatici regional tidak tampak abnormal NI, N2, N3, N4: peningkatan derajat keterlibatan nodi lymphatici regional c.

  M (Metastasis Jauh) MX: tidak dinilai MO: tidak diketahui

  MX: ada metastasis jauh

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

2.6.1 Pemeriksaan Fisik

  Pemeriksaan fisik meliputi ada tidaknya petekie, memar atau ekimosis yang tidak diketahui penyebabnya, hematoma, perdarahan dari berbagai muara tubuh, rembesan darah jangka panjang dari sisi pungsi IM atau IV, perubahan tanda vital, perubahan status neurologis (sakit kepala, disorientasi), anemia, nyeri dada pada aktivitas, dispnea, pusing, kelelahan, kelemahan, glositis, anoreksia, sulit mencerna, insomnia, infeksi, suhu, integritas kulit dan membran mukosa, lipatan kulit (aksila, bokong, perineum), rongga tubuh (mulut, vagina, rektum), sisi akses vena, luka pembedahan, saluran pernapasan, sistem genitourinarius, mata, konjungtivitis, dan iritis (Tucker, 1998).

  2.6.2 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, thorax,

  USG, MRI, CT-Scan, mamografi, endoskopi, laparoskopi, tumor maker, histopatologi (Azamris, 2010).

  2.6.3 Pemeriksaan Patologi Pemeriksaan patologi meliputi pemeriksaan makroskopi dan mikroskopi yang maliputi bahan dari biopsi insisi, biopsi eksisi, biopsi cakot, biopsi truncut, biopsi kerokan, biopsi jarum, biopsi endoskopi, biopsi laparoskopi (Azamris, 2010).

2.7 Penanganan Kanker

2.7.1 Pembedahan

  Pembedahan kanker dapat dilakukan sebagai pengobatan primer, terapi adjuvan, terapi penyelamatan, terapi paliatif dan terapi kombinasi (Otto, 2003).

  Pengangkatan kanker secara menyeluruh melalui tindakan pembedahan masih merupakan modalitas pengobatan yang terbaik dan yang paling sering digunakan (Potter & Perry, 2005). Kemajuan dalam teknik pembedahan, pengertian yang lebih baik akan pola metastasis dari tumor dan dari perawatan pasca bedah yang intensif kini membuat suatu tumor dapat diangkat dari hampir seluruh bagian tubuh (Otto, 2003).

2.7.2 Terapi Radiasi

  Terapi radiasi (radioterapi) adalah pengobatan yang terutama ditujukan untuk keganasan dengan menggunakan sinar pengion.

  Tujuan terapi radiasi secara umum terbagi menjadi dua, yaitu radioterapi definitif adalah bentuk pengobatan yang ditujukan untuk kemungkinan survive setelah pengobatan yang adekuat dan radioterapi paliatif yang merupakan bentuk pengobatan pada pasien yang tidak ada lagi harapan hidup untuk jangka panjang sehingga kualitas hidup pasien tetap terjaga di sisa hidupnya dengan menghilangkan keluhan dan gejala agar pasien hidup dengan lebih nyaman (Saleh, 2006).

2.7.3 Kemoterapi

  Kemoterapi merupakan penggunaan preparat antineoplastik sebagai upaya untuk membunuh sel-sel tumor dengan mengganggu fungsi dan reproduksi selular (Potter & Perry, 2005).

  Kemoterapi yang ideal harus mempunyai efek menghambat yang maksimal terhadap pertumbuhan sel kanker, tetapi mempunyai efek yang minimal terhadap sel-sel jaringan tubuh yang normal. Tujuan penggunaan obat kemoterapi terhadap kanker adalah mencegah/menghambat multiplikasi sel kanker, menghambat invasi dan metastase (Saleh, 2006).

3. NYERI KANKER

  3.1 Definisi Nyeri Kanker

  Nyeri kanker merupakan nyeri yang dirasakan oleh penderita kanker karena keluhan subjektif, pertumbuhan kanker yang progresif, kanker yang kronis, dan penyebab multifaktorial (Rasjidi, 2008). Penyebab, jenis, sifat, dan derajat nyeri pada seorang penderita dapat berubah. Nyeri kanker harus dikelola dengan benar hingga dapat dicapai keadaan bebas nyeri (Saleh, 2006).

  3.2 Penyebab Nyeri Kanker

  Penyebab nyeri kanker disebabkan oleh beberapa faktor. Saleh (2006) menjelaskan faktor-faktor penyebab nyeri kanker sebagai berikut.

  3.2.1 Faktor Jasmani a.

  Akibat Tumor Nyeri akibat tumor terjadi pada 70% penderita kanker yang disertai rasa nyeri dan keadaan ini dapat diterangkan melalui berbagai mekanisme keadaan seperti infiltrasi atau penekanan tumor ke tulang dan jaringan syaraf, pengaruh langsung terhadap organ dan jaringan lunak yang terkena, ulserasi jaringan, dan peningkatan tekanan intrakranial.

  b.

  Berhubungan dengan Tumor Nyeri yang terjadi pada penderita kanker dan berhubungan dengan tumor dapat diterangkan melalui mekanisme keadaan seperti kejang otot, dekubitus, infeksi dengan jamur Kandida, trombosis vena dalam, sembelit, sembab akibat sumbatan pebuluh limfe, neuralgia pascainfeksi Herpes Zoster, dan emboli paru.

  c.

  Akibat Pengobatan Tumor Nyeri akibat pengobatan tumor terjadi pada 20% penderita kanker dan keadaan ini dapat diterangkan melalui mekanisme keadaan seperti akibat pembedahan, kemoterapi, radiasi, dan nyeri tidak langsung akibat tumor ataupun pengobatan nyeri yang tidak langsung.

  3.2.2 Faktor Kejiwaan a.

  Marah Nyeri yang terjadi akibat rasa marah dapat diterangkan melalui keadaan seperti marah pada sistem birokrasi yang lambat, pada teman yang tidak mau menjenguk, pada prosedur diagnostik yang lama, dokter tidak ada di tempat, atau pengobatan yang dirasakan gagal.

  b.

  Cemas Nyeri yang terjadi akibat rasa cemas dapat diterangkan melalui keadaan-keadaan seperti takut pada rumah sakit, dokter dan perawat, khawatir nasib keluarga, takut sakit dan mati, khawatir masalah finansial, takut kehilangan masa depan dan sebagainya.

  c.

  Depresi Nyeri yang terjadi akibat depresi dapat diterangkan melalui keadaan- keadaan seperti kehilangan kedudukan sosial, peran dalam keluarga, pekerjaan, penghasilan dan harga diri, lelah yang berkepanjangan dan insomnia, tidak punya harapan, dan bentuk badan abnormal.

3.3 Jenis Nyeri Kanker

  Jenis nyeri kanker menurut Saleh (2006) ada 3. Jenis nyeri kanker tersebut sebagai berikut.

  a.

  Nyeri Nosiseptif Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul akibat rangsangan pada aferen serta saraf perifer. Nyeri ini terjadi akibat pengaruh Prostaglandin E2 sehingga nosiseptor serat saraf perifer menjadi lebih peka terhadap bahan mediator penyebab nyeri.

  b.

  Nyeri Neurogenik Nyeri neurogenik adalah nyeri yang terjadi akibat kerusakan saraf perifer. Kerusakan ini bisa terjadi karena terpotongnya serat saraf misalnya saraf interkostal akibat mastektomi atau torakotomi dan tekanan kronis pada saraf-saraf perifer misalnya invasi tumor yang menekan pleksus brakhialis atau lumbosakralis.

  c.

  Nyeri Psikogenik Nyeri psikogenik terjadi akibat faktor nonfisik atau lazim disebut faktor kejiwaan. Faktor kejiwaan dapat mempengaruhi hebatnya nyeri, terutama pada kanker yang lanjut. Nyeri psikogenik dapat timbul akibat marah (anger), cemas (anxiety), dan depresi.

3.4 Penanganan Nyeri Kanker

3.4.1 Farmakologis

  World Health Organization (WHO) merekomendasikan petunjuk

  untuk pengobatan nyeri kanker yang dikembangkan dalam bentuk tangga analgesik. Pedoman yang dibuat WHO mengkombinasikan penggunaan obat-obatan analgesik dan obat-obatan adjuvan yang efektif untuk mengontrol nyeri klien (Prasetyo, 2010).

  Analgesic Ladder yang direkomendasikan oleh WHO ditentukan oleh

  tingkat keparahan dari nyeri yang dirasakan. Untuk nyeri ringan (skala nyeri 1-3 pada skala 0-10) direkomendasikan penggunaan pada tangga pertama yaitu non-opiat yang disertai atau tanpa obat-obatan adjuvan. Apabila nyeri yang dirasakan klien menetap atau skala nyeri meningkat (nyeri sedang; skala 4-6 pada skala 0-10) direkomendasikan penggunaan opiat lemah, disertai atau tanpa nonopiat, dan disertai atau tanpa obat-obatan adjuvan. Apabila dengan pemberian obat pada tangga ketiga nyeri masih menetap atau bahkan meningkat (nyeri berat; skala nyeri 7-10 pada skala 0-10) opiat kuat dapat digunakan, nonopiat sebaiknya diteruskan dan obat-obatan adjuvan juga harus dipertimbangkan penggunaannya pula (AHCPR, 1994).

3.4.2 Nonfarmakologis a.

  Rehabilitasi Medik Rehabilitasi medik dapat mencegah nyeri kanker atau pengobatan analgesik pada nyeri kanker. Dapat digunakan dalam kombinasi dengan obat analgesik. Keterlibatan rehabilitasi medik seringkali dimulai dini dalam perjalanan penyakit kanker. Macam terapi rehabilitasi medik yang sering digunakan adalah modalitas (TENS, panas, dingin, hidoterapi), fisioterapi, terapi okupasional, ortesis, protesis, alat bantu jalan, biofeedback (Rasjidi, 2008).

  b.

  Hipnosis-Diri Edelman dan Mandel pada tahun 1994 menyatakan bahwa hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.

  Suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis-diri menggunaan sugesti-diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang menghasilkan respons tertentu bagi mereka.

  Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stres karena individu berkonsentrasi hanya pada satu pikiran (Potter & Perry, 2005). c.

  Distraksi Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal lain di luar nyeri, yang diharapkan dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Namun penggunaan teknik ini lebih efektif digunakan untuk mengatasi nyeri sebentar saja seperti saat onset dari pemberian atau saat menyiapkan obat analgesik. Distraksi yang dapat dilakukan antara lain menonton TV, melihat pemandangan, mendengarkan suara/musik yang disukai (Prasetyo, 2010).

  d.

Dokumen yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 - Implementasi Algoritma Learning Vector Quantization dan Weighted Product Dalam Memilih Perusahaan Tempat Berinvestasi

0 1 18

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Algoritma Learning Vector Quantization dan Weighted Product Dalam Memilih Perusahaan Tempat Berinvestasi

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Pemberian Imunisasi Hepatitis B (Uniject) pada Bayi Usia 0-7 Hari di Desa Pangirkiran Kecamatan Halongonan kabupaten Padanga Lawas Utara Tahun 2015

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Pemberian Imunisasi Hepatitis B (Uniject) pada Bayi Usia 0-7 Hari di Desa Pangirkiran Kecamatan Halongonan kabupaten Padanga Lawas Utara Tahun 2015

0 0 10

II. Daftar pertanyaan - Analisis Rujukan Puskesmas Botombawo Kabupaten Nias Dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2015

0 0 24

BAB II - Analisis Rujukan Puskesmas Botombawo Kabupaten Nias Dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2015

1 1 25

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Rujukan Puskesmas Botombawo Kabupaten Nias Dalam Era Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2015

0 0 8

I. KARAKTERISTIK RESPONDEN - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Desa Pangirkiran Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2015

0 0 45

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Susu Ibu (ASI) 2.1.1 Pengertian ASI - Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Desa Pangirkiran Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2015

0 0 15

Pengalaman Nyeri Kronis pada Pasien Kanker di RSUP H. Adam Malik Medan

1 3 34