BAB II DASAR HUKUM PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERBUATAN YANG TIDAK DIDAKWAKAN DI DALAM SURAT DAKWAAN A. Independensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum - Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Per

BAB II DASAR HUKUM PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERBUATAN YANG TIDAK DIDAKWAKAN DI DALAM SURAT DAKWAAN A. Independensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum Setiap kebebasan selalu melekat pada individu manusia sebagai salah satu

  hak dasar yang dimilikinya. Setiap realisasi dari kebebasan akan berimplikasi luas baik kepada diri pengambil kebebasan itu maupun kepada lingkungan sosialnya.

  Pemilik kebebasan itu senantiasa dituntut untuk mampu mempergunakan kebebasannya dalam batas-batas yang diperkenankan dan tetap dalam bingkai tanggung jawab yang menyertainya.Tindakan dari pemilik kebebasan tersebut juga harus mampu memenuhi kebebasan sosial.

  Jika kita terjun ke dalam kehidupan sehari-hari, maka kita dapat melihat hal-hal yang membicarakan hukum sebagai institusi sosial. Bekerjanya hukum itu tidak dapat dilepaskan dari pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat (di sekelilingnya). Hukum bekerja dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik untuk dilakukannya bagi masyarakat. Pertimbangan seperti ini dapat dilihat melalui keputusan yang memberikan efisiensi pada produksi masyarakat.

  Hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu menunggangi hukum. Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas persoalan

  37 yang kita hadapi sekarang, yaitu, hubungan antara hukum dan kekuasaan.

                                                               37 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan keenam, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 146.

  Seperti yang diketahui, Montesquieu memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan Negara (trias Politica) yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bagian, yaitu: 1.

  Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang; 2. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang- undang; dan

  3. Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi undang-undang atau kekuasaan untuk mengadili bilamana terjadi pelanggaran terhadap undang-undang. Pelaksanaan masing-masing kekuasaan tersebut, diserahkan kepada badan atau lembaga yang berdiri sendiri. Hal ini berarti masing-masing badan itu, di dalam melaksanakan kekuasaannya tidak dapat saling mempengaruhi, terpisah secara tegas, yaitu: kekuasaan legislatif pelaksanaannya diserahkan kepada badan legislatif yaitu Badan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan eksekutif pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah (Presiden atau Raja dengan dibantu oleh menteri- menteri atau kabinet).Kekuasaan yudikatif pelaksanaannya diserahkan kepada

  38 hakim atau peradilan.

  Menurut Montesquieu, salah satu kekuasaan negara yang perlu ditekankan adalah kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman. Kebebasan badan

                                                               38 H. Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Bandung: Alumni, hal. 47.

  yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena disitulah letak kemerdekaan

  39 individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan.

  Di dalam suatu Negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan badan yang sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif termasuk hukum pidana. Karena melalui badan inilah konkritisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun baiknya hukum pidana yang diciptakan dalam suatu Negara, tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan kepada norma- norma hukum pidana tersebut. Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai Negara hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh

  40 International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965.

  Dalam pertemuan konferensi tersebut ditekankan pemahaman tentang apa yang disebut sebagai “the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age” (aspek-aspek dinamika Rule of Law dalam abad modern). Dikatakan bahwa ada 6

                                                               39 40 Ibid. , hal 49.

  Paulus E Lotulung, “Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum”, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

  (enam) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis

  41

  dibawah Rule of Law, yaitu: 1.

  Perlindungan Konstitusional 2. Peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak 3. Pemilihan umum yang bebas 4. Kebebasan menyatakan pendapat 5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi 6. Pendidikan kewarganegaraan

  Dari syarat-syarat tersebut jelaslah bahwa independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar yang pokok, yang apabila komponen

  42 tersebut tidak ada maka tidak bisa dibicarakan lagi tentang Negara hukum.

  Hakim adalah salah satu elemen dasar dalam sistem peradilan selain jaksa dan penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian), sebagai subjek yang melakukan tindakan putusan untuk menyelesaikan perkara di dalam pengadilan. Hakim yang merupakan personifikasi atas hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses hukum legal. Dalam menjalankan tugasnya, maka seorang hakim memiliki kebebasan dari pengaruh-pengaruh maupun tekanan-tekanan luar dirinya.

  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan

                                                               41 42 Ibid.

  Ibid. penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

  43 keadilan.

  Kebebasan hakim di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, sebagaimana telah disempurnakan dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Independensi diartikan sebagai bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, dalam arti bahwa bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan Negara lainnya, kecuali dalam hal yang diizinkan oleh undang-undang.Demikian juga meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal yudisial di dalam menjatuhkan putusan.

                                                               43 Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

  Seorang hakim di dalam mengemban tugasnya harus mendapatkan perlindungan sebagai penegak hukum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan

  44

  direktiva yang berasal dari: a.

  Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif maupun legislatif, dan lain-lain; b.

  Lembaga-lembaga internal di dalam jajaran Kekuasaan Kehakiman sendiri; c.

  Pengaruh-pengaruh pihak yang beperkara; d. Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun internasional;

  45 e.

  .” Pengaruh-pengaruh yang bersifat “trial by the press

  Profesi hakim menuntut pada pemahaman akan konsep kebebasan yang bertanggung jawab karena kebebasan yang dimilikinya tidak boleh melanggar dan

  46 merugikan kebebasan orang lain.

  Hal yang dimaksudkan dengan kemandirian hakim adalah mandiri, tidak tergantung kepada apa atau siapa pun, dan oleh karena itu bebas dari pengaruh apa atau siapa pun. Hakim atau peradilan yang merupakan tempat orang mencari keadilan, harus mandiri, independen dalam arti tidak tergantung atau terikat pada siapa pun, sehingga tidak harus memihak kepada siapa pun agar putusannya itu

                                                               44 45 H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 167.

  Trial by Press atau peradilan dengan menggunakan media yang bersifat publikasi massa adalah sebuah istilah bentuk peradilan yang dilakukan dengan melalui penulisan atau pembicaraan dari satu sisi pihak secara bias, biasanya dilakukan dengan bantuan publikasi secara luas dan sadar dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada, dengan demikian berakibat menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut adalah bagaikan sebuah putusan pengadilan bagi para pihak yang terkait tanpa adanya hak melakukan pembelaan. 46 Ibid. objektif.Kemandirian itu menuntut pula bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus bebas.Dengan demikian kemandirian hakim tidak dapat dipisahkan dari kebebasan hakim, tetapi merupakan satu kesatuan.Adapun yang dimaksudkan dengan kebebasan hakim adalah bebas dalam memeriksa dan memutus perkara menurut keyakinannya serta bebas pula dari pengaruh pihak ekstrayudisial.Ia bebas menggunakan alat-alat bukti dan bebas menilainya, ia bebas pula untuk menilai terbukti tidaknya suatu peristiwa konkret berdasarkan alat bukti yang ada. Ia bebas untuk berkeyakinan mengenai jenis hukuman apa yang akan dijatuhkan dan bebas pula dari campur tangan dari pihak

  47 ekstrayudisial.

  Hakekat kebebasan hakim adalah jika seorang hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dalam menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta bebas dari berbagai pengaruh dan berbagai kepentingan baik dari dalam maupun dari luar, termasuk kepentingan dirinya sendiri demi tegaknya hukum dan keadilan. Misi hukum yang diemban oleh hakim sebagaimana tesis Gustav Radbruch adalah hakim berada dalam ranah ideal (das sollen) dan ranah empirik (das sein).Adapun tugas hakim adalah menarik ranah ideal ke dalam ranah empirik seakan-akan hukum yang ada di dunia kenyataan dihimbau untuk mengikuti hukum yang ada di dunia ide

  48 sebagaimana yang dimaksudkan hukum alam.

                                                               47 48 Ibid.

  Suhartono, “Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara (Suatu Kajian Dalam

Perspektif Filsafat Hukum)”, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, diakses dari http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/Perspektif%20filsaf at%20hukum.pdf, pada tanggal 7 Mei 2014 pukul 16.20 WIB. Kesadaran akan krusialnya keberadaan kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam setiap negara hukum yang modern melahirkan beberapa instrumen hukum internasional yang dibuat untuk mendesak terwujudnya independensi kekuasaan kehakiman secara universal. Ada beberapa instrumen hukum internasional yang menyebutkan tentang pentingnya independensi kekuasaan

  49

  kehakiman. Instrumen-instrumen tersebut antara lain: 1.

  Universal Declaration of Human Right, article 10, yang menyatakan: Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya, serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.

  2. International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR), article 14, menyatakan: bahwa setiap orang berhak atas pengadilan yang formal yang kompeten, independen, dan tidak memihak.

  3. Vienna Declaration and Programme for Action 1993, paragraph 27, menyatkaan bahwa salah satu hal yang penting dalam mewujudkan hak- hak asasi manusia dan sangat diperlukan dalam proses demokratisasi serta pembangunan yang berkelanjutan adalah adanya hakim dan profesi hukum yang independen dan sesuai dengan standar yang ada dalam instrument internasional hak-hak asasi manusia.

4. International Bar Association Code of Minimum Standarts of Judicial Independence, New Delhi, 1982.

                                                               49 H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 62-63.

  5. Universal Declaration of the Independent of Justice, Montreal, 1983.

  6. Beijing Statement of Principle of the Independency Yudiciary in the Law Asia Regions, 1995.

  Secara etimologis, makna bebas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: a.

  Lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa); b.

  Lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan sebagainya); c. Tidak dikenakan (pajak, hukuman, dan sebagainya); d. Tidak terikat atau terbatas oleh aturan dan sebagainya; e. Merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau dipengaruhi oleh Negara lain atau kekuasaan asing); f.

  Tidak terdapat (didapati) lagi.

  Dalam konteks kebebasan hakim, yang perlu diperhatikan dari makna bebas tersebut yaitu arti pada huruf e yang merupakan arti khusus. Sifat merdeka berarti menunjukkan kemandirian hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapkan padanya tanpa campur tangan pihak lain, baik dari pihak eksekutif maupun legislatif atau lainnya.

  Namun, kemerdekaan hakim tidaklah bersifat mutlak, tetapi dibatasi oleh hukum yang berlaku. Di samping dipengaruhi oleh integritas dirinya dalam menetapkan apa yang adil dan tidak adil, hakim harus memutus suatu perkara sesuai dengan apa yang dipandang adil oleh hukum.Kebebasan seorang hakim dalam menjamin rasa keadilan para pencari keadilan dibatasi oleh rambu-rambu, seperti: akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan pengawasan.

  Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri.Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial/materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dapat melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan

  50

  bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated ” pada Hukum dan

  51

  52

  tidak dapat bertindak “contra legem . ” Dari hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri sengeketa

  53

  atau perkaranya. Bagi hakim, dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya.Peraturan hukumnya hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.Ada kemungkinannya terjadi suatu peristiwa, yang meskipun sudah

  54 ada peraturan hukumnya, justru lain penyelesaiannya.

                                                               50 Subordinated adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan istilah yang   menempatkan lebih rendah. Hakim adalah subordinated pada hukum berarti hakim berada di bawah hukum dan sebagai pelaksana hukum sesuai dengan konstitusi. 51 Contra legem atau against the law adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang bertentangan dengan hukum yang mengaturnya. Hakim bertingak contra legem berarti tindakan hakim dalam putusannya melanggar larangan yang ditentukan dalam pasal undang-undang tertentu dengan cara menyingkirkan penerapan pasal tersebut. 52 53 Paulus E Lotulung, op.cit. 54 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit, hal. 32.

  Ibid. Faktor-faktor politis ada di samping dan di atas hakim.Sedangkan masih ada faktor sosial-ekonomi yang mempengaruhi kebebasan dan kemerdekaan hakim.Faktor sosial misalnya menjamurnya praktek main hakim sendiri di kalangan masyarakat, karena kurang percayanya pada putusan hakim.Munculnya demonstrasi yang mendesak hakim agar memutus sesuai dengan kehendak demonstran atau pihak yang menggerakkannya.Menyangkut faktor ekonomi, gaji hakim sangat menentukan pula atas merdeka tidaknya hakim dalam mengambil

  55 keputusan.

  Dalam praktiknya, banyak pencari keadilan yang dikorbankan oleh penyalahgunaan kebebasan hakim ini, karena hakim keliru memahami makna kebebasan peradilan (judicial independency), sehingga peradilan melalui hakim- hakimnya melakukan pelanggaran batas dan penyalahgunaan kewenangannya,

  56 yang mengakibatkan hakim identik dengan peradilan dan hukum.

  Hakim semacam ini tidak kekurangan alasan untuk membenarkan yang salah dan/atau menyalahkan yang benar. Sikap dan perilaku hakim semacam ini tentu telah menempatkan peradilan dan hakim di atas hukum, dimana penyelesaian dan putusan yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan hukum, akan teteapi menurut selera dan kemauan hakim yang bersangkutan. Dan biasanya dalam konteks ini, hakim bersangkutan dalam memutus suatu perkara berdasarkan “pesan sponsor” yang telah menyuapnya.Sedangkan bagi pihak yang telah

                                                               55 A. Hamzah, “Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003. 56 M. Sofyan Lubis, “Kebebasan Hakim VS Pencari Keadilan”, LHS & Partners, diakses

dari http://www.kantorhukum-lhs.com/1?id=Kebebasan-Hakim-VS-Pencari-Keadilan, pada tanggal 7 Mei 2014 pukul 17.00 WIB. dikalahkan, hakim tersebut cukup menggunakan alasan klasik dan mengatakan, “kalau anda tidak puas dengan putusan kami, silahkan anda melakukan upaya

  57 hukum” baik banding atau kasasi.

  Implementasi kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah tercermin dalam kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Pembentukan hukum melalui putusan pengadilan, merupakan salah satu dari hasil proses pemeriksaan perkara di muka pengadilan yang berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman yang merdeka. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan satu landasan teori untuk dapat menjawab permasalahan yang timbul dari

  58 pembentukan hukum melalui putusan pengadilan.

  Sebagai suatu proses, penegakan hukum tidak pernah selesai karena salah satu yang ditegakkan adalah keadilan yang merupakan nilai yang tidak dapat dimaknai secara subyektif. Oleh karena itu, menurut Soepomo, hakim dalam melaksanakan tugasnya menurut adat terikat dan bebas untuk meninjau secara mendalam apakah putusan-putusan yang diambil pada waktu yang lampau masih dapat dipertahankan berhubung adanya perubahan-perubahan di dalam masyarakat disebabkan adanya pertumbuhan rasa keadilan yang baru dalam

  59 masyarakat.

  Adanya ketentuan bahwa hakim merdeka dan bebas tidak berarti hakim boleh bertindak serampangan, kewajibannya adalah menafsirkan hukum serta prinsip-prinsip fundamental dan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan hal itu

                                                               57 58 Ibid. 59 H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 46.

  Suhartono, op.cit.

  60

  berdasarkan perasaan keadilannya serta hati nuraninya. Apabila kebebasan yang dimiliki hakim kemudian diartikan menjadi kebebasan mutlak, dapat terjadi kekuasaan yang sewenang-wenang, yang pada akhirnya akan kembali kepada

  61 suasana yang menyebabkan lahirnya prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman.

  

B. Putusan Hakim Dan Mekanisme Hakim Menjatuhkan Putusan Menurut

Hukum Acara Pidana Di Indonesia

  Terbitnya UU Nomor 8 Tahun 1981 sebagai KUHAP, ketika itu disambut sebagai prestasi luar biasa bangsa Indonesia. Itu dianggap prestasi karena telah berhasil membentuk hukum sendiri, lepas dari sistem hukum kolonial yang menindas selama berates tahun. Di antara prestasi itu, yang dicatat masuk ke dalam KUHAP adalah 11 prinsip (asas) hukum yang sebelumnya tidak ada di dalam HIR, yakni asas-asas legalitas, keseimbangan, praduga tak bersalah, pembatasan penahanan, ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dengan ganti rugi, unifikasi, diferensiasi tunggal, saling koordinasi, peradilan yang cepat dan biaya ringan, serta peradilan yang terbuka untuk umum. Kesebelas prinsip

  62 inilah yang dijabarkan ke dalam seluruh pasal dan ayat-ayat KUHAP.

  Kalau ditelaah secara teliti ketentuan dalam KUHAP, maka sistem peradilan pidana Indonesia yang terdiri dari komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakat sebagai aparat penegak hukum, setiap komponen dari sistem tersebut seharusnya secara konsisten menjaga agar sistem

                                                               60 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ketigabelas, Jakarta: Gramedia, 1991, hal. 228. 61 62 H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 55.

  Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hal. 45. tetap berjalan secara terpadu. Keempat aparat tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat satu sama lain. Bahkan, dapat saling menentukan.Masing-masing komponen tersebut merupakan sub-sistem dalam keseluruhan sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana, cara kerja sub-sistem harus terintegrasi (terpadu) dengan sub-sistem lainnya. Harus ada persamaan persepsi dalam

  63 mencapai tujuan pokok adanya sistem peradilan pidana.

  Penyidikan yang baik akan membawa pengaruh yang baik pula dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Penyidikan yang baik ini dikaji melalui

  

64

pra-penuntutan yang dilakukan oleh jaksa.

  Pelaksanaan penegakan hukum pidana yang sangat menarik perhatian publik saat sekarang adalah mengadili perkara dan penjatuhan putusan oleh pengadilan.Putusan yang dijatuhkan pengadilan kadang-kadang dianggap masyarakat jauh dari keadilan.Bahkan tidak jarang setelah putusan diucapkan, masyarakat mencari-cari kesalahan materi putusan/pertimbangan putusan atau

  

legal reasoning dari putusan tersebut. Ada juga pihak-pihak yang berperkara yang

  tidak setuju dengan bunyi putusan minta supaya hakim yang memutus perkara dilaporkan ke Komisi Yudisial karena kesalahan dalam proses pelaksanaan persidangan dan dalam memutus perkara. Kesalahan tersebut sebenarnya menurut ketentuan hukum acara, bagi pihak yang tidak menerima putusan karena dirasa

                                                               63 64 H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 186.

  Ibid. tidak adil, dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan yang lebih tinggi seperti

  65 banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung.

  Sesungguhnya pengambilan putusan dalam perkara pidana dilakukan oleh hakim yang independen melalui suatu proses persidangan. Proses tersebut berperan dalam menentukan bagaimana putusan yang akan dijatuhkan. Sebaliknya putusan yang dirasakan adil oleh masyarakat sangat tergantung juga dari proses persidangan yang adil, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan

  66 di sidang terbuka untuk umum.

  Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.Untuk memutus suatu perkara pidana, maka terlebih dahulu hakim harus memeriksa perkaranya. Sebelum putusan hakim diucapkan/dijatuhkan maka prosedural yang harus dilakukan

  67

  hakim dalam praktek lazim melalui tahapan sebagai berikut: a.

  Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

  b.

  Terdakwa dipanggil masuk ke depan persidangan dalam keadaan bebas kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa serta terdakwa diingatkan supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar serta dilihatnya di persidangan.

                                                               65 H. Elfi Marzuni, “Peran Pengadilan Dalam Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia”,

Makalah Seminar Peran Dan Fungsi Penegakan Hukum Dalam Menciptakan Keadilan Dan

Kepastian Hukum, 10 April 2012. 66 67 Pasal 195 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

  Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 123–124. c.

  Pembacaan surat dakwaan untuk Acara Biasa (Pid.B) atau catatan dakwaan untuk Acara Singkat (Pid.S) oleh Jaksa Penuntut Umum.

  d.

  Selanjutnya terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan dakwaan tersebut, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti lalu Penuntut Umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.

  e.

  Keberatan terdakwa atau penasihat hukum terhadap surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

  f.

  Dapat dijatuhkan putusan sela/penetapan atau atas keberatan tersebut hakim berpendapat baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara maka sidang dilanjutkan.

  g.

  Pemeriksaan alat bukti yang dapat berupa: a.

  Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; dan e. Keterangan terdakwa.

  h.

  Kemudian pernyataan Hakim Ketua Sidang bahwa pemeriksaan dinyatakan “selesai” dan lalu Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana (requisitoir). i.

  Pembelaan (pleidoi) terdakwa dan atau penasihat hukumnya. j.

  Replik dan Duplik, selanjutnya re-replik dan re-duplik. k.

  Pemeriksaan dinyatakan “ditutup” dan hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk menjatuhkan putusan.

  Hukum Acara Pidana mempunyai spirit untuk menjamin adanya pelaksanaan proses hukum yang adil dan layak (due process of law) dan menghindarkan diri dari praktek penegakan hukum yang sewenang-wenang atau

  

arbitrary process di seluruh elemen dalam sistem peradilan pidana, mulai dari

  68 kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai kepada lembaga pemasyarakatan.

  Satu-satunya kekuasaan dan kewenangan penegak hukum hanyalah kewenangan yang bersumber dan berdasar undang-undang. Pembagian kewenangan atau kekuasaan aparat penegak hukum dalam KUHAP berjalan menurut alur (procedural design), melalui tiga tahap, yaitu: (1) tahap pra- ajudikasi (pre-adjudication), atau tahap sebelum sidang pengadilan, dengan sentral kekuasaan ada pada polisi/jaksa, (2) tahap ajudikasi (adjudication), sebagai tahap di persidangan, dengan sentral kekuasaan ada pada hakim, dan (3) purna- ajudikasi (post-adjudication), tahap setelah sidang pengadilan, dengan Lembaga

  

69

Pemasyarakatan sebagai sentral figurnya.

  Pemeriksaan secara inquisitoir dalam sistem kontinental Eropa membuktikan adanya kepercayaan yang besar dalam menemukan fakta-fakta oleh para pejabat Negara.Hakim memutus berdasarkan urutan penerimaan pembuktian.Ia menginterogasi tersangka dan para saksi.Seperti halnya seorang

                                                               68 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada

Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi) , Pidato Pengukuhan Guru

Besar, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993, hal. 6. dalam Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana , Bandung: Mandar Maju, 2007, hal. 101. 69 Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2007, hal. 101. ahli sejarah, hakim pun berusaha untuk memperoleh gambaran yang obyektif dan luas atau lengkap mengenai delik yang dituduhkan jaksa (penuntut umum) dan pembela hanya memainkan peran pelengkap. Dengan demikian pemeriksaan dalam persidangan secara inquisitoir merupakan pencaharian berdasarkan wewenang bagi kebenaran dan bukan semata-mata merupakan debat tentang pelbagai kemungkinan untuk meninjau fakta-fakta serta untuk menilai alat-alat bukti. Pada pemeriksaan di hadapan sidang pengadilan dalam sistem kontinental, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk menguji dapat dipercaya tidaknya seorang saksi dan keakuratan (ketelitian) keterangan yang diberikan digunakan

  70 oleh hakim dalam interogasinya yang mendalam.

  Hakim pada umumnya mulai mengajukan pertanyaan dan setelah ia selesai bertanya, kesempatan diberikan pada jaksa dan pembela untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Gaya dan tata caranya pemeriksaan dapat berbeda dari pengadilan yang satu dengan yang lain demikian pula dari hakim yang satu dengan yang lainnya. Gayanya pun tergantung kepada apakah terdakwa

  71 didampingi oleh pembela.

  Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka ia mempersilakan penuntut umum membacakan tuntutannya (requisitoir). Setelah itu giliran terdakwa atau penasihat hukumnya membacakan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau

                                                               70 Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana Dan Perbandingan Hukum, Cetakan kedua, 1984, Bandung: Armico, hal. 32. 71 Ibid. , hal. 116. penasihat hukumnya mendapat giliran terakhir.Tuntutan, pembelaan serta

  72 jawabannya dilakukan secara tertulis.

  Jika acara tersebut selesai, maka berdasarkan Pasal 182 ayat (2) KUHAP, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.Penjelasan Pasal tersebut menyatakan pemeriksaan dapat dibuka sekali lagi dengan alasan untuk menampung data tambahan untuk bahan musyawarah hakim.

  Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum,

  73

  terdakwa, atau penasihat hukum. Satu hal yang sangat penting tetapi tidak disebut ialah berapa lama penundaan itu dapat berlangsung. Dalam Ned. Sv. Jelas ditentukan bahwa penundaan penjatuhan putusan hakim itu paling lama dapat

  74 berlangsung empat belas hari.

  Dengan berakhirnya dan ditutupnya pemeriksaan sidang, hakim akan mengadakan pertimbangan. Pengadilan mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas keputusannya diumumkan sebagai keputusan bersama.Pertimbangan yang dilakukan oleh majelis hakim bersifat rahasia.Pada uraian berikutnya mengenai struktur membuat keputusan yang menjadi dasar

                                                               72 73 Bandingkan dengan Pasal 182 ayat (1) KUHAP 74 Pasal 182 ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Andi Hamzah, op.cit, hal. 283. pertimbangan.Keputusan akan disajikan sebagai pertimbangan “pengadilan.”

  75 Pengadilan mewakili baik majelis hakim maupun hakim tunggal.

  Akan tetapi sebelum ketua sidang menjatuhkan putusan, harus dilalui beberapa tahap proses “formal.” Dikatakan formal, karena pada dasarnya tahap proses itu harus dilalui, tetapi sifatnya tidak begitu “formalistis.” Seandainya tahap tersebut tidak secara terang dan tegas dilalui, “tidak mengakibatkan batalnya putusan.”Dan prosesnya pun lebih “bersifat intern” di antara majelis hakim yang memeriksa perkara.Di samping bersifat intern, “sifatnya pun rahasia,” tidak

  76 dilakukan di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.

  77 Putusan hakim ditentukan melalui musyawarah majelis hakim

  Musyawarah majelis ini sedapat mungkin merupakan permufakatan yang bulat, kecuali jika hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka

  78

  ditempuh dua cara, yaitu: a.

  Putusan diambil dengan suara terbanyak; dan b. Jika yang tersebut a tidak diperoleh, maka yang dipakai adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa.

  Menurut pendapat Andi Hamzah, ketentuan tersebut sangat menguntungkan terdakwa, karena jika seorang hakim memandang apa yang

                                                               75 76 Soedjono Dirdjosiworo, op.cit, hal. 118.

  M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali , Edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 263. 77 Pasal 182 ayat (3) KUHAP: “… hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut 78 umum dan hadirin meninggalkan ruang sidang.” H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 111. didakwakan telah terbukti dan oleh karena itu terdakwa harus dipidana, sedangkan seorang hakim lagi menyatakan bahwa hal itu tidak terbukti dan hakim yang

  79 ketiga abstain, maka terjadilah pembebasan (vrijspraak) terdakwa.

  Pasal 182 ayat (4) KUHAP menegaskan bahwa musyawarah majelis hakim yang dilakukan tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang.

  Sama dengan putusan hakim dalam perkara perdata dibatasi oleh apa yang digugat, hakim dalam perkara pidana tidak boleh memutus di luar yang didakwakan jaksa. Idealnya ialah perbuatan yang sungguh-sungguh terjadi yang didakwakan dan itu pula yang dibuktikan.Memang benar dominus litis adalah jaksa (yang mewakili negara).Jaksa boleh menuntut satu feiten (perbuatan), tetapi yang satu itu sungguh-sungguh terjadi dan sungguh-sungguh dibuktikan dengan

  80 alat bukti yang cukup ditambah dengan keyakinan hakim.

  Pasal 182 ayat (7) KUHAP juga menyatakan bahwa pelaksanaan pengambilan putusan dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu da nisi buku tersebut sifatnya rahasia. Sementara itu,

  Pasal 200 KUHAP menentukan bahwa surat keputusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. Hal lain yang harus diperhatikan yaitu bahwa Pasal 196 ayat (1) KUHAP menentukan hakim memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali ditentukan lain oleh KUHAP dan undang-undang lain. Pengecualian dalam

                                                               79 80 Andi Hamzah, op.cit, hal. 283.

A. Hamzah, op.cit.

  KUHAP yaitu dalam hal acara pemeriksaan cepat, putusan hakim dapat dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa.

  Dalam undang-undang pidana khusus dikenal pula peradilan in absentia yaitu pada delik ekonomi (Pasal 16 UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi) dikenal peradilan in absentia terhadap orang yang tidak dikenal, tetapi terbatas pada penjatuhan pidana perampasan barang-barang yang telah disita.Begitu pula dalam delik korupsi (Pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

  81 Pidana Korupsi) dapat dijatuhkan pidana tanpa hadirnya terdakwa.

  Dalam putusan pemidanaan, Pasal 196 ayat (3) KUHAP juga menentukan bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala yang menjadi haknya setelah putusan diucapkan, yaitu: a.

  Hak segera menerima atau menolak putusan; b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolaknya, dalam tenggang waktu yang ditentukan KUHAP; c.

  Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan; d. Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan KUHAP, dalam hal ia menolak putusan; e.

  Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan KUHAP.

                                                               81 Ibid. , hal 284.

  Harus diingat, bahwa pertimbangan hakim dalam suatu putusan yang mengandung penghukuman terdakwa, harus ditujukan kepada hal terbuktinya

  82 peristiwa pidana yang dituduhkan kepada terdakwa.

  Untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum, maka KUHAP melalui Pasal 183 telah mewajibkan hakim untuk menjatuhkan pidana setelah ditemukan apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

  83

  sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya.

  Harus juga dipertimbangan keterangan terdakwa dalam sidang, pertama- tama keterangan dimana ia berada pada waktu tindak pidana terjadi (jika tidak

  84

  tertangkap tangan). Apakah keterangan terdakwa tentang alibi adalah masuk akal dan barangkali dapat dikuatkan oleh seorang saksi, atau sebaliknya

  85 bertentangan dengan keterangan lain orang saksi.

  Menurut Moelyatno, proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim

  86

  dalam perkara pidana adalah sebagai berikut:

                                                               82 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana Di Indonesia, Cetakan kelima, Bandung: Sumur Bandung, 1962, hal. 95. 83 Pasal 184 ayat (1) KUHAP: “Alat bukti yang sah ialah: a.

  Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. 84 Keterangan terdakwa.” Alibi merupakan keterangan yang menyatakan bahwa terdakwa berada di lain tempat pada saat tindak pidana terjadi. 85 86 Ibid.

  Achmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 96-100. a.

  Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan sebagai tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana.Ditinjau dari segi tersebut, tampak sebagai perbuatan yang merugikan atau yang tidak patut dilakukan atau tidak.Jika perbuatan terdakwa memenuhi unsur- unsur dalam suatu pasal hukum pidana, maka terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.

  b.

  Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.Dapat dipidananya seseorang harus memenuhi dua syarat, yaitu pertama, perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan yang kedua, perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan (asas geen straf zonder schuld ).

  c.

  Tahap Penentuan Pemidanaan Dalam hal ini, jikalau hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas perbuatannya, dan kemudian perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku, maka hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tersebut.

  Menurut Soerjono Soekanto, ada beberapa faktor yang mempengaruhi

  87

  hakim dalam mengambil suatu putusan. Faktor-faktor itu adalah: a.

  Raw in-put, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan suku, agama, pendidikan informal dan sebagainya; b.

  Instrumental in-put, yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal; c.

  Environtment in-put, yakni faktor lingkungan, sosial budaya yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan seorang hakim, umpamanya lingkungan organisasi dan seterusnya. Yahya Harahap lebih merinci faktor-faktor tersebut sebagai faktor

  88 subjektif dan faktor objekif.

  Faktori subjektif: a.

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG MEMUTUS PASAL YANG TIDAK DIDAKWAKAN DALAM SURAT DAKWAAN DITINJAU DARI SEGI HAK TERDAKWA

2 29 9

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG MEMUTUS PASAL YANG TIDAK DIDAKWAKAN DALAM SURAT DAKWAAN DITINJAU DARI SEGI HAK TERDAKWA (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 1401/Pid.B/2010/PN.Bdg)

0 6 17

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG TIDAK SESUAI DENGAN SURAT DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM (Putusan Mahkamah Agung RI No.1958 K/Pid.Sus/2009)

1 21 214

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG TIDAK SESUAI DENGAN SURAT DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM (Putusan Mahkamah Agung RI No.1958 K/Pid.Sus/2009)

1 11 16

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG TIDAK DIDAKWAKAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (PUTUSAN NOMOR 232/PID.B/2011/PN. Kdi)

0 3 17

Sewa-Menyewa Dalam KuhPerdata Pasal 1576 dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/KIPdt/2002)

0 5 0

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum - Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)

0 0 18

BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

0 0 47