Hubungan keuangan dan pengawasan pusat d
Makalah Hubungan Pusat Dan Daerah
Dinamika Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia pada Era Sentralisasi
(Pengampu : Nur Azizah, S.IP., M.Sc. / Drs. Josef Riwu Kaho, MPA)
Disusun oleh :
Kelompok 8
Fatra Yudha Pratama (14/364987/SP/26242)
Lia Wahyu Hartanto (14/364854/SP/26232)
Khristian Dwi Nugraha (14/369794/SP/26522)
Putu Alit Panca Nugraha (14/364869/SP/26241)
Sri Bintang Pamungkas (14/364610/Sp/26138)
UNIVERSITAS GADJAH MADA
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
Tahun Akademik 2014/2015
Jalan Sosio Yustisia, Bulaksumur 55281
YOGYAKARTA
PENDAHULUAN
Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan,
karena masalah tersebut dalam prakteknya sering menimbulkan upaya tarik-menarik
kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan. Terlebih dalam negara
kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan
pemerintahan sangat jelas sekali.
Menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan pemerintah pusat
untuk senantiasa mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan
peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri dalam rangka
mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya.
Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pasal 18 UUD 1945
telah diatur pembagian wilayah Negara Kesatuan RI menjadi daerah provinsi yang kemudian
dibagi lagi menjadi daerah kabupaten/kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan Undang-Undang. Ketentuan tersebut merupakan amandemen kedua yang disahkan
pada tanggal 18 Agustus 2000. Sebelum amandemen ketentuan pasal 18 UUD 1945
berbunyi : “ Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil , dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang , dengan memandang
dan mengingati dasar permusyawaratn dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.1
Pasal 18 ditambah dengan 6 ayat baru yang antara lain mengatur masalah otonomi
daerah dan tugas pembantuan , pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang dilakukan
secara demokratis dan langsung oleh rakyat, serta kewenangan pemerintah daerah dalam
membuat peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan
tugas pembantuan. Sedang penambahan pasal baru dilakukan dengan membuat pasal 18 A
yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang
pemerintahan , keuangan , pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya alam. Sedang
penambahan pasal 18 B isinya mengakui adanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa , serta mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak-hak
tradisionalnya.
1 Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah sejak kemerdekaan
sampai era reformasi,(Laksbang Mediatama,2008), hlm 30
Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang
menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan,
hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan hubungan yang timbul dari susunan
organisasi pemerintahan di daerah.
A. Hubungan Kewenangan
Desentralisasi yang dianut dalam konsep negara kesatuan pada akhirnya juga akan
mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya yang berkaitan
dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu,
adanya satuan pemerintahan yang berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain
adalah untuk mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.
Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan
penyelenggaraan pemerintahan atau cara menetukan urusan rumah tangga daerah. Cara
penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat
digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila : Pertama; urusan-urusan rumah tangga daerah
ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu
pula. Kedua; apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa , sehingga
daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga; sistem hubungan keuangan antara pusat dan
daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah
yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.2
B. Hubungan Pengawasan
Hubungan pengawasan hanya dilakukan terhadap hal yang secara tegas ditentukan
dalam Undang-Undang. Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap hal yang
tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.3 Sistem pengawasan juga menentukan
2 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , (Yogyakarta: Pusat Studi
hukum Fakultas Hukum UII,2004), hlm 37
3 Jazim Hamidi,Mustafa Lutfi, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan
Daerah,(Malang:UBPress,2011),hlm 42
kemandirian satuan otonomi. Untuk menghindari agar pengawasan tidak melemahkan
otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik baik lingkup maupun tata cara
pelaksanaannya. Karena itu hal-hal seperti memberlakukan prinsip “pengawasan umum”
pada satuan otonomi dapat mempengaruhi dan membatasi kemandirian daerah. Tidak boleh
ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan. Kebebasan berotonomi dan
pengawasan merupakan dua sisi dari satu lembaran dalam berotonomi untuk menjaga
keseimbangan antara kecenderungan desentralisasi dan sentralisasi yang dapat berjalan
berlebihan.4
Jenis pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada beberapa macam
ruang lingkup pengawasan, diantaranya:
1. Pengawasan dari segi institusi (lembaga)
Ada dua macam pengawasan pada segi ini, yaitu pengawasan internal dan
pengawasan eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat
dalam organisasi pemerintah itu sendiri. Contoh : Inspektorat Wilayah Propinsi, Inspektorat
Wilayah Kabupaten, Inspektorat Wilayah Kota.
Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas
yang sama sekali berada di luar organisasi atau birokrasi pemerintah. Contoh : Pengawasan
aspek politik oleh DPR-DPRD, Pengawasan aspek keuangan oleh BPK, Pengawasan aspek
hukum oleh lembaga Peradilan, Pengawasan aspek sosial oleh Institusi Pers, Organisasi
kemasyarakatan, LSM, dll, Pengawasan aspek etik oleh Komisi Ombudsman Nasional.
2. Pengawasan dari segi substansi atau objek yang diawasi
Dari segi substansi maupun objeknya, pengawasan dapat dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi oleh
pemimpin atau pengawas dengan mengamati,meneliti,memeriksa,mengecek sendiri secara
“on the spot” ditempat pekerjaan terhadap objek yang diawasi. Jenis pengawasan semacam
ini sering disebut pula dengan sidak. Sedang pengawasan tidak langsung diadakan dengan
mempelajari laporan-laporan yang diterima baik lisan maupun tertulis, mempelajari masukan
masyarakat dan sebagainya tanpa terjun langsung di lapang.
Objek yang diawasi dalam jenis pengawasan ini adalah pengawasan terhadap semua
urusan pemerintahan (daerah) yang telah menjadi kewenangannya. Sifat pengawasannya bisa
44 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,op cit, hlm 39
menyangkut soal administratifnya, dari segi legalitas hukumnya, maupun dari pertimbangan
kemanfaatannya.
3. Pengawasan dari Segi Waktu
Pengawasan dari segi waktu dapat dibedakan ke dalam pengawasan preventif (kontrol
a-priori) dan pengawasan represif (kontrol a-posteriori). Pengawasan preventif adalah
pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan (masih bersifat rencana) atau sebelum
dikeluarkannya kebijakan pemerintah (baik berupa peraturan maupun ketetapan).
Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan dilaksanakan atau
setelah peraturan atau ketetapan pemerintah dikeluarkan.
4. Pengawasan Lintas Sektoral
Pengawasan lintas sektoral adalah pengawasan yang dilakukan secara bersama-sama
oleh dua atau lebih perangkat pengawasan terhadap program-program dan kegiatan
pembangunan yang bersifat multi sektoral yang menjadi tanggungjawab semua departemen
atau lembaga yang terlibat dalam program atau kegiatan tersebut.
C. Hubungan Keuangan
Hubungan keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan
dengan
memberikan
kebebasan
kepada
daerah
untuk
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan. UU Nomor 33 Tahun 2004 telah menetapkan dasar-dasar pendanaan
pemerintahan daerah sebagai berikut. Sesuai dengan pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2004,
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
didanai APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam
rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai APBN. Berikut beberapa hal yang diatur dalam
perimbangan keuangan pusat dan daerah :
1. Pajak Daerah ; iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang. Dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
2. Retribusi Daerah ; pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disesiakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah
untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ; pajak yang dikenakan atas bumi dan atau
bangunan. Pembagian hasilnya dibagi dengan imbalan 10% untuk pemerintah
pusat dan 90% untuk daerah.
4. Dana Alokasi Umum (DAU) ; dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU
dialokasikan untuk provinsi, kabupaten/kota. Misal : Pendidikan, Kesehatan,
Irigasi, Jalan dan prasarana umum, Pertanian, Kelautan dll.
5. Dana Alokasi Khusus ; dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional.Misal : Bidang kesehatan, Bidang Pendidikan, Bidang Infrastruktur.
DINAMIKA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA PADA
ERA SENTRALISASI
I.
Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Pada tahun 1855 Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan peraturan dasar
ketatanegaraan mengenai sentralisasi. Pada saat yang bersamaan telah dijalankan pula
dekonsentrasi. Dengan demikian pada waktu itu sudah terdapat wilayah-wilayah
administratif, misalnya di Jawa secara hirarkis adalah Gewest, Afdeeling, District, dan
Onderdistrict.
Pada
tahun
1903
Pemerintah
Kerajaan
Belanda
menerapkan
Decentralisatiewet 1903 dengan alasan bahwa sistem yang sentralistis tidak dapat
dipertahankan terus karena perkembangan politik dan pemerintahan di Hindia Belanda
maupun Negeri Belanda. Sedangkan hubungan keuangan di era pemerintahan Hindia Belanda
baru dikenal pada tahun 1938. Pada masa ini, pengawasan atas pengeluaran daerah dilakukan
sangat ketat oleh instansi atasannya. Usaha perluasan tugas Regentschappen dan
Stadsgemeenten dengan menerima urusan “Sekolah Rakyat” dan Provincies yang juga
diserahi urusan-urusan pertanian rakyat, kehewanan, dan sebagainya adalah dasar dari adanya
keuangan, karena harus dibiayai dengan Pajak dan Retribusi daerah. Sluitpost systeem
digunakan untuk mengatur hubungan keuangan pada masa kolonial. Apabila ada perbedaan
antara pengeluaran dan pendapatan, maka ditutup dengan cara Pemerintah Pusat
menyerahkan sejumalah presentase dari hasil pungutan beberapa Pajak Negara.
Terdapat beberapa ciri pokok dari UU Desentralisasi 1903 diantaranya :
1) Pembentukan sebuah daerah dengan keuangan sendiri untuk membiayai kebutuhankebutuhannya yang pengurusannya dilakukan oleh sebuah raad.
2) Bagi daerah yang dianggap telah memenuhi syarat, maka setiap kali dengan
ordonnantie pembentukan, dipisahkanlah sejumlah uang setiap tahun dari kas
negara untuk diserahkan kepada daerah tersebut.
3) Locale raad berwenang menetapkan locale verordeningen mengenai hal-hal yang
menyangkut kepentingan-kepentingan daerahnya sepanjang belum diatur oleh pusat.
4) Pengawasan terhadap daerah baik berupa kewajiban daerah untuk meminta
pengesahan terlebih dahulu bagi keputusannya maupun hak menunda atau
membatalkan keputusan daerah berada di tangan Gubernur Jenderal. Pejabat
ini berhak pula mengatur hal-hal yang dilalaikan oleh locale raad.
II.
Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Pemerintahan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 hingga tahun 1945, Pemerintah Bala
Tentara Kerajaan Jepang tidak mengadakan perubahan apapun atau kebijakan masa kolonial
tetap dipertahankan. Hubungan keuangan pada masa ini pun masih menggunakan Sluitpost
system juga.
III.
Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Pemerintah Indonesia berhasil mengeluarkan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan
Daerah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini maka mulailah dibentuk daerah-daerah
otonom yang diserahi urusan-urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri oleh
pemerintahan pusat. Dari sini timbul hubungan keuangan dikarenakan untuk mengatur urusan
rumah tangganya sendiri, daerah membutuhkan biaya atau uang.
Undang-Undang No. 22 tahun 1948 pasal 37 membahas mengenai sumber-sumber
keuangan daerah agar daerah-daerah dapat membiayai segala aktivitasnya, diantaranya :
a.
b.
c.
Pajak daerah termasuk retribusi daerah;
Hasil perusahaan daerah
Pajak Negara yang diserahkan kepada daerah
d.
Lain-lain (pinjaman, subsidi, hasil penjualan barang milik daerah)
Karena kabupaten, kota besar, dan kota kecil merupakan kelanjutan dari Regentschap
dan Staatsgemeente dulu, maka daerah-daerah itu melanjutkan pemungutan Pajak-Pajak
daerah seperti semula (pajak anjing, pajak hiasan kuburan, pajak minuman keras). Disamping
pajak-pajak daerah tersebut, beberapa daerah tertentu juga memungut pajak dari Perseroan
Terbatas sebagai pengganti kerugian dari perkebunan - perkebunan berhubung dengan
kerusakan jalan sebagai akibat pengangkutan hasil-hasil perkebunan tersebut.
Sistem hubungan keuangan yang digunakan masih tidak jauh dengan Sluitpost
systeem.. Dari sumber-sumber pendapatan mandiri daerah, tiap-tiap daerah menyusun APBD
setiap tahun. Jika ada selisih pengeluaran dengan pendapatan maka daerah akan mendapat
tambahan pemasukan dari pajak negara yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan
daerah yang bersangkutan. Pemerintah pusat telah menetapkan batas tertentu (plafond) dalam
memberikan bantuan kepada daerah untuk menutupi kekurangan. Jadi daerah tidak dapat
seenaknya menentukan pengeluarannya, karena berpeluang menyebabkan selisih antara
pengeluaran dengan pendapatan yang sangat besar. Namun dalam perjalanannya hubungan
keuangan yang diatur dengan Sluitpost systeem ini menimbulkan kecenderungan pemerintah
daerah terlalu bergantung pada pemerintah pusat.
IV.
Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Pemerintahan Masa Orde Baru
Dibawah UU No.5/1974.
Setelah UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah dicabut,
maka diundangkanlah Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah. Dalam pasal 55 UU No. 5 tahun 1974 dinyatakan sebagai berikut, sumber
pendapatan daerah adalah :
a.
Pendapatan Asli Daerah sendiri (hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
perusahaan daerah, lain-lain hasil daerah yang sah) ;
b. Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah (sumbangan dari pemerintah, sumbangansumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan) ;
c.
Lain – lain pendapatan yang sah.
Dibawah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, pada prinsipnya mengutamakan
pembangunan ekonomi. Dimensi perundangan ini tidak bisa terlepas dari kebijakan
pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogi pembangunan, yaitu : stabilitas yang makin
mantap,pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan
dan hasil-hasilnya.5
Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah
pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah,
yang ciri-cirinya meliputi :
a.
Konsentrasi kekuasaan ada di lembaga eksekutif (kepala daerah)
b.
Ditutupnya akses parpol dalam pemerintahan daerah, dihapusnya BPH (Badan
Pemerintahan Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam pemerintahan daerah (versi
UU No.1 Tahun 1957).
c.
Tidak dilakukannya hak equate (angket) DPRD yang dapat mengganggu keutuhan
kepala daerah.
d.
Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD , tetapi secara hierarki kepada
presiden.
e.
Kepala daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentag pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan 1 (satu) tahun sekali.
Pemerintah Orde Baru juga memperkuat posisi kekuasaannya dengan memberikan
peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif di daerah
(dalam hal ini kepala daerah). Hal itu ditandai dengan pemberian sebutan kepala daerah
sebagai “penguasa tunggal” di daerah. Tidak mengherankan jika kedudukan kepala daerah
pada waktu itu sangat sentral dan dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Kepala daerah merupakan boneka atau kepanjangan tangan dari pemerintah pusat (Presiden)
untuk mengamankan setiap kebijakan pemerintah di daerah.6
Selama pelaksanaan undang-undang tersebut , berkembangnya tuntutan otonomi
daerah secara nyata tidak terlepas dari kenyataan ketimpangan antar daerah yang telah
berlangsung lama , setidaknya terdapat lima kesenjangan yang kronis :7
1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar
2. Kesenjangan investasi daerah yang besar
3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang
terpusat
4. Pendapatan daerah dikuasai pusat
5 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah suatu solusi dalam menjawab kebutuhan lokal dan
tantangan global,(Jakarta:Rineka Cipta,2007),hlm 27
6 Sudono Syueb, Ibid, hlm 53
7 J.Kaloh, ibid, hlm 27
5. Net Negative Transfer yang besar .Salah satu yang mendorong melebarnya kesenjangan
regional adanya ketimpangan alokasi kredit.
Implikasi dari dominasi kekuasaan lebih berat pada Pemerintah pusat dan
kepemimpinan di daerah yang berorientasi ke atas (pusat) menyebabkan rakyat berada pada
posisi yang lemah (strong state and weak society), di mana nilai-nilai kedaulatan rakyat
mengalami pengikisaan akibat kuatnya kekuasaan pemerintah yang tercermin dalam struktur
kekuasaan dan garis kepemimpinan sampai ke daerah .
Dengan konsep otonomi yang demikian, Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan
sebuah “institusi otonom” yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil
Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan
konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah
manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau sentralisme yang
dikemas dengan dekonsentrasi.8
KESIMPULAN
Dasar-dasar hukum pelaksanaan hubungan pemerintahan pusat dan daerah di
Indonesia diawali saat pembentukan Decentralisatiewet 1903 oleh Pemerintahan Kerajaan
Belanda. Dilandasi bahwa sistem sentralistis yang berlaku sejak 1855 sudah tidak dapat
dipertahankan. Usaha perluasan tugas Regentschappen dan Stadsgemeenten dengan
menerima urusan “Sekolah Rakyat” dan Provincies yang juga diserahi urusan-urusan
pertanian rakyat, kehewanan, dan sebagainya adalah dasar dari adanya keuangan, karena
harus dibiayai dengan Pajak dan Retribusi daerah. Sluitpost systeem digunakan untuk
mengatur hubungan keuangan pada masa kolonial. Apabila ada perbedaan antara pengeluaran
dan pendapatan, maka ditutup dengan cara Pemerintah Pusat menyerahkan sejumlah
presentase dari hasil pungutan beberapa Pajak Negara.
Pada era kolonialisme Jepang dan tahun-tahun pasca Kemerdekaan Sluitpost systeem
masih digunakan. Pada masa awal terbentuknya negara Indonesia (Orde Lama, utamanya era
Demokrasi Terpimpin), pemerintah pusat telah menetapkan batas tertentu (plafond) dalam
memberikan bantuan kepada daerah untuk menutupi kekurangan. Jadi daerah tidak dapat
seenaknya menentukan pengeluarannya, karena berpeluang menyebabkan selisih antara
8 ibid,hlm 31
pengeluaran dengan pendapatan yang sangat besar. Namun dalam perjalanannya hubungan
keuangan yang diatur dengan Sluitpost systeem ini menimbulkan kecenderungan pemerintah
daerah terlalu bergantung pada pemerintah pusat.
Dominasi pemerintah pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan (eenheidstaat) menjadi
tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul
gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal. Dengan perkataan lain,
gagasan negara federal atau negara serikat dapat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan yang
dianggap berlebihan (a highly centralized government), di samping terdapat sebab lain seperti
hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dianggap kurang adil (soal prosentase)
yang merugikan daerah.9
Pada masa Orde Baru kebijakan pembangunan ekonomi berasaskan trilogi
pembangunan, yaitu : stabilitas yang makin mantap,pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya. Pengaruh yang cukup signifikan
dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk
terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah. Salah satunya dengan mengalihkan konsentrasi
kekuasaan di lembaga eksekutif (kepala daerah). Pemerintah Orde Baru juga memperkuat
posisi kekuasaannya dengan memberikan peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada
pemegang kekuasaan eksekutif di daerah (dalam hal ini kepala daerah) untuk mengamankan
setiap kebijakan pemerintah di daerah. Imbas yang lahir dari kebijakan tersebut adalah
kesenjangan-kesenjangan yang timbul di antar-daerah yang melahirkan tuntutan otonomi,
contohnya :
1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar
2. Kesenjangan investasi daerah yang besar
3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur
yang terpusat
4. Pendapatan daerah dikuasai pusat
5. Net Negative Transfer yang besar. Salah satu yang mendorong melebarnya
kesenjangan regional adanya ketimpangan alokasi kredit.
Dengan konsep otonomi yang demikian, Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan
sebuah “institusi otonom” yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil
Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan
9 Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara
Pusat dan
Daerah , (Yogyakarta:UII Press,2006) hlm.76
konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah
manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau sentralisme yang
dikemas dengan dekonsentrasi.
Jika ditarik kembali benang merahnya, pada era sentralisasi ini terjadi pemusatan
kebijakan terutamanya keuangan pada pemerinah pusat sehingga daerah seolah-olah hanya di
jadikan sapi perah karena tidak dibiarkan mengatur kebijakan perekonomiannya masingmasing. Pada akhirnya pemerintah daerah yang tidak memiliki kemampuan keuangan
mencukupi tidak leluasa mengembangkan daerahnya sesuai dengan kebutuhan masingmasing. Contohnya anggaran pendidikan menurun dari waktu ke waktu, dapat ditebak akan
terjadi perlambatan pengembangan pendidikan daerah yang menyebabkan ketimpangan antar
daerah.
Daftar Pustaka :
Asshidiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Mahkamah
Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 2004
Astawa, I Gde Pantja, Problematika Hukum Otonomi Daerah Di Indonesia, Bandung:
PT Alumni, 2008
Fauzan, Muhammad. Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan
Keuangan Antara Pusat dan Daerah , UII Press, Yogyakarta 2006.
Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta : Pusat Studi
Hukum Fakultas Hukum UII, 2004
Hamidi, Jazim. Lutfi, Mustafa, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan
Daerah, Malang : UB Press, 2011
Kaloh, J., Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Jakarta : Rineka Cipta, 2007
Karim, Abdul Gaffar (Ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia,
Pustaka Pelajar, 2003
Liang Gie, The, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia :
Suatu Analisa Tentang Masalah-Masalah Desentralisasi, Jilid I, Gunung Agung, Jakarta,
1993.
Syueb, Sudono, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan Sampai
Era Reformasi, Laksbang Mediatama, 2008
Riwo Kaho, Josef, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia,
Bina Aksara, Jakarta, 1982.
Riwo Kaho, Josef, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Press,
Jakarta, 1988.
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1974
UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1959
UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 1965
Dinamika Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia pada Era Sentralisasi
(Pengampu : Nur Azizah, S.IP., M.Sc. / Drs. Josef Riwu Kaho, MPA)
Disusun oleh :
Kelompok 8
Fatra Yudha Pratama (14/364987/SP/26242)
Lia Wahyu Hartanto (14/364854/SP/26232)
Khristian Dwi Nugraha (14/369794/SP/26522)
Putu Alit Panca Nugraha (14/364869/SP/26241)
Sri Bintang Pamungkas (14/364610/Sp/26138)
UNIVERSITAS GADJAH MADA
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
Tahun Akademik 2014/2015
Jalan Sosio Yustisia, Bulaksumur 55281
YOGYAKARTA
PENDAHULUAN
Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan,
karena masalah tersebut dalam prakteknya sering menimbulkan upaya tarik-menarik
kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan. Terlebih dalam negara
kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan
pemerintahan sangat jelas sekali.
Menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan pemerintah pusat
untuk senantiasa mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan
peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri dalam rangka
mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya.
Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pasal 18 UUD 1945
telah diatur pembagian wilayah Negara Kesatuan RI menjadi daerah provinsi yang kemudian
dibagi lagi menjadi daerah kabupaten/kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan Undang-Undang. Ketentuan tersebut merupakan amandemen kedua yang disahkan
pada tanggal 18 Agustus 2000. Sebelum amandemen ketentuan pasal 18 UUD 1945
berbunyi : “ Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil , dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang , dengan memandang
dan mengingati dasar permusyawaratn dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.1
Pasal 18 ditambah dengan 6 ayat baru yang antara lain mengatur masalah otonomi
daerah dan tugas pembantuan , pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang dilakukan
secara demokratis dan langsung oleh rakyat, serta kewenangan pemerintah daerah dalam
membuat peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan
tugas pembantuan. Sedang penambahan pasal baru dilakukan dengan membuat pasal 18 A
yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang
pemerintahan , keuangan , pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya alam. Sedang
penambahan pasal 18 B isinya mengakui adanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa , serta mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak-hak
tradisionalnya.
1 Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah sejak kemerdekaan
sampai era reformasi,(Laksbang Mediatama,2008), hlm 30
Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang
menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan,
hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan hubungan yang timbul dari susunan
organisasi pemerintahan di daerah.
A. Hubungan Kewenangan
Desentralisasi yang dianut dalam konsep negara kesatuan pada akhirnya juga akan
mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya yang berkaitan
dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu,
adanya satuan pemerintahan yang berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain
adalah untuk mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.
Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan
penyelenggaraan pemerintahan atau cara menetukan urusan rumah tangga daerah. Cara
penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat
digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila : Pertama; urusan-urusan rumah tangga daerah
ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu
pula. Kedua; apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa , sehingga
daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga; sistem hubungan keuangan antara pusat dan
daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah
yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.2
B. Hubungan Pengawasan
Hubungan pengawasan hanya dilakukan terhadap hal yang secara tegas ditentukan
dalam Undang-Undang. Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap hal yang
tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.3 Sistem pengawasan juga menentukan
2 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , (Yogyakarta: Pusat Studi
hukum Fakultas Hukum UII,2004), hlm 37
3 Jazim Hamidi,Mustafa Lutfi, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan
Daerah,(Malang:UBPress,2011),hlm 42
kemandirian satuan otonomi. Untuk menghindari agar pengawasan tidak melemahkan
otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik baik lingkup maupun tata cara
pelaksanaannya. Karena itu hal-hal seperti memberlakukan prinsip “pengawasan umum”
pada satuan otonomi dapat mempengaruhi dan membatasi kemandirian daerah. Tidak boleh
ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan. Kebebasan berotonomi dan
pengawasan merupakan dua sisi dari satu lembaran dalam berotonomi untuk menjaga
keseimbangan antara kecenderungan desentralisasi dan sentralisasi yang dapat berjalan
berlebihan.4
Jenis pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada beberapa macam
ruang lingkup pengawasan, diantaranya:
1. Pengawasan dari segi institusi (lembaga)
Ada dua macam pengawasan pada segi ini, yaitu pengawasan internal dan
pengawasan eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat
dalam organisasi pemerintah itu sendiri. Contoh : Inspektorat Wilayah Propinsi, Inspektorat
Wilayah Kabupaten, Inspektorat Wilayah Kota.
Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas
yang sama sekali berada di luar organisasi atau birokrasi pemerintah. Contoh : Pengawasan
aspek politik oleh DPR-DPRD, Pengawasan aspek keuangan oleh BPK, Pengawasan aspek
hukum oleh lembaga Peradilan, Pengawasan aspek sosial oleh Institusi Pers, Organisasi
kemasyarakatan, LSM, dll, Pengawasan aspek etik oleh Komisi Ombudsman Nasional.
2. Pengawasan dari segi substansi atau objek yang diawasi
Dari segi substansi maupun objeknya, pengawasan dapat dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi oleh
pemimpin atau pengawas dengan mengamati,meneliti,memeriksa,mengecek sendiri secara
“on the spot” ditempat pekerjaan terhadap objek yang diawasi. Jenis pengawasan semacam
ini sering disebut pula dengan sidak. Sedang pengawasan tidak langsung diadakan dengan
mempelajari laporan-laporan yang diterima baik lisan maupun tertulis, mempelajari masukan
masyarakat dan sebagainya tanpa terjun langsung di lapang.
Objek yang diawasi dalam jenis pengawasan ini adalah pengawasan terhadap semua
urusan pemerintahan (daerah) yang telah menjadi kewenangannya. Sifat pengawasannya bisa
44 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,op cit, hlm 39
menyangkut soal administratifnya, dari segi legalitas hukumnya, maupun dari pertimbangan
kemanfaatannya.
3. Pengawasan dari Segi Waktu
Pengawasan dari segi waktu dapat dibedakan ke dalam pengawasan preventif (kontrol
a-priori) dan pengawasan represif (kontrol a-posteriori). Pengawasan preventif adalah
pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan (masih bersifat rencana) atau sebelum
dikeluarkannya kebijakan pemerintah (baik berupa peraturan maupun ketetapan).
Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan dilaksanakan atau
setelah peraturan atau ketetapan pemerintah dikeluarkan.
4. Pengawasan Lintas Sektoral
Pengawasan lintas sektoral adalah pengawasan yang dilakukan secara bersama-sama
oleh dua atau lebih perangkat pengawasan terhadap program-program dan kegiatan
pembangunan yang bersifat multi sektoral yang menjadi tanggungjawab semua departemen
atau lembaga yang terlibat dalam program atau kegiatan tersebut.
C. Hubungan Keuangan
Hubungan keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan
dengan
memberikan
kebebasan
kepada
daerah
untuk
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan. UU Nomor 33 Tahun 2004 telah menetapkan dasar-dasar pendanaan
pemerintahan daerah sebagai berikut. Sesuai dengan pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2004,
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
didanai APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam
rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai APBN. Berikut beberapa hal yang diatur dalam
perimbangan keuangan pusat dan daerah :
1. Pajak Daerah ; iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang. Dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
2. Retribusi Daerah ; pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disesiakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah
untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ; pajak yang dikenakan atas bumi dan atau
bangunan. Pembagian hasilnya dibagi dengan imbalan 10% untuk pemerintah
pusat dan 90% untuk daerah.
4. Dana Alokasi Umum (DAU) ; dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU
dialokasikan untuk provinsi, kabupaten/kota. Misal : Pendidikan, Kesehatan,
Irigasi, Jalan dan prasarana umum, Pertanian, Kelautan dll.
5. Dana Alokasi Khusus ; dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional.Misal : Bidang kesehatan, Bidang Pendidikan, Bidang Infrastruktur.
DINAMIKA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA PADA
ERA SENTRALISASI
I.
Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Pada tahun 1855 Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan peraturan dasar
ketatanegaraan mengenai sentralisasi. Pada saat yang bersamaan telah dijalankan pula
dekonsentrasi. Dengan demikian pada waktu itu sudah terdapat wilayah-wilayah
administratif, misalnya di Jawa secara hirarkis adalah Gewest, Afdeeling, District, dan
Onderdistrict.
Pada
tahun
1903
Pemerintah
Kerajaan
Belanda
menerapkan
Decentralisatiewet 1903 dengan alasan bahwa sistem yang sentralistis tidak dapat
dipertahankan terus karena perkembangan politik dan pemerintahan di Hindia Belanda
maupun Negeri Belanda. Sedangkan hubungan keuangan di era pemerintahan Hindia Belanda
baru dikenal pada tahun 1938. Pada masa ini, pengawasan atas pengeluaran daerah dilakukan
sangat ketat oleh instansi atasannya. Usaha perluasan tugas Regentschappen dan
Stadsgemeenten dengan menerima urusan “Sekolah Rakyat” dan Provincies yang juga
diserahi urusan-urusan pertanian rakyat, kehewanan, dan sebagainya adalah dasar dari adanya
keuangan, karena harus dibiayai dengan Pajak dan Retribusi daerah. Sluitpost systeem
digunakan untuk mengatur hubungan keuangan pada masa kolonial. Apabila ada perbedaan
antara pengeluaran dan pendapatan, maka ditutup dengan cara Pemerintah Pusat
menyerahkan sejumalah presentase dari hasil pungutan beberapa Pajak Negara.
Terdapat beberapa ciri pokok dari UU Desentralisasi 1903 diantaranya :
1) Pembentukan sebuah daerah dengan keuangan sendiri untuk membiayai kebutuhankebutuhannya yang pengurusannya dilakukan oleh sebuah raad.
2) Bagi daerah yang dianggap telah memenuhi syarat, maka setiap kali dengan
ordonnantie pembentukan, dipisahkanlah sejumlah uang setiap tahun dari kas
negara untuk diserahkan kepada daerah tersebut.
3) Locale raad berwenang menetapkan locale verordeningen mengenai hal-hal yang
menyangkut kepentingan-kepentingan daerahnya sepanjang belum diatur oleh pusat.
4) Pengawasan terhadap daerah baik berupa kewajiban daerah untuk meminta
pengesahan terlebih dahulu bagi keputusannya maupun hak menunda atau
membatalkan keputusan daerah berada di tangan Gubernur Jenderal. Pejabat
ini berhak pula mengatur hal-hal yang dilalaikan oleh locale raad.
II.
Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Pemerintahan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 hingga tahun 1945, Pemerintah Bala
Tentara Kerajaan Jepang tidak mengadakan perubahan apapun atau kebijakan masa kolonial
tetap dipertahankan. Hubungan keuangan pada masa ini pun masih menggunakan Sluitpost
system juga.
III.
Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Pemerintah Indonesia berhasil mengeluarkan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan
Daerah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini maka mulailah dibentuk daerah-daerah
otonom yang diserahi urusan-urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri oleh
pemerintahan pusat. Dari sini timbul hubungan keuangan dikarenakan untuk mengatur urusan
rumah tangganya sendiri, daerah membutuhkan biaya atau uang.
Undang-Undang No. 22 tahun 1948 pasal 37 membahas mengenai sumber-sumber
keuangan daerah agar daerah-daerah dapat membiayai segala aktivitasnya, diantaranya :
a.
b.
c.
Pajak daerah termasuk retribusi daerah;
Hasil perusahaan daerah
Pajak Negara yang diserahkan kepada daerah
d.
Lain-lain (pinjaman, subsidi, hasil penjualan barang milik daerah)
Karena kabupaten, kota besar, dan kota kecil merupakan kelanjutan dari Regentschap
dan Staatsgemeente dulu, maka daerah-daerah itu melanjutkan pemungutan Pajak-Pajak
daerah seperti semula (pajak anjing, pajak hiasan kuburan, pajak minuman keras). Disamping
pajak-pajak daerah tersebut, beberapa daerah tertentu juga memungut pajak dari Perseroan
Terbatas sebagai pengganti kerugian dari perkebunan - perkebunan berhubung dengan
kerusakan jalan sebagai akibat pengangkutan hasil-hasil perkebunan tersebut.
Sistem hubungan keuangan yang digunakan masih tidak jauh dengan Sluitpost
systeem.. Dari sumber-sumber pendapatan mandiri daerah, tiap-tiap daerah menyusun APBD
setiap tahun. Jika ada selisih pengeluaran dengan pendapatan maka daerah akan mendapat
tambahan pemasukan dari pajak negara yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan
daerah yang bersangkutan. Pemerintah pusat telah menetapkan batas tertentu (plafond) dalam
memberikan bantuan kepada daerah untuk menutupi kekurangan. Jadi daerah tidak dapat
seenaknya menentukan pengeluarannya, karena berpeluang menyebabkan selisih antara
pengeluaran dengan pendapatan yang sangat besar. Namun dalam perjalanannya hubungan
keuangan yang diatur dengan Sluitpost systeem ini menimbulkan kecenderungan pemerintah
daerah terlalu bergantung pada pemerintah pusat.
IV.
Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Pemerintahan Masa Orde Baru
Dibawah UU No.5/1974.
Setelah UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah dicabut,
maka diundangkanlah Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah. Dalam pasal 55 UU No. 5 tahun 1974 dinyatakan sebagai berikut, sumber
pendapatan daerah adalah :
a.
Pendapatan Asli Daerah sendiri (hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
perusahaan daerah, lain-lain hasil daerah yang sah) ;
b. Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah (sumbangan dari pemerintah, sumbangansumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan) ;
c.
Lain – lain pendapatan yang sah.
Dibawah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, pada prinsipnya mengutamakan
pembangunan ekonomi. Dimensi perundangan ini tidak bisa terlepas dari kebijakan
pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogi pembangunan, yaitu : stabilitas yang makin
mantap,pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan
dan hasil-hasilnya.5
Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah
pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah,
yang ciri-cirinya meliputi :
a.
Konsentrasi kekuasaan ada di lembaga eksekutif (kepala daerah)
b.
Ditutupnya akses parpol dalam pemerintahan daerah, dihapusnya BPH (Badan
Pemerintahan Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam pemerintahan daerah (versi
UU No.1 Tahun 1957).
c.
Tidak dilakukannya hak equate (angket) DPRD yang dapat mengganggu keutuhan
kepala daerah.
d.
Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD , tetapi secara hierarki kepada
presiden.
e.
Kepala daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentag pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan 1 (satu) tahun sekali.
Pemerintah Orde Baru juga memperkuat posisi kekuasaannya dengan memberikan
peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif di daerah
(dalam hal ini kepala daerah). Hal itu ditandai dengan pemberian sebutan kepala daerah
sebagai “penguasa tunggal” di daerah. Tidak mengherankan jika kedudukan kepala daerah
pada waktu itu sangat sentral dan dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Kepala daerah merupakan boneka atau kepanjangan tangan dari pemerintah pusat (Presiden)
untuk mengamankan setiap kebijakan pemerintah di daerah.6
Selama pelaksanaan undang-undang tersebut , berkembangnya tuntutan otonomi
daerah secara nyata tidak terlepas dari kenyataan ketimpangan antar daerah yang telah
berlangsung lama , setidaknya terdapat lima kesenjangan yang kronis :7
1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar
2. Kesenjangan investasi daerah yang besar
3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang
terpusat
4. Pendapatan daerah dikuasai pusat
5 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah suatu solusi dalam menjawab kebutuhan lokal dan
tantangan global,(Jakarta:Rineka Cipta,2007),hlm 27
6 Sudono Syueb, Ibid, hlm 53
7 J.Kaloh, ibid, hlm 27
5. Net Negative Transfer yang besar .Salah satu yang mendorong melebarnya kesenjangan
regional adanya ketimpangan alokasi kredit.
Implikasi dari dominasi kekuasaan lebih berat pada Pemerintah pusat dan
kepemimpinan di daerah yang berorientasi ke atas (pusat) menyebabkan rakyat berada pada
posisi yang lemah (strong state and weak society), di mana nilai-nilai kedaulatan rakyat
mengalami pengikisaan akibat kuatnya kekuasaan pemerintah yang tercermin dalam struktur
kekuasaan dan garis kepemimpinan sampai ke daerah .
Dengan konsep otonomi yang demikian, Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan
sebuah “institusi otonom” yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil
Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan
konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah
manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau sentralisme yang
dikemas dengan dekonsentrasi.8
KESIMPULAN
Dasar-dasar hukum pelaksanaan hubungan pemerintahan pusat dan daerah di
Indonesia diawali saat pembentukan Decentralisatiewet 1903 oleh Pemerintahan Kerajaan
Belanda. Dilandasi bahwa sistem sentralistis yang berlaku sejak 1855 sudah tidak dapat
dipertahankan. Usaha perluasan tugas Regentschappen dan Stadsgemeenten dengan
menerima urusan “Sekolah Rakyat” dan Provincies yang juga diserahi urusan-urusan
pertanian rakyat, kehewanan, dan sebagainya adalah dasar dari adanya keuangan, karena
harus dibiayai dengan Pajak dan Retribusi daerah. Sluitpost systeem digunakan untuk
mengatur hubungan keuangan pada masa kolonial. Apabila ada perbedaan antara pengeluaran
dan pendapatan, maka ditutup dengan cara Pemerintah Pusat menyerahkan sejumlah
presentase dari hasil pungutan beberapa Pajak Negara.
Pada era kolonialisme Jepang dan tahun-tahun pasca Kemerdekaan Sluitpost systeem
masih digunakan. Pada masa awal terbentuknya negara Indonesia (Orde Lama, utamanya era
Demokrasi Terpimpin), pemerintah pusat telah menetapkan batas tertentu (plafond) dalam
memberikan bantuan kepada daerah untuk menutupi kekurangan. Jadi daerah tidak dapat
seenaknya menentukan pengeluarannya, karena berpeluang menyebabkan selisih antara
8 ibid,hlm 31
pengeluaran dengan pendapatan yang sangat besar. Namun dalam perjalanannya hubungan
keuangan yang diatur dengan Sluitpost systeem ini menimbulkan kecenderungan pemerintah
daerah terlalu bergantung pada pemerintah pusat.
Dominasi pemerintah pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan (eenheidstaat) menjadi
tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul
gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal. Dengan perkataan lain,
gagasan negara federal atau negara serikat dapat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan yang
dianggap berlebihan (a highly centralized government), di samping terdapat sebab lain seperti
hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dianggap kurang adil (soal prosentase)
yang merugikan daerah.9
Pada masa Orde Baru kebijakan pembangunan ekonomi berasaskan trilogi
pembangunan, yaitu : stabilitas yang makin mantap,pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,
dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya. Pengaruh yang cukup signifikan
dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk
terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah. Salah satunya dengan mengalihkan konsentrasi
kekuasaan di lembaga eksekutif (kepala daerah). Pemerintah Orde Baru juga memperkuat
posisi kekuasaannya dengan memberikan peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada
pemegang kekuasaan eksekutif di daerah (dalam hal ini kepala daerah) untuk mengamankan
setiap kebijakan pemerintah di daerah. Imbas yang lahir dari kebijakan tersebut adalah
kesenjangan-kesenjangan yang timbul di antar-daerah yang melahirkan tuntutan otonomi,
contohnya :
1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar
2. Kesenjangan investasi daerah yang besar
3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur
yang terpusat
4. Pendapatan daerah dikuasai pusat
5. Net Negative Transfer yang besar. Salah satu yang mendorong melebarnya
kesenjangan regional adanya ketimpangan alokasi kredit.
Dengan konsep otonomi yang demikian, Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan
sebuah “institusi otonom” yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil
Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan
9 Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara
Pusat dan
Daerah , (Yogyakarta:UII Press,2006) hlm.76
konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah
manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau sentralisme yang
dikemas dengan dekonsentrasi.
Jika ditarik kembali benang merahnya, pada era sentralisasi ini terjadi pemusatan
kebijakan terutamanya keuangan pada pemerinah pusat sehingga daerah seolah-olah hanya di
jadikan sapi perah karena tidak dibiarkan mengatur kebijakan perekonomiannya masingmasing. Pada akhirnya pemerintah daerah yang tidak memiliki kemampuan keuangan
mencukupi tidak leluasa mengembangkan daerahnya sesuai dengan kebutuhan masingmasing. Contohnya anggaran pendidikan menurun dari waktu ke waktu, dapat ditebak akan
terjadi perlambatan pengembangan pendidikan daerah yang menyebabkan ketimpangan antar
daerah.
Daftar Pustaka :
Asshidiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Mahkamah
Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 2004
Astawa, I Gde Pantja, Problematika Hukum Otonomi Daerah Di Indonesia, Bandung:
PT Alumni, 2008
Fauzan, Muhammad. Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan
Keuangan Antara Pusat dan Daerah , UII Press, Yogyakarta 2006.
Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta : Pusat Studi
Hukum Fakultas Hukum UII, 2004
Hamidi, Jazim. Lutfi, Mustafa, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan
Daerah, Malang : UB Press, 2011
Kaloh, J., Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Jakarta : Rineka Cipta, 2007
Karim, Abdul Gaffar (Ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia,
Pustaka Pelajar, 2003
Liang Gie, The, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia :
Suatu Analisa Tentang Masalah-Masalah Desentralisasi, Jilid I, Gunung Agung, Jakarta,
1993.
Syueb, Sudono, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan Sampai
Era Reformasi, Laksbang Mediatama, 2008
Riwo Kaho, Josef, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia,
Bina Aksara, Jakarta, 1982.
Riwo Kaho, Josef, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Press,
Jakarta, 1988.
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1974
UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1959
UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 1965