Legal Opinion Intoleransi Meningkat Terh

Nama
Nim
Makul
Rombel

:
:
:
:

Jerico Mathias
8111416078
Hukum dan HAM
02

Intoleransi Meningkat Terhadap Hak-Hak Atas Beragama Di
Indonesia
Posisi Kasus
Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menyebutkan hasil survei
2016 menunjukkan kecenderungan masyarakat untuk berpandangan dan
berperilaku intoleran terus meningkat. Dari 1.520 responden yang

tersebar di Indonesia, 7,7 persen menyatakan bersedia berpartisipasi
melibatkan kekerasan atas nama agama.
Kekerasan itu bisa berupa aksi sweeping, demonstrasi, menentang
kelompok yang dinilai menodai agama, atau melakukan penyerangan
rumah ibadah pemeluk agama lain. "Survei ini menggunakan multi-stage
random sampling dengan perkiraan margin error 2,6 persen dan tingkat
keyakinan 95 persen," sebut Yenny dalam Dialog Publik dan Workshop
Desa Inklusi di Cirebon, Selasa, 9 Agustus 2016.
Angka prosentase memang relatif kecil, kata Yenny, namun jika
dikonversikan dengan jumlah penduduk di Indonesia maka menunjukkan
19,55 juta penduduk cenderung intoleran. Dari data survei Wahid
Foundation, provinsi Jawa Barat memasuki urutan pertama kasus
intoleransi di Indonesia.
"Ini memprihatinkan dari data yang kami sirvei dan kami himpun di
kepolisian hampir 80 persen pelaku bom bunuh diri di Indonesia dari Jawa
Barat," jelasnya. Kendati demikian, dia optimistis masyarakat Jawa Barat
dengan kultur yang masih melekat mampu membangun kesadaran yang
sama tentang paham keberagaman.
Dari kondisi tersebut, Yenny melihat masyarakat desa harus menjadi
penegak kedaulatan bangsa. Dia mengajak kepala daerah dan kepala

desa untuk menciptakan desa yang inklusif bagi pemikiran toleran dan
teguh pada tradisi.
Menurutnya, jika desa tidak kuat menjadi penegak kedaulatan
bangsa, banyak pertempuran yang akan berdampak besar terhadap
dinamika di negara Indonesia. "Sebab, kepala daerah yang paling
mengerti kondisi daerahnya hingga kepala desa dan kami hanya ingin
mengajak membangun kesadaran bersama. Kearifan lokal menjadi
inspirasi bukan bagi desanya tapi bagi nasional," ujar dia.1
Legal Opinion
Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal
yang menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam
konstitusinya. Melalui Deklarasi Universal HAM 10 Desember 1948
merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai
manusia sebagai manusia. Sejarah HAM dimulai dari Magna Charta di
Inggris pada tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada Bill Of
1 http://regional.liputan6.com/read/2573619/survei-jawa-barat-juara-kasusintoleransi-di-indonesia

Rights dan kemudian berpangkal pada DUHAM PBB. Dalam konteks
keIndonesiaan penegakan HAM masih bisa dibilang kurang
memuaskan. Banyak faktor yang menyebabkan penegakan HAM di

Indonesia terhambat.
Suatu kenyataan sosiologis bahwa bangsa Indonesia terdiri dari
masyarakat multikultural yang harus dijunjung tinggi, dihormati, dan terus
dipertahankan. Justru karena adanya pengakuan atas keberagaman inilah
bangsa Indonesia terbentuk.2
Diketahui, bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa
akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk
membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan
mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya.
Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan
untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di sampaing
itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki
kemampuan untuk bertanggungjawab atas semua tindakan yang
dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut
hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari.
Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat
kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi
apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi
manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak

asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak, dan tujuan dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara.
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah -Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak yang melekat
pada keberadaan manusia ini yang kemudian memunculkan konsep
kebebasan.
Dapat dilihat terdapat kebebasan beragama yang tercantum dalam
Pancasila dalam sila pertama yang berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”
yang bermakna menjamin penduduk untuk memeluk agama masingmasing dan beribadah menurut agamanya, tidak memaksa warga negara
untuk beragama, dan menjamin berkembang dan tumbuh suburnya
kehidupan beragama.
Bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang mengakui
kekuatan “supra-human” di luar diri manusia. Dalam kehidupan
masyarakat, kekuatan itu sering disebut dengan menggunakan
penamaan: Tuhan, Allah, Sang Hyang Widi, Yang Maha Esa, Yang Maha
Kuasa, dan aneka sebutan lainnya.
Bentuk pengakuan masyarakat Indonesia kepada kekuatan “suprahuman” itu mendapatkan pengakuan resmi oleh negara dalam konstitusi.

Setidaknya terdapat dua bentuk pengakuan dalam Pembukaan Konstitusi
2 Muhatadin Dg. Mustafa, “Reorientasi Teologi Islam dalam Konteks Pluralisme
Beragama (Telaah Kritis dengan Pendekatan Teologis Normatif, Dialogis dan
Konvergensif)”. Jurnal Hunafa Vol. 3 No. 2 Juni 2006, hlm. 130.

Indonesia Undang-Undang Dasar, yaitu: “Atas berkat rakhmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.…Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Terhadap kedua pengakuan resmi negara itu dapat dimaknai bahwa
ikhtiar memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sekedar hasil
perjuangan fisik kemanusiaan semata-mata, namun lebih dari itu
kemerdekaan adalah “berkat” dan “rakhmat” dari “Allah Yang Maha
Kuasa”. Demikian selanjutnya, dasar kehidupan bernegara di Indonesia
dioperasionalkan di bawah bentuk negara “Republik” sebagai
implementasi pengakuan terhadap “kedaulatan rakyat” yang “berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.3
Sejak Indonesia merdeka dan pada tanggal 18 Agustus 1945,

ditetapkan UUD Tahun 1945 telah mengatur juga tentang jamin
negara terhadap hak beragama sebagimana ditetapkan dalam
ketentuan Pasal 29 UUD 1945 menyatakan bahwa negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan bahwa negara menjamin kebebasan
setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.Pada tahun 1965,
dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, yang kemudian
ditetapkan sebagai undangundang dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1969, dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-undang
tersebut, bahwa terdapat 6 agama yang hidup dan berkembang di
Indonesia, yaitu: Islam,Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu,
Buddha, dan Khonghucu. Tetapi tidaklah berarti bahwa hanya 6 agama
itu yang boleh hidup di Indonesia, karena pada paragraph berikutnya
dari Penjelasan Pasal 1 itu dinyatakan bahwa hal itu tidaklah berarti
bahwa agama-agama lainnya, seperti Zoroaster, Shinto, dan Tao
dilarang di Indonesia.
Selain pengaturan mengenai hak beragama sebagai bagian dari
hak asasi manusia dalam konstitusi sebagaimana disebutkan diatas
yaitu dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) (2), dan pasal 28 I ayat
(1), serta pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945, maka dalam tataran

Undang-Undang terdapat sejumlah ketentuan yang mengatur mengenai
hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia diantaranya
dalam ketentuan pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Lebih lanjut dalam ketentuan pasal 22 Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 disebutkan bahwa :

3 Hasyim Asy’ari,”Politik Hukum Kebebasan Beragama di Indonesia”,Pandecta, 6:1
(Semarang, Januari 2011),2-3.

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.

Selain itu dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-undang
Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas
kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu
maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum
atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam
kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.4
Kebebasan bertuhan dan beragama di Indonesia ditegaskan
dalam pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Kedua ayat itu
menyatakan bahwa, ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya.” ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
nuraninya.” Jaminan ini diperkuat lagi oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945,
yang menyatakan,”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal-pasal ini menjamin prinsip
tidak ada paksaan (non-coersive) dalam agama dan keyakinan.

Di samping itu, dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama dan
berkeyakinan adalah bagian dari ”hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” (non-derogation rights).
Status demikian bagi juga ditegaskan kembali pada Pasal 4 UU no. 39
tahun 1999 tentang HAM, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Di samping memberikan penghormatan (respect) dan pengakuan
(recognition) terhadap hak warga negara (citizen’s right) akan
kebebasan beragama dan berkeyakinan, UU no. 39 juga menentukan
kewajiban negara memberikan jaminan perlindungan (protect)
sebagaimana mestinya. Pasal 22 UU No. 39/1999 menyatakan: “(1)
Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu.” “(2) Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.


4 Pieter Radjawane,”KEBEBASAN BERAGAMA SEBAGAI HAK KONSTITUSI DI
INDONESIA”,jurnal sasi,20:1 (Ambon, Januari - Juni 2014),33-34.

Negara juga telah menegaskan larangan diskriminasi
berdasarkan agama. Prinsip nondiskriminatif ini ditegaskan UUD 1945
ayat (2) Pasal 28I bahwa, ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif”. Pengertian diskriminasi telah didefinisikan dalam Pasal 1
butir 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang menyebutkan 11 kriteria, yang salah satunya adalah pembedaan
manusia atas dasar agama. Sangat jelas bahwa UUD 1945 dan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia memberi jaminan
bahwa memilih, memeluk, mengimani dan menjalankan ibadat suatu
agama dan kepercayaan adalah hak bagi setiap orang sebagai individu.
Setiap orang memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk beragama
dan berkepercayaan. Tidak ada seorangpun yang boleh dipaksa untuk
memilih agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tidak
ada yang berhak mengurangi, membatasi atau menghilangkan hak

seseorang untuk mempercayai dan mengimani suatu agama atau
kepercayaan. Karena hak beragama dan berkeyakinan adalah nonderogable right, suatu hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan
apapun.
Bahkan, menurut pandangan yang lebih luas lagi, hak atas
kebebasan beragama itu bagi setiap warga negara sebagai manusia,
yang bukan berada dalam status sebagai pejabat negara, mencakup
pula hak atas kebebasan untuk tidak bertuhan dan tidak tidak beragama.
Mengapa harus dibedakan? Karena khusus bagi para penyelenggara
negara, diharuskan menjadi contoh dan teladan dalam ketaatan kepada
nilai-nilai keberagamaan dan kerpercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa sebagaimana tertuang sebagai sila pertama Pancasila dan
sebagai dasar negara seperti yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
UUD 1945. Akan tetapi, keharusan menjadi contoh seperti itu tidak ada
bagi warga negara biasa. Termasuk warga negara asing yang
hendak mendapatkan status menjadi warga negara Indonesia, sama
sekali tidak ditentukan adanya persyaratan bahwa calon warga negara
itu harus bertuhan dan beragama lebih dulu. Karena itu, kebebasan
beragama itu bagi setiap warga negara biasa mencakup pula pengertian
kebebasan untuk tidak percaya kepada Tuhan dan/atau agama apapun
juga tersebut.
Pemberian status khusus kebebasan beragama dan
berkeyakinan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable
right) ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 2. Pengertian agama dan
keyakinan dalam instrumen HAM internasional tidak sempit. Dalam
Komentar Umum No. 22 (48) Komite HAM PBB tentang substansi
normatif ICCPR pasal 18 dijelaskan bahwa pengertian agama dan
keyakinan meliputi agama/keyakinan tradisional, dan agama/keyakinan
yang baru didirikan. Ini juga dapat dikaitkan dengan pengertian
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang bukan dalam
konteks pengertian agama secara konvensional. Demikian pula jika
dikatakan, ada orang yang percaya kepada agama tetapi tidak percaya
kepada Tuhan, atau percaya kepada Tuhan tetapi tidak percaya kepada

agama apapun, seperti dalam paham ‘deisme’ (theism) yang dikenal
dalam filsafat.
Karena itu, substansi Pasal 18 ICCPR membedakan antara
pengertian kebebasan beragama, berkeyakinan, atau berkepercayaan
dengan pengertian kebebasan untuk menjalankan agama atau
kepercayaannya itu. Pembedaan ini dinilai penting untuk
membedakan di wilayah mana negara diperbolehkan untuk membatasi
dan wilayah mana negara dilarang untuk melakukan pembatasan. Karena
itu, dalam pandangan dan sikap Komnasham Tahun 20085, beberapa
hal di bawah ini dipandang tidak dapat diintervensi, dipaksa, dan
dipengaruhi dengan cara-cara manipulatif (seperti indoktrinasi,
brainwashing, dan penggunaan obat-obat terlarang, dan lain
sebagainya), oleh negara atau pihak manapun juga, yaitu:
1. Memilih dan mengimani agama, keyakinan atau kepercayaan.
2. Memilih dan mengimani sekte atau madzhab tertentu dalam suatu
agama.
3. Memilih untuk taat pada (menjalankan) suatu ajaran agama atau
tidak taat.
4. Menjalankan ibadat ritual di ruang privat.
5. Memikirkan, memahami, merenungi, menafsirkan dan
mengembangkan pemikiran tentang agama.
Selain kelima hal yang dirumuskan oleh Komnasham tersebut di
atas, agar lebih tegas, dapat pula ditambahkan rumusan pengertian
sebagaimana sudah diuraikan di atas, yaitu bahwa setiap orang (i)
berhak memilih untuk percaya atau tidak percaya kepada Tuhan dan
(ii) berhak untuk memilih percaya atau tidak percaya kepada sesuatu
ajaran agama. Kedua kebebasan yang terakhir ini dapat diatur dan
dibatasi dengan undang-undang sebagaimana mestinya, sehingga bagi
warga negara yang menduduki jabatan-jabatan sebagai petugas,
aparat, atau pejabat penyelenggara negara, dapat diharuskan untuk
hanya percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan percaya kepada sesuatu
agama tertentu sesuai keyakinannya. Sedangkan hak-hak kebebasan
beragama yang dapat diatur oleh negara secara relaitf sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, menurut Komnasham
Republik Indonesia, adalah:
1. Menjalankan ibadat ritual di ruang publik;
2. Menjalankan ajaran agama non ibadat; ceramah agama, pertemuan
agama, pendidikan agama, perayaan hari-hari besar, menyiarkan
agama, dll.;
3. Mendirikan dan menggelola rumah ibadat;
4. Kebebasan menggunakan simbol-simbol agama;
5. Kebebasan mengangkat pemimpin agama;
6. Mendirikan dan mengelola sarana-sarana keagamaan lain
seperti: sarana pendidikan, tempat pertemuan, pusat studi
agama, dan lain-lain;
7. Membentuk dan menjalankan organisasi berbasis agama dengan
jaminan status legal;
8. Mengelola pendidikan keagamaan;
5 Keputusan Sidang Paripurna Komnasham, November 2013.

9. Kebebasan menulis, mengajarkan dan menyebarluaskan ajaran
agama;
10.
Memperoleh status keagamaan;
11.
Memperoleh pendidikan dan pengajaran agama sesuai dengan
agama orang tua/wali;
12.
Memperoleh layanan menikah, bercerai, dan upacara
kematian;
13.
Memperoleh hak-hak kewarganegaraan tanpa didiskriminasi
karena agama.
Namun demikian menjamin ruang bebas bagi setiap warga negara
di luar penyelenggara negara untuk tidak bertuhan dan/atau beragama,
bukan berarti bahwa negara menganggap hal itu sebagai sesuatu yang
ideal dan di idealkan. Yang ideal tetaplah percaya kepada Tuhan YME dan
beragama. Sebagai penyelenggara negara yang ideal menurut Pancasuka
dan UUD 1945 adalah ber-Tuhan dan beragama. Karena itu, tugas dan
peran pemerintahan serta para pemegang jabatan sebagai penyelenggara
negara adalah untuk:
a. melayani, mendukung dan membantu warganegaranya,
penduduk, dan semua orang yang ada dalam wilayah
kekuasaannya menjalankan ajaran agamanya melalui fasilitasi
dan dukungan administrasi pemerintahan dalam rangka
pembentukan perilaku ideal dalam bermasyarakat, sehingga
terbentuk pula perilaku ideal warga dalam bernegara;
b. menjaga kerukunan hidup bersama antar umat beragama dan
antar kelompok internal umat bersama yang dapat atau
ternyata mengganggu ketertiban dan ketenteraman yang lebih
luas, dalam rangka kerukunan hidup berbangsa dan bernegara; dan
c. yang lebih pentingnya lagi menjadi contoh atau teladan bagi
masyarakat luas dalam berperilaku ideal sesuai tuntunan agama
atau prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang diyakini
masingmasing untuk peningkatan peri-kehidupan bersama dalam
wadah negara.
Maka solusi dalam legal opinion yang saya buat ini adalah peran
dari pemerintah serta para pemegang jabatan sebagai penyelenggara
negara dalam menangani kasus tersebut adalah memberikan rasa aman
dan nyaman dalam kehidupan beragama di Indonesia berdasar yuridis
yang telah ada di Indonesia agar tidak terjadi kembali intoleransi dan
dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sebaiknya setiap masyarakat
kembali lagi menumbuhkan rasa toleransi dan saling melidungi terhadap
berbeda agama dan keyakinan.

Daftar Putsaka
1. http://regional.liputan6.com/read/2573619/survei-jawa-barat-juarakasus-intoleransi-di-indonesia diakses pada tanggal 25 Oktober
2017 pukul 18.00 WIB
2. Dg. Mustafa Muhatadin. “Reorientasi Teologi Islam dalam Konteks
Pluralisme Beragama (Telaah Kritis dengan Pendekatan Teologis
Normatif, Dialogis dan Konvergensif)”, Jurnal Hunafa, Vol. 3
3. Hasyim Asy’ari.”Politik Hukum Kebebasan Beragama di Indonesia”,
Pandecta, Semarang,Vol 6.
4. Pieter Radjawane.”KEBEBASAN BERAGAMA SEBAGAI HAK
KONSTITUSI DI INDONESIA”,jurnal sasi, Ambon, Vol.20.
5. Keputusan Sidang Paripurna Komnasham, November 2013.

Dokumen yang terkait

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG TAYANGAN HIBURAN TELEVISI DALAM MEMBENTUK JATI DIRI ISLAMI (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah 2007 dan Opinion Leader Organisasi Muhammadiyah Kabupaten Malang)

0 4 19

Analisis Reaksi Pasar Terhadap Pergantian Kantor Akuntan Publik dan Opini Audit (Studi Empiris Pada Perusahaan LQ45 Tahun 2012-2014) Analysis Of Market Reaction To The Turn Of Public Accounting Firms And Audit Opinion (Emprical Studies on LQ45 Company 201

0 2 7

KEDUDUKAN YURIDIS WALI HAKIM SEBAGAI PENGGANTI WALI NASAB YANG ADHOL DALAM PERKAWINAN (Studi Penetapan Pengadilan Agama Malang No. 9/Pdt.P/2008/P.A. Mlg,) (JURIDICAL POSITION OF WALI HAKIM TO BE A SUBTITUTE WALI NASAB WHO ADHOL IN MARRIAGE (The Legal Stud

0 4 16

Legal Standing Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi RI ( Tinjauan Yuridis dan Praktis Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

0 15 101

Peranan lembaga bantuan hukum Street Lawyer Legal Aid dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang kurang mampu : laporan kerja praktek

0 36 129

Legal GAP antara Pemilik Tanah dan Aparat Menimbulkan Sengketa dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus di Bengkulu)

0 0 23

Legal Aid Scheme In Indonesia: Between The Policy And The Implementation

0 0 18

Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan atau Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik

0 0 22

Can International Law be Enforced Towards its Subjects Within the International Legal Order?

0 0 28

ASPEK HUKUM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA TERHADAP TENAGAKERJA DI UD.DINAMIS ABADI KOTA PALU Legal Aspects Occupational Safety and Health of the Work Force in the Bussiness Of Dinamis Abadi City Of Palu

0 0 5