5 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Perkembangan Teknologi Web

BAB II KAJIAN TEORITIS

2.1 Perkembangan Teknologi Web

  Perkembangan Web dimulai dari istilah Web 1.0, secara umum dikembangkan untuk pengaksesan informasi dan memiliki sifat yang sedikit interaktif. Lalu muncul istilah baru dari generasi Web 1.0 yaitu Web 2.0. Banyak definisi dan arti mengenai Web 2.0.

  Seperti yang disampaikan Tim O’Reilly yang dikutip oleh Maness (Maness 2006) “Web 2.0 was reportedly first conceptualized and made popular by Tim

  

O'Reilly and Dale Dougherty of O'Reilly Media in 2004 to describe the trends and

business models that survived the technology sector market crash of the 1990s”.

  Artinya istilah Web 2.0 pertama kali dicetuskan dan diperkenalkan oleh Tim

  

O’Reilly dan Dale Dougherty dari Media O’Reilly pada tahun 2004 untuk

  mendeskripsikan model-model tren dan bisnis yang mampu bertahan dari kehancuran pasar sektor teknologi pada tahun 1990. Perusahaan-perusahaan tersebut ternyata memiliki karakteristik yang sama, yaitu kerjasama, interaktif, dinamis, dan biasanya batasan antara penciptaan dan pemakaian konten dalam lingkungan. Pada dasarnya, Web 2.0 bukanlah sebuah Web penerbitan teks melainkan merupakan sebuah Web komunikasi.

  Setelah menerbitkan paper, Tim O’Reilly mengunggah suatu definisi singkat ke dalam Blog perusahaannya. Menurut Tim O’Relly yang dikutip oleh Suwanto (Suwanto 2011) “Jaringan Web 2.0 adalah suatu jaringan internet yang dipandang sebagai suatu platform, yang memutar semua jaringan terhubung tergolong sebagai aplikasi”. Web 2.0 adalah aplikasi - aplikasi yang dapat menarik manfaat paling besar dari platform tersebut. Menurut Tim O’Reilly yang dikutip oleh Suwanto ada beberapa sifat-sifat aplikasi Web 2.0 yaitu :

  1. Aplikasi diluncurkan sebagai layanan (service) yang selalu dimutakhirkan secara berkesinambungan (continually updated), yang secara otomatis bertambah bagus seiring dengan semakin banyaknya orang yang menggunakannya,

  2. Mengkonsumsi dan remix data dari berbagai macam sumber (termasuk dari pengguna-pengguna individual), sambil tetap menyediakan data dan layanan mereka sendiri, secara sedemikian rupa sehingga tetap dimungkinkan untuk diremix oleh pihak lain,

3. Menciptakan network effect melalui arsitektur partisipasi (architecture of

  participation ), 4.

  Menuju pencapaian yang lebih dari sekedar metafora laman Web seperti dalam Web 1.0, untuk memberikan pengalaman antarmuka pengguna yang meriah (rich user interface).

  Tim O’Relly juga memberikan kriteria dari Web 2.0 yaitu : 1.

  Web 2.0 menggunakan jaringan sebagai landasan kerja yang menjangkau semua peralatan terkoneksi,

  2. Penerapan Web 2.0 memanfaatkan keunggulan intrinsik landasan kerja tersebut,

  3. Menyediakan peranti lunak yang secara kontinyu diperbaiki karena semakin banyak pengguna yang berpartisipasi dalam upaya itu,

  4. Memakai dan memadukan data dari beragam sumber termasuk dari setiap individu pengguna,

  5. Menyediakan data dan jasa dalam format yang memungkinkan dipadukan oleh pihak lain,

  6. Menciptakan keunggulan jaringan dengan memakai arsitektur yang cocok untuk partisipasi banyak pihak,

  7. Melebihi kemampuan Web 1.0 karena diperkaya oleh pengalaman para pengguna. (Suwanto 2011) Kriteria di atas menjelaskan pada dua hal yang saling mendukung dan menguatkan, yaitu sisi teknologi dan sisi hubungan manusia dalam bentuk partisipasi. Sisi teknologi diwakili dengan kelompok peranti Blogs, Wikis,

  

podcast, RSS Feeds , dll. Sisi sosial adalah dengan terbentuknya jejaring sosial yang akhir-akhir ini semakin meluas. Dengan kata lain Web 2.0 adalah kecanggihan teknologi dan kekuatan partisipasi. Dengan dua hal tersebut wajar bahwa ada pihak yang menaruh minat hanya pada teknologi, namun juga ada pihak yang menaruh minat hanya pada partisipasi, padahal keduanya harus seimbang. Karena sifat teknologi selalu harus terbaru, sedangkan partisipasi bersifat klasik, sehingga mudah membosankan. Oleh sebab itu banyak orang yang menyangka bahwa konsentrasi konsep Library 2.0 adalah pada teknologi, padahal yang benar yang pertama adalah partisipasi. Untuk memperluas dan menguatkan partisipasi diperlukan teknologi yang mendukung, maka munculah teknologi Web 2.0. Dengan teknologi ini memungkinkan pustakawan membangun Library 2.0.

2.2 Library 2.0

  Istilah 2.0 merebak di kalangan pengguna dan perancang substansi yang dipampangkan di internet. Bermula dari istilah Web 2.0 yang lahir pada tahun 2004, sejak itu banyak topik yang menyandang label 2.0. Konsep Library 2.0 sendiri pertamakali muncul pada tahun 2005 melalui sebuah Blog bernama

  

Library Crunch . Michael Casey adalah pemilik Blog sekaligus orang pertama

  yang mencetuskan pemakaian istilah Library 2.0. Michael Casey melihat bahwa perpustakaan dapat memanfaatkan berbagai kelebihan Web 2.0 dalam pelayanannya.

  Menurut Casey (Casey dan Savastinuk 2006) :

  The heart of Library 2.0 is user-centered change. It is a model for Library service that encourages constant and purposeful change, inviting user participation in the creation of both the physical and the virtual services they want, supported by consistently evaluatif services. It also attempts to reach new users and better serve current ones through improved customer-driven offerings. Each component by itself is a step toward

  better serving our users; however, it is through the combined implementation of all of these that we can reach Library

  2.0. Dapat diartikan bahwa Library 2.0 adalah sebuah model untuk layanan perpustakaan yang mendorong perubahan konstan dan terarah, mengundang partisipasi pengguna dalam penciptaan layanan fisik dan virtual yang mereka inginkan, didukung oleh evaluasi layanan secara konsisten. Upaya ini untuk menjangkau pengguna baru dengan lebih baik melalui peningkatan penawaran yang berorientasi terhadap pengguna.

  Layak atau tidak suatu gagasan baru digunakan sudah tentu ada pihak yang setuju dan yang menolak. Pihak yang menolak mengatakan bahwa dengan menerapkan Web 2.0 tidak ada perubahan mendasar dalam praktik penyelenggaraan perpustakaan. Sedangkan pihak yang setuju mengatakan bahwa dengan menerapkan Web 2.0 maka tren terbaru dari pengguna bisa diterapkan dengan mudah untuk perpustakaan. Library 2.0 membuat layanan perpustakaan menjadi berbeda, diarahkan semata untuk memenuhi kebutuhan pengguna. Suatu layanan perpustakaan yang selalu tersedia selama tujuh hari 24 jam kapan pun pengguna memerlukan.

  Menurut Suwanto menyatakan bahwa :

  Library 2.0 adalah perpustakaan yang berorientasi pada pemakai dan

  dikendalikan oleh pemakai seutuhnya, penggabungan dari layanan perpustakaan tradisional dan layanan yang berbasis Web 2.0 yang inovatif, kaya dengan isi, interaktif, dan kaya aktifivitas sosial. (Suwanto 2011) Sedangkan menurut Sudarsono mendefinisikan bahwa :

  Library 2.0 sebagai aplikasi teknologi berbasis Web yang interaktif,

  kolaboratif, dan multimedia ke dalam layanan dan koleksi perpustakaan berbasis Web, dan menyarakan agar definisi ini dapat diadopsi oleh komunitas ilmu perpustakaan. (Sudarsono 2008)

  Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa layanan Library 2.0 adalah berbasis Web, tidak seperti layanan di perpustakaan pada umumnya, fokus Library 2.0 adalah perubahan yang berpusat pada pengguna. Merupakan model layanan perpustakaan yang mendorong perubahan berkelanjutan, dengan mengundang partisipasi pengguna dalam menciptakan serta mengevaluasi baik layanan fisik maupun virtual yang mereka kehendaki. Hal yang mendasar adalah agar orang kembali menggunakan perpustakaan dengan membuat perpustakaan sesuai dengan kebutuhan hidup sehari-hari para pengguna yang membuat perpustakaan sebagai tujuan utama dan bukan pilihan akhir. Semua itu secara ringkas dinyatakan oleh Blyberg yang dikutip oleh Sudarsono (Sudarsono 2009) dengan rumus :

  

Library 2.0 = (books and stuff + people + radical trust) x participation

  atau Perpustakaan 2.0 = (koleksi + orang + kepercayaan radikal) x partisipasi Dapat diartikan dari rumus di atas bahwa dalam perpustakaan adalah koleksi dan pengguna. Namun parameter partisipasi terlihat langka, apalagi kepercayaan penuh terhadap perpustakaan. Padahal menurut persamaan di atas, partisipasi menjadi sangat menentukan karena sebagai faktor dari pengkalian.

  Meski nilai buku, pengguna, maupun kepercayaan penuh terlihat tinggi, jika nilai partisipasi nol maka hasil persaman di atas juga nol. Jadi kunci dari Library 2.0 adalah partisipasi yang baik terhadap pustakawan maupun pengguna.

2.3 Model dan Konsep Library 2.0

  Konsep Library 2.0 sendiri yaitu sebuah perpustakaan yang mendedikasikan dirinya sebagai tempat untuk mencari informasi dan berorientasi kepada kebutuhan pengguna. Selain itu perpustakaan juga diharapkan menerapkan digitalisasi agar kebutuhan akan kemajuan teknologi itu dapat dinikmati oleh pengguna, terutama layanan perpustakaan berbasis Web. Library 2.0 berupaya menyediakan informasi yang tersedia dimana pun dan kapan pun pengguna membutuhkannya.

  Semangat interaksi yang dibawa oleh Web 2.0 digabungkan menjadi terjalinnya interaksi erat via Online antara pustakawan dan pengguna. Jalur yang digunakan bisa bermacam-macam, mulai dari Blog pribadi pustakawan, jejaring sosial, hingga Tagging pada Web resmi perpustakaan. Dalam platform Web 2.0 perpustakaan akan lebih leluasa menampilkan informasi interaktif dalam halaman Web .

  Tidak hanya informasi seputar layanan, perpustakaan bahkan bisa berlaku seperti toko buku atau penerbit yang memasarkan buku mereka. Misalnya bagian pengolahan perpustakaan menampilkan resensi mengenai buku yang baru diolah dan siap untuk dilayankan. Interaksi dengan pengguna dapat dimulai dengan menyediakan tempat khusus untuk menampung komentar. Bagi pengguna yang pernah membaca buku tersebut bisa menambahkan informasi yang mungkin belum tercakup dalam ulasan perpustakaan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Anjanappa yang dikutip oleh Zuntriana bahwa “Library 2.0 merupakan konsep baru dimana pengguna bukan hanya konsumen informasi, tapi lebih jauh mereka juga punya hak dalam memberikan, menyebarkan, dan memodifikasi informasi”. (Zuntriana 2010)

  Selanjutnya Abrams yang dikutip oleh Maness menjelaskan bahwa

  Library 2.0 memiliki 4 (empat) elemen pokok yaitu: 1.

  Terpusat pada pengguna. Pengguna berpartisipasi dalam pembuatan konten dan layanan yang terlihat dalam tampilan web perpustakaan,

  OPAC , dll. Pemakaian dan pembuatan konten web yang dinamis sehingga peran pustakawan dan pengguna tidak selalu jelas.

  2. Menyediakan sebuah layanan multi media. Koleksi dan layanan Library 2.0 menyediakan komponen video dan audio. Walaupun hal ini jarang sekali dicetuskan sebagai fungsi Library 2.0 di sini disarankan agar seharusnya begitu.

  3. Kaya secara sosial. Tampilan web perpustakaan berisi tampilan pengguna.

  Ada dua cara yaitu sinkronisasi (contohnya IM) dan sinkronisasi (contohnya wikis) untuk komunikasi pengguna dengan pengguna lain dan dengan pustakawan.

  4. Inovatif secara bersama-sama. Mungkin hal ini adalah aspek tunggal utama dari Library 2.0 yaitu bertumpu pada asas perpustakaan sebagai layanan masyarakat, namun sadar bahwa ketika masyarakat berubah perpustakaan tidak saja ikut berubah tetapi juga membiarkan pemustaka untuk merubahnya. Perpustakaan siap untuk merubah pelayanannya, mencari cara baru untuk memberi kesempatan masyarakat, bukan saja perorangan, untuk mencari, menemukan, dan menggunakan informasi. (Maness 2006) Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Library 2.0 merupakan sebuah model sistem perpustakaan yang sangat terbuka untuk partisipasi pengguna.

  

Library 2.0 mendambakan hadirnya pustakawan yang memiliki kemauan untuk

  tumbuh bersama pengguna dan berkesadaran kuat untuk beranjak dari paradigma layanan Offline terbatas menuju layanan Online tanpa batas. Perubahan peran dari pustakawan konvensional menjadi pustakawan 2.0 merupakan sebuah proses panjang dan harus dimulai dari sekarang. Konsep Library 2.0 terbaik adalah sebuah tatap muka sosial media yang dibangun para pengguna, OPAC yang dipersonalisasi yang mencakup IM, RSS Feeds, Blog, Wikis, tag, serta profil umum dan swasta di dalam jejaring perpustakaan.

2.4 Layanan Library 2.0

  Library 2.0 adalah suatu komunitas maya yang berorientasi pada

  pengguna, tetapi yang menjadi pondasi kehadiran suatu Web perpustakaan harus berevolusi ke dalam suatu multimedia yang memperbolehkan pengguna untuk tampil baik dengan perpustakaan atau pustakawan serta sesama pengguna lainnya.

  

Web dan perpustakaan sebagai suatu sarana untuk memfasilitasi inovasi dan

  eksperimen dalam layanan perpustakaan elektronik. Berikut beberapa contoh layanan Library 2.0 menurut Maness (Maness 2006) :

1. Sinkronisasi Pesan 2.

  Media Streaming 3. Blogs dan Wikis 4. Jaringan sosial 5. Tagging 6. RSS Feeds 7. Mashups 1.

  Sinkronisasi Pesan Teknologi ini telah digunakan cukup cepat perpustakaan. Teknologi yang lebih dikenal sebagai Instant Messaging (IM) yang menyediakan fasilitas komunikasi teks cepat untuk pengguna. Perpustakaan telah menggunakannya untuk menyediakan layanan Chat Reference, yaitu pengguna dapat berkomunikasi secara sinkron dengan pustakawan seperti pada saat mereka berkomunikasi tatap muka secara langsung. Mungkin ada banyak yang berpikir bahwa IM adalah sebuah teknologi dari Web 1.0 karena kemunculannya membutuhkan pengunduhan aplikasi. Sedangkan sebagian besar aplikasi 2.0 berbasis web. IM dianggap bahwa 2.0 karena konsisten terhadap prinsip Library 2.0 yang memungkinkan tampilan pengguna di dalam tampilan web perpustakaan, memungkinkan kolaborasi antara pengguna dan pustakawan, memungkinkan adanya pengalaman yang lebih dinamis dari pada layanan 1.0, yang pada dasarnya statis dan dibuat layanan baru kemudian digunakan. Selain itu, Web 2.0 juga dianggap sebagai aplikasi berbasis Web dan aplikasi yang digunakan dalam layanan Chat Reference pada umumnya, seperti menyediakan co-browsing,

  

filesharing (berbagi file), screen-capturing, serta berbagi dan pengambilan data

transkrip sebelumnya.

  Masa depan teknologi ini dalam perpustakaan sangat menarik. Dengan menyediakan layanan Web interaktif, perpustakaan telah menempatkan posisi untuk mengadopsi pendahulunya secara cepat dan ahli. Aplikasi IM berbasis teks telah berubah menjadi sesuatu yang lebih bersifat multi media, yaitu pesan suara dan video menjadi lebih umum. Perpustakaan juga telah menyediakan sambungan ke layanan Chat Reference ke sumber koleksi perpustakaan, contohnya pada artikel dalam database langganan. Secara teori, perpustakaan fisik tidak pernah lepas dari pustakawan, Chat Reference yang lebih aktif mampu menyediakan lingkungan yang serupa dalam dunia Web, mungkin hanya sebentar lagi ketika

  

Chat Reference masuk di dalam kerangka jaringan perpustakaan, menyediakan

pengalaman tanpa batas.

  Pengguna juga harus menerima layanan Chat Reference, sehingga ketika tindakan mencari seorang pengguna yang mengalami kesulitan, bisa teratasi.

  Sebagai contoh, saat seorang pengguna melakukan pencarian melalui beberapa sumber, mengulangi langkah dan bergerak secara berputar melalui sebuah skema klasifikasi atau rangkaian sumber, layanan sinkronisasi pesan dapat digunakan untuk menawarkan bantuan. Layanan Chat Reference terhadap hal ini tentu saja akan membantu pengguna yang bingung mencari buku di antara rak. Library 2.0 akan tahu ketika pengguna tersesat dalam pencarian mereka, dan akan segera memberikan bantuan dengan cepat.

  Perpustakaan dapat bekerja baik dalam melanjutkan pengadopsian teknologi, ketika sedang berubah menyediakan layanan referensi dalam sebuah media Online akan segera datang waktu ketika layanan referensi Web hampir tidak dapat dibedakan dengan Chat Reference. Pustakawan dan pengguna akan melihat dan mendengarkan satu sama lain dan akan berbagi layar dan file. Sebagai tambahan, transkrip yang telah disediakan sesi ini akan menyediakan ilmu perpustakaan dalam suatu cara yang belum pernah dilakukan secara langsung dalam tatap muka. Untuk pertama kalinya dalam sejarah perpustakaan, akan ada suatu koleksi transkrip berkelanjutan dari transaksi referensi, yang selalu menunggu evaluasi, analisa, kataloging, dan pencarian referensi masa depan.

2. Media Streaming

  Media Streaming dari video dan audio adalah aplikasi lain yang mungkin

  dipertimbangkan sebagai Web 1.0, karena hal tersebut telah mendahului pemikiran Web 2.0 dan sudah digunakan dengan luas sebelum bermacam teknologi yang telah ditemukan.

  Penjelasan berdasarkan teks digabung dengan handout yang di unduh secara statis, digantikan dengan tutorial yang lebih berpengalaman. Dari bagian instruksi perpustakaan salah satu bagian dari layanan referensi memberikan pangkalan data tutorial, beberapa diantaranya adalah Web 2.0 yang disebut Review teman sejawat (Peer Review) tentang bahan ajar Online (Peer Reviewed

  

Instructional Material Online /PRIMO). Beberapa dari tutorial ini menggunakan

  pemrograman dengan cahaya (Flash programming), perangkat lunak untuk tambahan layar (Screen Cast), atau audio, video streaming, dan sepasang presentasi media dengan kuis interaktif, tanggapan pengguna pada pertanyaan- pertanyaan dan respon terhadap sistem.

  Tutorial ini mungkin layanan pertama perpustakaan diubah ke dalam Web 2.0 yang kaya secara sosial. Sebagian besar tidak menyediakan suatu sarana dimana pengguna dapat berinteraksi satu sama lain. Hal ini dapat mengambil bentuk multimedia, ruang untuk chating atau Wikis, dan pengguna akan berinteraksi satu sama lain dan objek-objek pelajaran sebanyak yang mereka inginkan di dalam kelas atau ruang laboratorium. Dampak lain dari Media

  

Streaming adalah koleksi layanan tersebut tidak akan bisa dipisahkan dari institusi

  yang bertanggungjawab untuk mengarsipkan dan memberikan akses kepada pengguna.

  Bagaimanapun hal tersebut tidak akan cukup dengan cara sederhana menciptakan Hard-copy dari objek-objek ini dan mengizinkan pengguna mengaksesnya di dalam batas-batas fisik perpustakaan. Media yang dikreasikan oleh Web, di dalam Web milik Web, dan perpustakaan telah memulai mengembangkan melalui penerapan teknologi Repository digital dan manajemen aset digital. Sebelumnya aplikasi ini biasa dipisahkan dari katalog perpustakaan dan kelemahan ini perlu diperbaiki. Library 2.0 akan menunjukkan tidak ada pembedaan diantara format-format tersebut dan menunjukan yang akan mereka akses.

3. Blogs dan Wikis

  Blogs dan Wikis pada dasarnya adalah Web 2.0. Perkembangannya

  mempunyai dampak yang sangat besar untuk perpustakaan. Blogs bahkan tonggak sejarah yang lebih besar dalam penerbitan dari pada halaman Web. Blog memungkinkan konsumsi dan produksi yang cepat dari penerbitan berdasarkan

  

Web . Dampak yang paling nyata dari Blogs untuk perpustakaan adalah bahwa

Blog merupakan bentuk lain dari publikasi dan Blog perlu diperlakukan seperti

  publikasi yang lain.

  Blog -Blog tersebut kurang dari pengawasan editorial dan keamanan yang

  diberikan, tetapi beberapa diantaranya adalah produksi yang integral di dalam suatu tubuh pengetahuan. Ketiadaan dari Blog-Blog tersebut dalam koleksi perpustakaan dapat segera menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Hal ini tentu saja akan menyulitkan proses pengembangan koleksi dan pustakawan. Butuh latihan dan kemampuan ketika menambahkan suatu Blog ke dalam satu koleksi atau suatu sistem pengembangan koleksi Blog yang terautomasi.

  Suatu gagasan yang dapat dipercaya untuk pengembangan koleksi akan dipikirkan kembali dalam kebangkitan inovasi ini. Wikis utamanya adalah halaman Web yang terbuka dimana setiap orang yang terdaftar dapat mempublikasikan, mengembangkan dan merubah. Sama banyaknya dengan Blog,

  

Wikis tidak sama kepercayaannya sebagai sumber-sumber tradisional, dengan

  keseringan diskusi dari Wikipedia, mengembangkan atau mengedit artikel di dalam dunia perpustakaan terkenal. Tetapi hal ini tentu saja tidak membatasi nilai

  

Wikis semata-mata merubah kepustakawanan. Kekurangan peer review dan

  editorial adalah tantangan untuk pustakawan tidak harus menghindari Wikis, tetapi hanya dalam hal mereka harus mengerti dan kritis dalam ketergantungan kepada

  Wikis .

4. Jaringan sosial

  Jaringan sosial mungkin yang paling menjanjikan dan mencakup teknologi yang dibahas. Jaringan sosial memungkinkan pesan, Blog, Media streaming dan

  

Tagging untuk didiskusikan. MySpace, Facebook, Del.icio.us, Frappr dan Flickr

  adalah jaringan sosial yang telah menikmati popularitas besar-besaran dalam Web

  2.0. Sementara itu Myspace dan Facebook memungkinkan pengguna untuk berkomunikasi dengan sesama. Jaringan sosial lain yang patut diperhatikan adalah

  

Library Thing yang memungkinkan pengguna mengkatalog buku mereka sendiri

dan melihat apa yang dilakukan pengguna lain mempublikasikan buku tersebut.

  Library Thing memungkinkan pengguna untuk merekomendasikan buku-

  buku tersebut ke pengguna lain dengan cara sederhana. Hal tersebut tidak memerlukan banyak imajinasi untuk melihat suatu perpustakaan sebagai suatu jaringan sosial itu sendiri. Kenyataannya banyak peran perpustakaan sepanjang sejarah telah menjadi tempat untuk berkumpul orang banyak, berkumpul untuk menjelaskan identitas, berkomunikasi dan bekerja.

  Jaringan sosial dapat memungkinkan pustakawan dan pengguna tidak hanya berinteraksi, tetapi untuk sharing dan merubah sumber-sumber secara dinamis di dalam media elektronik. Pengguna dapat menciptakan akun dengan jaringan perpustakaan, melihat apa yang dikerjakan pengguna lain telah sesuai dengan kebutuhan informasi, saling menyarankan sumber-sumber lain kepada pengguna berdasarkan kesamaan profil, demografi, dan sumber-sumber yang telah diakses sebelumnya, dan menjadi pemilik (host) dari yang diberikan pengguna.

  Tentu saja jaringan ini akan memungkinkan pengguna untuk memilih apa yang dapat dipublikasi dan yang tidak, suatu gagasan yang dapat membantu menghindari masalah-masalah pribadi.

5. Tagging (Menandai)

  Tagging pada dasarnya memungkinkan pengguna untuk membuat subject

heading yang mudah oleh pengguna. Menurut Shanhi yang dikutip Maness

  (Manes 2006) menyatakan bahwa “Tagging utamanya adalah Web 2.0, karena hal tersebut memungkinkan pengguna untuk menambah atau merubah tidak hanya isi data tetapi juga isi yang menjelaskan metadata”. Fitur Flickr membolehkan pengguna menandai foto, lalu dalam koleksi perpustakaan pengguna bisa menandai buku dalam katalog. Dalam Library 2.0 pengguna dapat menandai koleksi perpustakaan dan berpartisipasi dalam proses pengatalogan.

  Tagging membuat penulusuran tambahan menjadi lebih mudah. Contoh

  yang sering disitir dari Subject Heading Library of Conggress ketika tidak ada orang yang berbahasa inggris akan menggunakan kata Cookery yang merujuk pada buku masak ke cookbooks, ini menggambarkan masalah standarisasi klasifikasi. Tagging akan mengubah kata yang tidak berguna cookery kepada kata yang berguna Cookbooks dengan segera dan penelusuran akan sangat difasilitasi, tentu saja Tagging dan subjek standar satu sama lain tidak akan eksklusif. Katalog

  

Library 2.0 akan memungkinkan pengguna mengikuti subjek yang standar dan

  subjek yang ditandai pengguna, mereka dapat menambahkan Tagging ke dalam sumber informasi. Pengguna merespon ke sistem, sistem merespon ke pengguna.

  

Tagging ini adalah suatu katalog terbuka yang dibuat khusus untuk kebutuhan

perpustakaan yang berorientasi kepada pengguna.

  6. RSS Feeds RSS feeds dan teknologi terkait lainnya menyediakan pengguna sebuah

  cara untuk mengumpulkan dan menerbitkan kembali konten pada Web. Pengguna menerbitkan kembali konten dari situs atau Blog lain pada situs atau Blognya sendiri. Pengumpulan konten seperti itu merupakan aplikasi lain dari Web 2.0 yang telah berdampak pada perpustakaan dan dapat berlanjut terus dalam cara- cara yang mencolok. Perpustakaan sudah membuat RSS feeds bagi pengguna untuk berlangganan serta pemutakhiran item baru dalam sebuah koleksi, layanan baru, dan konten baru pada database langganan. Mereka juga menerbitkan kembali konten pada situs mereka sendiri. Varnum yang dikutip oleh Manes mengungkapkan “menyediakan sebuah Blog yang menyebutkan secara rinci bagaimana perpustakaan menggunakan RSS feeds untuk digunakan penggunanya”. (Maness 2006) Namun perpustakaan belum mencari cara menggunakan RSS fedds dengan lebih mudah.

  Sebuah produk baru dari perusahaan bernama BlogBridge, BlogBridge

  

Library (BBL) adalah sebuah software yang dapat diinstal pada server anda di

  dalam firewall. Bukanlah merupakan konten perpustakaan namun sebuah software yang mengatur perpustakaan. Walau potensi BBL terhadap perpustakaan belum dapat ditemukan karena kondisinya yang masih baru, dapat diperkirakan bahwa pengumpulan ini dapat menggantikan browsing dan pencarian konten lewat situs

  

Web perpustakaan. BBL dan aplikasi pengumpul RSS feeds serupa, diinstal di

  dalam sistem perpustakaan dan disatukan dengan jejaring sosial perpustakaan, dapat memberikan kesempatan pengguna untuk memiliki sebuah halaman perpustakaan pribadi tunggal dan sesuai yang mengumpulkan seluruh konten perpustakaan yang sesuai dengan mereka serta penelitian mereka, menghilangkan informasi yang tidak relevan dan pengguna tentu saja mengendalikan halaman dan konten tersebut.

7. Mashups

  Mashup mungkin merupakan konsep tunggal yang mendukung semua

  teknologi. Mashup adalah aplikasi hibrida, yang terdiri dari dua atau lebih teknologi atau layanan yang dipersatukan menjadi sebuah layanan yang sepenuhnya baru. Sebagai contoh, Retivr menyatukan database gambar Flickr dengan sebuah algoritma arsitektur informasi untuk memberikan kesempatan kepada pengguna untuk mencari gambar, bukan dengan metadata tetapi dengan data itu sendiri. Pengguna mencari gambar dengan membuat sketsa gambar.

  Dalam beberapa hal, banyak teknologi yang dibicarakan sebelumnya memiliki sifat Mashup. Contoh lainnya adalah WikiBios, sebuah situs tempat pengguna saling membuat biografi Online. Pada dasarnya menggabungkan Blog dengan jejaring sosial. Library 2.0 adalah sebuah Mashup yang merupakan sebuah

  

Blog hibrida, wiki, media streaming, pengumpul konten, pesan cepat, dan jejaring

sosial.

  Library 2.0 mengingat seorang pengguna saat mereka masuk. Library 2.0

  memberikan kesempatan pengguna untuk mengedit data dan metadata OPAC, menyimpan tag pengguna, memulai percakapan IM dengan pustakawan, entri

  

Wikis dengan pengguna lain (semua katalog untuk digunakan pengguna), dan

  pengguna mampu membuat sebagian atau keseluruhan profil umum mereka, pengguna dapat melihat kesamaan item yang keluar, meminjam dan meminjamkan tag dan sebuah katalog besar yang dijalankan pengguna dibuat dan digabungkan dengan katalog tradisional. Library 2.0 benar-benar merupakan layanan yang terpusat dan dijalankan pengguna. Teknologi ini adalah penyatuan antara layanan perpustakaan tradisional dengan layanan inovatif Web 2.0.

2.5 Peran Pustakawan di Era 2.0

  Berbagai perubahan yang dibawa oleh Library 2.0 mengisyaratkan adanya perubahan dalam diri pustakawan, berupa peningkatan kapasitas, kompetensi, kecerdasan, dan perbaikan sikap. Pernyataan Agus yang dikutip oleh Zuntriana “Librarian 2.0 harus memiliki kemauan untuk berbagi, bersahabat, gaul, mahir menulis, dan aktif dalam berbagai jejaring sosial”. (Zuntriana 2010)

  Tren berbagi pengetahuan yang merupakan prinsip dasar dari Web 2.0 benar-benar diaplikasikan oleh sosok Librarian 2.0. Mereka bergerak aktif membangun kemampuan literasi pengguna, baik di dunia nyata maupun maya, bersikap proaktif, dan mampu melakukan transfer pengetahuan.

  Menurut Abram yang dikutip oleh Zuntriana, menjelaskan prasyarat- prasyarat untuk menjadi Librarian 2.0, antara lain :

1. Memahami benar-benar berbagai manfaat yang ditawarkan oleh Web 2.0 2.

  Mau mempelajari alat dan perangkat utama Web 2.0 dan Library 2.0

3. Mampu memadukan format koleksi digital dan tercetak 4.

  Mampu mengakses informasi dalam berbagai format 5. Mampu menggunakan informasi non tekstual, seperti gambar, suara, citra bergerak

  6. Menggunakan dan mengembangkan jejaring sosial untuk memperoleh manfaat maksimal

  7. Mampu berkomunikasi dengan orang lain melalui beragam teknologi, seperti telepon, Skype, IM, SMS, texting, email, referensi virtual, dan lain sebagainya. (Zuntriana 2010) Pernyataan di atas dipahami bahwa selain terampil memaksimalkan potensi Web 2.0, pustakawan dalam era 2.0 secara umum juga harus mengembangkan kompetensi profesional dan pribadinya, kompetensi profesional dan pribadi ini perlu sekali untuk menyiapkan pustakawan dan profesional informasi yang tangguh di era baru TIK.

  Kompetensi profesional pustakawan berkaitan dengan pengetahuan khusus mengenai kepustakawanan, terutama dalam bidang sumber daya, akses, teknologi, manajemen dan riset informasi, serta kemampuan untuk menggunakan bidang pengetahuan tersebut sebagai basis untuk menyelenggarakan layanan informasi dan perpustakaan. Sedangkan kompetensi pribadi merepresentasikan seperangkat keterampilan, sikap, dan nilai yang memungkinkan pustakawan untuk bekerja secara efisien, seperti menjadi komunikator yang baik, fokus pada pembelajaran berkelanjutan selama berkarir, dan mampu menunjukkan nilai tambah dalam sumbangsih mereka.

  Laili yang dikutip Zuntriana menjelaskan tentang Kompetensi Profesional Pustakawan dan Kompetensi Pribadi Pustakawan. Kompetensi profesional pustakawan meliputi :

  1. Memiliki pengetahuan khusus mengenai konten sumber daya informasi, termasuk pula kemampuan untuk mengevaluasi dan menyaringnya secara kritis, 2. Memiliki pengetahuan subyek khusus yang tepat untuk kepentingan organisasi dan pengguna,

  3. Mengembangkan dan mengelola layanan informasi yang tepat, mudah diakses, dan efektif biaya yang sejalan dengan tujuan strategis organisasi;

  4. Menyediakan instruksi dan fasilitas pendukung untuk pengguna jasa perpustakaan dan informasi,

  5. Menaksir kebutuhan informasi, mendesain dan memasarkan jasa dan produk yang memiliki nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan informasi yang telah diidentifikasi, 6. Menggunakan teknologi informasi yang tepat untuk memperoleh, mengorganisasi, dan menyebarkan informasi,

  7. Menggunakan pendekatan manajemen dan bisnis untuk mengkomunikasikan pentingnya layanan informasi bagi kalangan manajemen senior, 8. Mengembangkan produk informasi khusus untuk penggunaan di dalam maupun di luar organisasi atau oleh pengguna individual,

  9. Mengevaluasi hasil penggunaan informasi dan melakukan penelitian tentang pemecahan masalah manajemen informasi,

  10. Meningkatkan layanan informasi secara kontinyu untuk merespon kebutuhan yang terus berubah. Sedangkan kompetensi pribadi pustakawan meliputi: 1.

  Komitmen untuk pelayanan prima, 2. Mencari tantangan dan melihat kesempatan baru di dalam maupun di luar perpustakaan,

  3. Turut menciptakan lingkungan yang saling respek dan saling mempercayai,

  4. Memiliki kemampuan komunikasi yang efektif, 5.

  Mampu bekerja dengan baik dalam tim, 6. Memiliki kemampuan kepemimpinan, 7. Merencanakan, memprioritaskan, dan berfokus pada apa yang mendesak, 8. Berkomitmen terhadap pembelajaran seumur hidup (lifelong learning), 9. Memiliki skill bisnis dan menciptakan kesempatan baru, 10.

  Mengetahui nilai dari jejaring dan solidaritas profesional, 11. Bersikap fleksibel dan positif dalam menghadapi perubahan. (Zuntriana

  2010) Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Library 2.0 membuka berbagai kemungkinan baru untuk membantu pustakawan mengembangkan kompetensinya. Terutama bagaimana pustakawan turut mengambil peran membangun kemampuan literasi pengguna. Pustakawan harus memahami bahwa mereka memiliki tugas untuk menciptakan sebuah ruang yang bisa berkumpul, berinteraksi, dan menjadi lebih baik. Jika pustakawan mampu melakukan itu dengan baik, maka ini akan menjadi bagian dari masa depan.

2.6 Kajian Persepsi

  Membahas istilah persepsi akan dijumpai banyak batasan atau definisi tentang persepsi yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain oleh Rahmat mendefinisikan “persepsi sebagai informasi dan menafsirkan pesan”. (Rahmat 2005)

  Senada dengan Walgito yang menyatakan persepsi merupakan “suatu program yang didahului oleh proses diterimanya stimulus oleh individu melalui panca indera namun proses ini tidak berhenti begitu saja melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi”. (Walgito 2002)

  Dari pendapat di atas dipahami bahwa perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman dan sudut pandang. Persepsi juga berhubungan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu objek tertentu dengan cara yang berbeda-beda dengan menggunakan alat indera yang dimiliki, kemudian berusaha untuk menafsirkannya. Persepsi baik positif maupun negatif seperti data yang sudah tersimpan rapi di dalam alam pikiran bawah sadar. Data itu akan segera muncul ketika ada sesuatu yang memicunya atau ada kejadian yang membukanya.

2.6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

  Ada beberapa hal yang mempengaruhi persepsi. Menurut Toha faktor- faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut :

  1. Faktor internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat, dan motivasi.

  2. Faktor eksternal: latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidakasingan satu objek. (Toha 2003) Menurut Walgito faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat dikemukakan beberapa faktor, yaitu:

  1. Objek yang dipersepsi Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.

  Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.

  2. Alat indera, syaraf dan susunan syaraf Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus, disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respons diperlukan motoris yang dapat membentuk persepsi seseorang.

  3. Perhatian Untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah utama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu sekumpulan objek. (Walgito 2002) Dari beberapa penyataan di atas maka faktor-faktor tersebut menjadikan persepsi individu berbeda satu sama lain dan akan berpengaruh pada individu dalam menanggapi suatu objek, stimulus, meskipun objek tersebut benar-benar sama. Persepsi seseorang atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi orang atau kelompok lain sekalipun situasinya sama. Perbedaan persepsi dapat ditelusuri pada adanya perbedaan-perbedaan individu, perbedaan dalam kepribadian, perbedaan dalam sikap atau perbedaan dalam motivasi. Pada dasarnya proses terbentuknya persepsi ini terjadi dalam diri seseorang, namun persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman proses belajar, dan pengetahuannya.

2.6.2 Proses Persepsi

  Menurut Toha proses terbentuknya persepsi didasari pada beberapa tahapan yaitu:

  1. Stimulasi atau Rangsangan Terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan pada suatu stimulus/rangsangan yang hadir dari lingkungan.

  2. Registrasi Dalam proses registrasi, suatu gejala yang nampak adalah mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syarat seseorang berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya. Seseorang dapat mendengarkan atau melihat informasi yang dikirim kepadanya, kemudian mendaftar semua informasi yang terkirim kepadanya.

  3. Interpretasi Interpretasi merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang sangat penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang diterimanya.

  Proses interpretasi tersebut bergantung pada cara pendalaman, dan kepribadian seseorang. (Toha 2003) Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa proses suatu persepsi dibutuhkan suatu rangsangan yang diterima oleh indera dan kemudian akan diterjemahkan oleh otak dan akan menghasilkan suatu persepi bergantung pada cara pendalaman dan kepribadian seseorang.