BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi

  Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption.Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti corruption dan corrupt (Inggris), corruption (Perancis) dan crruptie (Belanda).

  Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Secara harafiah, menurut Sudarto, kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Adapun Henry Camplle Black mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak

   lain.

  Menurut Shed Husein Alatas, ciri-ciri korupsi antara lain sebagai

  

  berikut: a. 45 Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. 46 Azis Syamsuddin, Op. Cit. hlm. 137 Evi Hartanti, Op. Cit. hlm. 10.

  24

  25 b.

  Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya.

  c.

  Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang.

  d.

  Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

  e.

  Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

  f.

  Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

  g.

  Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha memberantas tindak pidana korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Bahkan peraturan perundang-undangan korupsi sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan, antara lain:

  

  

a. Masa Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tangga 9 April

1957

  Perkembangan masyarakat dalam usaha mengisi kemerdekaan, telah memperlihatkan gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan 47 Chaerudin dkk, Op. Cit. hlm. 17. yang merugikan kekayaan dan perekonomian negara.Gejala seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan

  

  republik yang baru diproklamasikan. ada masa itu istilah korupsi menjadi sangat terkenal dalam masyarakat, dan terasa sangat mencemaskan. Sementara itu, ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum KUHP tidak dapat berbuat banyak untuk memberantas gejala baru yang oleh masyarakat dinamakan korupsi itu dengan mengandalkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP saja untuk menanggulangi masalah korupsi, ternyata dirasakan tidak efektif. Akibatnya banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang ada di dalam KUHP.

  Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, diperlukan adanya keleluasaan bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi.Atas dasar itu pada tanggal 9 April 1957, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan Peraturan No.Prt/PM-06/1957.Pada bahagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami kemacetan.Peraturan penguasa militer ini dapat dianggap sebagai cikal bakal peraturan perundang-undangan pidana khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

  Kemudian ternyata bahwa peraturan penguasa militer ini dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan ini tentang pemilikan 48 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 127.

  26 harta benda.Keinginan ini lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Penguasa Militer No.Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957.Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan.

  Jika dalam harta benda tersebut ditemukan adanya harta benda yang mencurigakan, yang asal mulanya diperoleh dari perbuatan hukum, maka penguasa militer memandang perlu untuk melakukan penyitaan. Akan tetapi tindakan penyitaan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa memiliki dasar hukum untuk itu. Oleh karena itu, disamping peraturan penguasa militer yang telah ada, maka sebagai dasar bagi penguasa militer untuk menyita dan merampas harta benda yang asal mulanya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan itu, penguasa militer pada tanggal 1 Juli 1957 mengeluarkan Peraturan Penguasa

49 Militer No. Prt/PM 011/1957.

b. Masa Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No.

  Prt/013/Perpu/013/ 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda

  Berlakunya Undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958, maka ketiga peraturan penguasa militer tadi diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt./Peperpu/013/1958 tentang 49 Konsideran Peraturan Penguasa Militer itu pada bagian menimbang

  27 Pengusutan, Penuntutan Dan Pemerikasaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda.

50 Sudarto, berpendapat bahwa peraturan tentang korupsi yang baru itu

  dilihat dari sudut sistematikanya lebih baik daripada ketiga peraturan yang ada sebelumnya, dan isinya merugikan perpaduan dari peraturan-peraturan terdahulu.Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat ini membedakan antara perbuatan korupsi Pidana dengan perbuatan korupsi lainnya.

  Patut pula di kemukakan disini, bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat No.Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan Darat saja.Sementara di daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut dibuat pula Perturan Penguasa Militer Angkatan Laut No. Prt/zl/17 tanggal 17 April 1958, yang perumusannya sama dengan peraturan penguasa perang yang disebutkan pertama.

  Kedua peraturan penguasa perang tersebut di atas dibuat dalam keadaan yang luar biasa.Keadaan ini tercermin dari maksud diadakannya peraturan tersebut, yakni agar dalam tempo yang singkat dapat dibongkar perbuatan- perbuatan korupsi yang pada saat itu sangat merajalela akibat dari suasana seakan- akan pemerintah sudah tidak mempunyai kewibawaan lagi.

  

c. Masa Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan

Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

  Tindak pidana Korupsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Tahun 1960 ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang termuat dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat tadi. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 50 Ibid. 127.

  28

  1960 dapat dikatakan telah menyerap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat. Hanya saja terdapat sedikit perubahan redaksional pada unsur “karena melakukan perbuatan melawan hukum” diganti dengan unsur “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”, dan penggantian kata “perbuatan” dengan istilah “tindakan” pada rumusan korupsi kategori pertama. Di samping itu, undang-undang ini menarik lagi beberapa Pasal KUHP dari apa yang telah ditarik oleh peraturan penguasa perang tadi, sehingga semuanya meliputu Pasal-Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.

  Sampai dengan berlakunya Undang-Undang Korupsi tahun 1960 ini saja sebenarnya sudah tergambar betapa hukum pidana Indonesia telah mengalami perkembangan sedemikian rupa.Fakta ini dapat dilihat sebagai manifestasi dinamika hukum pidana itu sendiri dalam menanggapi perkembangan perilaku manusia yang dinamika korupsi, namun pada sisi lain, justru dengan adanya penggantian peraturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya ketentuan pengaturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya ketentuan hukum pidana yang ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

51 Bambang Poernomo dalam hubungan itu mengatakan bahwa

  pembaharuan yang diadakan dalam substansi Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya pemberantasan kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku terselubung, dan mempunyai sasaran dibidang politik, ekonomi, keuangan dan sosial budaya. Meski telah 51 Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 65.

  29 beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi, namun selama kurun waktu antara tahun 1960-1970 perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus berlangsung dengan hebat.Artinya, selama kurun waktu tersebut sistem peradilan pidana tidak dapat berbuat banyak untuk mengahdapi pada koruptor ke pengadilan.

  Kebijakan untuk melakukan pembaharuan terhadap undang-undang mengenai tindak pidana korupsi erat pula kaitannya dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat tentang tindak pidana korupsi, yang oleh pembentuk undang- undang dianggap tidak mampu ditampung oleh Undang-Undang No. 24 Prp.

  Tahun 1960.Artinya, berhubung dengan perkembangan masyarakat, pemeritah memandang perlu mengadakan pembaharuan hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960.

  Agar upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara efektif dan efisien, perlu diadakan perluasan rumusan tindak pidana korupsi.

  Kemudian untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi perlu dilakukan pembaharuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam undang- undang korupsi.

  

d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

  Unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam undang-undang yang lama, diganti dengan unsur melawan hukum.Dengan adanya unsur melawan

  30 hukum itu terkesan bahwa pembentuk undang-undang berusaha mengatasi kelemahan dan kesulitan pembuktian seperti ditunjukkan dalam penerapan undang-undang sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU-PTPK 1971 tersebut memuat pengertian yang luas sebagai pengganti unsur

  

  melakuikan kejahatan atau pelanggaran. Unsur melawan hukum pada undang- undang tindak pidana korupsi tahun 1971 mengandung pengertian formil dan materil.

  Konsideran Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 menegaskan latar belakang pemikiran pembuat undang-undang untuk memposisikan undang- undang tersebut sebagai instrumen hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi.Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementara undang-undang yang ada kurang mencukupi sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi.

  Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dalam perkembangannya dirasakan memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti.Disamping tidak adanya ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tidak adanya ketentuan yang diterapkan terhadap korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi (corpotate criminal liability) tercatat sebagai salah satu kelemahan yang dimiliki oleh undang-unang No.Tahun 1971.

  Kelemahan lain yang terdapat dalam UU-PTPK 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (duapuluh tahun) 52 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT.

  Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 78.

  31 dan minimum umum (satu hari), sehingga Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenangan direksi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktek kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah ini satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.

  Setelah Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikeluarkan.Namun, dalam perjalanannya, korupsi semakin bertambah parah dan berkembang luas. Pelopor Orde Baru yang semula berteriak paling lantang untuk memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber tumbuh suburnya korupsi dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme, dan hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tersebut belum dapat memuaskan banyak pihak sehingga perlu diganti dengan undang- undang baru. Undang-undang baru yang dimaksud yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

e. Masa Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

  Perjalanannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 pun ternyata menimbulkan permasalahan karena tidak ada Pasal yang mengatur tentang peraturan peralihan, sehingga menimbulkan pro dan kontra mengenai keberadaan undang-undang tersebut. Akibat dari tidak adanya Pasal tentang peraturan peralihan, maka pelaku korupsi pada Orde Baru, sebelum Undang-Undang ini

  32 berlaku tidak bisa dijerat dengan Pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak

  

  berlaku lagi. Hal ini menimbulkan sangkaan bahwa Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 merupakan konspirasi dari penguasa untuk melindungi pelaku korupsi di masa lalu. Karena kelemahan itu, maka Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 perlu untuk diubah hingga pada akhirnya keluar Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

   Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Beragam pengertian dan tipe-tipe tindak pidana korupsi yang berkembang di Indonesia dimaksudkan disini semata-mata ditujukan kepada eksistensi UU PTPK sebagai hukum positif (ius constitutum/ius operatum) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Secara yuridis-formal pengertian tindak pidana korupsi terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan

  pasal 2 sampai dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24

   UU PTPK.

  2. Subjek Hukum Tindak Pidana korupsi

  Subjek hukum dalam tindak pidana korupsi Indonesia pada dasarnya adalah orang pribadi sama seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum.

  Hal ini tidak mengkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang 53 Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2005), hlm. 75. 54 Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008), hal. 50. 55 Lilik Mulyadi, Op. Cit. hlm. 186.

  33 menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimuat dalam

  Pasal 20 jo Pasal 1 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-

   Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Subjek hukum tindak pidana tidak terlepas dari system pembebasan tanggung jawab system yang dianut, yang dalam hukum pidana (sumber pokok KUH Pidana) adalah pribadi orang.Hanya orang yang menjadi subjek hukum pidana, sedangkan badan atau korporasi tidak.Pertanggung jawaban bersifat pribadi, artinya orang yang dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana hanyalah orang atau pribadi si pembuatnya.Pertangung jawaban pribadi tidak dapat dibebankan kepada orang yang tidak berbuat atau subjek hukum yang lain (vicarious liability).Hukum pidana kita menganut asas concordantie dari hukum pidana Belanda menganut sistem pertanggung jawaban pribadi.Sangat jelas dari setiap rumusan tindak pidana dalam KUH Pidana dimulai dengan kata “barang siapa” (Hij Die), dalam hukum pidana khusus adalahnya menggunakan perkataan “setiap orang” yang maksudnya adalah orang pribadi misalnya Pasal 5 Undang- Undang No. 20 Tahun 2001.

  Pertanggung jawaban pidana sangat sesuai dengan kodrat manusia, sebab hanya manusia yang berpikir dan berakal serta berperasaan.Dari kemampuan pikir dan akal serta perasaan seseorang menetapkan kehendak untuk berbuat yang kemudian diwujudkan.Apabila perbuatan itu berupa perbuatan bersifat tercela atau 56 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formildi Indonesia, (Malang: Bayumedia Publising, 2005), hlm. 341.

  34 bertentangan dengan hukum, maka orang itulah yang dipersalahkan dan

  

  bertanggung jawab atas perbuatannya. Azas “tiada pidana tanpa kesalahannya” pada umumnya diakui sebagai prinsip umum diberbagai negara.Namun tidak banyak undang-undang hukum materil di berbagai negara yang merumuskan secara tegas azas ini dalam undang-undangnya.Biasanya perumusan azas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang

  

  berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, azas ini dapat ditemukan pada :

  Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman : Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan

   yang didakwakan atas dirinya.

  Dalam hukum pidana korupsi ini yang bersumber pada Undang-Undang Nomonr 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, subjek hukum orang ini ditetukan melalui

  

  2 (dua) cara, yaitu :

  57 58 Ibid. hlm. 343.

  Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hlm. 88. 59 60 Lihat Pasal 6 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Adam Chazawi, Op.Cit. hlm. 343.

  35

  1. Cara yang pertama disebut subjek hukum orang pada umunya, aritnya tidak ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam kalimat rumusan tindak pidana yang menggambarkan atau menyebutkan subjek hukum tindak pidana orang pada umunya, yaitu in cassu tindak pidana korupsi disebutkan dengan perkataan “setiap orang” misalanya Pasal 2, 3, 21 dan 22 tetapi juga subjek hukum pidana yang diletakka ditengah rumusan misalnya Pasal 5 dan 6.

  2. Sedangkan cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum orang tersebut, yaitu in cassu ada banyak kualitas pembuatnya antara lain :

  1. Pegawai negeri; penyelenggara negara (misalanya Pasal 8, 9, 10, 11, 12 huruf a, b, e, f, g, h, i);

  2. Pemborong ahli bangunan (Pasal 7 ayat (1) huruf a); 3.

  Hakim (Pasal 12 huruf c); 4. Advocat (Pasal 12 huruf d); 5. Saksi (Pasal 24); bahkan 6. Tersangka bisa juga menjadi subjek hukum (Pasal 20 jo Pasal 28).

  Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberangtasan Tindak Pidana Korupsi, pegawai negeri adalah : a.

  Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian; b.

  Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

  36

  37 c.

  Orang yang menrima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. Uang yang menerima gaji atau suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e.

  Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

   Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-

  Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ditentukan bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah setiap warga Negara Republi Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa pegawai negaeri tersebut terdiri atas : 1.

  Pegawai negeri sipil pusat dan pegawai negeri sipil daerah, 2. Angggota Tentara Nasional Indonesia, dan 3. Anggota Kepolisian Republik Indonesia.

   Dalam Pasal 92 KUH Pidana memberikan makna lebih luas tentang

  pegawai negeri yaitu :

   61 Lihat Undang-Undang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi. 62 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 23. Ayat (1) yang termasuk sebutan amtenar (pegaawai), yaitu sekalian orang dipilih menurut pilihan yang sudah diadakan menurut undang-undang umum, demikian pula sekalian yang bukan karena pemilihan menjadi angggota Dewan Pembuat Undang-Undang Pemerintahan atau perwakilan rakyat yang dibentuk oleh atau atas nama pemerintah, seterusnya sekalian dari anggota Dewan-Dewan daerah setempat dan sekalian kepala bangsa Indonesia dan asing, yang melakukan kekuasaan yang sah.

  Ayat (2) yang masuk sebutan amtenar (hakim), termasuk pula ahli memutus perselisihan; yang termasuk sebutan hakim, yaitu mereka yang menjalankan kekuasaan hukum administratief, demikian juga ketua dan anggota dewan agama

  Ayat (3) semua orang yang termasuk dalam angkatan bersenjata disebut amtenar (Pegawai).

2. Subjek Hukum Korporasi

  Korporasi yang dapat menjadi subjek hukum diterangkan dalam Pasal 1 yang menyatakan bahwa “korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Berdasarkan pengertian korporasi yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana ini, maka jelaslah pengertian hukum pidana dalam tindak pidana korupsi jauh lebih luas dari pada pengertian rechts persoon yang umumnya diartikan sebagai badan hukum, atau suatu korporasi yang oleh suatu peraturan perundang- 63 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  38 undangan ditetapkan sebagai badan hukum yang didirikan dengan cara memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Sedangkan korporasi yang bukan badan hukum adalah setiap kumpulan orang yang terorgannisasi dengan baik dan teratur, biasanya ada perangkat aturan yang mengatur intern kumpulan tersebut dengan ditentukannya jabatan-jabatan tertentu yang menggerakkan roda organisasi dengan sedikit dan banyaknya kekayaan atau dana untuk membiayai

   kumpulan tersebut.

  Perkembangan konsep korporasi sebagai subjek perbuatan pidana merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam menjalankan aktivitas usaha.Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara perorangan. Namun, dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberapa hal yang menjadi faktor pertimbangan untuk mengadakan kerja sama antara lain, terhimpunnya modal yang lebih banyak, tergabungnya ketrampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibandingkan dengan yang dijalankan seorang diri, dan

   mungkin pula atas pertimbangan dapat membagi risiko kerugian.

  Penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan dan membahayakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala luas.Dalam lingkup pembicaraan mengenal perkembangan konsep korporasi sebagai subjek perbuatan pidana, Rudhy Prasetya mengatakan bahwa timbulnya konsep badan 64

  http//www/eprints.undip.ac.id/17989/1/Johny_Krisna.pdf diakses pada tanggal 23 September 2013. 65 Rudy Prasetya, “Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi”, Makalah SeminarNasional Kejahatan Korporasi, Semarang Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1989, hlm. 3.

  39 hukum sekedar konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi (badan hukum) merupakan suatu ciptaan hukum,yakni pemberian status sebagai subjek hukum kepada suatubadan hukum di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah. Dengan demikian, badan hukum dianggap menjalankan atau melakukan suatu tindakan hukum.Pemberian status subjek hukum khusus yang berupa badan hukum tersebut dalam perkembangannya dapat terjadi karena berbagai macam alasan dan atau motivasi.Salah satualasan misalnya, untuk memudahkan menentukan siapa yang harus bertanggungjawab diantara mereka yang terhimpun dalam badan tersebut, yakni secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek yang harus bertanggungjawab. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan eksistensi korporasi sebagai subjek hukum,diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum perdata dan hukum

   administrasi negara serta hukum pidana.

  Dalam hukum pidana khusus (hukum pidana diluar KUH Pidana), yang sifatnya melengkap hukum pidana umum, sudah tidak berpegang teguh pada prinsip hukum pidana secara pribadi yang dianut dan dipertahankan sejak dibentuknya WvS Belanda 1882 (diberlakukan 1886). Dalam beberapa peraturan perundang-undangan tampak kita telah menganut sistem pertanggung jawaban

  

strict liab ility (pembebanan tanggung jawab tanpa melihat kesalahan) dan

  vecarious liability (pembebanan tanggung jawab selain sipembuat dengan menarik badan atau korporasi kedalam pertanggung jawaban pidana). 66 Hamzah Hetrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum PidanaIndonesia, Cetakan Pertama,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1966), hlm. 29.

  40 Dengan mengikuti apa yang disampaikan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa dalam perkembangan hukum pidana Indonesia ada 3 (tiga) sistem pertanggung jawaban pidana terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana,

  

  yaitu : 1.

  Jika pengurus korporasi sebagai pembuat, maka yang pengurus korporasi yang bertanggung jawab.

  2. Jika korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab.

  3. Jika korporasi sebagai pembuat dan korporasi yang bertanggung jawab.

  Selain tiga sistem pertanggungjawaban korporasi yang telah disebutkan diatas, terdapat satu sistem pertanggungjawaban korporasi yang menurut Sutan Remy Sjahdeini harus ada dan diterapkan, yaitu pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula harus memikul pertanggungjawaban pidana.

  Karena apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk mengurangi kerugian finansial bagi korporasi.

  Kedua, apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedang pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan”. Dan, ketiga, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin 67 Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hlm. 345.

  41 dilakukan secara pengganti. Segala perbuatan hukum, dalam lapangan keperdataan maupun pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan

   kepengurusan korporasi.

  menjadi subjek hukum acara pidana, tetapi hanya orang-orang yang mempunyai kualifikasi tertentu saja.

  Mereka itu ialah : 1.

  Tersangka/terdaiwa 2. Polisi yang melakukan penyidikan 3. Jaksa yang melakukan penuntutan 4. Hakim yang mengadili 5. Panitera 6. Penasihat hukum 7. Saksi-sakasi

   8.

  Pegawai lembaga permasyarakat

B. Dasar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim

  Een objective beoordeling van een objective positive , maksudanya segala-

  galanya harus diperhatiakan oleh hakim baik dari sudut kepentingan masyarakat

   maupun dari sudut kepentingan siterdakwa. 68 Sultan Remy Sjahdeini, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi (Jakarta: Grafiti Pers,2006), hlm. 30. 69 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 77. 70 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 3.

  42 Pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakukan setelah masing masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan dalam suatu perkara lalu dilakukan musyawarah atau mufaklakat.Ketua majelis berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (Pasal 187 ayat (2) KUHAP), jika permufakatan bulat tidak diperoleh, putusan diambil dengan suara terbanyak. Dan jika para hakim berdeda pendapat atau pertimbangan sehingga suara terbanyak pun tidak dapat diperoleh, maka putusan yang dipilih adalah pendapat

  

  hakim yang paling menguntungkan terdakwa (Pasal 182 ayat (2) KUHAP) Lazimnya, dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan “yuridis” ini dibuktikan dan dipertimbangkan, hakim terlebih dahulu akan menarik “fakta-fakta dalam persidangan” yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa dipersidangan. Pada dasarnya “fakta-fakta dipersidangan” berorientasi pada dimensi tentang locus dan tempus

  

delicti,modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut dilkukan, penyebab

  atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan tindak pidana, kemudian bagaimana akibat langsung ataupun tidak langsung dari perbuatan terdakwa, barang bukti yang dipergunakan terdakwa dalam melakukan tindak

   pidana dan sebagainya.

  Dalam hal penjatuhan putusan, sebelumnya harus dilakukan pembuktian- pembuktian dalam sidang pengadilan perkara pidana merupakan suatu yang sangat penting.Pembuktian disidang pengadilan untuk dapat menjatuhkan pidana, 71 72 Evi Hartanti, Op. cit. hlm. 54.

  Lilik Mulyadi, Loc. Cit. hlm. 219

  43 sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit dua alat bukti yang sah dan didukung oleh keyakinan hakim. Hal ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

   yang bersalah melakukannya.

  Aspek pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan hakim.Karena hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestandelen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh bahwasanya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh besar terhadap amar/diktum putusan hakim

  

  dibandingkan dengan non yuridis adapun pertimbangan hakim tersebut adalah:

1. Pertimbangan Yuridis a.

  Alat bukti b. Surat dakwaan/catatan dakwaan c. Barang bukti d. Pasal-pasal dalam Undang-undang

  Ad.a. Alat bukti yang sah ialah :

  Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yaitu segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti 73 74 Evi hartanti, Op. Cit.hlm. 55.

  Lilik Mulyadi, Op. Cit. hlm. 219.

  44 yang sah dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima dan menilai suatu pembuktian. Suatu pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses

   pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.

  Sistem pembuktian yang dianut KUHAP mencakup dubbelen gorndslag dengan adanya elemen keyakinan terhadap pembuktian berdasar Undang-undang

   secara negatif (negatief wettelijke bewijs theori).

  Alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut :

  1. Keterangan saksi KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah oarang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya itu, Pasal 1 ayat (26).

  Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

  75 Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia , Edisi ke 2, (Jakrta: Raih Asa Sukses, 2012), hlm. 21. 76 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidan Dalam Sirkus Hukum, (Jakarta: Galia Indonesia, 2009), hlm. 263.

  45 sendiri, ia lihat sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuanya, Pasal 1 ayat

   (27).

  Pasal 160 ayat (3) KUHAP mewajibkan saksi sebelum memberikan agamanya, yang isinya sumpah atau janji bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Cara penyumpahan ini disebut dengan promisoris, artinya sanggup berkata yang benar. Akan tetapi, apabila pengadilan menganggap perlu penyampaian sumpah tidak dilakukan sebelum memberikan keterangan malainkan diberikan setelah saksi memberikan keterangan (Pasal 160 ayat 4). Cara penyumpahan yang kedua ini disebut

   asetoris .

  Dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Dalam menilai keterangan saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni:

  a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain.

  b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.

  c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi memberikan keterangan tetentu.

  77 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 37. 78 Ibid. hlm. 50

  46

  47

  d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umunya dapat mempengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya.

  

  tidak bisah dipisahkan, agar keterangan itu bernilai dan berharga pembuktian, yang dapat dipertimbangkan untuk membentuk keyakinan hakim, ialah: a.

  Sumber pengetahuan saksi dari apa yang menjadi isi yang diterangakan; dan b.

80 Hakim tidak boleh menjatuhakan putusan kepada terdakwa hanya

  Subtansi isinya keterangan

  didasarkan pada satu saksi saja, oleh karena itu satu saksi kurang mencukupi asas minimum alat bukti yang kurang cukup.Artinya kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh hakim.Ketentuan Pasal 185 ayat (2) ini dianggap tidak berlaku, apabila disertai dengan suatu alat bukti sah lainnya (Pasal 185 ayat 5).

81 Keterangan ahli disebut sebagai alat bukti dalam pada urutan ke dua oleh

  Pasal 183 KUHAP. Berbeda dengan HIR dahalu yang tidak mencatumkan keterangan ahli sebagai alat bukti.Dalam Pasal 343 Ned. Sv. misalanya diberikan

  2. Keterangi ahli

  79 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 118. 80 Adam Chazawi, Op. Cit. hlm. 43. 81 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hlm. 119. definisi apa yang dimaksud dengan keterangan ahli sebagai berikut: “Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah

   dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya.

  adalah : ‘keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”

  Berpijak pada Pasal 179 ayat (1) KUHAP dapat dikategorikan dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran dan ahli-ahli lainnya. Syarat sahnya keterangan ahli, yaitu : a.

  Keterangan diberikan kepada ahli b. Memiliki kaahlian khusus dalam bidang tertentu c. Menurut pemgetahuan dalam bidang keahliannya

   d.

  Diberikan dibawah sumpah Seorang ahli tidak selalu ditentukan oleh adanya pendidikan formal khusus untuk bidang keahliannya seperti ahli kedokteran forenksi, tetapi pada pengalaman atau bidang pekerjaan tertentu yang ditekuninya selama waktu yang panjang, yang menurut akal sangat wajar menjadi ahli dalam bidang khusus tersebut.Misalnya, keahlian diibidang kunci, pertukangan dll.Hakimlah yang 82 83 Andi Hamza, Hukum Acara Pidan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 268.

  Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 194.

  48 menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan

  

  hukumnya. Dan seorang ahli yang disidik oleh penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara, bila merasa dirinya tidak mempunyai keahlian khusus wajib mengundurkan diri.Dalam praktek untuk menjadi seorang ahli adalah pendidikan

   formal yang menjadi ukurannya.

  3. Alat bukti surat

86 Menurut Pitlo , suatu surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang

  berarti menerjemahkan suatu isi pikiran. Atas bahan yang dicantumkannya tanda bacaan ini diatas kertas, karton, kayu atau kain adalah tidak penting.Juga tidak penting apakah tanda bacaan itu terdiri dari huruf yang kita kenal atau dari huruf Cina, tanda stenografi atau dari tulisan rahasia yang disusun sendiri. Tidak termasuk dalam kata surat foto dan peta dan barang-barang yang tidak memuat tanda bacaan.

  Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah. Pada KUHAP secara substansial tentang bukti “surat” ini ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: a.

  Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dubuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dihadapannya, yang memuat 84 keterangan tentang kejadian yang didengar, dilihat atau yang 85 Adam Chazawi, Op. Cit. hlm. 67. 86 Martiman Prodjohadmijojo, Op. Cit. hlm. 121 Martiman Prodjohamidjojo, hlm. 122.

  49

  50

  dialaminya sendiri, desertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b.

  Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu keadaan; c.

  Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

   Suatu yang dimaksud dalam huruf a ini misalnya, akta perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang dibuat oleh atau diahadapan notaris berupa partijakte.

  Juga akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum itu sendiri (akte ambtelijk) seperti berita acara penyitaan yang dibuat oleh penyidik.

  Surat disebut pada huruf b, adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat umum mengenai hal-hal yang masuk bidang tata laksana (administrasi) yang menjadi tugas pejabat umum tersebut. Misalnya untuk membuktikan adanya perkawinan disebut surat nikah, untuk membuktikan adanya kematian disebut akta

87 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi ke 2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 275.

  kematian, untuk membuktikan sebagai penduduk disebut dengan kartu tanda penduduk (KTP).

  Surat yang disebut pada huruf c, adalah surat yang dibuat oleh seorang ahli yang hal tersebut berhubungan dengan suatu perkara pidana. Surat ini dibuat memenuhi permintaan secara resmi. Contohnya, suratvisum et repertum yang dibuat oleh dokter untuk memenuhi permintaan penyidik dalam upaya mengumpulkan alat bukti suatu perkara penganiayaan atau pembunuhan.

  Sedangkan surat lain yang dimaksud huruf d, sebenarnya bukan surat yang dibuat oleh pejabat umum atau dihadapannya, tetapi surat biasa, yang bukan akta dimaksud dalam huruf a, b, dan c. surat ini dibuat bukan untuk membuktikan tentang keadaan atau kejadian tertentu, tetapi pada suatu saat diperlukan untuk membuktikan keadaan atau kejadian tertentu. Misalnya sebuah surat dari lelaki hidung belang pada pacarnya yang isinya permintaan maaf atas perbuatannya yang memaksa pacarnya itu untuk melayani nafsu syahwatnya, sehingga pecarnya itu kehilangan kegadisannya. Sehingga surat ini dapat digunakan untuk membuktikan adanya perbuatan memaksa gadis itu untuk bersetubuh dengan lelaki tiu. Surat yang disebut dalam huruf d ini hanya mengandung nilai pembuktian apabila isi surat iitu ada hubungannya dengan isi dari alat bukti yang

   lain.

88 Adam Chazawi, Op. Cit. hlm. 71-72

  51

  4. Alat bukti petunjuk Apabila dibandingkan dengan alat bukti yang lain dalam Pasal 184, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan berdiri sendiri, dalam ketentuan Pasal 188 (1) yang menyatakan bahwa “petunjuk” adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena, persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektivitas hakim

  

  lebih dominan

  

Menurut Wiryono Projodikoro, apa yang disebut sebagai petunjuk

  sebenarnya bukan alat bukti melainkan kesimpulan belaka yang diambil dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah yang lain, yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

  5. Keterangan terdakwa Menurut Pasal 184 KUHAP butir e. keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau yang

  

  dia alami sendiri. alam praktek keterangan terdakwa sering dinyatakan dalam 89 90 Ibid. hlm. 73 91 Martiman prodjohamidjojo, Op. Cit. hlm. 129.

  Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Acara PIdana

  52 bentuk pengakuan dan penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi.Keterangan juga merupakan jawaban atas pertanyaan baik yang diajukan oleh penuntut umum, hakim maupun penasehat hukum.

  Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya.Dengan demikian, keterangan terdakwa yang dinyatakan dalam bentuk penolakan atau penyangkalan sebagaimana sering dijumpai dalam praktek persidangan, boleh juga dinilai sebagai alat bukti.

  Ad.b. Surat dakwaan/catatan dakwaan

  Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak dijumpai batasan tentang apa yang dimaksud surat dakwaan. Meskipun demikian A. Karim Nasutian dalam bukunya Surat Tuduhan memberikan batasan surat dakwaan

  

  sebagai berikut : “Tuduhan adalah suatu surat atau akte yang membuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat- surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan”.

  Dari rumusan tersebut dapat dlihat bahwa surat dakwaan dibuat penuntut umum berdasarkan berita acara pemeriksaan pendahuluan. Dari berita acara pemeriksaan ini dibuat rumusan tindak pidana yang didakwakan.Hakim pada 92 Gatot Supramono, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim Yang Batal Demin Hukum, (Jakarta: Djambatan, 1981), hlm. 5.

  53 prinsipnya tidak dapat memeriksa dan mengadili keluar dari lingkup yang didakwakan.

  Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP).Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2)

93 KUHAP).

  Pasal dimaksud (Pasal 143 ayat (2)) menyebutkan, penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi : a.

  Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka (syarat formal); b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu

   dilakukan (syarat materi).

  Perumusan dakwaan yang didasarkan dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, alternatif, kumulatif, maupun subsidair.Dakwaan disusun secara tunggal apabila seseorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan saja.Namun, apabila lebih dari satu perbuatan dalam hal ini dakwaan disusun secara kumulatif.

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

5 112 126

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perampasan Aset Terhadap Tindak Pidana Korupsi

0 56 197

Ajaran Perbuatan Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi

7 99 153

Analisis terhadap Penerapan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Pengadilan...

0 48 5

Tindak Pidana Korupsi Melalui Gratifikasi Seks (Tinjauan Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Positif)

2 33 155

Pelaksanaan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Ilmu Hukum Pidana Di Indonesia

1 1 8

BAB II PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA MENGENAI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengaturan Hukum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putus

0 0 13

BAB II PERKEMBANGAN GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA A. Perkembangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut

0 0 29

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

0 0 30