Negara dan Kebijakan Kebudayaan dan

Paper Akhir
Negara dan Kajian Kebudayaan

Muhammad Syaiful Rohman
10/306973/PSA/02293

“Merumuskan Politik Kebudayaan Indonesia”

A. PENDAHULUAN
Pada masa kini, Indonesia adalah sebuah negara dengan susunan masyarakat yang
majemuk. Keanekaragaman masyarakat Indonesia dapat dilihat secara sinkronis maupun
diakronis. Secara sinkronis, masyarakat Indonesia terdiri lebih dari sekitar 500 suku-bangsa
dengan budaya, adat dan bahasa sendiri, menganut berbagai agama dan kepercayaan, baik agama
dunia maupun kepercayaan lokal, mewarisi ciri-ciri biologis dari berbagai ras, dan menetap di
berbagai jenis komunitas, dari hutan dan gunung sampai ke kota, pantai, terus ke pulau-pulau
kecil.
Secara diakronis, khususnya dalam aspek ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi,
keseluruhan kelompok-kelompok masyarakat Indonesia tersebut merentang mulai dari
kelompok-kelompok yang hidup paling sederhana dan primitif, yaitu kelompok pemburu-peramu
(foraging groups), kemudian peladang tebang-bakar (primitive cultivators), petani sawah basah
(peasant societies), sampai ke penduduk kota yang paling modern, canggih, dan profesional

(industrial urban societies). Melihat Indonesia secara diakronis sama seperti melihat sebuah
museum hidup. Hampir semua bentuk dan tingkat pencapaian sosiokultural manusia
(sociocultural achievements), khususnya dalam lingkungan alam tropika, dapat ditemukan di
Indonesia: ada Orang Talang Mamak (Jambi) yang berburu, meramu dan nomaden (kelompok
foraging), ada Orang Dayak di pedalaman Kalimantan yang bertani tebang-bakar, ada petani
Jawa yang bertanam padi di sawah tiga hingga empat kali setahun, dan ada penduduk Jakarta
yang begitu canggih dengan peralatan teknologi paling mutakhir.
B. MULTIKULTURALISME: STRATEGI POLITIK KEBUDAYAAN INDONESIA
Revolusi agraria, yaitu penemuan sistem pertanian, khususnya pertanian sawah basah,
nampaknya merupakan sebuah revolusi penting dalam seluruh sektor kehidupan manusia.
Ditekankan oleh seorang ahli antropologi aliran evolusionis, Leslie A. White, bahwa Revolusi
Agraria ini:
“… provided a new kind of technological basis for cultural development; it profoundly
transformed man’s social life; and it created a new way of interpreting experience: science” (…
memberikan satu jenis dasar teknologi baru bagi kemajuan kebudayaan; ini mengubah kehidupan
sosial manusia secara mendasar; dan ini menciptakan satu cara baru dalam menafsirkan
pengalaman: ilmu pengetahuan” (White 1959: 368).
Pada masa kini hampir tidak ada lagi bangsa di muka bumi ini yang berada di luar
pengaruh Civilization. Manusia hidup bernegara dalam sistem pemerintahan yang terpusat
(dalam konteks Indonesia, desentralisasi), menetap dalam komunitas-komunitas permanen,

mengenal tulisan, dan mengembangkan kesenian dan keagamaan yang tinggi. Namun demikian
tingkat Civilization yang dicapai adalah berbeda antara berbagai bangsa. Ada bangsa yang maju
ada pula bangsa yang tertinggal. Bahkan lebih jauh, pencapaian Civilization tidak merata antara
1|Page

Paper Akhir
Negara dan Kajian Kebudayaan

Muhammad Syaiful Rohman
10/306973/PSA/02293

“Merumuskan Politik Kebudayaan Indonesia”

kelompok-kelompok sosial dalam sebuah negara. Dalam sebuah Negara Kesatuan Republik
Indonesia terdapat berbagai ragam tingkat budaya, dari kelompok pemburu peramu sampai ke
masyarakat kota yang modern.
Budaya (Culture) dan Peradaban (Civilization) adalah dua konsep tinggi yang melingkupi
begitu luas bidang kehidupan material, mental dan spiritual. Kedua konsep ini berasal dari dua
tradisi pemikiran intelektual besar di Eropa Barat. Konsep Peradaban berasal dari bahasa dan
tradisi pemikiran intelektual Perancis (Civilisation), sedangkan Budaya berasal dari Kultur atau

Cultur dalam bahasa Jerman. Kedua konsep ini adalah hasil dari abstraksi kenyataan yang
berkembang dalam dunia intelektual di dua negara tersebut pada abad pertengahan (Kuper 1999:
23-46).
Kata Kultur pertama kali dimunculkan dalam bahasa Jerman oleh Adelung pada tahun
1782 (Kroeber & Kluckhohn 1952:37). Namun pengertian yang lebih jelas baru muncul dalam
kamus Jerman yang ditulis Adelung tahun 1793. Kultur diartikan sebagai penyempurnaan atau
penghalusan adat-istiadat dan perilaku seorang individu atau sekelompok manusia. Sementara itu
istilah Civilisation, yang berasal dari bahasa Perancis, adalah lebih tua dari kata Cultur. Mulanya
istilah itu muncul dalam bentuk kata ‘Civiliser’ (Beradab) yang berarti lawan dari ‘Barbarie’
(Liar), pada tahun 1694. Kata ini baru muncul dalam bentuk seperti sekarang di Perancis, yaitu
Civilisation, pada tahun 1835. Pada abad ke 19 itu di Perancis kata Civilisation digunakan dalam
pengertian yang hampir sama dengan Kultur dalam bahasa Jerman (Kroeber & Kluckhohn
1952:17).
Persyaratan untuk mencapai satu Civilization itu adalah bersifat sistemik, saling terkait dan
mendukung satu sama lain, antara aspek lingkungan, teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi,
politik, sosial, keagamaan, kesenian, dan lain sebagainya.
Sukubangsa adalah golongan sosial yang askriptif berdasarkan atas keturunan dan tempat
asalnya. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan, dengan demikian adalah, jatidiri yang
askriptif yang didapat bersamaan dengan kelahirannya atau tempat asalnya. Kesukubangsaan
berbeda dari berbagai jatidiri lainnya yang dipunyai oleh seseorang, karena kesukubangsaan

bersifat primordial (yang pertama didapat dan menempel pada dirinya sejak masa kanakkanaknya dan utama dalam kehidupannya karena merupakan acuan bagi jatidiri dan
kehormatannya), sedangkan berbagai jatidiri lain yang dipunyai oleh seseorang adalah
berdasarkan pada perolehan status dalam kehidupan sosialnya. Berbagai jatidiri yang lainnya
tersebut dapat hilang karena tidak berfungsinya status-status yang dipunyainya, sedangkan
jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaannya tidak dapat hilang. Bila jatidiri sukubangsa tidak
digunakan dalam interaksi maka jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan tersebut disimpannya
dan bukannya dibuang atau hilang..

2|Page

Paper Akhir
Negara dan Kajian Kebudayaan

Muhammad Syaiful Rohman
10/306973/PSA/02293

“Merumuskan Politik Kebudayaan Indonesia”

Sebagai golongan sosial, sukubangsa mewujudkan dirinya dalam kolektif-kolektif atau
masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup dalam wilayah-wilayah yang diakui sebagai

wilayah tempat hidupnya dan merupakan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Wilayah masing-masing masyarakat sukubangsa ini di Indonesia, biasanya dinamakan sebagai
hak ulayat atau wilayah adat masyarakat sukubangsa tertentu. Sebuah sukubangsa dapat terdiri
dari hanya satu kolektif atau masyarakat sukubangsa yang menempati sebuah wilayah, tetapi
biasanya mempunyai dua atau lebih masyarakat yang mendiami dua atau lebih wilayah yang
berbeda. Secara umum masing-masing masyarakat sukubangsa yang sama tersebut mempunyai
kebudayaan yang ciri-ciri utamanya sama, terutama dalam bahasanya, tetapi secara lebih khusus
masing-masing masyarakat dari sukubangsa yang sama tersebut mempunyai corak kebudayaan
yang berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adaptasi budaya terhadap lingkungan atau
wilayah tempat mereka hidup serta cara-cara atau tekonologi dalam memanfaatkan sumbersumber daya yang terkandung di dalamnya untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup.
Kebudayaan dapat dilihat sebagai pedoman bagi kehidupan yang diyakini kebenarannya oleh
para pemiliknya dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya bagi
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Sebagai sebuah pedoman kehidupan bagi
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup, kebudayaan dimiliki secara bersama oleh sebuah
kolektiva atau masyarakat. Karena, kebutuhan hidup manusia tidak dapat dipenuhi semata-mata
secara individual.
Kebudayaan berisikan konsep-konsep sebagai hasil dari sistem-sistem pengolongan yang
menjadi hakekat dari kebudayaan, berisikan metode-metode untuk memilah-milah konsepkonsep dan memilih konsep-konsep hasil pilahan serta mengkombinasikan konsep-konsep yang
terpilih sebagai acuan atau pedoman bertindak dalam menghadapi dan memanfaatkan
lingkungan, dan berisikan teori-teori yang dapat diseleksi untuk dijadikan pedoman atau untuk

menjelaskan sesuatu model atau pola bertindak dalam menghadapi dan memanfaatkan
lingkungan.
Kebudayaan diacu oleh para pemeluknya untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologi,
sosial, dan adab. Nilai-nilai budaya adalah acuan bagi pemenuhan kebutuhan adab, yaitu
kebutuhan-kebutuhan untuk mengetahui yang benar sebagai lawan dari yang salah, yang suci
dari yang kotor, yang indah dari yang buruk. Satu atau sejumlah nilai budaya yang terseleksi
dijadikan inti dari dan yang mengintegrasikan sesuatu pemenuhan kebutuhan biologi, sosial,
adab atau sesuatu kombinasi dari ketiganya. Penggunaan kebudayaan dalam pemenuhan sesuatu
kebutuhan dilakukan secara sistemik dengan nilai-nilai budaya sebagai inti atau pusatnya yang
diacu untuk mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan tersebut dan untuk pembenaran dan
keabsahannya (lihat Suparlan 1986). Sehingga misalnya, kebutuhan untuk makan bukan hanya
asal makan, tetapi apa yang dimakan, dengan siapa makan, bagaimana memakannya, yang
3|Page

Paper Akhir
Negara dan Kajian Kebudayaan

Muhammad Syaiful Rohman
10/306973/PSA/02293


“Merumuskan Politik Kebudayaan Indonesia”

disesuaikan dengan waktu, tempat, dan konteks makna dari makan. Secara keseluruhan, kegiatan
makan tersebut dari pelakunya dipedomani oleh nilai budaya yang biasanya kita kenal dengan
nama etika makan.
Nilai-nilai budaya berisikan keyakinan-keyakinan yang digunakan untuk menilai berbagai
gejala yang dihadapi menurut kebudayaan yang dipunyai oleh pemilik kebudayaan yang
bersangkutan. Dalam kehidupan manusia, nilai-nilai budaya ini diperkuat fungsinya oleh
keyakinan keagamaan yang dipunyai oleh pemiliknya; artinya dipertegas batas-batas antara yang
baik dari yang tidak baik, antara yang halal dari yang haram, antara yang sah dari yang tidak sah.
Agama sebagai petunjuk Tuhan mengenai kebenaran dan jalan menuju kebenaran menurut
perintah Tuhan, yang tertulis di kitab suci atau yang ada dalam teks-teks suci yang tertulis
maupun lisan, hanya akan menjadi dokumen-dokumen tertulis atau teks-teks lisan bila tidak
menjadi keyakinan keagamaan dari manusia yang meyakini kebenaran ajaran Tuhan tersebut.
Untuk dapat menjadi keyakinan keagamaan dari pemeluknya, maka agama harus sesuai
dengan kebudayaan dari pemeluknya. Penyesuaian bisa terjadi dalam bentuk penyesuaian
kebudayaaan pemeluknya (seperti misalnya pada sukubangsa Minangkabau dan Aceh yang
menganut prinsip matrilineal, yang harus membuat beberapa penyesuaian dalam sistem
matrilineal mereka, sehingga mereka dapat mengatakan bahwa, “adat bersendi sara’ dan sara’
bersendi kitabullah”, atau pada penyesuaian dalam sebagian dari ajaran agama yang dipeluk,

seperti adanya tradisi abangan, priyayi, dan santri dalam kehidupan keagamaan orang Jawa Islam
(Geertz, 1980).
C. PENUTUP
Kebijakan multikulturalisme sebagai sebuah strategi kebijakan politik nasional hanya
mungkin terlaksana bila warga masyarakat Indonesia pada umumnya, dan komunitas-komunitas
serta individu-individu merasakan bahwa kebijakan tersebut menguntungkan mereka. Untuk itu
maka sebuah strategi kampanye harus dilakukan, sehingga dapat diterima dan masuk akal bagi
semua. Kampanye yang bertujuan untuk memperkenalkan multikultutralisme harus dibarengi
dengan program-program yang nyata yang hasilnya dapat dipetik dalam jangka waktu pendek
maupun dalam jangka waktu panjang. Program-program ini harus mampu mendorong
terciptanya pranata-pranata dan tradisi-tradisi dalam kehidupan sosial, baik pada tingkat
komunitas maupun pada tingkat umum dan nasional yang bercorak multikultural.
Model multikulturalisme hanya mungkin hidup dan berkembang dalam masyarakat yang
memegang prinsip demokrasi. Jika prinsip demokrasinya ditambah dengan embel-embel, yang
menunjukkan corak otoriter penguasanya, maka model multikulturalisme tidak berlaku dan
masyarakat multikultural tidak akan terwujud. Karena yang akan terwujud adalah masyarakat
majemuk yang dipimpin oleh sistem nasional yang otoriter, yang opresif, dan diskriminatif, yang
menjadi landasan dari pemerintahannya yang korup. Demokrasi bukan hanya dijadikan ideologi
4|Page


Paper Akhir
Negara dan Kajian Kebudayaan

Muhammad Syaiful Rohman
10/306973/PSA/02293

“Merumuskan Politik Kebudayaan Indonesia”

saja, atau hanya berlaku pada tingkat makro saja (pemisahan kewenangan eksekutif, legislatif,
dan judikatif), tetapi harus dapat berlaku dalam kehidupan yang nyata. Dalam kehidupan yang
nyata, demokrasi mewujudkan dirinya dalam kesetaraan derajat dan kewenangan yang berada
dalam hubungan saling kompetisi dan keseimbangan antara individu, komuniti (hak budaya
komuniti), dan negara (pemerintah) sesuai dengan konteks-konteks kepentingan masing-masing
(lihat Suparlan 1991). Hubungan antara individu, komuniti, dan negara yang berada dalam
kesetaraan derajat hanya mungkin terwujud bila didukung oleh sistem hukum dan penegakkan
hukum yang juga harus adil dan demokratis.
Bahan Bacaan:
Abdullah, Irwan
2006 Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anderson, Benedict

2001 Imagined Communities. Insist Pers kerjasama dengan Pustaka Pelajar
Geertz, Clifford
1980 Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Diterjemahkan oleh
Aswab Mahasin dari buku The Religion of Java. Jakarta: Pustaka Jaya.
Koentjaraningrat
1972 Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
1975

Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Suparlan, Parsudi
1982 Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Strategi Pengembangan Kebudayaan Nasional.
Makalah disampaikan kepada Direktur Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, Ditjenbud, Dep. P.
dan K.
1992 “Antropologi Untuk Indonesia”. Dalam, Sofyan Effendi, Syafri Sairin, dan Alwi
Dahlan (ed.). Yogyakarta: UGM. Hal. 191-206
Aturan Perundangan:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan


5|Page

Paper Akhir
Negara dan Kajian Kebudayaan

Muhammad Syaiful Rohman
10/306973/PSA/02293

“Merumuskan Politik Kebudayaan Indonesia”

6|Page