Otonomi Daerah dan Pengentasan Kemiskina
Nama
: Dewi Adithyanti Pramitha
Alamat
: Jl. Gagak Gg. Sadang Saip III No. 121 RT 5 RW 10
Kelurahan Sadang Serang, Kecamatan Coblong,
Bandung 14033
Tempat/Tanggal Lahir
: Banjarmasin, 8 September 1992
Nama Universitas
: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung
Alamat Universitas
: Jl. Dipati Ukur No. 35, 40132, Indonesia
OTONOMI DAERAH DAN PENGENTASAN ANGKA KEMISKINAN DI INDONESIA
Problematika mengenai kemiskinan
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang
adalah masalah kemiskinan. Bank dunia mencatat bahwa setengah dari populasi
dunia, hidup dengan pendapatan di bawah rata-rata yaitu di bawah US$ 2 per hari.
Bank Dunia (2010) juga mendefinisikan ulang kemiskinan sebagai berikut: “Poverty
is pronounced deprivation in well-being, and comprises many dimensions. It includes
low income and the inability to acquire the basic goods and services necessary for
survival with dignity. Poverty also encompasses low level of health and education,
poor access to clean water and sanitation, inadequate physical security, lack of voice
and insufficient capacity and opportunity to better one’s life”.
Bagi Amartya Sen, peraih Nobel dalam bidang ekonomi atas karyanya dalam
ekonomi kesejahteraan, kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh tidak adanya
sumber-sumber, tetapi juga disebabkan oleh tidak adanya hak atas sumber-sumber
itu. Kelaparan seringkali terjadi bukan karena tidak cukupnya makanan di wilayah
itu, melainkan karena orang miskin tidak memiliki hak atau tidak diperbolehkan untuk
memakan makanan yang ada di wilayah mereka. Kemudian Amartya Sen
mengungkapkan bahwa seseorang yang miskin menderita akibat keterbatasan
kemampuan (capabilities), kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedoms).
1
Indonesia sebagai salah satu dari negara berkembang, sebenarnya sudah
menunjukkan kemajuan dalam rangka mengurangi kuantitas angka kemiskinan.
Angka kemiskinan di Indonesia sejak tahun 1998 sampai dengan 2011 terus
menurun. Berdasarkan Worldfactbook, BPS, dan World Bank, penurunan jumlah
penduduk miskin di Indonesia termasuk yang tercepat bila dibandingkan dengan
negara lain. Perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa
krisis multidimensional yang terjadi pada periode 1997-1998 telah membalikkan
trend penurunan kemiskinan dan menyebabkan angka kemiskinan melonjak hingga
mencapai 49,50 juta jiwa (atau 24,23%) pada tahun 1998.
Sebagaimana terlihat dalam Grafik I : Jumlah dan Persentase Penduduk
Miskin di Indonesia (1996-2012), secara bertahap angka kemiskinan terus menurun
menjadi 35,10 juta atau 15,97% (2005), 32,53 juta atau 14,15% (2009), dan
padabulan September 2012 menjadi 28,59 juta jiwa atau 11,66% dari populasi
penduduk. Angka kemiskinan yang dilansir oleh BPS tersebut menggunakan nilai
garis kemiskinan, dimana penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, yaitu
nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo
kalori/kapita/hari dan non makanan, yaitu perumahan, sandang, pendidikan, dan
kesehatan.
Grafik I : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia (1996-2012)
Bila dicermati tingkat percepatan penurunannya, maka tampak dalam Tabel II:
Persebaran dan Perubahan Angka Kemiskinan di Indonesia (1996-2002) bahwa
2
jumlah penduduk miskin pada periode 2007-2009 berkurang di atas 2 juta jiwa setiap
tahunnya (atau di atas 1% per tahun). Namun demikian pada periode 2010-2012
tingkat penurunan jumlah penduduk miskin berkurang menjadi antara 1,1-1,5 juta
jiwa per tahun (atau berkisar 0,7-0,9% per tahun).
Tabel II : Persebaran dan Perubahan Angka Kemiskinan di Indonesia (1996-2012)
Otonomi daerah dan pengentasan angka kemiskinan
Salah satu dasar pemikiran diberlakukannya otonomi daerah menurut
Penjelasan UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah,
pemberitahuan otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan,
pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Dengan adanya otonomi daerah,
daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Jadi pada dasarnya otonomi daerah
bertujuan untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Pada dasarnya ada hubungan yang sangat signifikan antara otonomi daerah
dengan penanggulangan kemiskinan. Dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka pemerintah daerah diberi
kepercayaan peran yang sangat besar dengan dukungan sumber pendapatan
daerah, baik melalui pendapatan asli daerah maupun dana perimbangan dari
pemerintah pusat. Otonomi daerah juga memberi keleluasaan pemerintah daerah
untuk merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan mengevaluasi program
3
atas kebijakan pemerintah daerah. Dalam era otonomi luas ini menuntut jajaran
pemerintah daerah dapat mengambil peran yang lebih besar dalam upaya
mempercepat pengentasan kemiskinan. Dengan peran yang lebih besar pada
pemerintah daerah ini maka peran pemerintah pusat makin bergeser pada hal-hal
yang bersifat konsepsional.
Paradigma penanggulangan kemiskinan melalui sistem otonomi daerah
adalah bahwa kebijakan atau program untuk mengurangi kemiskinan akan berhasil
apabila “kaum miskin” menjadi faktor utama dalam perang melawan kemiskinan.
Untuk membantu “kaum miskin” keluar dari lingkaran kemiskinan dibutuhkan
kepedulian, komitmen, kebijaksanaan, organisasi dan kebijakan yang tepat dari
pemerintah khususnya pemerintah daerah. Namun, selama ini pemerintah dianggap
gagal melakukan program pengentasan
kemiskinan melalui pemberdayaan
masyarakat, karena kebijakan yang diambil sifatnya sentralistik.
Optimalisasi Otonomi Daerah
Seiring dengan jiwa dan semangat otonomi daerah maka diperlukan
reorientasi peran, baik pemerintahan pusat maupun daerah dalam program-program
penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan dalam sistem
otonomi daerah harus lebih mengandalkan kreativitas dan prakarsa daerah dan
masyarakat di daerah. Pemerintah pusat yang sebelumnya sangat dominan, harus
berubah menjadi sekedar pemberi fasilitas, pengawas, dan pendampingan bagi
pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan saja.
Peran pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan sangat besar,
sehingga dengan adanya kerjasama yang baik antara pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat maka diharapkan penanggulangan kemiskinan ini dapat berjalan
lebih efektif. Perencanaan dan penyaluran anggaran ke desa/kelurahan dan warga
miskin secara tertib serta mengenal dan mendata potensi daerah akan berhasil
menanggulangi kemiskinan. Pemanfaatan dan pengoptimalan potensi daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melibatkan masyarakat pastinya
akan lebih efektif bila dibandingkan dengan bantuan dana. Bertolak dari pemikiran
4
memandirikan masyarakat akan lebih daripada memanjakan masyarakat melalui
bantuan uang.
Kemiskinan merupakan meta masalah (masalah di atas segala masalah),
sehingga untuk mengatasinya harus terlebih dahulu menyelesaikan seluruh masalah
pada tingkat di bawahnya (low level problem), seperti masalah kesehatan,
pendidikan, ketersediaan pangan dan nutrisi, air bersih dan sanitasi, akses
permodalan, ketersediaan infrastuktur, dampak perubahan cuaca dan bencana
alam, konflik dan kekerasan, stabilitas keamanan, korupsi, bad governance yang
mengakibatkan misalokasi sumber daya alam dan ketidak-adilan sosial, kepemilikan
aset produksi, nilai tukar petani/nelayan, angka kelahiran yang tinggi, pengelolaan
fiskal dan moneter, hingga bad corporate governance yang menyebabkan bubble
economy dan
krisis
keuangan.
Anatomi
kemiskinan
di
Indonesia
secara
komprehensif dapat terlihat pada Diagram berikut ini:
Kompleksitas anatomi kemiskinan tersebut menyebabkan permasalahan
kemiskinan tidak hanya dapat diatasi dengan pendekatan ekonomi semata, namun
sangat terkait dengan dinamika sosial, politik dan budaya yang melekat dalam suatu
komunitas,
sehingga
pengentasan
kemiskinan
bersifat
multi-dimensi
dan
memerlukan sinergitas antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta antar Sektor dan
antar Regional.
Disinilah peran yang sangat penting dari pemerintah daerah dalam
menjalankan semangat otonomi daerah dalam usaha mempercepat pengentasan
kemiskinan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance pemerintah
daerah akan lebih mampu membuat kebijakan yang akan menampung semua
5
aspirasi masyarakat, kebutuhan dan cita-cita masyarakat. Otonomi daerah
mempunyai tujuan yaitu untuk efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dengan
meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan pembangunan seluruh
aspek kehidupan di masyarakat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Perlu kita ingat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan lagi
negara yang menerapkan sistem pemerintahanan yang sentralistik seperti masa
orde baru dimana pemerintah pusat memiliki kekuatan yang sangat besar untuk
“menyetir” setiap kebijakan pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah tidak
punya taring untuk membuat kebijakan yang akan memajukan daerahnya. Otonomi
daerah adalah sebuah konsep yang mengarahkan pemerintah daerah untuk
membuat
kebijakan
yang
mampu
mensejahterakan
masyarakatnya
karena
pemerintah daerah diharapkan lebih tanggap dalam mengatasi permasalahan di
daerahnya dan lebih mengetahui potensi di daerahnya.
Peningkatan
Kualitas
Sumber
Daya
Manusia
dalam
Penanggulangan
Kemiskinan
Dengan adanya otonomi daerah maka diharapkan terdapat peningkatan
efisiensi, efektivitas, serta akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Sudah menjadi
kewajiban bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat serta mengembangkan sumber daya produktif daerah (Pasal 22 UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah).
Melalui otonomi daerah, diharapkan terdapat keleluasaan bagi pemerintah
daerah dalam melakukan pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang optimal
dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi aktif dari masyarakat,
karena pada dasarnya terkandung misi utama sehubungan dengan pelaksanaan
otonomi daerah, antara lain:
1. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penngelolaan sumber daya daerah.
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Memberdayakan
dan
menciptakan
wadah
bagi
berpartisipasi dalam proses pembangunan di daerah.
6
masyarakat
untuk
Seperti pendapat dari Amartya Sen diatas yang mengungkapkan bahwa
seseorang yang miskin menderita akibat keterbatasan kemampuan (capabilities),
kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedoms). Ketiga hal inilah yang
mencerminkan bahwa sebenarnya kemiskinan bukan terletak pada keterbatasan
ekonomi saja namun juga keterbatasan kemampuan, kesempatan dan kebebasan
manusia untuk keluar dari garis kemiskinan. Selama ini kita selalu melihat
kemiskinan
sebagai
sebuah
objek
yang
sangat
penting
sehingga
harus
ditanggulangi, namun pernahkah terpikir bahwa seharusnya yang ditanggulangi itu
adalah
subjek
dari
kemiskinan
tersebut.
Mensejahterakan
“kaum
miskin”,
mengeluarkan mereka dari garis kemiskinan akan lebih efektif untuk mengurangi
kemiskinan.
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat dari Amartya Sen, dapatlah kita
menarik sebuah kesimpulan bahwasanya memberantas kemiskinan dapat dilakukan
dengan cara
1. Meningkatkan kemampuan masyarakat baik untuk rakyat miskin sebagai
langkah represif dan masyarakat yang “hampir miskin” sebagai langkah
preventif untuk bisa berjuang keluar dari garis kemiskinan.
2. Memberikan kesempatan untuk mereka agar dapat mengembangkan
kemampuan serta keahlian meraka dan turut berpartisipasi untuk
menanggulangi kemiskinan.
3. Memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri,
menciptakan pribadi yang mandiri dengan usaha dan keahlian yang
mereka miliki.
Peran pemerintah daerah untuk meningkatkan dan memberikan ketiga hal ini
antara lain dengan cara :
1. Membuat variable-variabel data masyarakat yang bertujuan untuk melihat halhal yang paling dibutuhkan masyarakat sehingga pemerintah daerah dapat
memberikan
fasilitas-fasilitas
yang
dapat
meningkatkan
kemampuan
masyarakat.
2. Memberikan bantuan dana untuk meningkatkan atau memberi modal usaha
masyarakat agar lebih mandiri.
7
3. Pendataan mengenai potensi-potensi setiap daerah oleh pemerintah daerah
dengan akurat dan sistematik, kemudian memperdayakan masyarakat daerah
untuk memaksimalkan potensi tersebut.
4. Menyediakan tenaga-tenaga ahli untuk memberikan pelatihan-pelatihan yang
kemudian akan berguna untuk masyarakat dalam memperjuangkan dirinya
keluar dan tidak terjebak dalam garis kemiskinan. Sehingga pelatihan inilah
yang akan meningkatkan kualitas dan kemampuan sumber daya manusia
yang mandiri untuk memaksimalkan potensi-potensi dearah mereka.
Selama ini pemerintah telah membuat strategi dalam mengurangi kemiskinan
yang dibagi menjadi 3 klaster, antara lain :
1. Klaster 1 :
Program bantuan perlindungan sosial terpadu berbasis keluarga, yang
bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, mengurangi beban
pengeluaran keluarga miskin, dan perbaikan kulaitas hidup keluarga miskin.
Program utamanya adalah Beras Miskin, Jamkesmas, Program Keluarga
Harapan, Bantuan Operasional Sekolah, dan Bantuan Siswa Miskin.
2. Klaster Kedua
Program
masyarakat
penanggulangan
melalui
program
kemiskinan
PNPM
Mandiri
berbasis
yang
pemberdayaan
bertujuan
untuk
mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat
miskin untuk terlibat dalam pembangunan, meningkatkan pendapatan dan
taraf hidup masyarakat melalui usaha dan bekerja bersama untuk mencapai
keberdayaan
dan
kemandirian
dengan
sasaran
kelompok
masyarakat/kecamatan miskin.
3. Klaster ketiga
Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha
ekonomi mikro dan kecil (UMK) yang bertujuan untuk membuka dan
8
memberikan akses permodalan dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha
berskala mikro dan kecil dengan program Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Dapat kita lihat bahwa strategi pemerintah pada klaster kedua merupakan
upaya untuk memberdayakan masyarakat. Namun, dalam strategi pemberdayaan ini
jika dicermati upaya-upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia sangatlah
kurang, karena strategi-strategi ini hanya sebatas memberikan kesempatan dan
kebebasan, namun untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia masih
dilihat sangat kurang. Meningkatkan kemampuan seperti keahlian dan memberikan
pelatihan akan lebih efektif, sehingga dengan ini mereka dapat berjuang untuk
keluar dari jebakan kemiskinan secara mandiri.
Maka Pemerintah Daerahlah yang seharusnya berdiri sebagai garda pertama
dan utama, berdiri di barisan depan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia di daerahnya sehingga tujuan untuk mengentaskan kemiskinan akan
terwujud. Perlu kita ingat kembali bahwasanya semangat otonomi daerah untuk
mengentas kemiskinan dengan latar belakang dan kenyataan bahwa “daerah lebih
mengetahui potensi daerahnya masing-masing”. Oleh karena itulah pemerintah
daerah memegang peranan utama agar semangat ini dapat terwujud.
Kita tidak mungkin melihat masyarakat yang miskin kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya, tidak mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan yang
layak karena keterbatasan ekonomi, kita juga tidak mungkin hanya menyediakan
bantuan uang yang bersifat habis pakai sementara subjek dari kemiskinan tersebut
tidak
dimandirikan.
Keterbatasan
ekonomi
memang
merupakan
penyebab
kemiskinan, namun akar dari itu semua adalah ketidakmampuan seseorang dan
keterbatasan kesempatan kebutuhan dan keinginannya.
Kesimpulan
Berdasarkan Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat serta mengembangkan sumber daya produktif daerah.
Sehingga dalam era otonomi luas ini jajaran pemerintah daerah dituntut dapat
mengambil peran yang lebih besar dalam upaya mempercepat pengentasan
9
kemiskinan melalui peningkatan efisiensi, efektivitas, serta akuntabilitas sektor publik
di Indonesia. Melalui otonomi daerah yang menerapkan prinsip-prinsip good
governance
yang
diterapkan
dalam
UU
No.
28
Tahun
1999
tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN), diharapkan pemerintah daerah akan lebih mampu membuat
kebijakan-kebijakan yang akan menampung semua aspirasi, kebutuhan dan cita-cita
masyarakat serta memperhatikan kepentingan masyarakat.
Dengan peran yang lebih besar pada pemerintah daerah ini maka peran
pemerintah pusat makin bergeser dari yang sebelumnya sangat dominan, berubah
pada hal-hal yang bersifat konsepsional dan menjadi sekedar pemberi fasilitas,
pengawas, dan pendampingan bagi
pelaksanaan program penanggulangan
kemiskinan saja. Sudah saatnya, pemerintah mengembalikan lagi arah kebijakan
penanggulangan kemiskinan dengan melibatkan daerah secara penuh.
Program-program yang dilakukan oleh pemerintah daerah pada khususnya
sebagai usaha dalam mempercepat pengentasan kemiskinan seharusnya juga
sejalan dengan dengan pemikiran Amartya Sen yang mengungkapkan bahwa
seseorang yang miskin menderita akibat keterbatasan kemampuan (capabilities),
kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedoms). Sulistiyani (2004:4-5)
memandang bahwa kemiskinan bukan hanya sekedar fenomena, akan tetapi lebih
merupakan proses sistemik yang tereduksi akibat kerentanan yang melanda pada
banyak faktor. Sehingga adalah keliru jika program pengentasan kemiskinan yang
dilakukan pemerintah selama ini hanya fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan
hidup semata.
Kemiskinan
harusnya
tidak
dipandang
sebagai
objek
yang
harus
ditanggulangi, melainkan yang harus dipandang adalah “kaum miskin” sebagai
subjek
dari
kemiskinan.
memberikan pelatihan
Meningkatkan
kemampuan
kepada “kaum miskin”
seperti
akan lebih
keahlian
efektif
dan
daripada
memberikan bantuan uang yang bersifat habis pakai, karena dengan keahliankeahlian inilah “kaum miskin” dapat berjuang untuk keluar dari jebakan kemiskinan
secara mandiri. Oleh karena itu, program-program untuk meningkatkan kualitas dari
sumber daya manusia dari “kaum miskin” ini akan lebih efektif apabila dilakukan
10
pemerintah daerah sebagai usaha mempercepat pengentasan kemiskinan di
Indonesia.
11
: Dewi Adithyanti Pramitha
Alamat
: Jl. Gagak Gg. Sadang Saip III No. 121 RT 5 RW 10
Kelurahan Sadang Serang, Kecamatan Coblong,
Bandung 14033
Tempat/Tanggal Lahir
: Banjarmasin, 8 September 1992
Nama Universitas
: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung
Alamat Universitas
: Jl. Dipati Ukur No. 35, 40132, Indonesia
OTONOMI DAERAH DAN PENGENTASAN ANGKA KEMISKINAN DI INDONESIA
Problematika mengenai kemiskinan
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang
adalah masalah kemiskinan. Bank dunia mencatat bahwa setengah dari populasi
dunia, hidup dengan pendapatan di bawah rata-rata yaitu di bawah US$ 2 per hari.
Bank Dunia (2010) juga mendefinisikan ulang kemiskinan sebagai berikut: “Poverty
is pronounced deprivation in well-being, and comprises many dimensions. It includes
low income and the inability to acquire the basic goods and services necessary for
survival with dignity. Poverty also encompasses low level of health and education,
poor access to clean water and sanitation, inadequate physical security, lack of voice
and insufficient capacity and opportunity to better one’s life”.
Bagi Amartya Sen, peraih Nobel dalam bidang ekonomi atas karyanya dalam
ekonomi kesejahteraan, kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh tidak adanya
sumber-sumber, tetapi juga disebabkan oleh tidak adanya hak atas sumber-sumber
itu. Kelaparan seringkali terjadi bukan karena tidak cukupnya makanan di wilayah
itu, melainkan karena orang miskin tidak memiliki hak atau tidak diperbolehkan untuk
memakan makanan yang ada di wilayah mereka. Kemudian Amartya Sen
mengungkapkan bahwa seseorang yang miskin menderita akibat keterbatasan
kemampuan (capabilities), kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedoms).
1
Indonesia sebagai salah satu dari negara berkembang, sebenarnya sudah
menunjukkan kemajuan dalam rangka mengurangi kuantitas angka kemiskinan.
Angka kemiskinan di Indonesia sejak tahun 1998 sampai dengan 2011 terus
menurun. Berdasarkan Worldfactbook, BPS, dan World Bank, penurunan jumlah
penduduk miskin di Indonesia termasuk yang tercepat bila dibandingkan dengan
negara lain. Perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa
krisis multidimensional yang terjadi pada periode 1997-1998 telah membalikkan
trend penurunan kemiskinan dan menyebabkan angka kemiskinan melonjak hingga
mencapai 49,50 juta jiwa (atau 24,23%) pada tahun 1998.
Sebagaimana terlihat dalam Grafik I : Jumlah dan Persentase Penduduk
Miskin di Indonesia (1996-2012), secara bertahap angka kemiskinan terus menurun
menjadi 35,10 juta atau 15,97% (2005), 32,53 juta atau 14,15% (2009), dan
padabulan September 2012 menjadi 28,59 juta jiwa atau 11,66% dari populasi
penduduk. Angka kemiskinan yang dilansir oleh BPS tersebut menggunakan nilai
garis kemiskinan, dimana penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, yaitu
nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo
kalori/kapita/hari dan non makanan, yaitu perumahan, sandang, pendidikan, dan
kesehatan.
Grafik I : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia (1996-2012)
Bila dicermati tingkat percepatan penurunannya, maka tampak dalam Tabel II:
Persebaran dan Perubahan Angka Kemiskinan di Indonesia (1996-2002) bahwa
2
jumlah penduduk miskin pada periode 2007-2009 berkurang di atas 2 juta jiwa setiap
tahunnya (atau di atas 1% per tahun). Namun demikian pada periode 2010-2012
tingkat penurunan jumlah penduduk miskin berkurang menjadi antara 1,1-1,5 juta
jiwa per tahun (atau berkisar 0,7-0,9% per tahun).
Tabel II : Persebaran dan Perubahan Angka Kemiskinan di Indonesia (1996-2012)
Otonomi daerah dan pengentasan angka kemiskinan
Salah satu dasar pemikiran diberlakukannya otonomi daerah menurut
Penjelasan UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah,
pemberitahuan otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan,
pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Dengan adanya otonomi daerah,
daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Jadi pada dasarnya otonomi daerah
bertujuan untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Pada dasarnya ada hubungan yang sangat signifikan antara otonomi daerah
dengan penanggulangan kemiskinan. Dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka pemerintah daerah diberi
kepercayaan peran yang sangat besar dengan dukungan sumber pendapatan
daerah, baik melalui pendapatan asli daerah maupun dana perimbangan dari
pemerintah pusat. Otonomi daerah juga memberi keleluasaan pemerintah daerah
untuk merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan mengevaluasi program
3
atas kebijakan pemerintah daerah. Dalam era otonomi luas ini menuntut jajaran
pemerintah daerah dapat mengambil peran yang lebih besar dalam upaya
mempercepat pengentasan kemiskinan. Dengan peran yang lebih besar pada
pemerintah daerah ini maka peran pemerintah pusat makin bergeser pada hal-hal
yang bersifat konsepsional.
Paradigma penanggulangan kemiskinan melalui sistem otonomi daerah
adalah bahwa kebijakan atau program untuk mengurangi kemiskinan akan berhasil
apabila “kaum miskin” menjadi faktor utama dalam perang melawan kemiskinan.
Untuk membantu “kaum miskin” keluar dari lingkaran kemiskinan dibutuhkan
kepedulian, komitmen, kebijaksanaan, organisasi dan kebijakan yang tepat dari
pemerintah khususnya pemerintah daerah. Namun, selama ini pemerintah dianggap
gagal melakukan program pengentasan
kemiskinan melalui pemberdayaan
masyarakat, karena kebijakan yang diambil sifatnya sentralistik.
Optimalisasi Otonomi Daerah
Seiring dengan jiwa dan semangat otonomi daerah maka diperlukan
reorientasi peran, baik pemerintahan pusat maupun daerah dalam program-program
penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan dalam sistem
otonomi daerah harus lebih mengandalkan kreativitas dan prakarsa daerah dan
masyarakat di daerah. Pemerintah pusat yang sebelumnya sangat dominan, harus
berubah menjadi sekedar pemberi fasilitas, pengawas, dan pendampingan bagi
pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan saja.
Peran pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan sangat besar,
sehingga dengan adanya kerjasama yang baik antara pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat maka diharapkan penanggulangan kemiskinan ini dapat berjalan
lebih efektif. Perencanaan dan penyaluran anggaran ke desa/kelurahan dan warga
miskin secara tertib serta mengenal dan mendata potensi daerah akan berhasil
menanggulangi kemiskinan. Pemanfaatan dan pengoptimalan potensi daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melibatkan masyarakat pastinya
akan lebih efektif bila dibandingkan dengan bantuan dana. Bertolak dari pemikiran
4
memandirikan masyarakat akan lebih daripada memanjakan masyarakat melalui
bantuan uang.
Kemiskinan merupakan meta masalah (masalah di atas segala masalah),
sehingga untuk mengatasinya harus terlebih dahulu menyelesaikan seluruh masalah
pada tingkat di bawahnya (low level problem), seperti masalah kesehatan,
pendidikan, ketersediaan pangan dan nutrisi, air bersih dan sanitasi, akses
permodalan, ketersediaan infrastuktur, dampak perubahan cuaca dan bencana
alam, konflik dan kekerasan, stabilitas keamanan, korupsi, bad governance yang
mengakibatkan misalokasi sumber daya alam dan ketidak-adilan sosial, kepemilikan
aset produksi, nilai tukar petani/nelayan, angka kelahiran yang tinggi, pengelolaan
fiskal dan moneter, hingga bad corporate governance yang menyebabkan bubble
economy dan
krisis
keuangan.
Anatomi
kemiskinan
di
Indonesia
secara
komprehensif dapat terlihat pada Diagram berikut ini:
Kompleksitas anatomi kemiskinan tersebut menyebabkan permasalahan
kemiskinan tidak hanya dapat diatasi dengan pendekatan ekonomi semata, namun
sangat terkait dengan dinamika sosial, politik dan budaya yang melekat dalam suatu
komunitas,
sehingga
pengentasan
kemiskinan
bersifat
multi-dimensi
dan
memerlukan sinergitas antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta antar Sektor dan
antar Regional.
Disinilah peran yang sangat penting dari pemerintah daerah dalam
menjalankan semangat otonomi daerah dalam usaha mempercepat pengentasan
kemiskinan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance pemerintah
daerah akan lebih mampu membuat kebijakan yang akan menampung semua
5
aspirasi masyarakat, kebutuhan dan cita-cita masyarakat. Otonomi daerah
mempunyai tujuan yaitu untuk efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dengan
meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan pembangunan seluruh
aspek kehidupan di masyarakat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Perlu kita ingat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan lagi
negara yang menerapkan sistem pemerintahanan yang sentralistik seperti masa
orde baru dimana pemerintah pusat memiliki kekuatan yang sangat besar untuk
“menyetir” setiap kebijakan pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah tidak
punya taring untuk membuat kebijakan yang akan memajukan daerahnya. Otonomi
daerah adalah sebuah konsep yang mengarahkan pemerintah daerah untuk
membuat
kebijakan
yang
mampu
mensejahterakan
masyarakatnya
karena
pemerintah daerah diharapkan lebih tanggap dalam mengatasi permasalahan di
daerahnya dan lebih mengetahui potensi di daerahnya.
Peningkatan
Kualitas
Sumber
Daya
Manusia
dalam
Penanggulangan
Kemiskinan
Dengan adanya otonomi daerah maka diharapkan terdapat peningkatan
efisiensi, efektivitas, serta akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Sudah menjadi
kewajiban bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat serta mengembangkan sumber daya produktif daerah (Pasal 22 UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah).
Melalui otonomi daerah, diharapkan terdapat keleluasaan bagi pemerintah
daerah dalam melakukan pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang optimal
dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi aktif dari masyarakat,
karena pada dasarnya terkandung misi utama sehubungan dengan pelaksanaan
otonomi daerah, antara lain:
1. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penngelolaan sumber daya daerah.
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Memberdayakan
dan
menciptakan
wadah
bagi
berpartisipasi dalam proses pembangunan di daerah.
6
masyarakat
untuk
Seperti pendapat dari Amartya Sen diatas yang mengungkapkan bahwa
seseorang yang miskin menderita akibat keterbatasan kemampuan (capabilities),
kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedoms). Ketiga hal inilah yang
mencerminkan bahwa sebenarnya kemiskinan bukan terletak pada keterbatasan
ekonomi saja namun juga keterbatasan kemampuan, kesempatan dan kebebasan
manusia untuk keluar dari garis kemiskinan. Selama ini kita selalu melihat
kemiskinan
sebagai
sebuah
objek
yang
sangat
penting
sehingga
harus
ditanggulangi, namun pernahkah terpikir bahwa seharusnya yang ditanggulangi itu
adalah
subjek
dari
kemiskinan
tersebut.
Mensejahterakan
“kaum
miskin”,
mengeluarkan mereka dari garis kemiskinan akan lebih efektif untuk mengurangi
kemiskinan.
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat dari Amartya Sen, dapatlah kita
menarik sebuah kesimpulan bahwasanya memberantas kemiskinan dapat dilakukan
dengan cara
1. Meningkatkan kemampuan masyarakat baik untuk rakyat miskin sebagai
langkah represif dan masyarakat yang “hampir miskin” sebagai langkah
preventif untuk bisa berjuang keluar dari garis kemiskinan.
2. Memberikan kesempatan untuk mereka agar dapat mengembangkan
kemampuan serta keahlian meraka dan turut berpartisipasi untuk
menanggulangi kemiskinan.
3. Memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri,
menciptakan pribadi yang mandiri dengan usaha dan keahlian yang
mereka miliki.
Peran pemerintah daerah untuk meningkatkan dan memberikan ketiga hal ini
antara lain dengan cara :
1. Membuat variable-variabel data masyarakat yang bertujuan untuk melihat halhal yang paling dibutuhkan masyarakat sehingga pemerintah daerah dapat
memberikan
fasilitas-fasilitas
yang
dapat
meningkatkan
kemampuan
masyarakat.
2. Memberikan bantuan dana untuk meningkatkan atau memberi modal usaha
masyarakat agar lebih mandiri.
7
3. Pendataan mengenai potensi-potensi setiap daerah oleh pemerintah daerah
dengan akurat dan sistematik, kemudian memperdayakan masyarakat daerah
untuk memaksimalkan potensi tersebut.
4. Menyediakan tenaga-tenaga ahli untuk memberikan pelatihan-pelatihan yang
kemudian akan berguna untuk masyarakat dalam memperjuangkan dirinya
keluar dan tidak terjebak dalam garis kemiskinan. Sehingga pelatihan inilah
yang akan meningkatkan kualitas dan kemampuan sumber daya manusia
yang mandiri untuk memaksimalkan potensi-potensi dearah mereka.
Selama ini pemerintah telah membuat strategi dalam mengurangi kemiskinan
yang dibagi menjadi 3 klaster, antara lain :
1. Klaster 1 :
Program bantuan perlindungan sosial terpadu berbasis keluarga, yang
bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, mengurangi beban
pengeluaran keluarga miskin, dan perbaikan kulaitas hidup keluarga miskin.
Program utamanya adalah Beras Miskin, Jamkesmas, Program Keluarga
Harapan, Bantuan Operasional Sekolah, dan Bantuan Siswa Miskin.
2. Klaster Kedua
Program
masyarakat
penanggulangan
melalui
program
kemiskinan
PNPM
Mandiri
berbasis
yang
pemberdayaan
bertujuan
untuk
mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat
miskin untuk terlibat dalam pembangunan, meningkatkan pendapatan dan
taraf hidup masyarakat melalui usaha dan bekerja bersama untuk mencapai
keberdayaan
dan
kemandirian
dengan
sasaran
kelompok
masyarakat/kecamatan miskin.
3. Klaster ketiga
Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha
ekonomi mikro dan kecil (UMK) yang bertujuan untuk membuka dan
8
memberikan akses permodalan dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha
berskala mikro dan kecil dengan program Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Dapat kita lihat bahwa strategi pemerintah pada klaster kedua merupakan
upaya untuk memberdayakan masyarakat. Namun, dalam strategi pemberdayaan ini
jika dicermati upaya-upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia sangatlah
kurang, karena strategi-strategi ini hanya sebatas memberikan kesempatan dan
kebebasan, namun untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia masih
dilihat sangat kurang. Meningkatkan kemampuan seperti keahlian dan memberikan
pelatihan akan lebih efektif, sehingga dengan ini mereka dapat berjuang untuk
keluar dari jebakan kemiskinan secara mandiri.
Maka Pemerintah Daerahlah yang seharusnya berdiri sebagai garda pertama
dan utama, berdiri di barisan depan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia di daerahnya sehingga tujuan untuk mengentaskan kemiskinan akan
terwujud. Perlu kita ingat kembali bahwasanya semangat otonomi daerah untuk
mengentas kemiskinan dengan latar belakang dan kenyataan bahwa “daerah lebih
mengetahui potensi daerahnya masing-masing”. Oleh karena itulah pemerintah
daerah memegang peranan utama agar semangat ini dapat terwujud.
Kita tidak mungkin melihat masyarakat yang miskin kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya, tidak mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan yang
layak karena keterbatasan ekonomi, kita juga tidak mungkin hanya menyediakan
bantuan uang yang bersifat habis pakai sementara subjek dari kemiskinan tersebut
tidak
dimandirikan.
Keterbatasan
ekonomi
memang
merupakan
penyebab
kemiskinan, namun akar dari itu semua adalah ketidakmampuan seseorang dan
keterbatasan kesempatan kebutuhan dan keinginannya.
Kesimpulan
Berdasarkan Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat serta mengembangkan sumber daya produktif daerah.
Sehingga dalam era otonomi luas ini jajaran pemerintah daerah dituntut dapat
mengambil peran yang lebih besar dalam upaya mempercepat pengentasan
9
kemiskinan melalui peningkatan efisiensi, efektivitas, serta akuntabilitas sektor publik
di Indonesia. Melalui otonomi daerah yang menerapkan prinsip-prinsip good
governance
yang
diterapkan
dalam
UU
No.
28
Tahun
1999
tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN), diharapkan pemerintah daerah akan lebih mampu membuat
kebijakan-kebijakan yang akan menampung semua aspirasi, kebutuhan dan cita-cita
masyarakat serta memperhatikan kepentingan masyarakat.
Dengan peran yang lebih besar pada pemerintah daerah ini maka peran
pemerintah pusat makin bergeser dari yang sebelumnya sangat dominan, berubah
pada hal-hal yang bersifat konsepsional dan menjadi sekedar pemberi fasilitas,
pengawas, dan pendampingan bagi
pelaksanaan program penanggulangan
kemiskinan saja. Sudah saatnya, pemerintah mengembalikan lagi arah kebijakan
penanggulangan kemiskinan dengan melibatkan daerah secara penuh.
Program-program yang dilakukan oleh pemerintah daerah pada khususnya
sebagai usaha dalam mempercepat pengentasan kemiskinan seharusnya juga
sejalan dengan dengan pemikiran Amartya Sen yang mengungkapkan bahwa
seseorang yang miskin menderita akibat keterbatasan kemampuan (capabilities),
kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedoms). Sulistiyani (2004:4-5)
memandang bahwa kemiskinan bukan hanya sekedar fenomena, akan tetapi lebih
merupakan proses sistemik yang tereduksi akibat kerentanan yang melanda pada
banyak faktor. Sehingga adalah keliru jika program pengentasan kemiskinan yang
dilakukan pemerintah selama ini hanya fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan
hidup semata.
Kemiskinan
harusnya
tidak
dipandang
sebagai
objek
yang
harus
ditanggulangi, melainkan yang harus dipandang adalah “kaum miskin” sebagai
subjek
dari
kemiskinan.
memberikan pelatihan
Meningkatkan
kemampuan
kepada “kaum miskin”
seperti
akan lebih
keahlian
efektif
dan
daripada
memberikan bantuan uang yang bersifat habis pakai, karena dengan keahliankeahlian inilah “kaum miskin” dapat berjuang untuk keluar dari jebakan kemiskinan
secara mandiri. Oleh karena itu, program-program untuk meningkatkan kualitas dari
sumber daya manusia dari “kaum miskin” ini akan lebih efektif apabila dilakukan
10
pemerintah daerah sebagai usaha mempercepat pengentasan kemiskinan di
Indonesia.
11