Perempuan Jender dan Politik Global

Tugas ​Review

II Jender Dalam Hubungan Internasional
Nama / NPM​ ​: Genta Maulana Mansyur / 1406618833

Sumber Utama: W
​ hitworth, Sandra. "Feminist Theories: From Women to

Gender and World Politics." ​Women, Gender, and World Politics. London:
Bergin &​ Garvey (1994): 75-88.

Perempuan, Gender, dan Politik Global
Kajian Jender dan Feminisme muncul sebagai sebuah pergerakan yang kemudian dijadikan
cabang ilmu pengetahuan akibat keresahan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka
yang tidak terpenuhi oleh sistem dan kondisi sosial yang patriarkis.1 Gerakan feminisme,
semenjak awal perkembangannya di akhir abad ke 18 telah menelurkan beberapa gelombang
yang seiring dengan perjalanannya menciptakan pula berbagai jenis dari gerakan feminisme itu
sendiri.2 Pejuang Feminisme, selama proses memperjuangkan demarjinalisasi perempuan itu
masih terjadi, akan selalu bergerak dalam berbagai aspek kehidupan yang memengaruhi
perempuan; salah satunya politik global. Sandra Whitworth dalam tulisannya yang berjudul




“Feminist Theories: From Women to Gender and World Politics” mengawali tulisannya dengan
concern mengenai bagaimana perempuan dalam lingkup jender seringkali dinilai absen dari
dunia politik global, karena anggapan yang menyatakan bahwa kegiatan politik itu merupakan
hal yang tidak bergender.3 Maka, para pemikir feminis menantang pandangan ini dan
berargumen bahwa perempuan dan jender sangat berketerkaitan dalam diskursus politik dunia.
Whitworth kemudian mengemukakan bahwa dalam menganalisis keterkaitan jender dan
perempuan dengan diskursus yang ada, terdapat berbagai pandangan yang mewarnai diskusi dan
perdebatan ilmiah dalam khazanah jender dan feminisme.4 Dalam tulisan ini, bahan utama
Whitworth menjelaskan tiga pendekatan utama yang dapat menjelaskan ketimpangan antara

Lene Hansen, “Ontologies, Epistemologies, Methodologies,” ​gender Matters in Global Politics: A Feminist
​ Introduction to International Relations (2010), 17-28.
2
Olive Banks, B
​ ecoming a Feminist the
​ Social Origins of “First Wave” Feminism (1986), 15-18.
3
​Sandra Whitworth, "Feminist Theories: From Women to Gender and World Politics," W

​ omen, Gender, and World
1

Politics. (London: Bergin & Garvey, 1994), 75-88.
4
​Ibid.,

1

laki-laki dan perempuan dalam aksi politik: feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme
posmodern.
Review ini akan meninjau kembali tulisan Whitworth mengenai beberapa pendekatan
empiris feminisme dalam membahas perempuan, jender, dan politik global pada kajian jender
dalam Hubungan Internasional. Review ini berargumen bahwa perbedaan pandangan yang
dijelaskan memiliki variasi dalam menjelaskan berbagai fenomena internasional dengan
keterlibatan perempuan dan jender, namun tetap memiliki satu implikasi tujuan yang sama yaitu
menjelaskan bagaimana kegiatan politik global itu sangat berkaitan dengan jender dan
berimplikasi pada perempuan. Adpun pendekatan yang paripurna untuk digunakan dalam
menjelaskan keterkaitan perempuan, jender, dan isu politik globala dalah pendekatan sensitif
jender. Review ini terbagi atas empat bagian, yakni: pendahuluan, ringkasan tulisan Whitworth,

ringkasan bahan pembanding dan analisis penulis, serta kesimpulan.
Pada pendekatan yang ​pertama,5 Whitworth menjelaskan mengenai pendekatan feminisme

liberal yaitu pendekatan yang menurutnya memiliki poin utama yaitu inklusi perempuan. Inklusi
perempuan, khususnya dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik merupakan suatu hal yang

mewah bagi perempuan dan perlu diperjuangkan padahal perempuan sudah sepantasnya
memiliki akses kepada semua aspek kehidupan tersebut tanpa perlu bersusah payah menerobos
sistem untuk berpartisipasi. Kesulitan ini menurut feminis liberal disebabkan oleh kurangnya
representasi perempuan dalam sistem itu sendiri, yang secara umum ditunjukkan dengan
rendahnya partisipasi perempuan di ranah pembuat kebijakan yaitu pemerintahan. Secara
spesifik, Whitworh menunjukkan rendahnya partisipasi perempuan dalam ranah politik dunia,
yang merupakan bahasan utama ilmu Hubungan Internasional, ditunjukkan dengan hampir
tiadanya peran perempuan dalam ranah aktivitas hubungan internasional yang lebih tradisional
yaitu dalam bidang keamanan. Whitworth berpendapat bahwa fenomena ini terjadi secara
terstruktur bahkan sejak dini kArena biasanya mainan perang-perangan itu ditujukan untuk anak
laki-laki dan bukan merupakan “dunia” perempuan.
Selain itu, perempuan pun, apabila pada akhirnya memiliki akses pada aktivitas yang
berkaitan dengan isu keamanan, seringkali mengalami batasan dan kesulitan dalam proses


5

​Ibid.,

2

sosialisasi dan pelatihan, karena syarat yang diberikan biasanya berupa syarat fisik yang tidak
disesuaikan dengan tubuh perempuan. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa kegiatan politik
global sesungguhnya sangat sarat jender karena adanya ketimpangan yang merugikan perempuan
dalam upaya mereka untuk berpartisipasi di dalamnya. Feminis liberal melihat bahwa apabila
perempuan diberikan kebebasan dalam memasuki atau berpartisipasi dalam ranah ini, maka
kesetaraan akan dapat terpenuhi dan marjinalisasi perempuan akan dapat dihapuskan.
Pada pendekatan yang ​kedua,6 Whitworth menjelaskan bagaimana pandangan feminisme

radikal melihat laki-laki sebenarnya menekan perempuan secara struktur dan menempatkan

perempuan pada posisi yang tersubordinasi atas kontrol yang dibebankan pada peran reproduksi,
seksualitas, dan peran sosial secara umum. Adanya subordinasi ini, dalam kajian politik
internasional berimplikasi kepada hadirnya “world view” yang bersifat maskulin di mana
hubungan politis yang tercipta selalu berputar pada kisaran transaksi ​power yang berbentuk


militer dan mengagungkan kekerasan. Padahal, pada pandangan feminisme radikal, perspektif
yang lebih feminin dalam memformulasikan suatu bentuk hubungan internasional dapat berupa
sesuatu bentuk kerjasama yang tidak didasari oleh kebencian dan mengindahkan ​empowerment

juga ​concern pada ekologi. Dalam ranah literatur, pemikir feminisme liberal tidak memfokuskan

kajian bagaimana perempuan berperan dalam isu perang dan damai, tetapi menekankan pada
perbedaan sikap perempuan dalam menghadapi isu perang dan damai. Feminis redikal
berargumen bahwa kedua sisi perang dan damai akan dapat dipahami dengan suatu pandangan
yang berbeda apabila perempuan yang mendominasi studi dan praktiknya dalam hubungan
internasional. Dan pada skala yang lebih besar, feminis liberal berargumenm bahwa dengan sifat
perempuan yang lebih cinta damai dan memetingkan pemeliharaan lingkungan dan kehidupan
manusia, pandangan perempuan lah satu-satunya harapan dunia internasional di era nuklir
sekarang ini.
Pandangan ini tidak menafikan bahwa secara biologi memang pria lebih agresif,
hierarkis, dan teritoris dibanding perempuan. Hal inilah yang justru digunakan dalam menyikapi
berbagai isu internasional dengan cara yang berbeda. Berbeda dengan pandangan feminisme
liberal yang lebih mengutamakan partisipasi perempuan atas kesetaraan yang dimiliki keduanya


6

​Ibid.,

3

dari sisi kemampuan berpikir rasional, pandangan ini lebih memfokuskan pada ​acknowledgement

terhadap perbedaan biologis kedua belah pihak dan dari nya menentukan pendekatan seperti apa
yang diharapkan dapat dilaksanakan untuk mendapatkan ​outcome yang berbeda khususnya

dalam isu politik global.

Pada pandangan ​ketiga,7 Whitworth menjelaskan mengenai pendekatan posmodernisme

dalam kajian feminisme yang lebih berfokus dalam mendekonstruksi makna dari “perempuan”

itu sendiri. Pandangan ini kebanyakan merupakan respons kepada esensialisme yang ditawarkan
oleh pandangan feminisme radikal. Pemikir dalam pandangan ini menolak pendefinisian
“perempuan” yang disematkan oleh laki-laki atau maskulinitas. Adapun maksud dari penolakan

itu adalah bahwa justru penggambaran “perempuan” yang diletakkan pada posisi yang
termarjinalkan itu sendiri merupakan sebuah bentuk yang sudah memarjinalkan “perempuan”
sebagai kelompok individu. Memikirkan kata “perempuan”, menurut posmodernis, sudah terlalu
banyak mengaitkan pada atribut di mana perempuan itu sendiri sudah sebelumnya tertekan dalam
pandangan yang dominan karena diskursus yang berbicara sebagai “perempuan” itu sendiri tidak
ada atas ketiadaan set hubungan kongkrit dan berjender. Posmodernis menolak bahwa subjek
harus memiliki inti yang otentik atau identitas yang esensial. Mereka berargumen bahwa setiap
upaya yang dilakukan untuk mendefinisikan individu seharusnya mengesampingkan beberapa
fitur penting individu tersebut karena akan dapat memaksa pada pemahaman yang tidak objektif.
Dalam respons terhadap feminisme radikal, feminisme posmodernis menolak ide bahwa
perempuan merupakan individu yang tergambar dan teratribut dengan karakteristik yang banyak
didefinisikan.
Dapat dijelaskan kemudian bahwa posmodernis berpendapat bahwa setiap individu tanpa
melihat identitas ke-perempuan-an atau ke-laki-laki-an mereka seharusnya diberikan kebebasan
dalam politik global. Maka dari itu, tidak akan ada suatu ide “perempuan” spesifik yang
menunjukkan subordinasi kelas, ras, orientasi seksual, namun perempuan sebagai individu tentu
akan masuk juga kedalam ranah kebebasan yang disediakan. Tetapi, Whitworth kemudian
menjelaskan permasalahan yang dapat timbul dari absen nya klasifikasi “perempuan” itu sendiri
karena akan sulit menemukan di mana poin ketimpangan yang ada antara perempuan dan


7

​Ibid.,

4

laki-laki itu sendiri ada dan dapat dijelaskan. Kendatipun begitu, dapat diketahui bahwa
penefinisian dari setiap ​term yang digunakan dalam hubungan internasional, baik sebagai ilmu

maupun fenomena, telah sebelumnya terekspos pada atribut jender yang menimbulkan definisi
term itu sendiri. Whitworth juga menggunakan istilah ​postfeminist dalam menjelaskan kelompok
pemikir feminisme posmodernis atas hilangnya analisis pandangan pada kepentingan politik
yang dibahas dalam feminisme: ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya

Whitworth

kemudian

menjelaskan


beberapa

permasalahan

yang

diasosiasikan dengan feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme posmodernis
meskipun setiap pendekatan telah berkontribusi dalam menguak cara-cara perempuan
berkontribusi dalam hubungan internasional dan juga menjelaskan bahwa kajian perpolitikan
selalu berjender. Maka dari itu, Whitworth mengemukakan kombinasi dari ketiga pandangan ini
yang ia katakan sebagai Teori feminis kritis atau perspektif sensitif jender dalam Hubungan
Internasional.8 Pandangan ini mengutamakan relasi jender dalam menjelaskan politik global.
Pandangan ini mengambil penekanan liberal feminis pada rendahnya partisipasi perempuan
dalam sistem dan ketidakadilan yang didertia perempuan, namun juga meletakkan inklusi
perempuan pada area-area yang lebih dekat dengan mereka atau membetulkan ketidakadilan
legislasi. Selain itu, pandangan ini tertarik dengan ide maskulinitas dan femininitas namun
menghindari pandangan singular dan esensial mengenai perspektif feminin; maka padangan ini
lebih bertanya kepada ide dan praktik apa mengenai jender yang dapat digunakan untuk
membuat, mempertahankan, dam melegitimasi rendahnya representasi perempuan atau

ketidakadilan yang tercatat. Selain itu, padangan ini juga menyerap aspirasi posmodernis
mengenai konstruksi sosial menimbulkan ketimpangan berupa jender, tetapi mengedepankan
pemahaman hubungan laki-laki dan perempuan melalui analisis kebisasaan, praktik, dan diskurus
aktor internasional dan institusi tertentu.
Pandangan ini pada intinya, melihat istilah ​jender sebagai pemahaman mengenai

perbedaan seksual. Dalam membahas jender sebagai perbedaan seks yang dalah kajian hubungan

internasional, tidak hanya membahas peran perempuan dalam perang atau bagaimana perasaan
perempuan terhadap perang, tetapi juga jalan di mana pemerintah dan penggunaan militer dapat

8

​Ibid

5

menimbulkan pemahaman jender. Sehingga, perempuan dan laki-laki akan dapat memiliki peran
masing-masing


dalam

peperangan

tanpa

menimbulkan

retoris

misognis

yang

tidak

mengindahkan adanya partisipasi perempuan dalam aktivitas tersebut. Tulisan ini pada dasarnya
menjelaskan bahwa jender terorganisasi dan tidak hanya timbul dari definisi yang disematkan
pada istilah “laki-laki” dan “perempuan”; apa yang terkonstruksi dapat direkonstruksi dan apa
yang telah dibuat dapat dibuat kembali. Berbeda dari pandangan mainstream yang menilah
politik global sebagai suatu hal yang tidak dapat diakses ataupun diubah oleh perempuan,
pandangan ini melihat hubungan internasional dapat diubah dan dapat diakses. Dan perempuan
dapat berpartisipasi di dalam nya untuk membantu mereformasi sistem yang ada dalam bentuk
pemasukan pemahaman terhadap hubungan jender dalam praktik internasional.
Selanjutnya penulis akan menjelaskan beberapa pendapat dari IRs schoalrs lain mengenai
bagaimana pertisipasi dan keterkaitan perempuan dalam kajian jender, feminisme, dan hubungan
internasional. Mark Tessler dan Ina Warriner dalam tulisan mereka yang berjudul “Gender,
Feminism, and Attitudes toward International Conflict: Exploring Relationships with Survey
Data from the Middle East” berbendapat bahwa perempuan dan laki-laki tidak memiliki
perbedaan dalam tanggapan mereka mengenai konflik internasional.9 Penulis melihat bahwa
hasil ini menolak pandangan Whitworth dalam pendekatan “sensitif jender” nya yang kurang
lebih menyetujui adanya perbedaan inheren diantara laki-laki dan perempuan seperti yang
disebutkan oleh pandangan feminisme radikal.10 Tessler dan Warriner, berdasarkan hasil
penelitian survey mereka, melihat bahwa selain itu, koneksi antara jender dan perilaku atas
perang dan damai juga tidak ada dalam politik, ekonomi, dan lingkungan sosial.11
Di sisi lain, penemuan mereka menunjukkan hubungan antar sikap yang berkaitan dengan
jender dan sikap tentang perang dan damai. Hasil ini mengejawantahkan adanya suatu perbedaan
pendapat mengenai bagaimana perempuan dan laki-laki dalam hal konflik internasional
sama-sama memiliki pandangan yang tidak memiliki perbedaan pasifis.12 Penemuan ini
didasarkan oleh pandangan mereka yang melihat bahwa ternyata perempuan dan laki-laki
​Mark Tessler dan Ina Warriner, "Gender, feminism, and attitudes toward international conflict: Exploring
relationships with survey data from the Middle East," ​World Politics 49, no. 02 (1997), 250-281.
10
Whitworth,​ OpCit.,
11
Tessler dan Warriner,​ OpCit.,
12
​Ibid.,
9

6

sama-sama dapat melihat isu konflik internasional sebagai topik yang dapat diakses, sehingga
partisipasi kedua belah pihak seharusnya dapat terjadi.13 Hasil ini lebih menjelaskan adanya
kesesuaian dengan pandangan feminisme liberalis pada kesamaan rasionalistas perempuan dan
laki-laki dalam menghadapi isu politik internasional, yang dalam kasus tulisan Tessler dan
Warriner adalah isu konflik Timur-Tengah. Kondisi ini dapat penulis lihat sebagai kesesuaian
dengan konsep dokumentasi partisipasi laki-laki dan perempuan yang dikemukakan dalam
pandangan sensitif jender Whitworth.
Selanjutnya terdapat pandangan lain dari Craig N. Murphy yang kurang lebih
mengomentari apa esensi dari praktik perang dan damai bagi perempuan karena topik ini adalah
topik utama yang dibahas dalam kajian hubungan internasional yang tradisional dan ​mainstream.

Apabila apda tulisan Whitworth dalam pandangan sensitif jendernya perempuan seharusnya
memiliki peran tersendiri dalam perang dan damai, Murphy melihat justru pembahasan jender
dan inklusi dari divisi yang ditentukan oleh istilah “perempuan” tidak harus terjadi karena atribut
identitas perang dan damai (dalam hal ini karakteristik dunia peperangan yang ​violent) akan

selalu ada.14 yang menurut Murphy seharusnya dilaksanakan adalah partisipasi yang lebih luas
dari baik perempuan dan laki-laki yang memang memiliki persamaan dengan karakteristik dari
perang dan damai itu sendiri.15 Penulis melihat Murphy mencoba menjelaskan bahwa identitas
perempuan dalam pembahasan feminisme yang ada tidak seharusnya menghambat partisipasi
perempuan maupun tidak harus memberikan ​privilege bagi laki-laki. Pendapat ini menurut
penulis

kurang lebih sefrekuensi dengan pandangan feminis posmodernisme karena

menghapuskan atribut identitas seks dan jender sebagai penghambat keberbartisipasian
perempuan. Pendapat ini, menurut penulis menjelaskan poin pada pendekatan sensitif jender
yang dibawa oleh Whitworth dari feminisme posmodernis yaitu bahwa atribut atau identtias
perang telah terkonstruksi oleh lingkungan sosial.
Pada pembanding yang terakhir, penulis membawa tulisan dari Eric M. Blanchard dalam
“Gender, International Relations, and the Development of Feminist Security Theory” yang
banyak membahas mengenai perkembangan teori keamanan feminis. Blanchard melihat bahwa
​Ibid.,
​Craig N Murphy, "Seeing women, recognizing gender, recasting international relations," ​International Organization
50, no. 03 (1996), 513-538.
15
​Ibid.,

13
14

7

apabila jender dari nilai feminin dimasukan kedalam pembahasan keamanan, maka isu keamanan
yang dianalisis dan berkembang dalam diskursus ilmu Hubungan Internasional akan berubah
menjadi bentuk “normatif” nya dalam artian setiap isu yang disekuritiasi mengindahkan
nilai-nilai feminin yang secara umum dilihat lebih lembut, damai, dan pasifis. 16 pandangan ini
juga secara tidak langsung menjelaskan bahwa isu keamanan yang saat ini berkembang dan
beratribut jener maskulin berjalan secara tanpa norma dan liar. Maka dari itu, Blanchard
berpendapat bahwa dalam perkembangan sistem persenjataan dunia yang terus berkembang, isu
keamanan yang dibahas seharusnya memang berubah bentuk dalam bentuk yang lebih normatif
dan peaceful karena apabila ada suatu bentuk “keliaran” terjadi pada stabilitas keamanan global,
maka kehancuran yang terjadi pun dapat menjadi “liar” atas efek kehancuran yang luar biasa.17
Pendapat ini menurut penulis menjelaskan ulang pandangan feminisme radikal yang menyetujui
adanya perbedaan karakteristik yang alamiah antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan
harapan partisipasi pemikiran feminin dapat mengambil alih kajian keamanan. Pendapat ini juga
penulis lihat sebagai bentuk kesamaan terhadap pengakuan dikotomi maskulin-feminin dalam
politik global yang diakui oleh pendekatan sensitif jender Whitworth.
Dari ringkasan tulisan Whitworth dan semua bahan pembanding yang telah dikemukakan
diatas, penulis dapat menarik kesimpulan mengenai mengapa pendekatan sensitif jender yang
diusung oleh Sandra Whitworth merupakan pendekatan yang paripurna. Kesimpulan ini didasari
dari alasan-alasan berikut: (1) pada pengambilan nilai “dokumentasi partisipasi perempuan”
dalam pendekatan sensitif jender yang diambil dari feminisme liberal, penulis melihat
pendekatan ini dapat secara proaktif menjelaskan cara-cara yang paling sesuai digunakan atau
dikembangkan agar perempuan dapat berpartisipasi dalam dunia politik global yang seringkali
dilihat

sebagai

sesuatu

yang

maskulin;

(2)

pada

pengambilan

nilai

“pengakuan

maskulin-feminin” pada pendekatan sensitif jender Whitworth yang diambil dari feminisme
radikal, penulis melihat nilai ini sesuai digunakan untuk menjelaskan urgensi partisipasi
nilai-nilai feminin dalam politik global, juga untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya ranah
politik itu menang berjender dan terjender, bukan netral jender dan maka dari itu perlu dibuat
​Eric M. Blanchard, "Gender, international relations, and the development of feminist security theory," ​Signs 28, no.
4 (2003), 1289-1312.
17
​Ibid.,
16

8

lebih feminin melalui partisipasi perempuan; (3) pada pengambilan nilai “atribut jender yang
terkonstruksi oleh sosial” yang diambil dari pendekatan feminisme pomodernisme, penulis
melihat bahwa atribut jender yang ada pada isu perang dan damai tidak seharusnya dijadikan
alasan bagi semua orang, baik perempuan maupun laki-laki untuk dapat berpartisipasi di
dalamnya. Justru ini merupakan sebuah kesempatan yang terbuka luas bagi terciptanya
kesetaraan bagi kedua belah pihak. Selain itu, dengan adanya partisipasi yang dibuka secara
bebas, isu politik global yang sebelumnya terlihat sangat tertutup dan sulit diakses dapat
direformasi dan dibuat kembali dengan mengindahkan atribut yang lebih feminin karena atribut
yang sudah ada dan terkonstruksi oleh sosial adalah bersifat maskulin.
Referensi
Blanchard, Eric M. "Gender, international relations, and the development of feminist security
theory." S​ igns 28, no. 4 (2003): 1289-1312.​.
Lene Hansen, “Ontologies, Epistemologies, Methodologies,” ​gender Matters in Global Politics:
A Feminist Introduction to International Relations (2010), 17-28.
Murphy, Craig N. "Seeing women, recognizing gender, recasting international relations."
International Organization 50, no. 03 (1996): 513-538.
Olive Banks, B
​ ecoming a Feminist the Social Origins of “First Wave” Feminism, (1986), 15-18.
T​essler, Mark, and Ina Warriner. "Gender, feminism, and attitudes toward international conflict:
Exploring relationships with survey data from the Middle East." ​World Politics 49, no. 02
(1997): 250-281.
Whitworth, Sandra. "Feminist Theories: From Women to Gender and World Politics." W
​ omen,
Gender, and World Politics. London: Bergin & Garvey (1994): 75-88

9