FAKTOR RISIKO ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIBELA SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Fitrian Sufianasari G.0009087

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam penulis berikan kepada :

1. Prof.Dr.Zainal Arifin Adnan,dr.,Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ismiranti Andarini, dr., Sp.A, M.Kes selaku Pembimbing Utama yang telah

menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.

3. Drs. Widardo, M. Sc selaku Pembimbing Pendamping yang telah

menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.

4. Sri Lilijanti Widjaya, dr., Sp.A(K) selaku Penguji Utama yang telah

memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dr. Senyum Indrakila, dr., Sp.M selaku Penguji Pendamping yang telah

memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu tercinta serta kakak-kakak dan adik-adik tersayang yang senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan dukungan dalam segala hal sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat terdekat, Wisma Musica Sari, Setuju, Orange House, Tikara

atas semangat yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia.

8. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan.

Surakarta, Juli 2012 Fitrian Sufianasari

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menjadi penyebab penyakit akut dan merupakan penyebab kematian Balita tertinggi di dunia. Setiap tahunnya, ISPA mengakibatkan dua juta kematian Balita di dunia dan menduduki peringkat pertama penyakit yang dapat mengurangi angka harapan hidup di negara-negara berkembang. Populasi dengan risiko ISPA tertinggi adalah Balita. Kejadian ISPA pada Balita di negara berkembang mencapai 151 juta tiap tahunnya. Kasus dengan kejadian ISPA tertinggi yaitu India (43 juta), Cina (21 juta), Pakistan (10 juta), Banglades, Indonesia, dan Nigeria (masing-masing 56

juta) (WHO, 2009). Berdasarkan data di atas, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kejadian ISPA tertinggi di dunia. Berdasarkan data WHO (2004), ISPA merupakan salah satu penyakit yang menjadi sepuluh besar penyebab kematian dan kecacatan di Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke-6 di dunia untuk kasus pneumonia pada Balita. Pada tahun 2006 tercatat penderita pneumonia mencapai enam juta jiwa. Laporan Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen P2M-PLP) Depkes RI Tahun 2007 menyebutkan dari 31 provinsi ditemukan 477.429 Balita dengan pneumonia atau 21,52% dari jumlah seluruh Balita di Indonesia. Proporsinya juta) (WHO, 2009). Berdasarkan data di atas, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kejadian ISPA tertinggi di dunia. Berdasarkan data WHO (2004), ISPA merupakan salah satu penyakit yang menjadi sepuluh besar penyebab kematian dan kecacatan di Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke-6 di dunia untuk kasus pneumonia pada Balita. Pada tahun 2006 tercatat penderita pneumonia mencapai enam juta jiwa. Laporan Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen P2M-PLP) Depkes RI Tahun 2007 menyebutkan dari 31 provinsi ditemukan 477.429 Balita dengan pneumonia atau 21,52% dari jumlah seluruh Balita di Indonesia. Proporsinya

Faktor risiko yang meningkatkan kejadian ISPA terbagi menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari usia, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI yang adekuat, imunisasi tidak lengkap, dan defisiensi vitamin A. Faktor ekstrinsik terdiri dari polusi udara, kepadatan tempat tinggal, anggota keluarga yang merokok, anggota keluarga yang menderita ISPA dan tingkat sosial ekonomi (Dinkes Jateng, 2001; Depkes, 2001; Yuwono, 2008; WHO, 2011).

Perkotaan mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Tahun 2010, Kota Surakarta mempunyai kepadatan penduduk paling tinggi di Jawa Tengah. Dengan luas wilayah yang hanya sebesar 44,03 kilometer persegi, tingkat kepadatannya mencapai 11.340 jiwa per kilometer persegi (BPS, 2011). Kepadatan penduduk akan mempengaruhi kepadatan hunian rumah. Kepadatan hunian yang tinggi akan meningkatkan kecepatan transmisi mikroorganisme, sehingga apabila terdapat anggota keluarga yang menderita ISPA akan sangat mudah menularkan ke anggota keluarga yang lain.

spesifik dan spesifik, sehingga akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, terutama ISPA (Almatsier, 2009; Shankar dan Prasad, 1998). Data Depkes tahun 2001 menyebutkan kematian akibat ISPA pada anak dapat dicegah dengan imunisasi campak sekitar 11% sedangkan dengan imunisasi DPT sebesar 6%. Oleh karena itu, untuk mengurangi kejadian dan mortalitas ISPA dapat diupayakan dengan imunisasi lengkap (Depkes, 2001).

Anggota keluarga yang merokok akan berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada Balita (Naria et al., 2008; Winarni et al., 2010). Asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok (sidestream smoke) mengandung lebih banyak hasil pembakaran tembakau yang akan mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasan dan bahkan paru-paru. Bila iritasi tersebut diikuti oleh bakteri, atau kuman pathogen maka akan menimbulkan infeksi. Sehingga Balita yang menjadi perokok pasif lebih mudah terserang ISPA (Winarni et al., 2010).

Berdasarkan laporan tahunan terakhir mengenai dua puluh besar penyakit di Puskesmas Sibela tahun 2010, salah satu jenis penyakit ISPA yaitu common cold atau rinitis, menduduki peringkat pertama penyakit yang paling banyak dialami pasien rawat jalan Puskesmas Sibela dengan jumlah total 6.086 (13,82 %). Sedangkan kunjungan total Balita yang terkena ISPA secara keseluruhan mencapai 9.739 Balita (19,12 %) (Puskesmas Sibela, 2012).

tentang faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela Surakarta.

B. Perumusan Masalah

Apa faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber tertulis untuk memberi informasi tentang faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela Surakarta dan sebagai dasar penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis Sebagai upaya untuk pencegahan dan penurunan angka kejadian ISPA.

DASAR TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. ISPA

a. Definisi

ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, pleura dan parenkim paru (Depkes, 2006; Wantania et al., 2008).

Istilah ISPA diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI). ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut. Batas waktu 14 hari diambil untuk menunjukkan berlangsungnya proses akut, meskipun beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes, 2006).

Definisi ISPA menurut Lopez-Alarcon et al. (1997) yaitu suatu penyakit yang ditandai dengan batuk, pilek paling sedikit dua hari berturut-turut diikuti satu atau lebih gejala-gejala seperti erythematous mucosa, tangisan atau suara parau, kesulitan bernafas, dengan atau tanpa Definisi ISPA menurut Lopez-Alarcon et al. (1997) yaitu suatu penyakit yang ditandai dengan batuk, pilek paling sedikit dua hari berturut-turut diikuti satu atau lebih gejala-gejala seperti erythematous mucosa, tangisan atau suara parau, kesulitan bernafas, dengan atau tanpa

b. Klasifikasi ISPA

tergantung dari

peninjauannya yaitu:

1) Berdasarkan lokasi anatomik (WHO, 2002):

1) Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Atas (ISPaA) yaitu infeksi yang menyerang hidung sampai epiglotis. Penyakit yang termasuk ISPaA adalah (WHO, 2010; Hueston, 2003; Wantania et al., 2008):

(1) nasofaringitis akut (common cold) (2) rhinitis akut (3) sinusitus akut (4) rhinosinusitis akut (5) faringitis akut (6) tonsillitis akut (7) otitis media akut

2) Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Bawah (ISPbA) yaitu infeksi yang menyerang organ saluran pernafasan mulai dari bagian bawah epiglotis sampai alveoli paru. Penyakit yang

al., 2008): (1) laringofaringitis akut (2) epiglotitis akut (3) laringitis akut (4) trakhetis akut (5) CROUP (Laringotrakheobronkitis Akut) (6) bronkhitis akut (7) bronkiolitis akut (8) pneumonia

2) Berdasarkan ICD (International Classification Disease) (WHO,

1) Acute upper respiratory infections (1) Acute nasopharyngitis [common cold] (2) Acute sinusitis (3) Acute pharyngitis (4) Acute tonsillitis (5) Acute laryngitis and tracheitis (6) Acute obstructive laryngitis [croup] and epiglottitis (7) Acute upper respiratory infections of multiple and unspecified

sites

2) Influenza and pneumonia:

(2) Influenza due to other identified influenza virus (3) Influenza, virus not identified (4) Viral pneumonia, not elsewhere classified (5) Pneumonia due to Streptococcus pneumoniae (6) Pneumonia due to Haemophilus influenzae (7) Bacterial pneumonia, not elsewhere classified

(8) Pneumonia due to other infectious organisms, not elsewhere

classified (9) Pneumonia in diseases classified elsewhere (10) Pneumonia, organism unspecified

3) Acute lower respiratory infections: (1) Acute bronchitis (2) Acute bronchiolitis (3) Unspecified acute lower respiratory infection

3) Berdasarkan derajat keparahan penyakit (WHO, 2002; Hadi, 2003):

a) ISPA ringan ISPA ringan ditandai dengan gejala batuk dan pilek dengan atau

tanpa demam

b) ISPA berat ISPA berat ditandai dengan gejala seperti ISPA ringan dan b) ISPA berat ISPA berat ditandai dengan gejala seperti ISPA ringan dan

(2) 50 kali per menit atau lebih pada usia 2 bulan sampai kurang

dari 1 tahun. (3) 40 kali per menit atau lebih pada usia 1 sampai 5 tahun.

c) ISPA sangat berat ISPA berat ditandai dengan gejala seperti pada ISPA sedang dan disertai gejala penarikan dinding dada, kesadaran menurun, tidak dapat makan dan minum, bibir/kulit pucat kebiruan, stridor yaitu suara napas seperti mengorok, dan kejang.

c. Faktor risiko

Departeman Kesehatan (2002) menyebutkan bahwa faktor yang meningkatkan angka kematian akibat pneumonia pada Balita adalah usia kurang dari dua bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, kurang gizi, BBLR, tingkat pendidikan ibu yang rendah, jangkauan pelayanan kesehatan rendah, kepadatan tempat tinggal, immunisasi tidak lengkap, menderita penyakit kronis, aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah.

Faktor risiko yang meningkatkan kejadian ISPA dibagi menjadi faktor intriksi dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari usia, gizi Faktor risiko yang meningkatkan kejadian ISPA dibagi menjadi faktor intriksi dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari usia, gizi

1) Pencemaran udara

Pencemaran udara atau polusi udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat menganggu kehidupan manusia (Wardhana, 2004).

Polusi udara dapat dibedakan menjadi dua yaitu polusi udara di dalam ruangan (indoor air pollution) dan polusi udara luar ruang (outdoor air pollution). Timbulnya polusi udara dalam ruangan umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kurangnya ventilasi udara (52%) adanya sumber kontaminasi di dalam ruangan (16%) kontaminasi dari luar ruangan (10%), mikroba (5%), bahan material bangunan (4%) , lain-lain (13%) (Depkes, 2011).

Sebagian besar polutan luar ruang merupakan hasil pembakaran bahan bakar fosil yang bersumber dari kendaraan bermotor. Zat-zat Sebagian besar polutan luar ruang merupakan hasil pembakaran bahan bakar fosil yang bersumber dari kendaraan bermotor. Zat-zat

(O 3 ), nitrogen dioksida (NO 2 ), sulfur dioksida (SO 2 ), karbon monoksida (CO) dapat mengiritasi mukosa saluran pernapasan sehingga mempermudah infeksi dari mikroorganisme (Kumar et al., 2007a).

Hasil monitoring tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia menunjukkan pencemaran udara sudah melampaui standar kualitas udara. Dari hasil pemetaan kualitas udara di Kota Surakarta didapatkan kadar CO rata-rata mencapai 20,9 ppm dan di beberapa tempat seperti Pajang, Klewer, Jurug dan Pasar Kliwon kadar CO dalam udaranya mencapai 27 ppm, melebihi dari ambang batas pencemaran udara yaitu 20 ppm (Kadyarsi, 2008; Kusminingrum dan Gunawan, 2008).

2) Kepadatan hunian

Kota mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Padatnya penduduk kota antara lain disebabkan oleh adanya perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah kota. Kota Surakarta mempunyai kepadatan penduduk paling tinggi di Jawa Tengah. Dengan luas wilayah yang hanya sebesar 44,03 kilometer Kota mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Padatnya penduduk kota antara lain disebabkan oleh adanya perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah kota. Kota Surakarta mempunyai kepadatan penduduk paling tinggi di Jawa Tengah. Dengan luas wilayah yang hanya sebesar 44,03 kilometer

Kepadatan penduduk akan mempengaruhi kepadatan penghuni rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Nindya dan Sulistyiorini

(2005) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA. Banyaknya orang yang tinggal dalam satu rumah mempunyai peranan penting dalam kecepatan transmisi mikroorganisme penyebab ISPA (Nurjazuli dan Widyaningtyas, 2009). Kepadatan hunian yang tinggi dan tidak cukupnya ventilasi menyebabkan kelembaban dalam rumah meningkat sehingga berpengaruh terhadap suburnya pertumbuhan mikroorganisme (Depkes, 2011).

3) Status sosial dan ekonomi

Status sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Tinggi rendahnya status sosial ekonomi seseorang ditentukan oleh pendidikan, pekerjaan dan pendapatan (Yulisanti, 2000).

Pendidikan ibu dan pendapatan keluarga dapat mempengaruhi status gizi dan status imunisasi yang merupakan faktor intrinsik ISPA. Tingkat pendapatan orang tua yang rendah berpengaruh terhadap

(Husaini et al., 2000). Pendidikan orang tua di pedesaan yang umumnya lebih rendah akan berpengaruh terhadap status gizi dan status imunisasi (Sediaoetama, 2006; Ayubi, 2009). Penelitian menyebutkan bahwa pemberian ASI tidak dipengaruhi oleh pendidikan, pekerjaan maupun pendapatan (Latifah et al., 2010).

4) Status gizi

Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa et al., 2002a).

Menurunnya status gizi berakibat menurunnya kekebalan tubuh terhadap berbagi infeksi. Kekurangan gizi pada Balita meliputi kurang

energi dan protein serta kurang zat gizi seperti vitamin A, zat besi, iodium dan seng (Hadi, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Tandyo (2000) menyebutkan walaupun kadar imunoglobulin tidak menurun, tetapi pada kondisi gizi buruk terdapat gangguan imunitas yang disebabkan

oleh

menurunnya

komplemen protein yang mengakibatkan aktivitas leukosit untuk memfagosit maupun membunuh kuman menurun.

Gizi buruk juga menyebabkan gangguan pada imun non spesifik dan spesifik berupa kerusakan epidermis, kerusakan epitel saluran

(PMN), sel natural-killer dan aktifasi komplemen, penurunan jumlah dan fungsi limfosit, penurunan jumlah dan fungsi makrofag, penurunan prekursor limfosit T sitotoksik, penurunan respons antibodi limfosit B dan penurunan sitokin yang diperlukan untuk pengenalan antigen yang disebabkan karena defisiensi vitamin A maupun seng. Gangguan fungsi imunitas non spesifik dan spesifik tersebut akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, terutama ISPA (Almatsier, 2009; Shankar dan Prasad, 1998).

Sebaliknya, infeksi mempunyai kontribusi terhadap kekurangan energi, protein dan zat gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga tingkat kecukupan gizi menjadi berkurang. Kebutuhan energi pada saat infeksi bisa mencapai dua kali kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme basal (Thaha 1995). Selain infeksi, faktor lain yang dapat menyebabkan gizi buruk adalah masalah sosial ekonomi berupa pendapatan keluarga dan pendidikan orang tua (Supariasa et al., 2002a).

5) Status Imunisasi

Imunisasi merupakan faktor penting dalam pecegahan ISPA. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti BCG, difteri dan campak. Data Depkes tahun 2001

imunisasi campak sekitar 11% sedangkan dengan imunisasi DPT sebesar 6%. Oleh karena itu, untuk mengurangi kejadian dan mortalitas ISPA dapat diupayakan dengan imunisasi lengkap (Depkes, 2001). Balita dikatakan mendapatkan imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan imunisasi sesuai dengan usianya berdasarkan jadwal imunisasi yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan (Depkes, 2008). Tabel 1. Jadwal Imunisasi Nasional Depkes

Umur

Jenis vaksin

HB 1, BCG, Polio 1 DPT 1, HB 2, Polio 2 DPT 2, HB 3, Polio 3 DPT 3,, Polio 4 Campak DPT 4, Polio 5

(Depkes, 2008)

Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus measles dengan gejala berupa demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, konjungtivitis, dan ruam pada muka dan leher (Depkes, 2008). Selain menyebabkan penyakit campak, virus measles juga merupakan salah satu virus yang dapat menyebabkan ISPA (WHO, 2009). Imunisasi

dapat mencegah ISPA yang disebabkan oleh virus tersebut. Imunisasi DPT memberikan kekebalan secara simultan terhadap penyakit difteri, pertusis, dan tetanus dalam waktu yang bersamaan (Depkes, 2008). Difteri merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria. Apabila menyerang saluran respiratorik atas akan memberikan gejala berupa demam, sekret hidung berwarna kemerahan disertai adanya selaput berwarna keabuan dan bila mengenai laring atau trakea dapat menyebabkan stridor dan penyumbatan. Sehingga secara langsung imunisasi DPT dapat mencegah ISPA dengan memberikan imunitas terhadap penyakit difteri.

Vaksin BCG terdiri dari bakteri hidup yang dilemahkan dari biakan Bacille Calmette Guerin (Depkes, 2006). Vaksin BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit Tuberkulosis. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa. Diagnosis TB pada anak sulit dilakukan, karena pada anak batuk bukan merupakan gejala utama (Depkes, 2008).

Salah satu gejala nyata pada penderita TB adalah berkurangnya berat badan berturut-turut selama dua bulan. Pada anak TB sering menyebabkan gagal tumbuh maupun gizi buruk (Depkes, 2008). Gizi Salah satu gejala nyata pada penderita TB adalah berkurangnya berat badan berturut-turut selama dua bulan. Pada anak TB sering menyebabkan gagal tumbuh maupun gizi buruk (Depkes, 2008). Gizi

Studi yang dilakukan oleh Choudhury (2002) dan Waters (2004) menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi keluarga maka semakin tinggi peluang anak memperoleh imunisasi lengkap.

6) Anggota keluarga yang merokok

Efek asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Asap yang diisap oleh perokok disebut asap utama

(mainstream), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih banyak hasil pembakaran tembakau dibanding asap utama. Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, amonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab kanker kadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap sampingan dibanding dengan kadar asap utama (Moir et al., 2008) (mainstream), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamakan sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih banyak hasil pembakaran tembakau dibanding asap utama. Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, amonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab kanker kadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap sampingan dibanding dengan kadar asap utama (Moir et al., 2008)

7) Anggota Keluarga yang menderita ISPA

Penularan ISPA dari anggota keluarga akan sangat mudah karena pola penyebaran ISPA yang utama adalah melalui droplet yang keluar dari hidung/mulut penderita saat batuk atau bersin. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan oleh sekret saluran pernapasan, hidung, dan mulut) dan melalui udara dengan jarak dekat saat dilakukan tindakan yang berhubungan dengan saluran napas (WHO, 2008).

Penularan ISPA dari anggota keluarga sangat dipengaruhi oleh kepadatan hunian. Apabila hunian semakin padat, maka transmisi mikroorganisme akan semakin meningkat. Sehingga apabila ada anggota keluarga yang menderita ISPA akan sangat mudah menularkan pada Balita (Nurjazuli dan Widyaningtyas, 2009).

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakan bayi yang lahir dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Karena pertumbuhan dan pematangan organ maupun alat–alat tubuh BBLR belum sempurna disertai dengan defisiensi imun, akibatnya BBLR sering mengalami komplikasi dan infeksi yang dapat berakhir dengan kematian. Fungsi paru pada bayi dengan berat badan lahir rendah pada umumnya belum matur sehingga akan mudah terserang penyakit pernapasan (Walter et al., 2009; Filippone et al, 2003; Doyle et al., 2006; Halvorsen et al., 2006; Vrijlandt et al, 2005)

Penyakit gangguan pernafasan yang sering diderita oleh bayi berat lahir rendah adalah Bronchopulmonary dysplasia, ISPA, aspirasi

pnemonia, pernafasan periodik dan apnea yang juga disebabkan karena pusat pernafasan di medulla belum matur (Eric et al., 2008; Halvorsen et al, 2004).

9) Asi Eksklusif

ASI Eksklusif merupakan pemberian hanya ASI saja tanpa makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan (Depkes, 2006). ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama enam bulan pertama hidupnya. ASI dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi karena selain kaya ASI Eksklusif merupakan pemberian hanya ASI saja tanpa makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan (Depkes, 2006). ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama enam bulan pertama hidupnya. ASI dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi karena selain kaya

ASI mengandung zat anti infeksi berupa Imunoglobulin A, laktoferin, lisosim, sel-sel leukosit dan bifidus faktor. Imunoglobulin

A (IgA) ASI kadarnya cukup tinggi. Sekretori IgA tidak diserap tetapi dapat melumpuhkan bakteri patogen Escherichia coli dan berbagai virus pada saluran pencernaan. Laktoferin adalah sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan berfungsi untuk mengikat zat besi di saluran pencernaan. Lisosim dalam ASI yang jumlahnya 300 kali lebih banyak daripada susu sapi dapat melindungi bayi terhadap bakteri (Escherichia coli dan Salmonella) dan virus, termasuk virus penyebab ISPA. Sel darah putih pada ASI pada dua minggu pertama lebih dari 4000 sel per mil. Terdiri dari tiga macam yaitu Bronchus- Asociated Lympocyte Tissue (BALT) yaitu antibodi pernafasan, Gut Asociated Lympocyte Tissue (GALT) yaitu antibodi saluran pencernaan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue (MALT) yaitu antibodi jaringan payudara ibu. Faktor bifidus, sejenis A (IgA) ASI kadarnya cukup tinggi. Sekretori IgA tidak diserap tetapi dapat melumpuhkan bakteri patogen Escherichia coli dan berbagai virus pada saluran pencernaan. Laktoferin adalah sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan berfungsi untuk mengikat zat besi di saluran pencernaan. Lisosim dalam ASI yang jumlahnya 300 kali lebih banyak daripada susu sapi dapat melindungi bayi terhadap bakteri (Escherichia coli dan Salmonella) dan virus, termasuk virus penyebab ISPA. Sel darah putih pada ASI pada dua minggu pertama lebih dari 4000 sel per mil. Terdiri dari tiga macam yaitu Bronchus- Asociated Lympocyte Tissue (BALT) yaitu antibodi pernafasan, Gut Asociated Lympocyte Tissue (GALT) yaitu antibodi saluran pencernaan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue (MALT) yaitu antibodi jaringan payudara ibu. Faktor bifidus, sejenis

Antibodi-antibodi tersebut akan meningkatkan daya tahan tubuh dan memberikan kekebalan terhadap penyakit ISPA.

d. Etiologi

Mikroorganisme yang dapat menyebabkan ISPA ada lebih dari 300 jenis, terdiri atas golongan bakteri, virus, riketsia dan jamur (Depkes, 2002). Bakteri penyebab ISPA adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe b (Hib), Corynebacterium diphtheriae, Staphylococcus aureus, M. catarrhalis dan spesies bakteri lainnya seperti Klebsiella pneumonia, Mycoplasma pneumoniae , Chlamydia spp., Pseudomonas spp., Escherichia coli, histoplasmosis and toxoplasmosis. (Rudan et.al, 2008).

Penelitian Makela et al. berhasil mengindentifikasi bakteri Chlamydia pneumoniae , Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae , dan Mycoplasma pneumonia pada sputum 200 remaja Finlandia yang menderita ISPA (Makela et al., 1998).

Virus penyebab ISPA berupa Respiratory Syncytial Virus (RSV), measles virus , human parainfluenza virus tipe 1, 2, and 3 (PIV-1, PIV-2

(AV), rhinovirus, enterovirus, coronavirus (CoV), herpes simplex virus, dan human metapneumovirus (hMPV). (WHO, 2009; Makela et al., 1998; Chonmaitree et al., 2008).

Hasil penelitian Allander et al. dengan menggunakan teknik RT- PCR di Amerika Serikat menyebutkan bahwa virus lain yang dapat menyebabkan ISPA adalah bocavirus (BoV) dan polyomaviruses (Allander et al., 2007).

f. Patofisiologi

Saluran pernapasan mempunyai sistem pertahanan terhadap mikroorganisme yang berupa sistem mukosiliaris. Mikroorganisme yang terhirup dalam bentuk droplet maupun yang kontak dengan mukosa saluran pernapasan secara langsung akan terperangkap oleh lapisan mukus yang dihasilkan oleh sel goblet dan kemudian diangkut oleh gerakan silia ke bagian belakang tenggorokan untuk ditelan maupun dikeluarkan (Kumar et al., 2007b; WHO, 2008).

Patogen pernapasan yang virulen seperti virus influenza atau parainfluenza dapat lolos dari pertahanan mukosiliaris dengan mengeluarkan neuraminidase untuk menghambat gerakan silia. Organisme tertentu seperti Haemophilus influenza mengeluarkan berbagai faktor yang dapat menghambat gerakan silia. Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus dan spesies bakteri lainnya yang Patogen pernapasan yang virulen seperti virus influenza atau parainfluenza dapat lolos dari pertahanan mukosiliaris dengan mengeluarkan neuraminidase untuk menghambat gerakan silia. Organisme tertentu seperti Haemophilus influenza mengeluarkan berbagai faktor yang dapat menghambat gerakan silia. Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus dan spesies bakteri lainnya yang

Setelah mikroorganisme menginfeksi mukosa saluran pernapasan, terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler, sekresi mukus dan udem

konka sehingga timbul gejala klinis berupa pilek (rhinorrhea) dan kesulitan bernapas (Yuta et al., 1998). Infeksi dapat tejadi pada mukosa laring dan faring sehingga mengakibatkan sakit tenggorokan, suara serak dan batuk (Soepardi et al., 2007).

g. Diagnosis

Diagnosis ISPA ditegakkan berdasarkan anamnesis berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dengan atau tanpa pemeriksaan

penunjang. Seseorang disebut mengalami ISPA bila mengalami atau menunjukkan satu atau lebih gejala ISPA seperti batuk, pilek dan atau demam dan atau sesak napas dan atau keluar cairan dari telinga (Lopez- Alarcon et al., 1997; Raharjoe et al., 2008).

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membedakan jenis ISPA yang satu dengan lainya. Dalam pemeriksaan fisik digunakan alat bantu seperti stetoskop, tongue spatel, spekulum hidung, spekulum telinga, dan senter. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, radiologis dan CT-Scan.

secara pasti. Terdapat berbagai macam pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin, C-reaktif protein, uji serologis, pemeriksaan mikrobiologis, dan pemeriksaan identifikasi virus secara langsung seperti ELISA, imunofluoresensi RIA dengan menggunakan PCR (Alsagaff dan Mukty, 2008; Raharjoe et al., 2008).

2. Alergi Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan terhadap suatu antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya (Abbas dan Lichtman, 2003). Manifestasi alergi dapat terjadi di kulit, saluran pernapasan dan saluran cerna. Dalam saluran pernapasan, alergi dapat berupa rinitis alergi dan asma.

Apabila tubuh terpajan dengan alergen, akan terbentuk IgE yang akan menyebabkan degranulasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi seperti histamin yang mempunyai efek vasodilatasi mukosa dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga dalam saluran pernapasan akan menimbulkan gejala seperti ISPA yaitu udem mukosa, sumbatan hidung, pilek, batuk maupun sesak napas. Karena gejala klinis menyerupai ISPA, maka dalam penelitian ini alergi menjadi kriteria eksklusi sampel.

Keterangan:

= diteliti = tidak diteliti

Alasan variabel yang tidak diteliti, meliputi:

1. Polusi udara, faktor ini kurang fisibel dilakukan dalam penelitian ini karena penelitian yang kompleks dan biaya yang relatif besar.

2. Kepadatan hunian, faktor ini kurang fisibel dilakukan dalam penelitian ini karena peneliti harus menghitung luas rumah subjek penelitian, sehingga membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang relatif besar.

3. Tingkat sosial dan ekonomi akan mempengaruhi status gizi dan status imunisasi (Sediaoetama, 2006; Ayubi, 2009; Husaini et al., 2000)

4. Pemberian ASI eksklusif, dalam pengukurannya mempunyai recall bias (bias informasi) yang tinggi karena hanya berdasarkan ingatan ibu

(Koosha et al, 2008, Hikmawati, 2008; Tan, 2011).

5. Berat badan lahir, dalam pengukurannya mempunyai recall bias (bias informasi) yang tinggi (Ward, 2007; Sistiarani, 2008; Bjerg, 2011).

C. Hipotesis

Status gizi, status imunisasi, anggota keluarga yang merokok dan anggota keluarga yang menderita ISPA merupakan faktor risiko terjadinya ISPA pada Balita.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional . Rancangan cross sectional adalah suatu rancangan penelitian dimana variabel bebas dan variabel tergantung diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Taufiqurrahman, 2008).

B. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Puskesmas Sibela Surakarta. Pemilihan Puskesmas tersebut didasarkan atas pertimbangan:

1. Masih tingginya angka kejadian ISPA di Puskesmas Sibela Surakarta

2. ISPA merupakan penyakit yang paling banyak dialami pasien rawat jalan di Puskesmas Sibela Surakarta

3. Kunjungan Balita akibat ISPA di Puskesmas Sibela Surakarta menduduki peringkat tertinggi

4. Polusi udara di Surakarta sudah pada taraf yang mengkhawatirkan

5. Kepadatan penduduk Surakarta tertinggi di Jawa Tengah Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan studi untuk mengetahui

Subjek dalam penelitian ini adalah pasien di Puskesmas Sibela Surakarta dengan kriteria:

1. Kriteria inklusi yaitu:

a. Berumur 0-59 bulan

b. Tinggal di wilayah Surakarta

2. Kriteria eksklusi yaitu:

a. Tidak besedia menjadi subjek penelitian

b. Mempunyai riwayat alergi

D. Teknik Sampling

Teknik samping yang digunakan adalah fixed-disease sampling dan dilanjutkan dengan accidental sampling. Fixed-disease sampling merupakan

skema pencuplikan berdasarkan status penyakit subjek, yaitu berpenyakit atau tidak berpenyakit yang diteliti, sedangkan status paparan subjek bervariasi mengikuti status penyakit subjek. Sehingga dalam penelitian ini dilakukan pengambilan sampel Balita ISPA dan tidak ISPA terlebih dahulu (Murti, 2010).

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan ukuran sampel untuk analisis multivariat, dengan rumus (Murti, 2010): Besar sampel penelitian multivariat = n. X Keterangan:

n = 15-20 subjek

Karena variabel yang akan diteliti berjumlah empat, maka besar sampel minimal dalam penelitian ini adalah 15 x 4 = 60. Sehingga besar sampel dalam penelitian ini berjumlah 60 dengan rincian 30 Balita ISPA dan 30 Balita tidak sakit ISPA.

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : status gizi, status imunisasi, anggota keluarga yang merokok dan anggota keluarga yang menderita ISPA.

2. Variabel terikat

: ISPA

3. Variabel luar terkendali

: umur

4. Variabel luar tak terkendali : kecukupan pemberian ASI, kecukupan vitamin

A, kepadatan hunian, polusi udara, pendapatan total orang tua, pendidikan ibu dan berat badan lahir.

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

a. Status gizi

Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan

Status gizi diukur dengan indeks antropometri BB/U dengan menggunakan standar WHO 2005 dalam skor simpangan baku (standar deviation score = Z-score) dengan rumus (Depkes, 2008):

Z- score = nilai individual subyek - nilai median baku rujukan nilai simpangan baku rujukan. Digunakannya indeks BB/U sebagai indikator status gizi karena hanya ingin melihat status gizi saat ini, pelaksanaanya lebih mudah, lebih cepat, baik untuk mengukur kondisi akut (muntaber) maupun kronis (kecacingan) dan sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil (Supariasa et al., 2002b).

Kriteria Status gizi dengan indikator Z-skor dari BB/U dengan standar baku antropometri menurut WHO 2005 adalah sebagai berikut (Depkes, 2008):

1) Gizi lebih

: Zscore > 2

2) Gizi baik

: Zscore ≥ -2 sampai 2

3) Gizi kurang : Zscore < -2 sampai 2

4) Gizi buruk : Zscore <-3 Alat pengukuran yang digunakan adalah timbangan yang sudah tersedia di puskesmas. Skala pengukurannya adalah nominal, dinyatakan dalam:

1 = gizi kurang/buruk

b. Status imunisasi Status imunisasi dikatakan lengkap bila Balita sudah memperoleh

imunisasi BCG, DPT, Polio dan Campak sesuai dengan usia berdasarkan jadwal dari Departemen Kesehatan. Tabel 2. Kriteria Imunisasi Lengkap

Umur

Jenis vaksin

HB 1, BCG, Polio 1 DPT 1, HB 2, Polio 2 DPT 2, HB 3, Polio 3 DPT 3,, Polio 4 Campak DPT 4, Polio 5

(Depkes, 2008)

Apabila tidak memenuhi kriteria tersebut, maka status imunisasi Balita dikatakan tidak lengkap. Data status imunisasi Balita didapatkan dari wawancara dengan orang tua atau pengasuh.

Skala pengukurannya nominal, dinyatakan dalam:

0 = imunisasi lengkap

1 = imunisasi tidak lengkap

Dikatakan ada anggota keluarga yang merokok apabila ada satu atau lebih anggota keluarga yang merokok dan dikatakan tidak ada bila tidak satu pun anggota keluarga yang merokok.

Data anggota keluarga yang merokok didapatkan dari wawancara dengan orang tua atau pengasuh Balita. Skala pengukurannya adalah nominal, dinyatakan dalam:

0 = tidak ada

1 = ada

d. Anggota keluarga yang menderita ISPA

Seseorang disebut mengalami ISPA bila mengalami atau menunjukkan satu atau lebih gejala ISPA seperti batuk, pilek dan atau

demam dan atau sesak napas dan atau keluar cairan dari telinga (Lopez- Alarcon et al., 1997; Raharjoe et al., 2008). Apabila ada satu atau lebih dari anggota keluarga yang menderita ISPA maka dinyatakan ada. Sedangkan tidak ada anggota keluarga yang menderita ISPA apabila tidak ada satu pun anggota keluarga yang menderita ISPA.

Data anggota keluarga yang ISPA didapatkan dari wawancara dengan orang tua atau pengasuh Balita. Skala pengukurannya adalah nominal, dinyatakan dalam:

0 = tidak ada

1 = ada

ISPA adalah adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, pleura dan parenkim paru. Batas waktu 14 hari diambil untuk menunjukkan berlangsungnya proses akut (Depkes, 2006; Wantania et al., 2008).

Seorang Balita disebut mengalami ISPA bila mengalami atau menunjukkan satu atau lebih gejala ISPA seperti batuk, pilek dan atau demam dan atau sesak napas dan atau keluar cairan dari telinga (Lopez- Alarcon et al., 1997; Raharjoe et al., 2008). Apabila Balita tidak mengalami salah satu dari gejala tersebut, maka Balita dinyatakan tidak menderita ISPA. Dikatakan episode baru, bila ISPA terjadi lagi setelah dua hari bebas dari ISPA (Lopez-Alarcon et al., 1997).

Data ISPA anak didapatkan dari wawancara dengan orang tua atau pengasuh. Skala pengukurannya adalah nominal, dinyatakan dalam:

0 = tidak ISPA

1 = ISPA

G. Instrumen Penelitian

1. Alat pengukuran status gizi berupa timbangan bayi yang sudah tersedia di puskesmas

3. Perangkat lunak pengukuran status gizi: WHO Anthro ver 3.2

H. Rancangan Penelitian

Gambar 2. Skema Alur Penelitian

60 Balita di Puskesmas Sibela Surakarta

Balita tidak ISPA

Inform consent kepada responden

Wawancara faktor risiko ISPA

Menimbang Balita

Balita ISPA

Analisis statistik

Inform consent kepada responden

Wawancara faktor risiko ISPA

Menimbang Balita

1. Responden (orang tua atau pengasuh) diminta menandatangani lembar persetujuan keikutsertaan dalam penelitian (inform consent).

2. Melakukan wawancara dengan responden tentang faktor risiko ISPA.

3. Menimbang Balita.

4. Menganalisis data yang terkumpul

J. Teknik Analisis Data

Data yang sudah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS ver. 17 for windows. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama variabel bebas terhadap variabel terikat, dan variabel bebas yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel terikat dengan menggunakan uji regresi logistik (Murti, 2010).

Analisis regresi logistik untuk menjelaskan pengaruh beberapa variabel bebas secara bersamaan dengan variabel terikat. Prosedur yang dilakukan terhadap uji regresi logistik, apabila masing-masing variabel bebas dengan hasil menunjukkan nilai p < 0,25 pada analisis univariat tetapi secara biologis bermakna, maka variabel tersebut dapat dilanjutkan dalam model multivariat (Murti, 2010).

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 12 - 24 April 2012 di Puskesmas Sibela Surakarta. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 60 Balita. Berdasarkan teknik sampling yang dipakai, yaitu fixed disease sampling, jumlah Balita yang menderita ISPA dan Balita yang tidak menderita ISPA ditentukan jumlahnya terlebih dahulu. Dalam penelitian ini, ditentukan jumlah Balita yang menderita ISPA dan Balita yang tidak menderita ISPA masing-masing sebanyak

30 Balita. Balita diambil secara acak berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Karakteristik Balita yang menjadi subjek dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 4.

Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian Variabel

ISPA

Tidak ISPA (%)

Jumlah (%) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

Umur 0-24 bulan

Status Gizi baik/lebih

Status Imunisasi Tidak lengkap Lengkap

Anggota keluarga yang merokok Ya Tidak

Anggota Keluarga yang menderita ISPA Ya Tidak

Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah Balita perempuan lebih banyak daripada Balita laki-laki, yaitu sebanyak 31 (51.67%)

dari 60 Balita. Jumlah Balita yang menderita ISPA pun lebih banyak pada jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 16 (53.33%) dari 30 Balita yang menderita ISPA. Sedangkan pada kelompok Balita yang tidak menderita ISPA, didapatkan jumlah Balita perempuan dan laki-laki sama.

Balita yang berusia kurang dari 24 bulan atau 2 tahun berjumlah lebih sedikit, yaitu sebanyak 28 Balita (46.67%). Sedangkan Balita yang lebih dari 2 tahun berjumlah 32 (54.33%). Namun, Balita yang berusia kurang dari 24 bulan lebih banyak menderita ISPA. Sebanyak 16 Balita dari 28 Balita yang berusia kurang dari 24 bulan mederita ISPA.

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tidak ada Balita yang

56 Balita (93.33%) sudah mendapatkan imunisasi lengkap. Sehingga hanya ada 4 Balita yang tidak mendapatkan imunisi lengkap. Dari 4 Balita tersebut, 3 Balita menderita ISPA dan 1 Balita tidak menderita ISPA.

Balita dengan anggota keluarga yang merokok berjumlah lebih banyak, yaitu sekitar dua kali dari Balita dengan anggota kelurga yang tidak merokok. Sebanyak 41 (68.33%) Balita memiliki anggota keluarga perokok, sedangkan Balita dengan anggota keluarga yang tidak merokok berjumlah 19 (32.67%). Dari

41 Balita tersebut, 21 Balita menderita ISPA. Pada variabel anggota keluarga yang menderita ISPA, didapatkan Balita dengan anggota keluarga yang tidak menderita ISPA lebih banyak, yaitu 37 Balita (62.67). Dari 37 Balita tersebut, hanya 10 Balita yang menderita ISPA. Sedangkan dari 23 Balita dengan keluarga menderita ISPA terdapat 20 Balita yang menderita ISPA.

B. Hasil Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis multivariat. Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama variabel bebas terhadap variabel terikat, dan variabel bebas mana yang berpengaruh paling besar terhadap variabel terikat (Murti, 2010). Analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi logistic menggunakan SPSS ver.17 for windows.

Balita yang menderita gizi kurang maupun gizi buruk sehingga tidak terdapat variasi data. Oleh karena itu variabel yang dianalisis adalah status imunisasi, anggota keluarga yang merokok dan anggota keluarga yang menderita ISPA. Tabel 4. Faktor Risiko ISPA pada Balita

Status Imunisasi Tidak Lengkap Lengkap

Anggota keluarga yang merokok

Ya Tidak

Anggota Keluarga yang menderita ISPA

Ya Tidak

Dari data di atas dapat dilihat bahwa Odds Ratio pada status imunisasi sebesar 1.233, batas bawah dan batas atas dari 95% CI 0.044 sampai 34.285, dan nilai p sebesar 0,902. Sedangkan pada variabel anggota keluarga yang merokok, Odds Ratio sebesar 3.728, batas bawah dan batas atas dari 95% CI adalah dari 1.015 sampai 13.696, dan nilai p = 0.047. Pada variabel anggota keluarga yang menderita ISPA didapatkan nilai Odds Ratio sebesar 12.728, dan batas 95% CI dari 2.912 sampai 55.626, dengan nilai p sebesar 0.001.

PEMBAHASAN

Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa dari 3 variabel yang dianalisis secara bersama-sama, terdapat 2 variabel yang terbukti sebagai faktor risiko kuat terjadinya

ISPA pada Balita, yaitu memiliki nilai p < 0.05. Faktor-faktor tersebut adalah anggota keluarga yang merokok dan anggota keluarga yang menderita ISPA.

Anggota keluarga yang merokok terbukti sebagai faktor risiko terjadinya ISPA pada Balita, dengan nilai p = 0.047, OR = 3.728, dan 95% CI = 1.015 – 13.696.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa Balita dengan anggota keluarga yang merokok berisiko menderita ISPA sebesar 3.728 kali bila dibandingkan dengan Balita tanpa anggota keluarga yang merokok. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Vrijlandt et.al (2005) yang menyebutkan bahwa Balita dengan keluarga yang merokok akan berisiko menderita ISPA sebesar 2.7 kali lipat dibandingkan Balita dengan anggota keluarga tidak merokok. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa peningkatan frekuensi anggota merokok akan semakin meningkatan risiko ISPA pada Balita.

Penelitian Winarni et al. (2010) pada 65 Balita di Wilayah Kerja puskesmas Sempor, Kabupaten Kebumen, menunjukkan hasil yang sama. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa Balita dengan keluarga yang merokok akan berisiko menderita ISPA 37.71 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Balita dengan keluarga yang tidak merokok.

bahwa anggota keluarga yang merokok berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian ISPA Balita, dengan nilai p = 0.012.

Hasil penelitian Moir et al. (2008) menyebutkan bahwa kandungan zat kimia hasil pembakaran pada asap samping rokok (sidestream) lebih tinggi daripada asam utama

(mainstream). Zat-zat kimia tersebut berupa karbon monoksida, tar, nikotin, amonia, nikel, nitrosamine, zat prokarsinogen (mis. 4-methylnitrosamino)-1-(3-pyridil)-1- (butanone), polysiklik, dan neuroteratogen yang menyebabkan kerusakan pada saluran pernafasan. Paparan asap rokok akan mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasan dan paru-paru. Bila iritasi tersebut diikuti oleh bakteri atau kuman patogen maka akan menimbulkan infeksi, terutama ISPA (Winarni et al., 2010).

Faktor risiko lain yang terbukti berpengaruh terhadap kejdian ISPA pada Balita pada penelitian ini adalah anggota keluarga yang menderita ISPA, dengan nilai p =

0.001, OR = 12.728 dan 95% CI = 2.912 – 55.626. Hal tersebut berarti bahwa Balita dengan anggota keluarga menderita ISPA berisiko menderita ISPA sebesar 12.728 kali dibandingkan dengan Balita yang anggota keluarganya tidak menderita ISPA. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori bahwa penularan ISPA paling utama adalah melalui udara dalam bentuk droplet (WHO, 2008). Sehingga apabila ada anggota keluarga yang menderita ISPA maka akan meningkatkan transmisi mikroorganisme penyebab ISPA pada Balita.

Transmisi mikroorganisme dari anggota keluarga yang menderita ISPA berhubungan erat dengan kepadatan hunian rumah Balita. Penelitian Sinaga et al.

Balita sebesar 6.4 kali. Penelitian yang dilakukan di Brazil menyatakan bahwa keluarga dengan dua orang atau lebih dalam satu kamar mempunyai risiko 44% lebih besar untuk menderita ISPA (Pawlinska-Chmara et al., 2007).

Dokumen yang terkait

PERANCANGAN USULAN PERBAIKAN UNTUK MEMINIMASI WASTE MOTION PADA PROSES PRODUKSI MODUL SURYA 260WP PT XYZ DENGAN PENDEKATAN LEAN MANUFACTURING IMPROVEMENT TO MINIMIZING WASTE MOTION IN PRODUCTION PROCESS OF SOLAR MODULE 260WP AT PT XYZ WITH LEAN MANUFACTUR

0 1 8

PERANCANGAN USULAN PERBAIKAN PADA PROSES PRODUKSI BUKU SOFT COVER PT MIZAN GRAFIKA SARANA DENGAN METODE SIX SIGMA DESIGN IMPROVEMENT ON SOFT COVER BOOK PRODUCTION PROCESS OF PT MIZAN GRAFIKA SARANA WITH SIX SIGMA METHOD

0 3 13

PERANCANGAN USULAN PENGELOLAAN SPAREPART DAN KEBIJAKAN MAINTENANCE PADA MESIN ILA-0005 MENGGUNAKAN METODE RELIABILITY CENTERED SPARES (RCS) DAN RELIABILITY CENTERED MAINTENANCE (RCM) DI PT.XYZ DESIGN OF SPAREPART PROPOSAL MANAGEMENT AND MAINTENANCE POLICY

1 5 7

ALOKASI RESOURCE BLOCK PADA SISTEM KOMUNIKASI DEVICE-TO- DEVICE YANG UNDERLAYING PADA JARINGAN LTE-ADVANCED RESOURCE BLOCK ALLOCATION FOR DEVICE- TO-DEVICE COMMUNICATION UNDERLAYING LTE-ADVANCED NETWORKS

0 0 8

PERANCANGAN SISTEM PENGISI DAN PENYALUR DAYA BATERAI PADA PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA HYBRID DESIGN OF CHARGE AND DISCHARGE BATTERY SYSTEM FOR HYBRID POWER PLANT

0 0 12

Untuk SDMI Kelas IV

0 0 182

PERAN LEMBAGA JOGLO TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHATANI PADI ORGANIK SKRIPSI

0 3 94

PENGARUH EKSTRAK DAUN JAMBU BIJI (Psidium guajava, Linn) TERHADAP MORTALITAS Ascaris suum, GOEZE IN VITRO SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 54

SKRIPSI KARAKTERISASI MORFOLOGI TANAMAN DURIAN PETRUK DAN DURIAN LOKAL BRONGKOL (Durio zibethinus Murr.) DI JAWA TENGAH Irfian Trias Yunanto H 0708118

1 3 61

REKONDISI MESIN CHEVROLET LUV 1982 KHUSUSNYA PADA BAGIAN BLOK MESIN PROYEK AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Ahli Madya (Amd)

0 0 75